Sustainability 17A #33
Kepemimpinan Sistem dan Kepemimpinan Moral
dalam Masa Bergejolak
Dwi R. Muhtaman,
sustainability learner
“If there is not the war, you don’t get the great general;
if there is not a great occasion, you don’t get the great statesman”
—Theodore Roosevelt, Presiden Amerika Serikat ke 26.
“Selamat datang di dunia teknologi berisiko tinggi,” tulis Charles Perrow pada bukunya: Normal Accidence (1999). Makin hari kita menghadapi makin banyak risiko dari teknologi yang terus berlipat-lipat diproduksi. Saat teknologi berkembang, seiring dengan makin tinggi frekwensi kita berperang, dan saat kita semakin banyak menginvasi alam, kita menciptakan sistem — organisasi, dan organisasi dari organisasi — yang meningkatkan risiko bagi operator, penumpang/pengguna, warga biasa yang tidak bersalah, dan untuk generasi mendatang. Dalam buku ini diulas beberapa sistem ini — pembangkit listrik tenaga nuklir, pabrik kimia, kendali lalu lintas pesawat dan udara, kapal, bendungan, senjata nuklir, misi luar angkasa, dan rekayasa genetika. Perrow tidak membincangkan soal Internet of Things, Artificial Intelligence yang juga sangat berpotensi risiko bagi manusia. Pada masa itu Internet of Things, Artificial Intelligence belum seheboh saat ini. Sebagian besar dari perusahaan berisiko ini memiliki potensi bencana, kemampuan untuk merenggut nyawa ratusan orang dalam satu pukulan, atau mempersingkat atau melumpuhkan nyawa ribuan atau jutaan orang lainnya. Setiap tahun ada lebih banyak sistem seperti itu.
Pada 11 September 2001, setelah pesawat pertama yang dibajak menghantam World Trade Center, stasiun triase darurat didirikan di seluruh New York City. Para dokter dan perawat bergegas ke rumah sakit mereka untuk mendapat giliran kerja ekstra, dan banyak orang datang untuk mendonorkan darah. Ini adalah tindakan kemurahan hati dan solidaritas yang menyentuh hati. Hal yang mengejutkan tentang mereka adalah bahwa darah dan stasiun triase ternyata tidak diperlukan. Hanya sedikit yang selamat dari runtuhnya dua menara tersebut.
Efek ledakan dan kebakaran nuklir di pembangkit listrik Chernobyl pada tahun 1986 adalah kebalikannya. Ledakan awal hanya menewaskan satu pekerja pabrik, Valeriy Khodomchuk, dan dalam beberapa minggu berikutnya kurang dari tiga puluh pekerja dan petugas pemadam kebakaran meninggal karena keracunan radiasi akut. Tapi puluhan ribu menerima dosis radiasi yang sangat tinggi — itu adalah kecelakaan yang menghasilkan, di satu sisi, lebih banyak yang selamat daripada korban (tetapi dampak jangka panjangnya jauh lebih mengerikan)— demikian perbandingan yang terjadi pada 11 September dan Chernobyl sebagaimana catatan Svetlana Alexievich dalam bukunya: Voice from Chernobyl yang terjemahkan oleh Keith Gessen (2005).i
Namun kabar baiknya, kata Perrow, adalah jika kita dapat memahami sifat risiko dengan lebih baik, kita mungkin dapat mengurangi atau bahkan menghilangkan bahaya ini.
Meski kemungkinan mengelola teknologi berisiko tinggi makin lebih baik namun potensi risiko tampak lebih cepat daripada pengurangan risiko. Perrow berpendapat bahwa tidak peduli seberapa efektif perangkat keselamatan konvensional, ada bentuk kecelakaan yang tidak dapat dihindari. Misalnya, kemungkinan kehancuran pembangkit listrik tenaga nuklir dengan penyebaran bahan radioaktif ke atmosfer bukanlah satu kemungkinan dalam satu juta tahun, tetapi lebih seperti satu kemungkinan dalam dekade berikutnya. Dan terbukti pada tahun 2011, dua tahun setelah buku Normal Accidence terbit pada 1999, terjadi accidence di Fukushima Nuclear Power Plant, Fushima, Jepang. Peristiwa ini merupakan bencana nuklir terbesar sejak terjadinya bencana Chernobyl pada 1986.
Sebagian besar sistem berisiko tinggi memiliki beberapa karakteristik khusus, di luar bahaya toksik atau ledakan atau genetiknya, yang membuat kecelakaan di dalamnya tak terelakkan, bahkan “normal”. Ini berkaitan dengan cara kegagalan yang bisa berinteraksi dan sistem itu sendiri. Potensi kegagalan dalam sebuah sistem adalah bagian dari sistem. Jika kita mengetahuinya, maka kita mampu menyatakan bahwa teknologi tertentu harus ditinggalkan, dan yang lainnya, “yang tidak dapat kita tinggalkan karena kita telah melibatkan banyak masyarakat di sekitarnya, harus dimodifikasi. Risiko tidak akan pernah bisa dihilangkan dari sistem berisiko tinggi.
Demikian perkembangan teknologi dan intervensi manusia pada alam akan makin meningkatkan risiko. Tetapi berbagai risiko itu akan dianggap sebagai ‘normal’ yang hanya mampu dikelola jika sistem pengelolaan risiko dikembangkan dan diimplementasikan. Pemahaman atas risiko menjadi penting agar kit amampu memutuskan teknologi mana yang terus dipilih dan dikembangkan untuk digunakan dan mana yang perlu ditinggalkan atau dimodifikasi.
Manusia dalam perjalanan sejarah memang tidak pernah bebas dari risiko. Dan kini potensi risiko itu makin meningkat. The Global Risks Report 2020 misalnya mengulas global risk yang terjadi pada 2020 ii. Risiko global ini meliputi aspek Economic, Geopolitical, Environmental, Societal dan Technological. Diidentifikasi terdapat sepuluh risiko global spesifik yakni: Extreme weather, Climate action failure, Natural disasters, Biodiversity loss, Human-made environmental disasters, Data fraud or theft, Cyberattacks, Water crises, Global governance failure, Asset bubbles (Gambar 1.). Semua itu bisa jadi sumber risikonya adalah pada karya manusia: teknologi.
Gambar 1. Teknologi memberi dampak pada sedikitnya 10 hal di atas
Namun risiko yang paling terjadi dan kita alami dalam beberapa tahun terakhir ini dan mungkin akan terjadi dalam sepuluh tahun mendatang adalah justru dampaknya pada alam. Lima risiko itu mencakup Extreme weather, Climate action failure, Natural disasters, Biodiversity loss dan Human-made environmental disasters. Inilah lima risiko terbesar yang tengah kita alami dan akan menjadi bagian dari kehidupan kita dalam beberapa waktu ke depan. Lihat Gambar 2.
Gambar 2. Lima risiko lingkungan yang harus dihadapi
Ini akan menjadi bencana besar, terutama untuk mengatasi tantangan mendesak seperti krisis iklim, hilangnya keanekaragaman hayati, dan rekor penurunan spesies. Laporan tersebut, yang dihasilkan dalam kemitraan dengan Marsh & McLennan dan Zurich Insurance Group, menunjukkan perlunya pembuat kebijakan menyesuaikan target untuk melindungi Bumi dengan target untuk meningkatkan ekonomi – dan bagi perusahaan untuk menghindari risiko potensi kerugian di masa depan dengan menyesuaikan untuk target berbasis sains .iii Tentu harus dengan perubahan radikal sistem ekonomi yang dianut. Jika tidak ada perubahan radikal pada sistem ekonomi maka kita tidak akan mampu mencapai target-target mengembalikan alam pada kenormalannya–sebuah keadaan yang menjamin kemampuan alam untuk menopang kehidupan yang lebih baik kini dan generasi-generasi mendatang.
Untuk pertama kalinya dalam prospek 10 tahun survei, lima risiko global teratas dalam hal kemungkinan terjadi, semuanya adalah aspek lingkungan. Laporan tersebut memberi peringatan tentang:
- Peristiwa cuaca ekstrem dengan kerusakan besar pada properti, infrastruktur, dan korban jiwa
- Kegagalan mitigasi dan adaptasi perubahan iklim oleh pemerintah dan bisnis.
- Kerusakan dan bencana lingkungan akibat ulah manusia, termasuk kejahatan lingkungan, seperti tumpahan minyak, dan kontaminasi radioaktif.
- Hilangnya keanekaragaman hayati yang besar dan keruntuhan ekosistem (darat atau laut) dengan konsekuensi yang tidak dapat diubah bagi lingkungan, yang mengakibatkan terkurasnya sumber daya bagi umat manusia dan juga industri.
- Bencana alam besar seperti gempa bumi, tsunami, letusan gunung berapi, dan badai geomagnetik.
Juga diperkirakan justru risiko lingkungan itulah yang akan mempengarungi situasi global baik ekonomi, politik maupun relasi antarnegara. Lima risiko ini: Biodiversity loss, Climate action failure, Water crises, Human-made environmental disasters, Extreme weather akan sangat mempengaruhi peta kehidupan global. Lihat Gambar 3 dan 4.
Gambar 3. Alam akan menentukan nasib manusia di bumi
Gambar 4. Kemungkin besar terjadi pada lima risiko sebagai pembentuk global
Risiko-risko ini kontribusinya pada pembentukan situasi global sangat meyakinkan semuanya di atas 75%. Pengaruh Extreme weather 88.8%, Destruction of Ecosystem 87.9%, Health Impacted by pollution 87.0%, Water crises 86.0% dan Uncontrolled fires 79.8%. Lihat Gambar 5.
Gambar 5. Kontribusi risiko-risiko yang akan menentukan situasi global
Ditambahkan pada Laporan itu bahwa kecuali para pemangku kepentingan beradaptasi dengan “peralihan kekuasaan yang penting saat ini” dan turbulensi geopolitik–sambil tetap mempersiapkan masa depan–waktu akan habis untuk mengatasi beberapa tantangan ekonomi, lingkungan, dan teknologi yang paling mendesak. Ini menandakan di mana tindakan oleh bisnis dan pembuat kebijakan paling dibutuhkan. Dan yang menarik risiko ekonomi bukan lagi menjadi bagian penting meski selama Covid-19 ini ekonomi dunia mengalami resesi, tetapi perhatian paling utama telah bergeser pada keprihatinan utama risiko lingkungan (Lihat Gambar 6).
“Lanskap politik terpolarisasi, permukaan laut naik dan kebakaran iklim terus terjadi. Ini adalah tahun ketika para pemimpin dunia harus bekerja dengan semua sektor masyarakat untuk memperbaiki dan menghidupkan kembali sistem kerjasama kita, tidak hanya untuk keuntungan jangka pendek tetapi untuk mengatasi risiko yang mengakar,” kata Borge Brende, Presiden Forum Ekonomi Dunia.
Gambar 6. Risiko ekonomi tidak lagi menjadi yang utama. Tetapi risiko lingkungan menjadi risiko paling besar.
Pandemic Covid-19 adalah bagian risiko kini yang tengah kita hadapi. Siklon Seroja yang melanda Nusa Tenggara Timur yang memorakporandakan insfrastruktur kehidupan masyarakat di sana April 2021 memberi sinyal kuat risiko perubahan iklim ekstrim.
Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) memperingatkan dampak kemunculan siklon tropis Seroja di sejumlah wilayah Indonesia. Menurut BMKG siklon tropis adalah badai dengan skala kekuatan yang besar. Radius rata-rata siklon tropis mencapai 150 hingga 200 km. Siklon tropis terbentuk di atas lautan luas yang umumnya mempunyai suhu permukaan air laut hangat, lebih dari 26,5 derajat celcius. iv
Angin kencang yang berputar di dekat pusatnya mempunyai kecepatan angin lebih dari 63 km/jam. Siklon tropis juga didefinisikan sebagai sistem tekanan rendah non-frontal yang berskala sinoptik yang tumbuh di atas perairan hangat dengan wilayah perawanan konvektif.
Kecepatan angin maksimum yang disebabkan siklon tropis setidaknya mencapai 34 knot pada lebih dari setengah wilayah yang melingkari pusatnya, serta bertahan setidaknya enam jam. Pusat siklon tropis biasanya membentuk suatu wilayah dengan kecepatan angin relatif rendah dan tanpa awan yang disebut dengan mata siklon.
Kepemimpinan Baru: System Leadership
Dalam situasi krisis yang melanda dunia, bukan saja tingkat global, tetapi hingga menyentuh krisis pada aras lokal dibutuhkan tiga jenis kepemimpinan. Tiga jenis kepemimpinan ini bisa ada pada satu orang atau melekat pada beberapa orang yang bersinergi dalam sebuah kepemimpinan kolektif. Tiga jenis kepemimpinan itu adalah Kepemimpinan Moral, Kepemimpinan Sistem dan Kepemimpinan Transformatif.
- Lee Howell, Managing Director, World Economic Forum dalam artikelnya yang berjudul “Why the world needs systems leadership, not selfish leadership,” vmemaparkan betapa gentingnya kita mempunyai pemimpin yang mampu berpikir sistem ini. Sosial media telah menghipnotis orang begitu bahagia menjadi narsis. Memamerkan segala menjadi dan ekspresi yang dimilikinya bisa menghilangkan stress dan depresi. Padahal sisi buruknya sikap narsis ini, menurut penelitian Queen’s University Belfast,vi melahirkan perilaku yang lebay, tidak tahu malu, dan racun secara sosial (socially toxic behaviour). Mungkin Howell berpikir apakah kecenderungan masyarakat yang narsis itu bisa melahirkan pemimpin yang mampu menggabungkan ambisi besar dengan ketulusan dan keinginan yang kuat untuk kolaborasi yang bermakna? Dan di mana kita menemukannya?
Menurut Howell dunia memerlukan seorang pemimpin yang memiliki keberanian untuk mengubah sistem global. Penelitian Lisa Drier, David Nabarro dan Jane Nelson telah mengidentifikasi sosok seperti itu sebagai pemimpin sistem (System Leadership): “Pemimpin sistem menerapkan kombinasi yang tidak biasa dari keterampilan dan atribut untuk memobilisasi tindakan skala besar untuk perubahan sistem. Seperti banyak pemimpin, mereka cenderung cerdas, visioner ambisius dengan keterampilan yang kuat dalam manajemen dan eksekusi. Tidak seperti pemimpin tradisional, mereka seringkali rendah hati, pendengar yang baik, dan fasilitator terampil yang berhasil melibatkan pemangku kepentingan dengan prioritas dan perspektif yang sangat berbeda. Pemimpin sistem melihat peran mereka sebagai katalisator, memungkinkan, dan mendukung tindakan yang meluas – daripada menempati sorotan itu sendiri.”vii
Gambar 7. Elemen-elemen kunci System Leadership
Sistem yang kompleks menarik perhatian mereka sebagian karena kita hidup di dunia yang sangat terhubung. Tetapi terutama, justru karena generasi mendatang akan bergantung pada inter-operabilitas beberapa sistem global dalam kehidupan sehari-hari mereka. Gagasan bahwa “konektivitas menciptakan sistem yang terintegrasi tetapi juga kompleks” adalah yang juga “mendorong narasi populer tentang dampak masa depan dari internet of things, mahadata, dan kecerdasan buatan (big data dan artificial intelligence).“
Lalu bagaimana kita bisa mengarahkan perhatian kolektif dari para pemimpin tersebut pada sistem utama, seperti digital, perdagangan dan manufaktur, yang menghubungkan kita secara global? Dalam mempelajari pertanyaan ini, Sebastian Buckup, yang dikutip Howell, telah mengidentifikasi paradoks mendasar: “Masyarakat membutuhkan organisasi besar untuk memecahkan masalah kolektif yang kompleks, tetapi juga takut pada otoritas dan pengambilan keputusan yang terpusat.” Merefleksikan peran bisnis masa depan, dia berpendapat bahwa:
“Akibatnya, perusahaan besar lebih dari sekadar pemangku kepentingan; mereka sering mengatur platform tempat semua pemangku kepentingan beririsan.
Untuk menghindari reaksi publik lainnya, mereka harus membuat platform ini tidak hanya melayani kita sebagai konsumen, tetapi juga sebagai pengusaha, pekerja, dan warga negara. Pada saat tantangan global yang belum pernah terjadi sebelumnya – termasuk perubahan iklim dan tingkat ketidaksetaraan yang tinggi – ini harus mencakup penggunaan kekuatan kepemimpinan platform (platform leadership) yang belum pernah terjadi sebelumnya untuk mengkatalisasi solusi skala global.”
Menurut Howell pemimpin sistem bekerja lebih efektif jika cocok dengan platform yang tepat – sesuatu yang mirip dengan aplikasi perangkat lunak populer yang beroperasi jauh lebih baik pada satu platform seluler dibandingkan yang lain. Bayangkan yang berikut ini: pemimpin sistem dari akademisi, bisnis, pemerintah, dan masyarakat sipil yang berkomitmen untuk meningkatkan masa depan keanekaragaman hayati, tata kelola teknologi, kota, kesehatan mental, dan masalah global utama lainnya. Dan kemudian bayangkan sebuah organisasi internasional yang menawarkan dirinya sebagai platform untuk mengkatalisasi dan meningkatkan upaya mereka pada transformasi sistem.
Kepentingan diri sendiri makin tidak relevan dan tidak membantu penataan dunia yang makin kompleks dan high risks. Sebaliknya, dibutuhkan kepemimpinan tanpa pamrih yang dapat menciptakan perubahan sistemik yang menyebarkan kebahagiaan – alih-alih menyimpannya.
Menurut Lisa Drier, David Nabarro dan Jane Nelson, mentransformasi sistem yang kompleks – seperti energi, kesehatan, atau sistem pangan – adalah tugas monumental yang membutuhkan tindakan terkoordinasi oleh orang-orang dengan sudut pandang yang sangat berbeda. Bukan saja penting dan relevan pada tingkat global. Pada tingkat lokal pun tantangan yang dihadapi juga sistem yang kompleks. Inisiatif perubahan sistem sering melibatkan ratusan organisasi – pemerintah, perusahaan, organisasi masyarakat sipil, asosiasi pekerja, lembaga penelitian, dan lainnya – menggabungkan kapasitas mereka untuk mencapai tujuan bersama. Inisiatif skala besar ini sering kali didorong dan didukung oleh orang-orang yang sesuai dengan profil tertentu – mereka yang mampu mengkatalisasi dan memberdayakan tindakan kolektif, bukan mengontrol atau mengarahkan tindakan itu sendiri. Orang-orang ini semakin banyak digambarkan sebagai pemimpin sistem.
“Systems leadership is a set of skills and capacities that any individual or organization can use to catalyze, enable and support the process of systems-level change. It combines collaborative leadership, coalition-building and systems insight to mobilize innovation and action across a large, decentralized network.”
Para peneliti system leadership ini memberi dua contoh menarik bagaimana system leadership dalam prakteknya. Perjanjian Paris 2015, yang ditandatangani oleh 195 negara dengan dukungan dari ribuan organisasi, dipelopori oleh Christiana Figueres, seorang diplomat global yang menekankan kepraktisan, fleksibilitas, dan kolaborasi untuk membawa pemangku kepentingan, mengamankan perjanjian bersejarah. Di tingkat yang lebih lokal di Richmond, California, seorang pengorganisir komunitas bernama Najari Smith mendirikan usaha baru bernama Rich City Rides, menggembleng dan menghimpun anggota komunitas, bisnis lokal dan pemerintah kota untuk mengatasi tantangan ketenagakerjaan, kesehatan dan kelestarian lingkungan yang saling terkait di kalangan berpenghasilan rendah. komunitas kulit berwarna di kota.viii
Kedua pemimpin ini beroperasi di lingkungan yang sangat berbeda, tetapi mereka menggunakan beberapa taktik yang serupa: menggabungkan pemahaman yang mendalam tentang masalah sistemik yang ingin mereka tangani; kemampuan untuk melibatkan dan menyelaraskan berbagai pemangku kepentingan di sekitar tujuan bersama; dan penekanan pada pemberdayaan aksi dan kolaborasi melalui jaringan organisasi yang luas.
Pemimpin sistem menerapkan kombinasi yang tidak biasa dari keterampilan dan atribut untuk memobilisasi tindakan skala besar untuk perubahan sistem. Seperti banyak pemimpin, mereka cenderung cerdas, visioner ambisius dengan keterampilan yang kuat dalam manajemen dan pelaksanaan. Tidak seperti pemimpin tradisional, mereka seringkali rendah hati, pendengar yang baik, dan fasilitator terampil yang berhasil melibatkan pemangku kepentingan dengan prioritas dan perspektif yang sangat berbeda. Pemimpin sistem melihat peran mereka sebagai katalisator, memungkinkan dan mendukung tindakan luas.
Terdapat lima elemen kunci dari proses perubahan sistem yang disebut kerangka ‘CLEAR’ untuk memimpin perubahan sistem. Kelima elemen ini tidak harus berurutan – bisa tumpang tindih atau berulang dalam siklus selama sebuah inisiatif berlangsung.
- Himpundan berkomitmen/Convene and commit
Pemangku kepentingan utama terlibat dalam dialog yang dimoderasi untuk menangani masalah kompleks yang menjadi perhatian bersama. Mereka menentukan minat dan tujuan bersama, dan berkomitmen untuk bekerja sama dengan cara baru untuk menciptakan perubahan sistemik. Misalnya, We Mean Business Coalitionix hingga saat ini melibatkan 1,693 perusahaan terkemuka untuk mengadvokasi kebijakan iklim berbasis sains yang ambisius, dan telah membuat 2,131 komitmen tindakan dengan nilai pasar bisnis mencapai $24.8 trilyun.
- Lihat dan pelajari/Look and learn
Melalui pemetaan sistem, pemangku kepentingan bersama-sama membangun pemahaman bersama tentang komponen, aktor, dinamika, dan pengaruh yang menciptakan sistem dan hasil saat ini, menghasilkan wawasan dan ide baru. Misalnya, The Global Alliance for Improved Nutrition yang menargetkan celah khusus dalam sistem nutrisi, bekerja untuk mengkatalisasi dan mengukur solusi berbasis pasar, dan menargetkan populasi rentan yang paling membutuhkan.x
- Libatkan dan berenergi/Engage and energize
Keterlibatan pemangku kepentingan yang kuat dibangun melalui komunikasi berkelanjutan untuk membangun kepercayaan, komitmen, inovasi, dan kolaborasi. Inspirasi, insentif, dan pencapaian membantu mendorong kemajuan dan mempertahankan momentum. Misalnya, inisiatif the New Vision for Agriculture melibatkan lebih dari 650 organisasi dan 1.500 pemimpin individu di seluruh dunia, mengkatalisasi tindakan di 21 negara termasuk lebih dari 90 proyek rantai nilai.xi
- Bertindak dengan akuntabilitas/Act with accountability
Tujuan dan prinsip bersama menentukan arah inisiatif, sementara kerangka kerja pengukuran membantu melacak kemajuan. Struktur koordinasi dan tata kelola dapat dikembangkan sebagai inisiatif yang matang. Misalnya, gerakan Every Woman Every Childxii memobilisasi ratusan komitmen aksi menuju strategi globalnya, memantau kemajuan melalui kerangka kerja akuntabilitas terpadu, dengan pengawasan dari kelompok pengarah tingkat tinggi dan koordinasi oleh sekretariat global.
- Review dan revisi/Review and revise
Pemangku kepentingan meninjau kemajuan secara teratur dan menyesuaikan strategi mereka. Mengadopsi pendekatan yang gesit, fleksibel, inovatif dan berpusat pada pembelajaran memungkinkan terjadinya evolusi dan eksperimen. Misalnya, the 2030 Water Resources Groupxiii mengembangkan struktur organisasinya melalui beberapa tahapan, menugaskan evaluasi eksternal untuk meninjau kemajuannya dan merekomendasikan peluang untuk meningkatkan dampaknya.
Meskipun Kerangka CLEAR tampak cukup terstruktur, realitas proses perubahan sistem seringkali berantakan dan ambigu. “Many stakeholders describe the experience of systems leadership as a journey of discovery that evolves over time, leading to moments of discovery or insight – what we describe as ‘Aha! moments’ – that crystallize each step of the journey,” tulis para peneliti ini. Pengalaman kepemimpinan sistem sebagai perjalanan penemuan yang berkembang dari waktu ke waktu, mengarah ke momen penemuan atau wawasan–yang digambarkan sebagai ‘Aha! momen ‘- yang mewujudkan setiap langkah perjalanan.
Moral Leadership Pemimpin Bisnis
Tetapi apakah dengan dunia yang kompleks dan high risk ini cukup pada kepemimpinan sistem? Ketika dunia bisnis seolah-olah menjadi leader maka komitmen terbaik dari dunia bisnis ini adalah sebuah keniscayaan. Sorotan tajam selalu diarahkan pada dunia bisnis karena pengaruh mereka yang begitu kuat. Bukan saja pada warna warni lingkungan/sumberdaya alam tetapi juga mempengaruhi masyarakat dan pemerintahan.
Pada awal 2021 The NOW Institute for Society mengeluarkan laporan yang berjudul The State of Moral Leadership in Business 2020.xiv Laporan ini khusus menyoroti sektor bisnis melalui survei mereka terhadap 2.305 individu yang mewakili semua tingkatan tanggung jawab dalam perusahaan dan semua sektor ekonomi AS. Menurut Laporan ini keniscayaan kepemimpinan moral kini makin nyata dari sebelumnya. Data yang dihimpun menunjukkan tentang bagaimana kepemimpinan moral terwujud dalam dunia bisnis saat ini — adanya perilaku moral di antara para manajer dan eksekutif, permintaan yang diungkapkan karyawan untuk pemimpin dengan otoritas moral, dan berbagai manfaat yang berasal dari kepemimpinan moral. Laporan tersebut juga menawarkan nasihat berharga bagi mereka yang bercita-cita menjadi pemimpin moral.
Dov Seidman, Founder and Chairman of The HOW Institute for Society menulis “Kepemimpinan pada banyak tingkat yang berbeda dan di begitu banyak bidang yang berbeda tidak pernah menjadi sangat penting pada saat yang sama–guru, kepala sekolah, presiden, pengawas sekolah, direktur rumah sakit, CEO, walikota, gubernur, media dan orang tua. Itu terjadi sejak dimulainya krisis kesehatan global, menjadi krisis kemanusiaan, dan kemudian dengan cepat menjadi krisis ekonomi dan pengangguran. Dan juga krisis moral yang memaksa para pemimpin untuk menangani masalah yang menjengkelkan dan pertukaran yang menyakitkan termasuk menyelamatkan nyawa dan mata pencaharian, menghadapi ketidaksetaraan baik yang bersejarah maupun yang telah terungkap pada saat ini, dan melibatkan kita masing-masing, sekali dan untuk selamanya, di sebuah perjalanan keadilan tentang rasial. Studi ini memberikan bukti kuat bahwa, dalam lingkungan bisnis saat ini, kepemimpinan moral sangat dibutuhkan, meskipun pasokannya masih terbatas.”
Apa yang dimaksud moral leadership? Laporan ini menguraikan bahwa pandangan sempit tentang kepemimpinan moral menekankan pada etika dan kepatuhan (ethics and compliance). Dari perspektif ini, moral kepemimpinan pada dasarnya adalah tentang kebaikan tingkahlaku. Tetapi dalam laporan ini diadopsi definisi tentang gagasan kepemimpinan moral yang lebih ekspansif dan ambisius, salah satunya menekankan pentingnya persekutuan masyarakat (fellowship), inspirasi, dan perhatian yang dalam pada tujuan (purpose). Pemimpin moral tidak semata berperilaku baik; mereka mengkatalisasi tindakan dengan menambatkan pekerjaan sehari-hari mereka — dan pekerjaan orang-orang di sekitar mereka — ke dalam visi berprinsip tentang apa yang baik untuk dunia. Visi ini menginspirasi semua yang dilakukan pemimpin moral, termasuk selama masa-masa sulit.
Kepemimpinan moral ini dirumuskan pada empat pilar: Menjadikan Tujuan sebagai Pemandu; Menginspirasi dan Menghargai Lainnya; Dikawal oleh Nilai dan Kebajikan; dan Membangun Kekuatan Moral (Let Purpose Lead; Inspire and Elevate Others; Be Animated by Values and
Virtues; and Build Moral Muscle).
Bagaimana keempat atribut fundamental kepemimpinan moral tersebut terwujud dalam rutinitas sehari-hari di dunia korporat? Untuk mengembangkan pemahaman yang lebih jelas tentang seperti apa otoritas moral beraksi, maka tim peneliti yang menyusun laporan ini meminta responden survei untuk mengevaluasi para manajer sesuai dengan 24 moral perilaku kepemimpinan. Kemudian perilaku tersebut dipilah menjadi tujuh kunci moral praktik kepemimpinan. Responden diminta untuk mengevaluasi pemimpin organisasi mereka sesuai dengan daftar perilaku serupa.
Gambar 8. Empat Pilar Moral Leadership. Stocknya terbatas.
Moral leadership terdiri dari tujuh prinsip penting dalam prakteknya:
Mulailah dengan jeda/Start with a pause
Saat kita menekan tombol jeda di mesin, akan berhenti. Namun saat manusia jeda, kita mulai. Moral pemimpin merenungkan situasi saat ini, menghubungkan kembali dengan komitmen moral mereka, pikirkan kembali pendekatan saat ini, dan membayangkan kembali apa yang mungkin.
Lihat kemanusiaan dalam diri setiap orang/See the humanity in everyone
Pemimpin moral melihat orang lain bukan sebagai sarana tetapi tujuan akhir. Mereka membangun hubungan yang unik dan dalam. Mereka meluangkan waktu untuk menemukan harapan dan aspirasi, perjuangan dan mimpi orang lain. Dan karena mereka melihat kemanusiaan dalam diri orang lain, mereka lebih inklusif, dan mereka mendengarkan serta belajar dari orang-orang yang mereka pimpin.
Kembangkan kebebasan/Foster freedom
Pemimpin moral menumbuhkan budaya saling ketergantungan dan tanggungjawab, di mana orang-orang memberikan kepercayaan, dipandu oleh nilai-nilai bersama (shared values), dan didukung dengan informasi yang memadai untuk mengambil risiko yang diperlukan untuk mencapai aspirasi dan meningkatkan dampak kolektif.
Bertindak dengan keberanian/Act with courage
Pemimpin moral tidak mengorbankan prinsip mereka untuk keuntungan jangka pendek. Mereka mengambil risiko untuk menyatakan kebenaran dan membela apa yang mereka anggap benar, karena mereka tahu bahwa risiko ketidakpedulian adalah jauh lebih besar dari semuanya.
Cari kebenaran/Seek the truth
Melakukan apa yang benar membutuhkan ketulusan, ketelitian, dan upaya bersama untuk menemukan kebenaran dalam setiap situasi. Ketika pemimpin moral memiliki rasa ingin tahu dan kesabaran untuk bergumul dengan nuansa dan mempertimbangkan banyak perspektif, mereka menempa kepercayaan dan menunjukkan komitmen terhadap nilai-nilai yang mereka dukung.
Menjunjung tinggi standar etika/Uphold ethical standards
Pemimpin moral merayakan dan menjadi teladan tertinggi standar integritas dan perilaku etis,
terutama bila sulit atau tidak populer. Standar etis dan situasi yang mengujinya bukanlah kendala melainkan kesempatan untuk mengungkapkan orang lain dan diri kita sendiri apa yang paling kita hargai.
Tunjukkan kerendahan hati/Demonstrate humility
Pemimpin moral percaya diri saat percaya diri dijamin, tetapi mereka juga mengakui batasan pengetahuan mereka dan membuat perbaikan yang berarti jika ada kesalahan. Mereka membuat diri mereka lebih kecil dari sebuah momen, menciptakan ruang bagi orang lain untuk bergabung dengan mereka dan bangkit untuk melakukan hal-hal besar — bersama-sama.
Survey ini menegaskan 86% dari responden setuju moral leadership merupakan kebutuhan nyata dalam bisnis bahkan kini kehadirannya lebih mendesak. Tetapi sayangnya ketersediaan moral leadership sangat terbatas. Hanya 7% moral kepemimpinan ada di antara para manajer. Sementara pada tingkat CEO kehadiran moral kepemimpinan hanya 8%.
Saat ini makin banyak pemimpin pada posisi puncak yang mengambil sikap moral yang kuat
atas masalah sosial dan politik, termasuk soal imigrasi (khususnya di Amerika Serikat dan Eropa), perubahan iklim, ketidakadilan dan ketidaksetaraan pendapatan. Perkembangan ini menandakan adanya batas yang makin kabur antara ruang publik dan bisnis pada dunia yang saling berhubungan dan saling bergantung. Tren ini juga mencerminkan pengakuan bahwa pelanggan, karyawan, dan pemangku kepentingan lainnya mengharapkan perusahaan untuk berdiri dan bersikap tegas atas isu-isu publik di luar nilai pemegang saham.
Korporasi semakin dipandang sebagai lembaga publik yang punya koneksi kuat ke masyarakat yang lebih luas.
CEO atau manager yang punya sikap demikian itu biasanya disebut sebagai CEO Activism. Laporan ini berpendapat, aktivisme sendiri, bagaimanapun, tidak sertamerta menjadikan CEO sebagai pemimpin moral. Ketika mengambil sikap pada isu-isu sosial atau politik mungkin membutuhkan kepemimpinan moral, namun itu mungkin juga mencerminkan motif dan kepentingan diri sendiri. Memang keyakinan di balik aktivisme seseorang adalah kunci penting dalam kepemimpinan moral, bukan tindakan itu sendiri. Meskipun 43% responden mengatakan mereka telah melihat CEO mereka mengambil sikap publik atas masalah penting, namun jauh lebih sedikit yang menggambarkan sikap CEO secara konsisten yang menunjukkan perilaku kunci kepemimpinan moral.
Kepemimpinan moral dalam studi di atas memang dalam cakup komunitas bisnis. Tetapi dalam prakteknya kepemimpinan moral juga sangat relevan dan dibutuhkan oleh semua lapisan profesi dan masyarakat. Keberadaan dan kehadirannya sangat penting dalam masyarakat. karena itu kepemimpinan moral adalah teladan yang perlu diproduksi oleh siapapun untuk mendorong kebaikan dan perubahan kolektif.
Kepemimpinan dalam Masa Bergejolak
Kepemimpinan sejati sering bisa dilihat pada saat krisis. Kepemimpinan seseorang akan diuji bukan karena kemampuannya untuk memimpin dalam situasi normal. Bahtera akan mampu menuju pelabuhan dengan baik pada ombak dan gelombang yang wajar. Tetapi ujian terbesar dari kepemimpinan adalah ketika dihadapkan pada situasi kritis. Pada masa yang penuh gejolak itulah akan nampak pemimpin yang sejati. Mampukah seorang nakhoda melanjutkan perjalanan bahteranya kepada persinggahan yang dituju dalam samudra penuh badai?
Termasuk kepemimpinan moral.
Bahkan pada situasi bergejolak, situasi krisis itu, seperti ditulis oleh filosof Amerika, William James, identitas seseorang yang sebenarnya terbit, “… the best way to define a man’s character would be to seek out the particular mental or moral attitude in which, when it came upon him, he felt himself most deeply and intensely alive and active. At such moments, there is a voice inside which speaks and says, ‘This is the real me!’”
“… cara terbaik untuk mendefinisikan karakter seorang adalah dengan mencari sikap mental atau moral tertentu di mana, ketika hal itu terjadi padanya, dia merasakan dirinya yang paling dalam dan sangat hidup dan aktif. Pada saat-saat seperti itu, ada suara di dalam yang berbicara dan berkata, ‘Inilah aku yang sebenarnya!’”
Analogi itulah yang ditegaskan oleh filosof Amerika lainnya, Ralph Waldo Emerson, ketika berpidato mengutarakan pujiannya pada kepemimpinan Abraham Lincoln: ”Jarang sekali keberadaan orang begitu tepat dengan situasi yang dihadapi,” katanya. “Kita akan sulit menemukan pemimpin seperti Lincoln yang mampu membimbing kita melalui masa-masa tergelap dalam Perang Saudara, seorang pemimpin yang berbelas kasih dan tanpa belas kasihan, percaya diri dan rendah hati, sabar dan gigih — mampu menengahi faksi-faksi yang bertentangan, mempertahankan semangat kita, dan menerjemahkan makna perjuangan menjadi kata-kata yang memiliki kekuatan, kejelasan, dan keindahan yang tiada tara.”
Bagi Doris Kearns Goodwin dalam bukunya: Leadership in Turbulent Times (2018) pernyataan serupa juga bisa disematkan pada Theodore Roosevelt, yang semangat tempurnya sangat cocok untuk tugas memobilisasi negara dan jurnalis untuk menghadapi monopoli yang rakus dan merebaknya ketidakadilan pada Era Industrialisasi. Demikian juga kita bisa mengatakan hal yang sama tentang Franklin Roosevelt, yang kepercayaan dan penularan rasa optimismenya mampu mengembalikan harapan dan mendapatkan kepercayaan rakyat Amerika melewati Depresi Hebat dan Perang Dunia II — atau Lyndon Johnson, yang akar dan darah selatannya (untuk menyebut negara bagian selatan Amerika yang didominasi oleh Amerika Afrika yang berasal dari budak-budak) dan pengetahuan legislatifnya yang ideal, cocok untuknya dalam perjuangan besar hak-hak sipil yang mengubah wajah negara Amerika.”
Buku Leadership in Turbulent Times merupakan rekaman kompilasi empat presiden: Abraham Lincoln, Theodore Roosevelt, Franklin Roosevelt, and Lyndon Johnson—yang dengan mendalam diobservasi dan diteliti. Diperas intisari jejak-jejak karakter kepemimpinan mereka pada masa-masa yang kritis dan bergejolak. Pada masa-masa sulit seperti itulah mutu seorang pemimpin akan terlihat terang benderang. Dan kita tahu, empat presiden Amerika itu telah menunjukkan kualitas kepemimpinannya yang mampu mengubah Amerika.
Keberhasilan bangsa-bangsa saat ini tidak akan mungkin dilepaskan dari kemampuan bangsa-bangsa itu melahirkan, menghadirkan dan memilih pemimpin untuk memimpin perjalanan bangsanya pada masa yang lewat. Dan keberhasilan bangsa-bangsa pada masa yang akan datang juga akan ditentukan oleh para pemimpin yang dihadirkan dan dipilih pada saat ini. Sejarah telah memberi pelajaran dan teladan yang penting dan melimpah bagi kita jika kita mau mengambil hikmahnya.
Para cerdikpandai yang telah mempelajari perkembangan para pemimpin telah menempatkan ketahanan (resilience), kemampuan untuk mempertahankan ambisi dalam menghadapi frustrasi, di jantung potensi pertumbuhan kepemimpinan. Kepemimpinan itu akan tumbuh dengan cara bagaimana mereka merespons tantangan besar, membalikkan situasi, bagaimana mereka mengelola dengan berbagai cara untuk menyatukan yang telah terceraiberai, bagaimana titikbalik sebuah pengalaman yang pada awalnya berat, kemudian makin parah, tetapi pada akhirnya secara meyakinkan telah membentuk kepemimpinan mereka untuk menyelesaikan semua masalah itu dengan baik.
“Jika tidak ada perang,” kata Theodore Roosevelt sambil merenung, “Anda tidak mendapatkan jenderal besar; jika tidak ada peristiwa yang hebat, Anda tidak akan mendapatkan negarawan yang hebat; jika Lincoln hidup di masa damai, tidak ada yang akan tahu namanya sekarang. “Bukan dalam ketenangan hidup, atau istirahat dari stasiun pasifik, karakter-karakter besar terbentuk,” tulis Abigail Adams kepada putranya, John Quincy Adams di tengah-tengah Revolusi Amerika, yang menyiratkan bahwa “kebiasaan pikiran yang kuat terbentuk saat menghadapi kesulitan.”
“Great necessities call out great virtues.”
Tidak ada jalan tunggal yang membawa mereka ke puncak kepemimpinan politik. Theodore Roosevelt dan Franklin Roosevelt dilahirkan dengan hak istimewa dan kekayaan yang luar biasa. Abraham Lincoln mengalami kemiskinan tanpa henti. Lyndon Johnson mengalami masa-masa sulit sporadis. Mereka sangat berbeda dalam temperamen, penampilan, dan kemampuan fisik. Tetapi mereka diberkahi dengan berbagai kualitas yang sering dianggap berasal dari kepemimpinan — kecerdasan, energi, empati, bakat verbal dan tulis, dan keterampilan dalam berurusan dengan orang. Mereka disatukan oleh ambisi yang kuat, dorongan yang tak terkendali untuk berhasil. Dengan ketekunan dan kerja keras, mereka semua pada dasarnya menjadikan diri mereka pemimpin dengan meningkatkan dan mengembangkan kualitas yang diberikan kepada mereka.
Keempat orang itu diakui sebagai pemimpin jauh sebelum mereka mencapai kepresidenan. Dan seperti batu permata, keempatnya disinari dengan merebaknya kontak dengan berbagai macam orang. Mereka menemukan panggilan mereka dalam politik.
Menurut Goodwin Abraham Lincoln disebutnya sebagai pemimpin yang transformasional. Sementara Theodore Roosevelt dianggap pemimpin yang mampu mengelola krisis. Kasus yang dihadapinya adalah gerakan mogok nasional buruh tambang berbulan-bulan. Tradisi kinerja presiden 100 hari pertama adalah karya besar Franklin Roosevelt. Franklin dikenal karena kemampuan melakukan Turnaround. Sedangkan Lyndon Johnson adalah pemimpin yang visioner dengan keputusan-keputusannya berkaitan dengan hak-hak sipil.
Tidak diragukan bahwa tiga pemimpin pertama — Abraham Lincoln, Theodore Roosevelt, dan Franklin Roosevelt — menduduki tempat istimewa dalam sejarah kepresidenan Amerika. Terlepas dari adanya keputusan yang salah dan penilaian yang salah, mereka telah mendapatkan apresiasi yang terhormat dalam ingatan kolektif masyarakat Amerika.
Dari paparan dan deskripsi sejarah empat pemimpin itu Goodwin menyimpulkan pelajaran penting dari kepemimpinan mereka, antara lain:
- Akui untuk perubahan jika ada kebijakan yang gagal
- Kumpulkan informasi langsung, ajukan pertanyaan.
- Luangkan waktu dan ruang untuk berpikir.
- Bukalah semua kemungkinan kompromi sebelum memaksakan kekuasaan eksekutif.
- Antisipasi sudut pandang yang saling bertentangan.
- Ambil tanggungjawab penuh untuk keputusan penting.
- Pahami kebutuhan emosional setiap anggota tim.
- Jangan biarkan kebencian masa lalu membusuk; melampaui dendam pribadi. Lincoln tidak pernah memilih timnya berdasarkan suka atau tidak suka. Bahkan orang yg memperlakukan buruk padanya jika dia cocok dalam tim maka akan menjadi bagian tim.
- Tetapkan standar saling menghormati dan bermartabat; Kendalikan kemarahan.
- Lindungi kolega dari dipersalahkan. Lincoln mengikrarkan bahwa dia, bukan kabinetnya, yang harus disalahkan jika terjadi kesalahan. Kesalahan bukan pada anggota tim.
- Pertahankan perspektif dalam menghadapi baik penghargaan maupun pelecehan.
- Temukan cara untuk mengatasi tekanan, menjaga keseimbangan, mengisi energi.
- Tepati dan pegang kata-kata Anda. “My word is out and I can’t take it back,” kata Lincoln pada sebuah janjinya.
- Ketahui kapan harus menahan, kapan harus bergerak maju.
- Gabungkan kepemimpinan transaksional dan transformasional.
- Mudah diakses, mudah didekati.
- Letakkan ambisi untuk kepentingan kolektif di atas kepentingan pribadi.
Dengan wabah COVID-19, kepemimpinan selama masa krisis sangat menonjol di benak orang.
Kita menginginkan bimbingan dan nasihat dari para pemimpin, baik para profesional medis, politisi, atau CEO perusahaan. Dengan menempatkan pemimpin di bawah tekanan luar biasa,
krisis sering menjadi ujian yang sebenarnya kekokohan moral. Apa yang diamati pada survey ini adalah bahwa pemimpin moral muncul sebagai sosok yang memberi tahu tentang kebenaran situasi yang dihadapi, menciptakan urgensi sebagi kepentingan bersama dan menunjukkan kerendahan hati sementara mereka membantu kita menavigasi momentum yang belum pernah terjadi sebelumnya.
Karenanya, survey ini menyertakan beberapa pertanyaan tentang topik kritis yang dihadapi kini. Terungkap yang paling penting adalah bahwa, bahkan saat menghadapi krisis, manajer yang berkinerja terbaik secara moral lebih sering menunjukkan perilaku kondusif untuk hubungan yang kuat dengan rekan kerja. Manajer yang konsisten menerima peringkat teratas untuk moral umum kepemimpinan lebih mungkin untuk menerima peringkat seperti itu untuk perilaku moral selama periode krisis.
Diungkapkan juga bahwa perilaku kepemimpinan moral yang timbul selama masa krisis tampaknya sangat terkait dengan pengakuan mereka sebagai pemimpin efektif selama krisis. Secara khusus, tiga praktik berikut, bila dilakukan selama krisis, terutama prediksi apakah seorang manajer dipandang efektif selama masa-masa sulit: (1) menumbuhkan rasa harapan untuk masa depan, (2) menjelaskan keputusan dalam konteks tujuan organisasi, (3) mendengarkan dan belajar dari perspektif yang menantang asumsi.
Dunia makin kompleks. Disrupsi ada dimana-mana. Tantangan yang dihadapi makin besar. Diperlukan cara baru mengelola dan menghadapinya. Diperlukan pemimpin baru dengan gagasan yang relevan bagi masa depan. Bangsa yang besar seringkali sangat dipengaruhi oleh para pemimpinnya. Merekalah yang membawa obor. Merekalah yang memandu jalan mana yang akan ditempuh dan dengan cara apa melakukannya.
Bagaimanakah dengan kepemimpinan Indonesia kini?
i “Svetlana Alexievich lahir di Ivano-Frankivsk pada tahun 1948 dan telah menghabiskan sebagian besar hidupnya di Uni Soviet dan Belarusia saat ini, dengan periode pengasingan yang lama di Eropa Barat. Dia mulai sebagai jurnalis dan mengembangkan genre non-fiksi sendiri yang menyatukan paduan suara untuk menggambarkan momen sejarah tertentu. Buku pertamanya, The Unwomanly Face of War (1985), menceritakan pengalaman wanita Soviet selama Perang Dunia Kedua, sedangkan jilid keduanya, Last Witnesses (1985), berfokus pada periode yang sama yang dilihat dari mata anak-anak Soviet. Buku berikutnya: Boys in Zinc (1991), sebuah catatan tentang efek perang – khususnya perang Soviet di Afghanistan – pada tentara, keluarga dan masyarakat mereka, dan Chernobyl Prayer (1997), yang menampilkan serangkaian monolog oleh orang-orang yang terkena bencana Chernobyl. Buku terbarunya adalah Second-Hand Time (2013), sebuah kronik kehidupan pasca-Soviet. Dia telah memenangkan banyak penghargaan internasional, termasuk Penghargaan Nobel Sastra 2015 untuk ‘tulisan polifoniknya, monumen penderitaan dan keberanian di zaman kita’.” Itu biografi seperti dituliskan pada bukunya “Chernobyl Prayer: A Chronicle of the Future.” (1997). Penguin Modern Classics.
ii Chernobyl Prayer yang saya kutip ini Svetlana Alexievich mengumpulkan wawancaranya pada tahun 1996 — saat anti-Komunisme masih memiliki mata uang sebagai ide politik di ruang pasca-Soviet. Dan memang benar bahwa Chernobyl, meskipun kecelakaan dalam arti tidak ada yang sengaja memicu, juga merupakan produk yang disengaja dari budaya kronisme, kemalasan, dan ketidakpedulian yang mendalam terhadap masyarakat umum. Literatur tentang masalah ini cukup bulat dalam pendapatnya bahwa sistem Soviet telah menggunakan reaktor yang dirancang dengan buruk dan kemudian mempekerjakannya dengan sekelompok orang yang tidak kompeten. Kemudian berlanjut, seperti yang dibuktikan oleh wawancara dalam buku ini, untuk berbohong tentang bencana dengan cara yang paling kriminal. Dalam sepuluh hari pertama yang penting, ketika inti reaktor terbakar dan melepaskan aliran bahan yang sangat radioaktif ke daerah sekitarnya, pihak berwenang berulang kali mengklaim bahwa situasinya terkendali. “Jika saya tahu dia akan sakit, saya akan menutup semua pintu,” salah satu janda perang Chernobyl memberi tahu Alexievich tentang suaminya, yang pergi ke Chernobyl sebagai likuidator. “Aku akan berdiri di ambang pintu. Aku akan mengunci pintu dengan semua kunci yang kita miliki.” Tapi tidak ada yang tahu. Ini kutipan yang saya ambil dari bagian awal buku itu.
iii http://www3.weforum.org/docs/WEF_Global_Risk_Report_2020.pdf
iv https://www.weforum.org/press/2020/01/burning-planet-climate-fires-and-political-flame-wars-rage
v https://www.bmkg.go.id Siklon tropis Seroja adalah sebuah siklon tropis yang mulai terbentuk di selatan Nusa Tenggara Timur, Indonesia, pada 3 April 2021. Siklon ini menyebabkan banjir dan angin ribut di beberapa wilayah Nusa Tenggara, Indonesia dan Timor Leste. Selain itu, BMKG juga mengeluarkan peringatan dini gelombang setinggi 4-6 meter yang berpeluang terjadi di perairan barat Lampung, Selat Sunda, bagian selatan Banten, Jawa Barat, Jawa Tengah, Pulau Sawu, Kupang, dan Pulau Rote.
vi https://www.weforum.org/agenda/2019/11/why-the-world-needs-systems-leadership-not-selfish-leadership/
vii https://www.bbc.com/news/education-50184281
viii “System leaders apply an unusual combination of skills and attributes to mobilize large-scale action for systems change. Like many leaders, they tend to be smart, ambitious visionaries with strong skills in management and execution. Unlike traditional leaders, they are often humble, good listeners, and skilled facilitators who can successfully engage stakeholders with highly divergent priorities and perspectives. Systems leaders see their role as catalysing, enabling and supporting widespread action – rather than occupying the spotlight themselves.” https://www.weforum.org/agenda/2019/09/systems-leadership-can-change-the-world-but-what-does-it-mean/
ix https://www.richcityrides.org
x https://www.wemeanbusinesscoalition.org
xi https://www.gainhealth.org/homepage
xii https://www.weforum.org/projects/new-vision-for-agriculture
xiii https://www.everywomaneverychild.org
xiv https://www.2030wrg.org hingga saat cumulative impact nya mencakup 900 partners (284 private, 278 public, 338 civil society organizations), 14 countries/states across the globe, 893 million US$ (total value) in financing for water-related programs facilitated, 296 million cubic meters of discharge of untreated wastewater reduced, 523 million cubic meters of freshwater abstraction avoided, 14k cubic meters of cost-effective water storage increased
xv https://thehowinstitute.org/the-state-of-moral-leadership-in-business-2020/