Merasakan Pikiran Fotografer
—Dwi R. Muhtaman—
Bogor, 23102018
#BincangBuku #09
“And now there came,
upon the turbid waves,
a crash of fearful sound at
which the shores both trembled…”
(Inferno, Dante)
“Black drizzling crags…
the sick sight and giddy prospect
of the raving stream, the unfettered clouds
and regions of the heavens, tumult and peace,
the darkness and the light…”
(The Prelude, Wordsworth)
Dua potongan sajak itu dikutip oleh Michael Freeman dalam buku fotografi: The Photographer’s Mind, Creative Thinking for Better Digital Photo (2010). Sajak itu menggambarkan betapa sempurnanya kecantikan alam, kesempurnaan lekuk, sosok, hamparan, gelombang, suara yang mencekam, awan yang mengalir berarak dengan suara kencang, namun penuh kedamaian hingga gelap turun dengan pancaran cahaya yang lain. Penyair seringkali bisa menggambarkan drama dari sebuah suasana dengan kata, seperti seorang fotografer yang menangkap suasananya dengan gambar. Penyair menangkap sesuatu dengan rasa, pikiran kreatifnya dan menuangkan dalam kata-kata pilihan yang tepat. Demikian juga seorang fotografer yang mampu menangkap utuh suasana dengan rasa, pikiran kreatif dan ketajaman, kecepatan mengambil keputusan untuk memencet tombol. Karena itu pada dasarnya antara penyair dan fotografer adalah dua profesi yang serupa. Kemampuan penyair menciptakan word-pictures bukanlah sesuatu yang asing bagi fotografi.
Sisi lain dari keindahan adalah keluhuran yang menakjubkan. Misalnya ketika pada suatu tempat kita terpesona dengan panorama atau situasi yang
luar biasa atau bahkan menakutkan. Kita di Indonesia tidak sulit menemukan situasi ini. Misalnya mereka yang berkunjung ke Pulau Krakatau, menjejekkan kaki di gunung itu dengan sesekali merasakan getaran-getaran bumi karena aktifnya gunung api itu. Tiap hari Gunung Krakatau bergtar ratusan kali—sesuatu yang biasa terjadi. Kekuatan alam yang dahsyat ini mempesona meski kadang menakutkan. Faktanya, kekuatan alam sejenis itulah yang menginspirasi banyak seniman dan penyair Romawi pada akhir abad ke-18, abad yang menciptakan seni yang luhur — seperti yang gambarkan oleh para filosof Edmund Burke dan Immanuel Kant.
Ketika perang Teluk berkecamuk di Irak, militer Amerika menggunakan istilah “Shock and Awe” saat bombardir Baghdad. Cahaya yang ditimbulkan oleh hempasan bom-bom memecah malam. Mereka tidak sengaja menunjukkan ketakjuban dan sekaligus keprihatinan yang mendalam: shock bagi mereka
kedahsyatan pemunah masal itu, dan kagum bagi mereka yang menonton dengan nyaman duduk di sofa empuk depan televisi yang jauh dari hancurnya malam. Dari sisi fotografi, seperti yang ditulis Freeman, sangat sederhana: ada adegan, langit, pencahayaan biasanya disebut sebagai “dramatis,” tetapi jauh lebih menarik dari itu.
Fotografi adalah kegiatan yang mampu menggambarkan dengan baik keindahan yang menakjubkan pada suatu saat. Seperti badai yang berubah dengan cepat maka perlu kecepatan yang tepat untuk bisa menangkapnya. Pada waktu bersamaan, fotografi juga tidak dilengkapi dengan baik karena sifatnya yang cenderung mengurangi semua hal dan pengalaman dengan format dan presentasi yang serupa. Untuk sebuah obyek foto bisa jadi fotografer mempunyai selera yang serupa, baik sudut pengambilan, cahaya atau kejamanannya. Semua bisa melakukannya. Karena itu fotografi menuntut kreatifitas, menunutut ketajaman rasa dalam menghadapi tantangan-tantangan situasi itu (h. 40).
Fotografi itu sifatnya langsung to the point, kata Freeman, seorang fotografer internasional dan penulis yang spesialisasinya pada perjalanan, arsitektur dan seni Asia. Ada sesuatu di depan kamera; jepret dan Anda memiliki gambar itu, dengan atau tanpa cukup banyak mikir. Jika Anda melakukan ini cukup sering bisa jadi akan menghasilkan permata. Tetapi berpikir lebih dulu saat akan melakukan jepretan tentu saja dijamin akan lebih baik. Apalagi disertai dengan perencanaan yang matang, maka foto-foto yang diambil oleh fotografer handal adalah foto-foto berkelas. Karena tidak mengherankan jika fotografer profesional menghabiskan cukup banyak waktu untuk menyiapkan dan merencanakan detil setiap akan melakukan perjalanan untuk pengambilan gambar.
Banyak instruksi fotografi berfokus pada bagaimana foto yang jernih dan jelas, dengan mengidentifikasi subjek, memilih lensa, sudut pandang, dan framing yang paling efisien dan mengomunikasikannya pada menikmat foto.
Itulah yang biasanya dilakukan oleh fotografi berita, misalnya, kebutuhan-kebutuhan—kejelasan dan efisiensi — tetapi apa yang cocok untuk foto dalam satu konteks mungkin tidak tepat jika disajikan untuk tujuan dan konteks yang berbeda, seperti di dinding galeri.
Jika Anda ingin orang memperhatikan fotografi Anda dan menikmatinya, Anda harus bisa memberi alasan yang meyakinkan untuk melihatnya lebih lama dari sekedar sekilas.
Buku The Photographer’s Mind ini dibuka dengan Pendahuluan dengan judul yang provokatif: DEMOCRATIC PHOTOGRAPHY. Dengan mengutip fotografer fenomenal, Susan Sontag dengan bukunya On Photography, Freeman menulis: “…being educated by photographs…anthology of images…To collect photographs is to collect the world.” Ketika Susan mendiskusikan tentang fotografi oleh orang awam, lanjutnya, it is as a social phenomenon: “…photography is not practiced by most people as an art. It is mainly a social rite…” Ritual sosial itulah yang kini menjangkiti milyaran penduduk bumi untuk senantiasa terbius melakukan fotografi. Dengan segala jenis ponsel pintar siapapun bisa mengambil foto. Setiap orang bisa menjadi fotografer. Fotografi kini menjadi ritual sosial baru yang merambah orang segala usia, segala profesi, segala bangsa.
Freeman yang telah menerbitkan lebih dari 20 buku fotografi menuliskan buku Photographer’s Mind seperti menulis sebuah buku filsafat fotografi. Setiap bagian tehnis yang dirangkum dalam tiga bab ini, tidak hanya mengupas soal tehnis belaka. Tetapi lebih dari itu memberi values, memberi filosofi dari tiap tehnik yang diuraikan. Sebagai tips ringkasannya dia memberi enam daftar yang bisa menjadi panduan fotografi yang baik—meskipun tidak semua fotografi bagus memenuhi semua hal berikut, tetapi kebanyakan:
- Pahami apa yang umumnya bisa memuaskan. Bahkan jika sebuah gambar mengabaikan dasar-dasar teknis dan estetika, itu tetap perlu diletakkan dalam konteks yang tepat
- Merangsang dan memprovokasi. Jika sebuah foto tidak membangkitkan atau menarik minat, maka itu hanya tinggal foto tanpa sesuatu yang lain
- Apakah multi-layered. Sebuah gambar yang berfungsi lebih dari satu level, seperti muka grafis dengan makna yang lebih dalam, akan lebih baik. Penikmat biasanya menyukainya
- Cocok dengan konteks budaya. Fotografi itu kini merupakan bagian dari visual diet yang secara alamiah bersifat kontemporer. Kebanyakan orang menyukainya, kini dan di sini
- Berisi ide. Setiap karya seni memiliki beberapa kedalaman pemikiran yang masuk ke dalam karya. Sebuah gambar perlu menangkap imajinasi penikmat sebagaimana juga menarik perhatiannya
- Benar untuk medium. Ini sudah lama dipegang sebagai pandangan dalam kritik seni, bahwa setiap media seharusnya mengeksplorasi dan memanfaatkan apa yang baik, dan tidak meniru bentuk seni lainnya.
Demikian sekelumit tentang buku The Photographer’s Mind ini. Sebagai penikmat fotografi saya menyukai apa yang ditulis dan contoh-contoh foto yang dibidik. Baik untuk pelajaran. Fotografi adalah soal momentum. Fotografi adalah soal rasa dan imajinasi. Maka lakukanlah dengan rasa yang mendalam pada tiap jepretan. Lakukannya dengan penuh imajinasi. Seperti sebuah puisi.