Delete: Ketika Susah Melupa daripada Mengingat
—Dwi R. Muhtaman—
Bogor, 24102018
#BincangBuku #10
“But because of digital technology, society’s ability to forget has become suspended, replaced by perfect memory”
—Viktor Mayer-Schönberger, “Delete: “the virtue of forgetting in the digital age” (2009).
….
Yang tlah kau buat
Sungguhlah indah
Buat diriku susah lupa
(Mantan Terindah, Raisa)
Buku “Delete” ini diterbitkan tahun 2009, hampir sepuluh tahun yang lalu. Ia berawal dari catatan kecil, setengah halaman, Mayer-Schönberger berjudul “the right to be forgotten.” Ditulis tahun 2007. Catatan pendek itu dengan mudah dilupakan meskipun ingat gagasan utamanya. Beberapa waktu kemudian kawannya, seorang jurnalis, bertanya pada Mayer-Schönberger soal komputer dan privasi. Dengan cepat ia mengingat kembali gagasan yang pernah ditulisnya: pentingnya melupa, the importance of forgetting. Isu ini menjadi hit dan masuk ke wilayah publik karena berkaitan dengan gencarnya perusahaan-perusahaan yang berbasis internet melakukan intervensi dan data mining (termasuk profiling) pribadi. Hak-hak privasi dan publik dipertaruhkan. Pada tahun 2010 terbit juga buku serupa yang berjudul Privacy in the Context Technology, Policy, and the Integrity of Social Life ditulis oleh Helen Nissenbaum, seorang dosen dan peneliti dari Department of Media, Culture, and Communication, New York University. Pada tahun 2015 Nissenbaum, karena ketertarikannya pada isu-isu privasi akibat kuatnya gempuran media internet pada kehidupan kita, menerbitkan buku praktis petunjuk untuk memanipulasi data pribadi dari upaya perekaman dan penyimpanan mesin-mesin komputer. Buku itu judulnya “Obfuscation: A User’s Guide for Privacy and Protest.
Tidak diragukan lagi, erosi privasi individu adalah tantangan mendasar yang kita hadapi di zaman kita. Tetapi buku ini tidak terutama tentang privasi. Fokusnya berbeda — pada saat yang sama lebih sempit dan lebih luas. Juga bukan tentang bahaya pemantauan massa, pelacakan ujaran dan aktivitas pribadi, atau munculnya keterbukaan diri. Buku ini tentang peran melupa (forgetting) dan mengingat (remembering) di masyarakat kita, dan bagaimana peran ini berubah. Buku Delete ini tentang potensi itu.
Melupa memainkan peran sentral dalam pengambilan keputusan manusia. Ini memungkinkan kita bertindak dalam waktu yang tepat, sadar, tetapi tidak terbelenggu oleh peristiwa masa lalu. Melalui ingatan yang sempurna, kita mungkin kehilangan kapasitas manusia yang fundamental — untuk hidup dan bertindak teguh di masa kini. Begitu kita memiliki ingatan yang sempurna, kita tidak lagi mampu menggeneralisasi dan abstraksi, dan tetap tersesat dalam masa lalu kita. Apa yang hanya hipotesis yang ditulis dalam novel-novel tentang tiadanya melupa, nyata sekarang (h. 45).
Kita akan mengupas “Delete” dari serangkain buku-buku yang berkaitan itu.
Stacy Snyder ingin menjadi seorang guru. Pada musim semi 2006, ibu tunggal berusia 25 tahun ini telah menyelesaikan kuliahnya dan siap meniti karir masa depannya. Kemudian mimpinya sirna. Dia dipanggil oleh pejabat universitas. Dia diberitahu bahwa dia tidak akan menjadi guru, meskipun dia telah mendapatkan semua kredit, lulus semua ujian, menyelesaikan pelatihan praktiknya — banyak dengan pujian. Sertifikatnya ditolak. Semua itu karena perilaku yang tidak pantas sebagai seorang guru. Perilakunya? Sebuah foto online menunjukkan dia mengenakan kostum dengan topi bajak laut dan minum dari gelas plastik. Stacy Snyder menayangkan foto ini di halaman web MySpace-nya. Lalu diberi judul “bajak laut mabuk,” agar teman-temannya bisa melihat dan mungkin tertawa. Administrasi universitas, dberitahu oleh guru tempat Stacy magang, bahwa foto online itu tidak profesional karena mungkin saja bisa menunjukkan pada murid melalui foto itu bahwa seorang guru minum alkohol. Stacy berniat mengambil foto itu secara offline dan menghapusnya dari web. Tapi terlambat. Citra buruk sudah terjadi. Halaman webnya telah dikatalogkan oleh mesin pencari, dan fotonya diarsipkan oleh “web crawlers.” Internet mengingat apa yang ingin dilupakan Stacy.
Kasus ini, bagaimanapun, bukan tentang validitas (atau kebodohan) dari keputusan universitas untuk menolak sertifikat Stacy. Ini tentang sesuatu yang jauh lebih penting. Ini tentang pentingnya melupa. “It is about the importance of forgetting.”
Kisah Stacy ini membuka petualangan kita dalam buku ini tentang arti mengingat dan melupa dalam konteks kemajuan dunia internet dalam beberapa dekade belakangan ini. Betapa mudahnya kita mengingat banyak hal karena hampir banyak fasilitas yang tersedia bagi kita untuk mengingat banyak hal itu. Sebaliknya, makin susah kita melupakan hal-hal yang ingin kita lupakan. Pertanyaannya haruskah semua orang yang mengungkapkan informasi diri sendiri kehilangan kendali atas informasi itu selamanya. Dan tidak mampu berbuat apapun untuk membatasi internet, kapan Internet melupakan dan menghapus informasi ini? “Do we want a future that is forever unforgiving because it is unforgetting?” kata Mayer-Schönberger, mungkin dengan rasa putus asa.
Profesor John Palfry dan Urs Gasser, yang dikutip dalam buku ini (h. 22), dengan sangat detil mengungkapkan informasi seseorang — apakah ini ada di Facebook, buku harian pribadi, dan komentar (sering dalam bentuk blog), foto, persahabatan, dan hubungan (seperti “tautan” atau “teman”), isi preferensi dan identifikasi (termasuk foto online atau “tag”), lokasi geografis seseorang (melalui “geo-tagging” atau situs seperti Dopplr), atau hanya status singkat (“twitters”) — telah menjadi sangat melekat pada budaya kaum muda di seluruh dunia. Ketika orang-orang muda ini tumbuh dewasa, dan semakin banyak orang dewasa yang mengadopsi sifat yang sama, kasus Stacy Snyder akan menjadi paradigmatik, tidak hanya untuk seluruh generasi, tetapi untuk masyarakat kita secara keseluruhan.”
Kita memang layak gusar dengan ketidakmampun kita, pada akhirnya, mengendalikan informasi yang kita letakkan di dunia maya. Gosip murahan, berbagai pengalaman pribadi, komentar politik, atau apapun, tersimpan sempurna dan mengubah perilaku kita. Karena itu para ahli privasi mengingatkan: “Be careful what you post online.” “Jejak elektronik (jejak digital) yang Anda tinggalkan di Internet akan digunakan untuk melawan Anda. Itu tidak bisa dihapus,” kata Mayer-Schönberger mengingatkan (h. 27). Dan ini sesuatu yang marak di nusantara. Netizen dengan mudah menemukan jejak-jejak digital politisi, pemimpin yang dulu ngomong A, kini tiba-tiba ngomong Z. Semua dengan gamblang bisa dilacak dan dipaparkan. Mereka yang pura-pura jujur, kebohongannya mudah dibuktikan dengan jejak digitalnya. Melupa tak semudah yang dibayangkan dulu.
Cobalah gunakan mesin pencari Internet. Laman web seperti, Google, Yahoo!, Microsoft Search, Ask.com, dan sejumlah indeks lain World Wide Web, bisa diakses milyaran pengguna dengan mudah untuk mencari kata dan apapun. Sistem pencarian kata yang canggih. Bahkan apa yang disimpan jauh melebihi dari apa yang ditayangkan.
Pada 2007, Google mengakui bahwa sampai saat itu telah menyimpan setiap permintaan pencarian yang dilakukan pengguna pada setiap klik. Dengan menyimpan tiap pencarian itu Google telah menghimpun 30 miliar queries setiap bulan — tersusun rapi, Google dapat menautkannya ke demografi. Misalnya, Google dapat menunjukkan tren pencarian, bahkan beberapa tahun kemudian. Lebih penting lagi, dengan menggabungkan data login, cookie, dan alamat IP, Google dapat menghubungkan permintaan pencarian ke individu tertentu sepanjang waktu — dan dengan presisi yang mengesankan. Pendeknya, apapun yang Anda inginkan, termasuk yang ingin Anda lupakan, ada di Google dan masih tersimpan di sana, entah sampai kapan. Bayangkan berapa yang dihimpun Google hingga kini (2018).
George Gilder, “Life After Google.” (2018) mengatakan hingga saat ini Google telah melakukan digitalisasi hampir semua buku yang ada di dunia (2005), merajut semua terjemahan dan bahasa dunia (2010), topografi bumi (Google Maps and Google Earth, 2007), semua permukaan dan bentuk tiap jalan yang ada (StreetView) dan lalulintas (Waze, 2016). Praktis telah mendokumentasikan dan melakukan homogenisasi planet bumi ini dari urusan permukaan, suara, citra gambar, individual accounts, lagu, pidato-pidato, jalan, bangunan, dokumentasi, pesan-pesan email dan lainnya, dan aneka narasi ke dalam utilitas planet digital—dengan tentu saja semuanya mengandung nilai uang yang luar biasa besar. Tidak ada satu pun perusahaan serupa yang mampu tumbuh eksponensial dalam dunia internet selain Google dimana traffic dan content melipat ganda tiap tahun.
Hasilnya memang luar biasa. Google tahu apa yang kita cari dan “kapan, dan hasil pencarian yang ditemukan tiap mengkliknya. Google tahu tentang perubahan besar dalam hidup kita — bahwa Anda berbelanja untuk sebuah rumah pada tahun 2000 setelah pernikahan Anda, lalu mengalami masalah kesehatan pada tahun 2003, dan mendapatkan bayi baru setahun kemudian.
Tetapi sialnya Google juga tahu detail singkat tentang kita. Detail yang sudah lama terlupakan, telah dibuang dari pikiran kita karena tidak relevan, tidak penting, tetapi bisa menggambarkan masa lalu kita: mungkin kita pernah mencari kontrakan atau pekerjaan atau memesan kamar hotel untuk mojok. Setiap informasi yang sudah kita buang dari pikiran, tetapi kemungkinan Google masih menyimpannya dengan baik.
Bahkan Google tahu lebih banyak tentang kita daripada yang bisa kita ingat sendiri. Berita baiknya Google telah mengumumkan bahwa mereka tidak akan lagi menyimpan catatan individual selamanya, tetapi identitas pengguna dihapus setelah periode sembilan bulan. Dengan demikian menghapus sebagian dari memori komprehensifnya (h. 33). Tetapi saya tidak yakin itu dilakukan hingga sekarang.
“Our own information — from the everyday to the deeply personal — is being weaponized against us with military efficiency. These scraps of data, each one harmless enough on its own, are carefully assembled, synthesized, traded and sold. Taken to the extreme this process creates an enduring digital profile and lets companies know you better than you may know yourself. Your profile is a bunch of algorithms that serve up increasingly extreme content, pounding our harmless preferences into harm. We shouldn’t sugarcoat the consequences. This is surveillance.” (CEO Apple, Tim Cook, yang memberikan the keynote speech pada acara tahunan the International Conference of Data Protection and Privacy Commissioners (ICDPPC) in Brussels, seperti dikutip Fastcompany.com, 24 Oktober 2018).
Melupa bukan hanya perilaku individu. Kadang kita juga lupa sebagai masyarakat. Seringkali melupakan kemasyarakatan semacam itu memberi individu yang abai untuk mendapatkan kesempatan kedua. Dalam bisnis, kebangkrutan dilupakan seiring berlalunya waktu. Jika melakukan kesalahan kita dimaafkan dan berjanji tidak melakukan lagi. Masyarakat melupakan. Inilah mekanisme melupa masyarakat, menghapus ingatan eksternal. Masyarakat kita menerima bahwa manusia berevolusi seiring waktu, bahwa kita memiliki kemampuan untuk belajar dari pengalaman masa lalu dan menyesuaikan perilaku kita untuk move on.
Terlepas dari pentingnya melupa bagi manusia, pergeseran monumental yang kita alami di era digital, adalah kegagalan melupa. Pada tahun 1998, JD Lasica menulis sebuah karya yang luar biasa di majalah online Salon, yang berjudul “The Net Never Forgets,” dan menyimpulkan bahwa “masa lalu kita menjadi terukir seperti tato ke dalam kulit digital kita.” Liam Bannon, seperti Jean-François Blanchette dan Deborah Johnson, juga telah mengungkap sisi gelap dari kematian melupakan (the demise of forgetting). Dalam buku ini, Mayer-Schönberger mengeksplorasi mengingat dan melupa dalam sejarah manusia dan memasuki era digital, dengan meneliti apa yang dipertaruhkan, dan dengan mengevaluasi dan menyarankan sejumlah solusi.
Bagaimana pun inilah jaman yang harus kita masuki. Teknologi telah membuat mengingat begitu mudah, dan melupa begitu susah. Mungkin saja bukan teknologi yang memaksa kita untuk mengingat. Tetapi teknologi justru memfasilitasi kematian melupa — hanya jika kita manusia menginginkannya. Faktanya adalah kita menyebabkan kematian melupa, dan terserah kepada kita untuk membalikkan perubahan itu.
“Melupa tidak hanya penting bagi pengalaman manusia, tetapi penting bagi banyak makhluk hidup lainnya, mungkin untuk kehidupan secara umum. “Forgetting is not only central to our human experience, it is important for many other living beings, perhaps for life in general.” (h. 66).
Manusia ingin sekali mengingat banyak hal, meskipun mereka kebanyakan lupa. Untuk meringankan batasan biologis ini, kita telah mengembangkan alat-alat — dari buku hingga video — yang berfungsi sebagai memori eksternal. Alat-alat ini telah terbukti sangat membantu, karena mereka telah membuat mengingat lebih mudah dan dapat diakses oleh lebih banyak orang daripada sebelumnya. Tetapi sampai beberapa dekade yang lewat, alat-alat ini tidak mengganggu keseimbangan antara mengingat dan melupa: untuk mengingat adalah pengecualian; untuk melupa, default.
Di era digital, keseimbangan ini telah diubah secara fundamental. Digitalisasi, yang mendasari teoritis revolusi digital, telah menyebabkan penyimpanan digital murah, kemudahan pengambilan, dan akses global. Hari ini, lupa telah menjadi mahal dan sulit, sementara mengingat itu murah dan mudah. Dengan bantuan alat-alat digital, kita — secara individual dan sebagai masyarakat — telah mulai melupakan melupa, menghapus dari praktik sehari-hari kita sebagai salah satu mekanisme perilaku manusia yang paling mendasar (h. 241).
Mayer-Schönberger dalam menuliskan buku ini memang banyak menuangkan pertanyaan-pertanyaan filosofis yang menyangkut eksistensi kita sebagai manusia. Kemajuan teknologi pengingat telah nyata menantang kita untuk mempertanyakan sifat hakiki manusia: melupa. Selama ribuan tahun, manusia telah hidup di dunia yang terlupakan. Perilaku individu, mekanisme dan proses kemasyarakatan, dan nilai-nilai manusia telah menggabungkan dan mencerminkan fakta itu. Akan sangat naif untuk berpikir bahwa meninggalkan bagian mendasar dari sifat manusia dengan bantuan digitalisasi dan teknologi akan menjadi urusan yang tidak menyakitkan. Dalam banyak hal manusia menyesuaikan diri dengan cepat terhadap kondisi lingkungan yang berbeda, tetapi membutuhkan banyak generasi untuk mengubah atau mengganti sifat dasar perilaku manusia. Dan bahkan jika kita mampu mengatasi dunia baru ini dengan mengingat secara default dan untuk melewati fase penyesuaian yang menyakitkan, akankah kita melihatnya sebagai kemajuan yang penting, atau lebih tepatnya sebagai kutukan yang mengerikan? (h. 251).
Buku ini amat bermanfaat dibaca untuk memberi pemahaman kita tentang implikasi IOT (Internet of Thing) dan segala aspek menyangkut penggunaan IOT dalam detak detik kehidupan kita. Buku ini memberi kita kewaspadaan untuk memanfaatkan IOT dengan wajar dan berhati-hati. Karena melupa jauh lebih rumit daripada mengingat. Kita tidak lagi mudah melupa.
Ada argumen yang mendukung bahwa mengingat secara digital, memberi efisiensi memori, dan lebih transendental dan keabadian informasi yang dijanjikan oleh memori digital. Apa yang hilang dari argumen ini adalah dampak aktual yang menggantikan lupa dengan mengingat pada manusia, dan pada masyarakat secara keseluruhan. Bagaimana kehidupan kita akan terpengaruh? Bagaimana perilaku manusia akan menyesuaikan, dan akankah hasilnya menjadi lebih baik atas situasi kita saat ini, atau lebih banyak kehilangan? Dunia tanpa melupa sulit diprediksi, tetapi berdasarkan penelitian yang tersedia, analisis yang mendalam, dan sedikit dugaan, kita dapat membuat sketsa kontur tantangan yang kita hadapi. Dua istilah penting mencirikan apa yang sebenarnya dipertaruhkan: kekuasaan dan waktu. Perusahaan seperti Google telah menggenggam keduanya.
Mungkin yang paling penting kini adalah mengingat digital yang komprehensif telah meruntuhkan sejarah, merusak penilaian kita dan kemampuan kita untuk bertindak tepat waktu. Jejak-jejak lama akan senantiasa menghantui dan menjadi beban. Matinya melupa telah membawa manusia tak lagi berkesempatan untuk berevolusi, berkembang, dan belajar. Membuat kita tak berdaya atas apa yang telah menguasai ingatan manusia. Meskipun, kita tahu, mantan terindah pun bisa membuat kita susah lupa….