Sustainability 17A #32
Deklarasi CEO dan Sustainable Development:
Serigala Berbulu Angsa.
Dwi R. Muhtaman,
sustainability learner
Pada Agustus 2019 sejumlah 181 CEO perusahaan-perusahaan top dunia dari Amerika Serikat menandatangani deklarasi baru yang penting: Statement on the Purpose of a Corporation. Inti deklarasi ini adalah mereka berkomitmen untuk memimpin perusahaan demi kepentingan semua pemangku kepentingan (stakeholder)- pelanggan, karyawan, pemasok, komunitas, dan pemegang saham (shareholder). Pernyataan bersama itu dilakukan pada acara tahunan Business Roundtable.
Tetapi bagi Emmanuel Faber, CEO dan Chairman Danone, sebuah perusahaan global raksasa yang punya tujuan menyeimbangkan antara purpose with profit, awal Maret 2021 adalah kepedihan. Ia dipecat dari posisi. Danone yang mempunyai tagline: “One Planet. One Health” ini dianggap oleh investornya gagal menjaga profitnya. Terlalu banyak ngurusin purpose. “Faber did not manage to strike the right balance between shareholder value creation and sustainability.”
Sejak 1978, Business Roundtable telah menerbitkan Prinsip-prinsip Tata Kelola Perusahaan secara berkala. Setiap versi dokumen yang dikeluarkan sejak 1997 telah mendukung prinsip-prinsip keutamaan pemegang saham (shareholder primacy) – bahwa korporasi ada terutama untuk melayani pemegang saham. Dengan pengumuman itu, pernyataan baru menggantikan pernyataan sebelumnya dan menguraikan standar modern untuk tanggung jawab perusahaan. “The American dream is alive, but fraying,” kata Jamie Dimon, Chairman and CEO of JPMorgan Chase & Co. dan Chairman of Business Roundtable. “Major employers are investing in their workers and communities because they know it is the only way to be successful over the long term. These modernized principles reflect the business community’s unwavering commitment to continue to push for an economy that serves all Americans.” Penuh sukacita.
Tak ketinggalan Alex Gorsky, Chairman of the Board and Chief Executive Officer of Johnson & Johnson and Chair of the Business Roundtable Corporate Governance Committee juga menimpali bahwa “Pernyataan baru ini lebih mencerminkan cara perusahaan dapat dan harus beroperasi hari ini.” Dan ini menegaskan peran penting yang dapat dimainkan korporasi dalam meningkatkan masyarakat kita ketika CEO benar-benar berkomitmen untuk memenuhi kebutuhan semua pemangku kepentingan.
Pendeknya para pemimpin perusahaan-perusahaan kelas kakap dunia itu mendukung dan mengelu-elukan pernyataan bersama itu sebagai sikap positif yang akan mempunyai dampak value-creation jangka panjang terhadap khalayak dunia tidak saja secara ekonomi tetapi juga secara sosial dan lingkungan.
“I welcome this thoughtful statement by Business Roundtable CEOs on the Purpose of a Corporation. By taking a broader, more complete view of corporate purpose, boards can focus on creating long-term value, better serving everyone – investors, employees, communities, suppliers and customers,” kata Bill McNabb, mantan CEO Vanguard. Pernyataan bersama itu juga ditandatangani oleh Tim Cook, CEO Apple dan Jamie Dimon of JPMorgan Chase, dan menegaskan bahwa perusahaan harus memberi manfaat pada “all stakeholders” — customers, employees, communities, and the environment.
Adakah hal yang baru dalam deklarasi itu?
Pada tahun 1973, lima tahun sebelum Business Roundtable menerbitkan Prinsip-prinsip Tata Kelola Perusahaan untuk pertama kalinya, the Davos Manifesto. Manifesto ini menegaskan
tujuan dari manajemen profesional adalah untuk melayani klien, pemegang saham, pekerja dan karyawan, serta masyarakat, dan untuk menyelaraskan berbagai kepentingan para pemangku kepentingan.
“Manajemen dapat mencapai tujuan itu melalui usaha ekonomi yang menjadi tanggung jawabnya. Karena itu maka penting untuk memastikan keberadaan perusahaan dalam jangka panjang. Keberadaan jangka panjang tidak dapat dijamin tanpa profitabilitas yang memadai. Dengan demikian, profitabilitas adalah sarana yang diperlukan untuk memungkinkan manajemen melayani klien, pemegang saham, karyawan, dan masyarakatnya.”
Pada Desember 2020 Manifesto itu diperbarui dengan the Davos Manifesto 2020. Diselaraskan dengan kepentingan Revolusi Industri 4.0. Manifesto terbaru ini kembali menyoroti soal the purpose of a company. Tujuan perusahaan adalah untuk melibatkan semua pemangku kepentingannya dalam penciptaan nilai bersama dan berkelanjutan (shared and sustained value creation). Dalam menciptakan nilai tersebut, perusahaan tidak hanya melayani pemegang sahamnya, tetapi juga semua pemangku kepentingannya – karyawan, pelanggan, pemasok, komunitas lokal, dan masyarakat luas. Cara terbaik untuk memahami dan menyelaraskan kepentingan yang berbeda dari semua pemangku kepentingan adalah melalui komitmen bersama terhadap kebijakan dan keputusan yang memperkuat kemakmuran jangka panjang perusahaan.
penciptaan nilai bersama dan berkelanjutan. Dalam menciptakan nilai tersebut, perusahaan tidak hanya melayani pemegang saham, tetapi juga semua pemangku kepentingannya – karyawan, pelanggan, pemasok, komunitas lokal, dan masyarakat luas. Cara terbaik untuk memahami dan menyelaraskan kepentingan yang berbeda dari semua pemangku kepentingan adalah melalui komitmen bersama terhadap kebijakan dan keputusan yang memperkuat kemakmuran jangka panjang perusahaan.
Mengapa ‘kita’ membutuhkan ‘Manifesto Davos’ untuk jenis kapitalisme yang lebih baik? Menurut Klaus Schwab, Founder and Executive Chairman, World Economic Forum, jesni kapitalisme yang tepat adalah apa yang disebut ‘Stakeholder capitalism’ yang kini mendaptkan momentumnya untuk diadopsi. MOmentum ini karena the ‘Greta Thunberg effect.’ Dan dia sangat berterima kasih pada Greta Thunberg. ‘Stakeholder capitalism’ menawarkan kesempatan baru untuk mangatasi tantangan lingkungan dan sosial.
Dalam konsep ‘Stakeholder capitalism’ perusahaan melayani pelanggannya dengan memberikan proposisi nilai yang paling sesuai dengan kebutuhan mereka. Perusahaan memperlakukan orang-orangnya dengan bermartabat dan hormat. Sebuah perusahaan menganggap pemasoknya sebagai mitra sejati dalam penciptaan nilai. Ini memberikan peluang yang adil bagi pendatang pasar baru. Ini mengintegrasikan penghormatan terhadap hak asasi manusia ke dalam seluruh rantai pasokan.
Perusahaan melayani masyarakat luas melalui aktivitasnya, mendukung komunitas tempatnya bekerja, dan membayar bagian pajak yang adil. Perusahaan bertindak sebagai perawat lingkungan alam semesta dan material untuk generasi mendatang. Ini secara sadar melindungi biosfer kita dan memperjuangkan ekonomi yang sirkular, bersama, dan regeneratif. Memperluas jangkauan pengetahuan, inovasi, dan teknologi untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Perusahaan memberikan pengembalian investasi kepada pemegang sahamnya yang memperhitungkan risiko kewirausahaan yang timbul dan kebutuhan untuk inovasi dan investasi yang berkelanjutan. Perusahaan bertanggung jawab mengelola penciptaan nilai jangka pendek, jangka menengah dan jangka panjang dalam mengejar keuntungan pemegang saham berkelanjutan yang tidak mengorbankan masa depan untuk kepentingan saat ini.
Survey Milenial
Kini konsumen milenial mendorong tren profit with purpose; 40% dari mereka yang disurvei oleh Deloitte Millennial Survey 2018 percaya tujuan bisnis harus ‘meningkatkan kesejahteraan masyarakat’. Ini sangat penting untuk dipertimbangkan. Pada 2020, generasi milenial akan mencapai 40% dari semua konsumen global, memengaruhi sekitar $ 40 miliar dalam penjualan tahunan.
Profit with purpose (laba dengan tujuan yang lebih luas) menjadi norma baru. Hingga saat ini, social enterprise dan investasi berdampak menjadi perintis yang menggerakkan konsep ini, meski entah bagaimana masih tetap terbatas pada ceruk pasar tertentu. Namun saat ini tidak akan lagi. Semuanya harus siap untuk berubah: CEO masa depan akan menginginkan perusahaan mereka diakui sebagai kekuatan untuk kebaikan.
Pada the Deloitte Millennial Survey 2018 itu Business Leaders masih dianggap memberikan dampak positif 44% sementara dampak negatifnya 42%. Persepsi dampak negatif yang 42% tidak akan mudah ditutupi dengan dampak positif yang hanya 2% lebih tinggi dari dampak negatifnya. Sedangkan dampak yang ditimbulkan oleh pemimpin kalangan NGOs dan sektor not-for-profit adalah dampak positif 59% dan dampak negatif jauh di bawah yakni pada 23%.
Deklarasi itu terdengar baik dan penuh semangat. Pernyataan yang mengubah komitmen untuk pertama kalinya dari profit untuk shareholder menuju profit untuk stakeholder tentu hal yang penting. Tetapi bagi David F. Larcker, Profesor dari the James Irvin Miller, Stanford Graduate School of Business dan Director dari the Corporate Governance Research Initiative, deklarasi semacam itu meragukan sebagai era baru bagi dunia korporasi. “Apakah itu mencerminkan perubahan nyata, atau apakah itu hanya basa-basi dimaksudkan untuk menenangkan kritik?” kata Prof Larcker.
Lebih-lebih lagi tingkat kepercayaan publik pada korporasi juga rendah. Publik menanamkan kepercayaan pada beragam institusi yang dianggap memiliki kekuatan karena berbagai alasan. Seperti ditulis pada poll yang dilakukan Pew Research Center, Desember 2019, para peneliti telah menemukan bahwa kepercayaan orang pada pihak lain dan organisasi mencakup penilaian mereka tentang kompetensi, kejujuran dan kebajikan dari organisasi atau individu yang mereka nilai, serta faktor-faktor seperti empati, keterbukaan, integritas dan akuntabilitas. Persepsi atas nilai-nilai itu dapat dilihat sebagai membangun kepercayaan. Dan poll itu menemukan tingkat kepercayaan publik terhadap para CEO perusahaan teknologi (Leaders of Technology Companies) rendah. Sebanyak 65% publik mengatakan CEO perusahaan teknologi bertingkah laku tidak etis. Mereka tidak bisa dipercaya.
Sebuah survei baru terhadap para eksekutif kepala dan kepala keuangan di perusahaan-perusahaan besar yang dimiliki publik dapat memberi sedikit penjelasan. Dilakukan oleh Stanford Corporate Governance Research Initiative dan diselesaikan hanya beberapa minggu sebelum deklarasi baru, survei ini berfokus secara khusus pada isu-isu lingkungan, sosial, dan tata kelola, atau LST (Environment, Social and Government/ESG).
Dalam survei, mayoritas CEO dan CFO mendukung komitmen perusahaan untuk masalah sosial dan lingkungan. Dari lebih dari 200 yang ambil bagian, 89% mengatakan penting untuk memasukkan mereka ke dalam perencanaan bisnis. Sekitar 77% mengatakan mereka tidak percaya bahwa kepentingan pemegang saham secara signifikan lebih penting daripada kepentingan pemangku kepentingan.
Pada saat yang sama, survei menunjukkan bahwa eksekutif puncak tidak melihat banyak sisi buruk dalam melakukan lebih dari yang sudah mereka lakukan. Hampir semua eksekutif mengatakan mereka “puas” atau “sangat puas” dengan apa yang sudah dilakukan perusahaan mereka. Hanya 43% yang mengira basis investor mereka peduli dengan kepentingan para pemangku kepentingan. Sekitar 37% berpikir mengatasi masalah-masalah itu akan meningkatkan biaya jangka pendek dan jangka panjang. Hanya 12% yang berpikir bahwa biaya jangka pendek pada akhirnya akan menghasilkan peningkatan nilai jangka panjang.
“It’s easy to talk about, but are you willing to put money behind it?” sindir David F. Larcker.
The Economist (8 Feb 2020) bahkan dengan tegas menuliskan dalam laporan utamanya: Meet the Bosses, jika memberi lebih banyak pada pemasok dan pekerja jelas akan menurunkan keuntungan atau meningkatkan harga di tingkat konsumen. Dan tentunya para boss itu harus menjalankan perusahaan dalam jangka panjang untuk kepentingan para pemilik, bukan yang lainnya. Meskipun tetap jangan membuat rabun atas masalah-masalah perubahan iklim, misalnya. “CEOs in the 2020s will have their hands full with their own company, so forget trying to run the world too.” Para CEO itu sudah terlalu sibuk untuk mengurus perusahaan-perusahaannya. Para pemilik perusahaan juga kepentingan utamanya adalah profit. CEO yang terlalu rewel dengan mengurus urusan dunia cepat atau lambat akan dipecat jika gagal memberi keuntungan seperti diinginkan para pemegang saham. Dan jika, diantara pertemuan-pertemuan bisnisnya, ada kesempatan berbuat curang, jangan sampai ketahuan, tulis The Economist.
Disamping itu, fakta lainnya, seperti dilaporkan pada Mei 2019 the United Nations’ Intergovernmental Science-Policy Platform on Biodiversity and Ecosystem Services, satu juta spesies hewan dan tanaman berisiko terancam punah. Tindakan yang diambil tidak memberi banyak harapan. Termasuk soal emisi yang dibicarakan sejak 1988. Emisi terus berlangsung meningkat dan konsentrasi carbon dioxide (CO2) di atmosfer dengan cepat mendekati angka 400 parts per million (ppm) dari era praindustri yang sebesar 275ppm. Padahal laporan the UN Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) yang dikutip Naomi Klein dalam bukunya “On Fire: The Burning Case for Green New Deal (2019)” mengungkapkan implikasi dari menjaga peningkatan pemanasan planet di bawah 1,5 derajat Celcius (2,7°F). Mengingat bencana yang semakin memburuk yang telah kita saksikan dengan pemanasan sekitar 1°C, ditemukan bahwa menjaga suhu di bawah ambang 1,5°C adalah peluang terbaik manusia untuk menghindari penguraian yang benar-benar bencana.
“Emisi CO2 global telah meningkat lebih dari 40 persen, dan terus meningkat. Planet ini telah memanas sekitar 1°C sejak peradaban manusia mulai membakar batu bara dalam skala industri dan suhu rata-rata berada di jalur menanjak sebanyak empat kali lipat dari jumlah sebelum abad ini bangkit; terakhir kali terdapat sebanyak empat kali lipat karbon dioksida di atmosfer, manusia belum ada,” tulis Klein.
Mengapa kita begitu mendambakan dua kata terbaik ini dalam beberapa dekade: sustainable development? Pada setiap perbincangan besar, pertemuan-pertemuan pembangunan, selalu saja terdengar dua kata itu disinggung-singgung. Sampaikah kita pada apa yang didengungkan bagai lebah yang mencari-cari tepung sari dan menghisap nektar dari bunga-bunga? Terasa tak ada hentinya sejak Brutland dalam laporannya menyebutkan dua kata itu.
Delyse Springett and Michael Redclift dalam artikelnya, Sustainable Development: History and Evolution of the Concept yang dimuat dalam himpunan tulisan yang diedit oleh Michael Redclift dan Delyse Springett, The Routledge International Handbook of Sustainable Development (2015) mengupas beberapa latar belakang politik yang penting.
Ketika Club of Rome menciptakan istilah, ‘The Global Problèmatique’, untuk krisis lingkungan awal 1970-an, itu dimaksudkan untuk menangkap koneksi dan interaksi yang dinamis antara berbagai aspek masalah yang bergaung di seluruh dunia. Menurut Springett dan Redclift akar kelembagaan dari krisis, dengan dimensi sosial, politik dan ekonomi serta budaya, spiritual, dan yang terkait Implikasi intelektual, dapat ditelusuri kembali ke kemunculan ekonomi kapitalis revolusi ilmiah dan industri di Inggris.
Inti dari perubahan pandangan dunia waktu itu adalah pergeseran sikap terhadap alam dan hilangnya kekuatan atas aspek fisik dan spiritual kehidupan manusia. Paradigma ilmiah baru yang mengubah hubungan manusia-alam, dikombinasikan dengan model produksi kapitalis dan konsumsi, menghasilkan tingkat perubahan dan skala degradasi yang tidak mungkin terjadi sebelumnya.
Sialnya, bersamaan dengan situasi ini, proses dominasi Utara, dilakukan melalui penjajahan untuk menguasai sumber daya alam, pasar dan tanah – dan kemudian diperluas melalui globalisasi perdagangan, keahlian teknologi, pasar uang dan komunikasi – akhirnya menghasilkan dampak global pada alam dan kehidupan manusia. Dua dekade lalu, Vitousek et al. (1986: 1861) seperti dikutip Springett dan Redclift menyatakan: ‘dikotomi apa pun yang jelas antara ekosistem perawan dan area yang diubah oleh manusia yang mungkin ada di masa lalu telah lenyap’. Tidak ada lagi dikotomi itu. Hari ini, Bumi melampaui titik di mana batas-batas yang menggambarkan masalah lingkungan dan terkait dampak sosial bersatupadu.
Namun, menurut Vitousek et al., beban yang ditanggung karena timbulnya dampak tidak merata. Orang miskin secara tidak proporsional memikul konsekuensi degradasi lingkungan. Kelompok orang miskin pada sebuah negara menderita melebihi segalanya. Sementara negara-negara miskin dalam skal global tidak pernah mampu melepaskan diri dari ketergantungan dari penghisapan engara-negara maju. Dampak sosial dan lingkungan ini dan perjuangan untuk menghadapinya mengarah pada peleburan konsep ‘pembangunan berkelanjutan’ dan penampilannya dalam agenda internasional pada 1970-an.
Bagi Richard Wolff, “Capitalism’s Crisis Deepens: Essays on the Global Economic Meltdown” (2016), sepanjang sejarahnya, kapitalisme tidak pernah berhasil mencegah berulangnya krisis ekonomi. Namun, mereka biasanya terkurung di dalam sistem. Krisis ekonomi biasanya tidak menjadi krisis sosial; sistem itu sendiri biasanya tidak dipertanyakan. Setiap ada gagasan baru yang berbeda atau memperbaiki sistem selalu tidak mendapatkan tempat untuk diperbincangkan lebih dalam. Transisi ke sistem yang berbeda kemudian sebagai sebuah ide dijauhkan dari diskusi publik, dan dijauhkan dari tindakan publik. Selama siklus penurunan, produksi berkurang, pengangguran dan kebangkrutan meningkat, deflasi sering melanda. Melukai, dan membuat penderitaan panjang dan meluas bagi kelas pekerja.
Masalah global sekarang mencerminkan hasil intensif dari politik ekonomi kapitalis dan sejarah penjajahan sebagian besar dunia, mencakup ‘liberal ekonomi demokrasi dan kapitalis otoriter, terutama Rusia. Apalagi di China, sebuah ekonomi hibrida yang berkembang pada periode 1990 yang menggabungkan unsur-unsur sosialisme negara dengan sistem berbasis pasar yang sangat dinamis. Peningkatan besar dalam perdagangan dunia, dan terutama kebangkitan Cina, terus memberi manfaat bagi negara maju, setidaknya mampu mengurangi biaya hidup warga domestiknya. Ketimpangan antara negara kaya dan miskin telah memaksa negara-negara miskin untuk mengadopsi kebijakan ‘ramah pasar’ dan merangkul liberalisasi versi pasar kapitalisme.
Negara-negara berkembang telah meniru gaya konsumerisme utara, dengan elit Selatan menikmati gaya hidup yang baru ini. Sedangkan kebutuhan dasar kesehatan, kesejahteraan, dan pendidikan bagi mayoritas gagal dipenuhi. Proses globalisasi, dilakukan melalui media dan pola konsumsi ‘lama’ dan ‘baru’, untuk memastikan hegemoni yang berkelanjutan dari nilai-nilai berbasis pasar, terutama melalui penyebaran Internet. Jangkauan teknologi informasi dan media baru global ini bahkan dapat dilihat sebagai penyempurnaan proses sebelumnya: dorongan untuk imperialisme.
Namun, kekuatan ‘imperialis’ hari ini cenderung bersifat transnasional korporasi, yang seringkali lebih kaya dan lebih kuat daripada pemerintah individu dimanapun.
Wolff menegaskan kapitalisme tidak memberikan banyak kebaikan. Malah menumpuk hal-hal buruk. Kondisi ini tidak mencegah krisis ekonomi menjadi krisis sosial. Justru sebaliknya. Penyerahan diri tidak pernah menjadi satu-satunya tanggapan dari orang-orang yang bekerja terhadap disfungsi kapitalisme. Setelah guncangan awal — pada pudarnya Impian Amerika (dan dunia) dengan cepat dan kemerosotan ekonomi yang berkepanjangan menjulang — membangun kembali organisasi buruh kerja baru dari yang lama dan/atau menciptakan baru akan dilanjutkan. Noktah hitam dari perjuangan kelas yang nyata akan kembali ke permukaan politik kontemporer.
Laporan Oxfam yang diterbitkan pada Januari 2017, An Economy for the 99%” dengan memaparkan ketimpangan dunia yang luar biasa. Hanya delapan orang yang memiliki kekayaan yang sama dengan separuh dunia yang paling miskin. Karena pertumbuhan ekonomi hanya bermanfaat bagi yang terkaya, seluruh masyarakat – terutama yang termiskin – menderita. Desain ekonomi kita dan prinsip-prinsip ekonomi kita telah membawa kita ke titik yang ekstrem, tidak berkelanjutan, dan tidak adil.
Karena itu dorongan-dorongan perubahan harus dilakukan dan disuarakan. Ekonomi kita harus berhenti memberi penghargaan berlebihan kepada mereka yang berada di atas dan mulai bekerja untuk semua orang. Pemerintah yang bertanggung jawab dan visioner, bisnis yang bekerja untuk kepentingan pekerja dan produsen, lingkungan yang bernilai, hak-hak perempuan dan sistem perpajakan yang adil, merupakan pusat ekonomi yang lebih manusiawi ini.
Bagi intelektual semacam Chomsky kegagalan implementasi komitmen atas masalah global bersama tidak bisa tidak harus diarahkan pada ideologi kapitalisme yang masih kuat bercocok. Kritik atas pertanyaan utama seperti mengapa proposal yang didorong pasar untuk mengatasi krisis iklim pasti gagal dan mengapa alternatif atas pertanian industri sangat penting untuk mencapai jalur stabilisasi iklim yang layak (Noam Chomsky dan Robert Pollin: “Climate Crisis and the Global Green New Deal” (2020).
Meningkatnya ketidaksetaraan ekonomi akan menjadi hantu pengelolaan dunia yang berkelanjutan dan adil. Seperti yang dikatakan Presiden Obama kepada Majelis Umum PBB dalam pidatonya pada September 2016: “Dunia, di mana 1% umat manusia mengendalikan kekayaan golongan ekonomi terbawah sebanyak 99%, tidak akan pernah stabil.”
Sejak 2015, 1% orang terkaya telah memiliki lebih banyak kekayaan daripada penghuni planet lainnya. Delapan orang sekarang memiliki jumlah kekayaan yang sama dengan setengah bagian termiskin di dunia. Selama 20 tahun ke depan, 500 orang akan menyerahkan $ 2,1 triliun kepada ahli waris mereka – jumlah yang lebih besar. Namun krisis ketimpangan global terus berlanjut: CEO dari 100 top perusahaan yang tercatat di bursa saham (FTSE-100) menghasilkan pendapatan dalam setahun sebanyak 10.000 orang yang bekerja di pabrik garmen.
Krisis juga dipicu oleh globalisasi ekonomi dan budaya. Ini memiliki paralel secara fisik dalam masalah perubahan iklim antropogenik, yang menghadirkan tantangan untuk kebijakan internasional yang sangat kompleks, dan telah membuat situs baru untuk persaingan politik. Kepatuhan terhadap persyaratan tuntutan kebijakan pengurangan perubahan iklim yang serius dan berdampak lingkungan dari industri masih harus kit apertanyaan. Seruan perubahan fundamental dalam struktur dan proses ekonomi selalu diabaikan oleh analisis ekonomi konvensional. Mereka menolak perubahan radikal. Maka tidak heran keran industri dan segenap kelembagaan yang mendukungnya tetap mengucurkan asap-asap hitam di cerobongnya dan membanjiri wilayah bumi dengan jelaga.
Karakter esensial dari pola produksi dan konsumsi adalah yang paling dasar penyebab masalah lingkungan yang serius. Dan pola ini adalah bahan bakar bagi keberlanjutan ekonomi kapitalis seperti yang dipaparkan oleh Springett dan Redclift. Forum internasional tentang lingkungan dan pembangunan berkelanjutan dari the Stockholm Conference pada 1972 hingga UNCSD (Rio + 20) pada tahun 2012, serta Strategi dan beragam Laporan internasional utama, cenderung melegitimasi konstruksi dominasi kekuasaan Utara, dengan dibuat seolah-olah mencari ‘solusi’ atas masalah bersama.
Banyak harapan untuk diskursif yang diperlukan mengatasi pembangunan berkelanjutan telah disematkan pada forum ini. Namun, mereka diorganisasikan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa yang didominasi Utara dan dipromosikan sebagian besar oleh Agenda Utara, meskipun mereka juga membentuk situs-situs protes. Agenda telah begitu luar biasa. Kehadiran dan ketidakhadiran tokoh-tokoh penting Utara merupakan sinyal di mana kekuatan itu berada. Hegemoni institusional pada forum-forum ini juga telah ditunjukkan sangat bergantung pada dukungan kekuatan perusahaan-perusahaan dunia. Fakta bahwa kolusi antara kekuatan dominan ini mengatur hasil dari debat internasional tentang lingkungan dan pembangunan berkelanjutan sulit untuk dilupakan. Suara-suara non-pemerintah organisasi (LSM) dan Selatan secara bertahap terdengar setelah banyak perjuangan, meskipun tanpa mencapai kekuatan yang sama.
Perjanjian iklim PBB tahun 2015 yang ditandatangani di Paris, yang dikenal sebagai perjanjian COP21, telah dielu-elukan oleh para pemimpin dunia (dengan pengecualian Donald Trump) sebagai keberhasilan diplomatik yang sangat besar, tetapi telah dikritik dengan tepat oleh para pencinta lingkungan dan lainnya karena tidak memiliki gigi. Hanya macam ompong belaka. Memang tidak ada yang wajib dalam Perjanjian Paris. Noam Chomsky, seperi halnya banyak warga dunia yang heran, mengapa sangat sulit untuk meyakinkan perubahan iklim?
Mengapa bisa COP21 agreement hanya macan ompong? Menurut Chomsky kita perlu melihat kembali bagaimana negosiasi COP21 ini dimulai dan itu artinya merujuk pada peran CEO pemerintahan di negara-negara yang berpengaruh: Amerika Serikat.
Menurut Chomsky dan Pollin tujuan awal COP21 adalah untuk membuat perjanjian dengan komitmen yang mengikat. Laurent Fabius, presiden KTT, menegaskan kembali tujuan itu dengan tegas. Tapi ada penghalang: Partai Republik AS, yang mengontrol Kongres, tidak akan menerima setiap perjanjian yang signifikan dampaknya.
Pimpinan Partai Republik Kongres AS itu sangat jujur tentang niatnya untuk merusak Perjanjian Paris. Satu alasan, yang tidak bisa disembunyikan, adalah bahwa Partai Republik harus menghancurkan apa pun yang dilakukan oleh Obama yang dibenci; tujuan itu diungkapkan dengan jelas oleh Pemimpin Mayoritas Senat Mitch McConnell ketika Obama terpilih. Alasan lainnya adalah pada prinsipnya melawan setiap kendala eksternal apa pun yang mengganggu kekuatan AS. Tetapi keputusan yang dibuat adalah langsung dari penolakan solid dari pimpinan Partai terhadap setiap upaya untuk menghadapi krisis lingkungan yang membayangi — sebuah pendirian yang sebagian besar dapat dilacak pada jejak sejarah Partai terhadap kekayaan pribadi dan kekuasaan perusahaan, yang meningkat pesat selama tahun-tahun masa neoliberal.
Chomsky dan Pollin memaparkan dalam buku mereka bawah berdasarkan rencana Partai Republik yang disusun dengan hati-hati itu, McConnell memberi tahu kedutaan asing bahwa, menurut sumber yang dilaporkan di Politico, “Partai Republik berniat untuk melawan agenda iklim Obama di setiap kesempatan.” Dia juga menjelaskan bahwa kesepakatan apa pun yang mencapai Senat yang dikendalikan akan apa yang disebutnya “dead on arrival.” Mati pada saat masuk ke Senat. Partai Republik juga menjelaskan bahwa mereka akan memblokir janji Obama untuk menyediakan miliaran dolar bantuan ke negara-negara miskin dalam beradaptasi akibat efek pemanasan planet. Mereka menjadi partai yang super jahat terhadap iklim. Inilah politik domestik yang mempengaruhi kebijakan-kebijakan global tentang iklim. Dan dibalik itu, tentu saja, kelompok-kelompok kepentingan bisnis, kapitalis tulen antara lain David Koch yang merupakan penguasa kekaisaran bisnis. David Koch sebagai the “ultimate denier,” dedengkot penyangkal perubahan iklim yang penolakannya terhadap pemanasan global antropogenik sangat dalam dan serius.
CEO bukan semata pemimpin korporasi. Negara juga mempunyai pemimpin yang pada dasarnya adalah CEO yang disebut sebagai presiden. Dan dibelakang atau di sekeliling presiden bejibun CEO yang berebut agenda dan kepentingan. Termasuk apa yang terjadi dengan keputusan Amerika Serikat yang pada akhirnya keluar dari COP21 (meski kemudian bergabung lagi pada Administrasi Biden, 2021).
Bagiamana dengan Indonesia? Berbeda dengan Amerika Serikat yang menurut Chomsky AS adalah negara yang jarang berpartisipasi dalam konvensi Internasional. “The US rarely ratifies international conventions, and when it does, it is typically with reservations that exclude the US. That’s true even of the Genocide Convention, signed by the US after forty years but excluding the US, which retains the right to commit genocide. There are many other examples.”
Sebaliknya, Indonesia selalu bersemangat untuk menandatangani beragam Konvensi Internasional. Meski pada implementasi Konvensi seringkali lamban. Termasuk apa yang terjadi dengan implementasi COP21.
Indonesia sedang mempertimbangkan untuk menetapkan target net-zero emissions pada tahun 2070 sebagai bagian dari strategi jangka panjangnya dalam memerangi perubahan iklim. Direktur Jenderal Pengelolaan Perubahan Iklim Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Ruandha Agung Sugardiman mengatakan pengurangan emisi gas rumah kaca adalah masalah mendesak karena krisis iklim telah memperburuk bencana alam hidrometeorologi di seluruh negeri.
“Pada tahun 2050, kami akan mulai bekerja untuk mencapai tujuan emisi nol bersih, net-zero emissions. Mudah-mudahan Indonesia bisa mencapai target tersebut pada tahun 2070, ”kata Ruandha. Tiga skenario mitigasi iklim. Target emisi nol-bersih 2070 merupakan bagian dari tiga skenario mitigasi iklim yang akan dimasukkan Indonesia ke dalam strategi jangka panjangnya, yang akan diserahkan kepada United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC) sebelum KTT iklim tahun ini, atau COP26, di Glasgow, Inggris Raya, pada bulan November. Skenario paling ambisius – skenario kompatibel rendah karbon, the low carbon compatible (LCCP), yang sangat sesuai dengan target Perjanjian Paris – bertujuan untuk melihat puncak emisi karbon di semua sektor pada tahun 2030, dengan sektor kehutanan dan penggunaan lahan menyediakan sorot karbon (carbon sink) yang menyerap sebagian emisi.
Indonesia melengkapi jurang yang makin menganga atas target ambisius the Paris Climate Agreement yang bersepakat untuk membatasi pemanasan global di bawah 2 derajat Celcius.
Menurut data kementerian, Indonesia mengeluarkan 1,86 miliar ton setara karbon dioksida (CO2e) pada 2019. Setengah dari emisi tersebut berasal dari sektor kehutanan, sedangkan sektor energi menyumbang 32 persen dari total angka. Skenario rendah karbon akan menuntut Indonesia untuk lebih berupaya mengurangi deforestasi agar sektor kehutanan menjadi penyerap karbon pada tahun 2030 yang menyerap emisi dari atmosfer.
Sasaran saat ini hanya menetapkan bahwa sektor kehutanan dan penggunaan lahan akan mengurangi emisinya mendekati nol pada tahun 2050.
Di sektor energi, Indonesia perlu memastikan bahwa energi terbarukan merupakan 32 persen dari bauran energi nasional selain batu bara (39 persen), gas (12 persen) dan minyak (17 persen). Dengan cara ini, emisi yang dihasilkan di sektor energi akan mencapai puncaknya pada tahun 2030 dan turun menjadi 550 juta ton CO2e pada tahun 2050. Sementara peta jalan Perencanaan Energi Umum Nasional (RUEN) terbaru menetapkan bahwa energi hijau harus mencapai 31 persen dari campuran pada tahun 2050, para analis meragukan bahwa negara tersebut dapat mencapai target dengan laju pengembangan energi terbarukan saat ini.
Target emisi nol-bersih pada tahun 2070 adalah realistis untuk Indonesia berdasarkan beberapa model yang diuji oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan dan Kementerian Energi dan Sumber Daya Alam.
Sampai pada tahun ke-lima COP21 pada Desember 2020 rencana-rencana individual negara yang meratifikasi Konvensi bahwa mereka akan menurunkan emisi rumah kaca mereka sama sekali tidak memenuhi harapan pencapaian tujuan the Paris Agreement. Bahkan jika punsetiap negara memenuhi komitmen mereka, planet bumi masih akan mencapai pemanasan global lebih dari 3oCelcius pada abad 21 ini. Seperti dipaparkan pada laporan yang diterbitkan the United Nations Environment Program pada Desember 2020: Emissions Gap Report. Banyak komitmen sama sekali tidak didukung oleh tindakan-tindakan nyata negara peratifikasi.
Kelambanan pemerintah-pemerintah yang bercokol di Bumi ini menimbulkan pertanyaan yang serius. Bahkan seorang anak kecil (yang punya mimpi besar) Greta Thunberg (Greta Thunberg, Malena Ernman, Svante Thunberg, Beata Ernman, and Bokförlaget Polaris, “Our House Is on Fire: Scene of a Family and a Planet in Crisis.” 2018) merasa kesal. “If we destroy the climate we’ll never be able to repair it, and soon future generations – or present ones for that matter – won’t be able to make everything right, and undo o. ur mistakes, however much they might want to.” Jika kita menghancurkan iklim, kita tidak akan pernah bisa memperbaikinya, dan juga generasi mendatang –termasuk generasi sekarang– tidak akan bisa berbuat apapun, dan tidak akan mempu memperbaiki kesalahan betapapun besar keinginan untuk memperbaikinya.”
Alon Tal, seorang aktifis lingkungan dan akademisi Israel kenamaan; pendiri dari the Israel Union for Environmental Defense, dan the Arava Institute for Environmental Studies; dan juga seorang co-founder of Ecopeace, yang dikutip Chomsky, bertanya: Mengapa begitu sulit bagi pemerintah untuk menghadapi krisis ini secara realistis? Mengapa sebagian penduduk bumi begitu ingin melihat ke arah lain ketika kelangsungan hidup manusia yang terorganisir ini benar-benar dipertaruhkan?
Bagi Chomsky, satu jawaban menarik bisa dicermati dari pemberontak Rompi Kuning (Yellow Vest) yang luar biasa di Prancis. Sebuah pengamatan dan analisis yang mendalam dari Chomsky yang melihat demonstrasi Paris oleh para Rompi Kuning bukan sekedar isu soal lingkungan. Lebih jauh dari itu.
Penyebab langsung dari pemberontakan tersebut adalah proposal Presiden Perancis, Emmanuel Macron pada tahun 2018 untuk menaikkan pajak bahan bakar yang diduga akan memperparah masalah lingkungan, sebuah langkah yang akan menimpa sangat keras orang miskin dan pekerja di daerah pedesaan. Tapi latar belakang protes, secara lebih luas, adalah seluruh rangkaian “reformasi” Macron lebih menguntungkan orang kaya dan sangat merugikan orang miskin dan pekerja. Para pemrotes, mungkin juga seorang pencinta lingkungan yang berkomitmen, seperti yang lainnya, mengatakan bahwa Anda berbicara tentang “tamatnya dunia” (“the end of the world”) tetapi kami prihatin dengan “akhir bulan” (“the end of the month”). Ini seperti soal lingkungan itu hal yang masih jauh. Tetapi masalah perut adalah hal yang sehari-hari. Bagaimana kami bisa bertahan dari “reformasi” Anda?
Sebuah pertanyaan yang adil, yang dengan cepat menjadi slogan demonstrasi akar rumput yang melanda Paris dan sebagian besar negara lainnya. Dan pertanyaan yang tidak dapat diabaikan oleh gerakan lingkungan. Seperti halnya para petani Kendeng yang yang protes atas pembangunan pabrik semen. Bukan saja soal lingkungan yang penting. Tetapi kehidupan sehari-hari mereka terancam.
Maka deklarasi CEO dan sejumlah deklarasi dari beragam perusahaan-perusahaan dunia ataupun nasional perlu kita tempatkan pada peta kekuasaan untuk menguasai sumberdaya alam dimanapun dan dalam jumlah berapapun itu. Unfortunately Danone’s share performance has been very weak compared to rivals Nestlé and Unilever. Danone is perceived to have cared more about people, the planet and social responsibility than its shareholders, and Faber is paying the price. If we measure a strategy’s success by the extent to which the shareholders accept it, “One Planet. One Health” has been a failure.
Kasus Danone yang memecat CEO yang kelewat progresif membuktikan kapitalisme jadul masih kuat bercokol. Kinerja saham Danone dinilai sangat lemah dibandingkan dengan saingannya Nestlé dan Unilever. Danone dianggap lebih peduli pada manusia, planet, dan tanggungjawab sosial daripada pemegang sahamnya, dan Faber yang menanggung akibatnya. Mungkin “One Planet. One Health” telah gagal. Deklarasi CEO dan juga komitmen Konvesi semacam COP21 tidak cukup kuat untuk melawan kapitalis karatan yang menguasai 99% sumberdaya dunia.
Kehadiran dan kegaduhan Omnibus Law, undang-undang sapujagad yang sudah banyak dikupas oleh para ahli dan pengamat juga tidak lepas dari bagian penguasaan sumberdaya oleh kekuatan-kekuatan dominan, korporasi dan negara—negara belahan Utara utamanya. Sikap kritis diperlukan sebab maih banyak kelompok seperti serigala berbulu angsa.
i https://theconversation.com/danones-ceo-has-been-ousted-for-being-progressive-blame-society-not-activist-shareholders-157383
ii https://www.weforum.org/agenda/2019/12/davos-manifesto-1973-a-code-of-ethics-for-business-leaders
iii https://www.weforum.org/agenda/2019/12/davos-manifesto-2020-the-universal-purpose-of-a-company-in-the-fourth-industrial-revolution
iv https://www.weforum.org/agenda/2019/12/why-we-need-the-davos-manifesto-for-better-kind-of-capitalism/
vi menurut Klaus Schwab kita memiliki tiga model kapitalisme untuk dipilih. Yang pertama adalah “kapitalisme pemegang saham (shareholder capitalism),” yang dianut oleh sebagian besar perusahaan Barat, yang berpendapat bahwa tujuan utama perusahaan harus memaksimalkan keuntungannya. Model kedua adalah “kapitalisme negara (state capitalism),” yang mempercayakan pemerintah untuk menentukan arah ekonomi dan telah menjadi terkenal di banyak pasar negara berkembang, tidak terkecuali Cina. Dan yang ketiga adalah ‘Stakeholder capitalism’ sebuah gagasan model yang pertama kali diusulkan Schwab setengah abad yang lalu, yang memposisikan perusahaan swasta sebagai wali masyarakat, dan jelas merupakan respons terbaik untuk tantangan sosial dan lingkungan saat ini.
v https://www.thestar.com.my/aseanplus/aseanplus-news/2021/03/22/indonesia-mulls-net-zero-emissions-target-by-2070
The World Resources Institute (WRI) defines net-zero emissions, similar to climate neutrality, as the point when human-caused greenhouse gas emissions are balanced out by removing the gasses from the atmosphere. This process will take place after countries reduce their emissions to as close to zero as possible. Countries that signed the Paris Agreement in 2015 agreed to limit warming to below 1.5 to 2 degrees Celsius to prevent catastrophic impacts from the climate crisis.Latest studies suggest that countries will need to reach a net-zero target for carbon dioxide emissions by 2050 in order to limit the warming below the agreed threshold. Moreover, they will need to reach a net-zero target for all greenhouse gases by 2068 at the latest to realise the targets.
vi https://theconversation.com/5-years-after-paris-how-countries-climate-policies-match-up-to-their-promises-and-whos-aiming-for-net-zero-emissions-151722?utm_medium=ampwhatsapp&utm_source=whatsapp
vii https://www.thestar.com.my/aseanplus/aseanplus-news/2021/03/22/indonesia-mulls-net-zero-emissions-target-by-2070
viii https://theconversation.com/5-years-after-paris-how-countries-climate-policies-match-up-to-their-promises-and-whos-aiming-for-net-zero-emissions-151722?utm_medium=ampwhatsapp&utm_source=whatsapp. Meski mengalami penundaan, beberapa gol besar telah diumumkan. Secara khusus, lebih banyak negara sekarang berkomitmen untuk mencapai emisi karbon nol bersih pada pertengahan abad. AS juga diharapkan untuk bergabung kembali dengan perjanjian tahun depan di bawah Presiden terpilih Joe Biden. Tetapi seberapa kuat dasar komitmen iklim ini dalam anggaran, kebijakan, dan peraturan aktual? Sebagai pakar kebijakan energi, kami berdua telah terlibat dalam negosiasi iklim global, analisis teknologi, dan desain kebijakan selama dua dekade terakhir, dan kami telah mengamati komitmen nasional untuk tanda-tanda kemajuan. Tujuan yang ambisius, tetapi tindakan yang hilang Sasaran formal Perjanjian Paris adalah untuk tetap “jauh di bawah” 2 derajat pemanasan. Hal itu didasarkan pada negosiasi politik dan penelitian ilmiah yang memodelkan dampak yang semakin berbahaya dari kenaikan suhu terhadap ekonomi, pertanian, dan lingkungan saat ini. Semakin cepat lintasan emisi dunia mulai menurun, semakin lancar transisinya. Para pemimpin China, Jepang, dan Korea Selatan masing-masing mengumumkan tujuan dalam beberapa pekan terakhir untuk mencapai emisi netto nol karbon pada pertengahan abad. Tetapi rencana terperinci tentang bagaimana mereka akan sampai di sana sebagian besar hilang.
ix https://www.unep.org/emissions-gap-report-2020.
ix https://fortune.com/2020/07/07/for-danones-ceo-stakeholder-capitalism-is-a-fact/