Sustainability 17A #31
Metabolisme Kota
Dwi R. Muhtaman,
sustainability learner
Pemandangan dari udara: sorot lanskap pemukiman kota Semarang. Gambar bergerak menelusuri Jalan Letjen Suprapto. Mendekati salah satu bangunan peninggalan masa kolonial, Gereja Kristen Immanuel Semarang yang dikenal dengan nama Gereja Blenduk. Dari atas, gereja ini begitu jelas atapnya berupa kubah yang melengkung besar, memblenduk. Dari lanskap gereja yang dibangun tahun 1753 itu lalu muncul teks: Awal Februari 2021 BPBD Jawa Tengah mencatat 43 titik banjir di Kota Semarang. Detik-detik berikutnya adalah pemandangan dramatis di beberapa sudut kota dengan banjir menggenangi. Sepeda motor menerabas jalan serupa sungai, Stasiun Semarang Tawang lantai hilang tergenang, roda-roda kereta tenggelam menggigil diselimuti air, orang-orang menelusuri rel-rel dengan hampir seluruh kaki-kaki terjerembab dalam banjir. Lalu teks: Fenomena hujan ekstrem dipicu oleh kenaikan temperatur bumi secara global. Kerusakan alam terjadi dimana-mana. Di sungai, di lautan, di hutan, di gunung dan di pemukiman. Orang-orang cemas. Orang-orang kehilangan kehidupan yang layak. Orang-orang tak mampu bersuara. Mereka diam. Kerusakan alam merenggut sebagian kehidupan mereka.
Itulah sebagian pembuka dari film dokumenter yang baru saja diluncurkan oleh Watchdoc bersama Greenpeace: Tenggelam dalam Diam. Film ini memaparkan dampak dari peningkatan muka air laut akibat pemanasan global. Dan yang paling mencemaskan–seperti diungkap film ini–adalah dampaknya pada kaum marjinal. Orang-orang pinggiran yang menggantungkan hidupnya di tepian-tepian laut. Mereka tidak mampu melakukan adaptasi perubahan kenaikan muka laut itu dengan memadai. Namun dampaknya begitu dekat dan terasa mencekam. Setiap saat kecemasan terbit ketika air laut pasang atau pada saat hujan menerjang. Sebagian mereka akhirnya menjauh dan meninggalkan kampung halaman tepi lautnya. Sebagian bertahan dengan sejumlah upaya yang nampak sangat berat.
Film ini mengerahkan delapan orang content creator menyusuri pesisir utara pulau Jawa. Mereka adalah fotografer, musisi, pencerita kuliner, hingga pecinta batik. Mereka menyaksikan kota-kota yang perlahan tenggelam, dari Jakarta, Pekalongan, hingga Gresik.
Air, entah itu dari sungai, laut atau sumur, adalah bagian penting material untuk kehidupan. Setiap manusia membutuhkan material tertentu dalam jumlah yang tertentu untuk bisa melangsungkan hidup dan kehidupannya. Setidaknya ada lima hal kebutuhan untuk dapat hidup bahagia, berkelanjutan, sehat dan produktif, tanpa kesusahan atau pemborosan. Lima kebutuhan dasar ini adalah Water – Food – Shelter – Energy – Education – (Acronym – W.F.S.E.E -We Finally See) atau Air – Makanan – Tempat Tinggal – Energi – Pendidikan. Kita mengenal kebutuhan pangan dengan sembilan bahan pokok.
Kebutuhan masyarakat yang juga penting adalah infrastruktur. Infrastruktur mengacu pada struktur, sistem, dan fasilitas yang melayani negara, kota, kota, atau area, termasuk struktur teknis seperti jalan, jembatan, terowongan, atau fasilitas yang dibangun lainnya seperti dok pemuatan, ruang penyimpanan dingin, kapasitas listrik, tangki bahan bakar, crane, overhead clearances, atau komponen persediaan air, selokan, jaringan listrik, telekomunikasi, dan lain sebagainya. Infrastruktur juga termasuk perawatan/perbaikan yang seringkali dengan biaya signifikan agar fungsi insfrastruktur tetap baik dari waktu ke waktu.
Kini marak juga dikenal adanya Green Infrastructure. Ini adalah jaringan layangan publik yang menyediakan “bahan” untuk menjawab tantangan perkotaan dan perubahan iklim melalui pembangunan yang selaras dengan alam. Komponen utama dari pendekatan ini termasuk pengelolaan air hujan, adaptasi iklim, tekanan panas yang lebih sedikit, keanekaragaman hayati yang lebih banyak, produksi pangan, kualitas udara yang lebih baik, produksi energi yang berkelanjutan, air bersih dan tanah yang sehat, serta fungsi yang lebih antroposentris seperti peningkatan kualitas kehidupan melalui rekreasi dan menyediakan keteduhan dan perlindungan di dalam dan sekitar kota dan kota besar. Infrastruktur hijau juga berfungsi untuk memberikan kerangka ekologis bagi kesehatan sosial, ekonomi dan lingkungan sekitarnya.
Itulah meterial dasar yang dibutuhkan manusia modern saat ini. Berapa yang dibutuhkan setiap orang, setiap kota, setiap negara? Kita ambil contoh. Berapa banyak daging yang kita makan? Pada paruh kedua abad ke-20, konsumsi daging global meningkat lima kali lipat, tumbuh dari 45 juta ton daging yang dikonsumsi pada tahun 1950 menjadi hampir 300 juta ton saat ini. Jika tidak ada yang berubah, angka ini ditetapkan menjadi dua kali lipat pada tahun 2050. Konsumsi rata-rata daging saat ini di negara-negara industri adalah sekitar 80 kilogram per orang per tahun, dibandingkan dengan rata-rata 20 kg per orang per tahun di Afrika (dan sedikitnya 6 kg / orang / tahun di beberapa negara di Sahel).
Source: Friend of the Earth Europe 2014, Meat Atlas
Dalam beberapa tahun terakhir, konsumsi daging tidak hanya tetap tinggi di Amerika dan Eropa, tetapi juga tumbuh secara konsisten di Cina, India, dan negara-negara di mana kelas menengah yang kaya muncul seiring dengan pertumbuhan populasi yang pesat. Konsumsi daging di Cina telah tumbuh sekitar 15 kali lipat dalam 50 tahun terakhir.
Jika populasi dari Cina, India, Indonesia dan Brasil, misalnya, terus mengonsumsi daging dengan kecepatan saat ini, mungkin tidak akan ada lagi permukaan tanah yang cukup untuk memberi makan semua ternak yang diperlukan. Jika mengikuti tingkat konsumsi daging pada tingkat konsumsi negara-negara Barat saat ini maka ini tidak akan mencapai konsumsi berkelanjutan.
Ironisnya pangan yang hilang dan limbah pangan juga makin meningkat. FAO mengeluarkan laporan yang berjudul: Tracking Progress on Food and Agriculture–Related SDG Indicators 2020: A report on the indicators under FAO custodianship. FAO menghasilkan perkiraan model kerugian pangan di seluruh wilayah utama dunia berdasarkan data nasional yang tersedia. Berdasarkan perkiraan ini, persentase kehilangan makanan setelah panen di pertanian dan pada tahap pengangkutan, penyimpanan, pemrosesan dan grosir sebesar 13,8 persen secara global, nilainya mencapai lebih dari 400 miliar USD setahun.
Sementara itu perkiraan regional menunjukkan: Di semua kelompok komoditas, pangsa makanan tertinggi kerugian terjadi di Asia Tengah dan Asia Selatan yaitu 20,7 persen dari produksi pertanian global. Sedangkan wilayah Oceania, yang meliputi Kepulauan Pasifik, Australia dan Selandia Baru mencatat persentase kehilangan makanan terendah, masing-masing 9,8 persen dan 5,8.
Untuk sereal dan kacang-kacangan – kelompok komoditas dengan data yang relatif lebih tersedia dan dapat diandalkan – tingkat kerugian yang signifikan ditemukan di sub-Sahara Afrika dan Timur dan Asia Tenggara. Sementara kerugian terbatas di Tengah dan Asia Selatan.
Umumnya, bagian kerugian lebih tinggi untuk buah-buahan dan sayuran daripada sereal dan kacang-kacangan.
Penyebab kehilangan dan pemborosan pangan, menurut FAO, bermacam-macam sepanjang rantai pasokan pangan. Penyebab penting kerugian di lahan pertanian meliputi: waktu panen yang tidak memadai, kondisi iklim, praktik tidak-efisien yang diterapkan saat panen dan penanganannya, serta dalam fase memasarkan hasil. Kerugian yang signifikan disebabkan oleh transportasi yang tidak memadai kondisi infrastruktur dan penyimpanan serta keputusan yang dibuat pada tahap awal rantai pasokan, yang mempengaruhi produk untuk umur simpan yang lebih pendek. Penyimpanan dingin yang memadai, khususnya, bisa penting untuk mencegah hilangnya makanan secara kuantitatif dan kualitatif.
Jika dihitung secara keseluruhan kebutuhan material saat ini, dan kita membuatnya, maka bobotnya hampir sama dengan semua kehidupan di Bumi.
Pada awal abad ke-20, massa benda ciptaan manusia mencapai 35 miliar ton, atau kira-kira 3 persen dari biomassa global. Sejak itu, massa antropogenik telah tumbuh secara eksponensial menjadi sekitar 1,1 triliun ton saat ini. Sekarang terakumulasi dengan kecepatan 30 miliar ton per tahun, yang berarti setara dengan setiap orang di Bumi yang menghasilkan lebih dari beratnya sendiri dalam barang-barang manufaktur setiap minggu.
Sebagian besar dari bahan itu adalah beton — bahan bangunan favorit umat manusia — diikuti oleh kerikil, batu bata, aspal, dan logam. Jika tren saat ini terus berlanjut, bahan yang diproduksi ini akan memiliki berat lebih dari dua kali lipat berat semua kehidupan di Bumi pada tahun 2040, atau sekitar 2,2 triliun ton.
Sementara itu, sekitar 90 persen dunia kehidupan terdiri dari tumbuhan, kebanyakan pohon dan semak. Tetapi sementara manusia memproduksi lebih banyak bahan setiap tahun, berat tanaman di bumi relatif stabil, karena apa yang digambarkan oleh penulis sebagai “interaksi yang kompleks” dari penggundulan hutan, pertumbuhan kembali hutan, dan pertumbuhan vegetasi yang dirangsang oleh naiknya tingkat karbon dioksida di atmosfer.
Gambaran di atas adalah contoh sekelumit saja kebutuhan manusia untuk menjamin kehidupannya. Dan setiap kebutuhan sebagai material yang dibutuhkan itu melalui proses metabolisme biologis diolah menjadi enerji. Enerji itulah yang digunakan untuk hidup. Material apapun.
Salah satu buku lama mengupas soal material, berjudul: Materials and Man’s Needs: Materials Science and Engineering — Volume I, The History, Scope, and Nature of Materials Science and Engineering. Buku ini diterbitkan oleh National Academy of Sciences, Washington, D.C. 1975. Disebutkan dalam buku ini bahwa ahli antropologi fisik modern percaya bahwa ada hubungan langsung antara ciri-ciri budaya seperti pembuatan alat dan penggunaan alat, dan pengembangan ciri-ciri fisik manusia, termasuk otak dan tangannya. Manusia tidak akan menjadi Manusia Pemikir, Man the Thinker (Homo sapiens) jika dia tidak pada saat yang sama menjadi Manusia Pembuat, Man the Maker (Homo faber). Alat dibuat manusia, tapi alat juga membentuk manusia. Mungkin manusia tidak melempar batu karena dia tegak berdiri; dia bisa saja belajar berdiri tegak agar bisa melempar batu dengan lebih baik.
Secara historis, soal material dimulai dengan kemunculan manusia itu sendiri, dan material memberi nama pada zaman peradaban. Saat ini, kebutuhan material mencakup instrumen canggih pencarian minyak; nyala api oksigen tungku pembuatan baja hingga ke elektrodeposisi tembaga yang dingin dan tenang; dari pabrik penggilingan besar yang memproduksi rel baja hingga pengrajin memalu piala atau perhiasan; dari chip terkecil perangkat elektronik hingga gedung terbesar dibuat oleh manusia; dari kantong kertas biasa hingga kerangka titanium sebuah kapal luar angkasa; dari kaca paling jernih menjadi karbon hitam; dari merkuri cair menjadi berlian terkeras; dari superkonduktor hingga isolator; dari tuangan plastik suhu kamar ke refraktori yang dapat diinfus (kecuali mereka dapat meleleh hari ini); dari kaus kaki milady ke bom militan; dari pandai besi yang berkeringat hingga sarjana merenung yang pernah mengkhawatirkan sifat alami materi dan sekarang mencoba menghitung perbedaan antara bahan.
Material sendiri tidak melakukan apa-apa; namun tanpa material, manusia tidak bisa berbuat apa-apa. Alam sendiri adalah struktur yang mengatur dirinya sendiri yang berkembang seiring dengan waktu dengan pemanfaatan sifat-sifat hierarki atom yang sama dengan manusia ketika ia melakukan konstruksi sederhananya. Salah satu ciri masyarakat industri modern adalah penggunaan material yang luar biasa. Kita menggunakan lebih banyak bahan daripada sebelumnya, dan kita menggunakannya lebih cepat.
Memang, telah didalilkan, dengan asumsi tren saat ini dalam produksi dunia dan pertumbuhan populasi, kebutuhan material untuk dekade berikutnya bisa sama dengan semua bahan yang digunakan sepanjang sejarah hingga saat ini. Penggunaan bahan yang semakin meluas ini dengan sendirinya merupakan revolusioner, dan karenanya merupakan bagian integral dari “revolusi material” di zaman kita.
Kita tidak hanya mengonsumsi bahan lebih cepat, tetapi menggunakan bahan yang semakin beragam. Sejumlah rangkaian material baru yang hebat telah dibuka untuk digunakan oleh manusia abad ke-20: logam tahan api, paduan logam ringan, plastik, dan serat sintetis, misalnya. Beberapa di antaranya lebih baik, atau lebih murah, dari yang dilakukan sebelumnya; orang lain memiliki kombinasi properti yang memungkinkan perangkat yang sama sekali baru dibuat atau efek yang cukup baru untuk dicapai.
Kita sekarang menggunakan proses industri mayoritas dari sembilan puluh dua elemen dalam tabel periodik yang ditemukan di alam, sedangkan sampai seabad yang lalu, cuma 20.
Tidak hanya lebih banyak elemen alam yang digunakan, tetapi bahan yang benar-benar baru sedang disintesis laboratorium. Klaim kita atas peradaban material tingkat tinggi bertumpu pada perluasan ini, pemanfaatan keanekaragaman bahan yang kaya. Kemewahan ini merupakan produk dari kemajuan material dan tantangan dalam pertumbuhannya di masa depan.
Peningkatan konsumsi material berarti bahwa kita harus mengatasi masalah pasokan sumber daya alam. Oleh karena itu, umat manusia dipaksa untuk memperbesar basis sumber dayanya — dengan mencari cara untuk menggunakan bahan mentah yang ada bahan lebih efisien, untuk mengubah zat yang sebelumnya tidak dapat digunakan menjadi bahan yang bermanfaat, untuk mendaur ulang limbah dan membuatnya dapat digunakan kembali, dan untuk menghasilkan bahan yang sepenuhnya baru dari zat yang tersedia melimpah.
Kota, sebagaimana tubuh manusia atau makhluk hidup, juga mempunyai sistem metabolisme yang disebut sebagai metabolisme kota. Semua kebutuhan material harus disediakan agar kota bisa hidup, tumbuh dan berkembang, memenuhi kebutuhan-kebutuhan penghuninya dan membuat penghuni sejahtera dan berbahagia.
Alexandros Karvounis pada tulisan Urban Metabolism dalam Understanding Urban Metabolism: A tool for urban planning (Edited by Nektarios Chrysoulakis, Eduardo Anselmo de Castro and Eddy J. Moors, 2015) mengurai konsep metabolisme perkotaan ini dan relevansinya sebagai alat untuk perencanaan perkotaan.
Menurut Karvounis dalam upaya menghadapi munculnya masalah baru berskala besar, upaya untuk meningkatkan efisiensi pengelolaan sumberdaya kota amat diperlukan. Keberlanjutan adalah keniscayaan, pemahaman atas konten baru kota perlu diperbincangkan secara luas. Karena tantangan kota dan perkotaan merupakan fenomena global: aspek konsumsi dan produksi limbah urbanisasi. Peningkatan besar dalam permintaan sumber daya membuat konsep metabolisme perkotaan makin relevan.
Konsep metabolisme kota/urban ini membandingkan kota dengan organisme, dalam sifatnya yang serupa berkaitan dengan kebutuhan makanan dan pengeluaran limbah di lingkungan.
Heterogenitas spasial dan berbagai ekosistem lokal mengungkapkan bahwa rujukan pada organisme lebih tepat daripada perbandingan dengan ekosistem karena menunjukkan ketergantungan yang tinggi dari faktor-faktor sosial ekonomi dalam mempertimbangkan total konsep metabolisme perkotaan, terutama jika seseorang mempertimbangkan karakter dinamis aliran biologis dan fisik yang terjadi. Demikian Karvounis, seorang peneliti dari South East European Research Centre, Thessaloniki, Yunani.
“Namun demikian, pendapat ini bisa berbeda,” tulis Karvounis. “Karena dari satu sudut pandang, hanya organisme individu yang memiliki metabolisme dan dari sisi lain, kota dianggap lebih seperti ekosistem, kumpulan berbagai metabolisme. Sebagaimana dukungan ahli ekologi, ekosistem mewujudkan interaksi diantara berbagai individu. Jadi kita bisa menganalogikan kota lebih baik sebagai ekosistem daripada organisme. Pendapat ini dilontarkan oleh Pincetl (2012) seperti dikutip Karvounis. Fakta bahwa sebuah kota tampaknya berfungsi sebagai ekosistem, mendukung pandangan ini. Pada saat ini, penting untuk disoroti bahwa meskipun ekosistem alami dianggap secara umum sebagai energi swasembada, siklus metabolisme ekosistem perkotaan tampaknya tidak berkelanjutan.
Peneliti lain berpendapat ‘urban metabolism can be defined as the sum total of the technical and socio-economic processes that occur in cities, resulting in growth, production of energy, and elimination of waste.’ ‘Metabolisme perkotaan dapat didefinisikan sebagai jumlah total teknis dan proses sosial-ekonomi yang terjadi di kota-kota, menghasilkan pertumbuhan, produksi energi, dan pemusnahan limbah.’ Lebih khusus lagi, ini menjelaskan proses input sumber daya, cara mereka didistribusikan di dalam sistem, bagaimana mereka mengubahnya menjadi produk yang siap dikonsumsi dan perhatian untuk daur ulang.
Pada akhir abad sebelumnya, melalui pendekatan berbasis sistem, kota dan arus mobilitas di dalamnya dicerminkan oleh dampaknya terhadap lingkungan. Konsep metabolisme kota dan perkotaan dieksplorasi melalui ekologi dan ekologi industri, bio-fisik ilmu pengetahuan, ekonomi politik dan studi perencanaan kota, mengungkapkan dalam setiap kasus aspek yang berbeda terintegrasi dalam konsep itu. Misalnya, ahli ekologi perkotaan dan industri berurusan dengan sirkulasi bahan dalam sistem perkotaan sedangkan ekonom ekologi dari satu sudut pandang fokus pada hubungan interdependen antara alam dan ekonomi perkotaan; pada saat yang sama ada pendapat yang meneliti cara metabolisme perkotaan berkontribusi pada produksi ketidaksetaraan secara global.
Dalam tulisan Karvounis lebih lanjut, sambil mengutip referensi lain, disebutkan konsep yang lebih luas dijelaskan oleh sistem metabolisme perkotaan memperkenalkan, mempertimbang-kan kota sebagai sistem sosial ekonomi dengan industri dan konsumsi komponen. Saat ini, metabolisme perkotaan menjadi semakin topikal, karena tampaknya menjadi alat yang, melalui pemahaman tentang sistem biofisik, memungkinkan pengelolaan dan integrasi proses ekologi dan sosial ekonomi yang terjadi dalam sistem perkotaan.
Menurut catatan Karvounis, Millennium Ecosystem Assessment (MEA) yang terbit pada tahun 2005, menekankan hubungan antara aliran lingkungan (environmental flows) dan struktur sosial-ekonomi yang berkaitan dengan evolusi ekosistem perkotaan. MEA memperkirakan konsekuensi perubahan ekosistem dan menyoroti kontribusi faktor manusia. Situasi mencemaskan ini dipahami dengan baik melalui laporan Komisi Brundtland 1987, dengan meletakkan kesehatan ekosistem menjadi poros dasar, menarik perhatian pada kerusakan lingkungan dan pengaturan fondasi untuk meningkatkan kesadaran sebelum keruntuhan ekologi. Sementara itu pada Agenda 21 untuk kota, agenda baru, mendukung pernyataan Komisi Brundtland dengan membuka jalan menuju model kota yang berkelanjutan.
Menurut Karvounis konsep metabolisme perkotaan pertama kali diperkenalkan oleh Marx yang mengusulkan metabolisme perkotaan-pedesaan (urban-rural metabolism). Bagi Marx transformasi limbah manusia dan hewan menjadi pupuk untuk diimplementasikan melalui proses melingkar/sirkular pada ekosistem perkotaan. Namun, implikasi lingkungan dari urbanisasi adalah juga terbukti melalui konsep ‘keretakan metabolik’ (the metabolic rift) yang dia perkenalkan, untuk mempelajari pengaruh sosial. Peningkatan populasi dan migrasi manusia dari pedesaan ke perkotaan menciptakan keretakan dalam proses metabolisme, karena manusia mengubah karakter siklus banyak aliran, menghalangi kembalinya limbah ke tanah.
Pada abad ke-20, tulis Karvounis, Eugene Odum menunjukkan aspek biologis dari konsep metabolisme perkotaan dan ditangani dengan konseptualisasi energi. Namun, konsep tersebut pertama kali diterapkan oleh Abel Wolman pada tahun 1965, pada sebuah kota hipotetis. Ia memahami kompleksitas sistem perkotaan dan mempelajari dinamika arus sosioekologis yang harus dievaluasi.
Lebih khusus lagi, dengan mengutip Pincetl (2012) metabolisme perkotaan ditentukan oleh penghitungan arus masukan dan keluaran, agar dapat ditarik kesimpulan tentang keseimbangan ekosistem. Nutrisi, energi, bahan, kapasitas air dan limbah semuanya dihitung, sedangkan siklus hidupnya (life cycle) diintegrasikan ke dalam konsep tersebut (Pincetl 2012; Wachsmuth 2012). Sistem yang berfungsi di dalam kota mengandalkan jaringan sistem sirkulasi material dan limbah yang bergerak. Aliran metabolisme berasal dari pembangunan perkotaan, konsumsi pangan, penggunaan energi dan material; sebagai kota berkembang dan tumbuh semua buatan manusia sistem sirkulasi harus berkembang dan lingkungan harus siap menerima peningkatan pembuangan limbah. Padahal, pengelolaan sampah mengonsumsi energi agar sampah bisa digunakan kembali atau didaur ulang.
Metabolisme perkotaan membutuhkan pengertian yang lebih luas agar dapat memasukkan faktor politik dan sosial ke dalam wacana tentang fenomena perkotaan. Bergerak melampaui dualisme alam-masyarakat yang menggabungkan teori proses metabolisme hari ini, konsep metabolisme perkotaan menyebabkan rekonseptualisasi, dengan mempertimbangkan faktor sosial dan ekonomi. Faktor sosial dianggap sangat penting karena metabolisme perkotaan mengacu pada keinginan dan visi masyarakat, yang membentuk aliran material dan energi dan juga mengontrol keluaran sampah kota. “This process embodies the way political and human perspectives enter the game” (Rapoport dalam Karvounis, 2015). Proses ini mewujudkan cara pandang politik dan manusia memasuki arena permainan.
Salah satu tokoh penting dalam konsep metabolisme kota/urban adalah Abel Wolman. “Persyaratan metabolisme kota dapat didefinisikan sebagai semua bahan dan komoditas yang dibutuhkan untuk menopang penduduk kota di rumah, di tempat kerja dan saat bermain, “demikian tulis Abel Wolman dalam artikel sentinelnya di Scientific American pada September 1965. Menurut Slawomir W. Hermanowicz dan Takashi Asano dalam artikelnya: Abel Wolman’s “The Metabolism of Cities” Revisited: A Case for Water Recycling and Reuse, Wolman menyatakan dengan jelas bahwa siklus metabolisme kota itu harus berkelanjutan. Konsep ini, yang sebelumnya hanya diakui secara implisit, secara khusus dapat diterapkan pada siklus hidrologi yang meliputi penyediaan air, pembuangan air limbah dan juga penggunaan kembali air.
Artikel Wolman yang berjudul “The Metabolism of Cities” mengupas tentang kelangkaan air, polusi air dan udara yang terjadi di Amerika Serikat pada tahun 1960 ketika tulisan itu dimuat pada Jurnal Scientific America. Memang banyak tersedia air tetapi pasokannya perlu diawasi. Pencegahan polusi harus menjadi bagian dari kebijakan ekonomi publik.
Ia menyoroti pengelolaan air dan kekurangan air di New York City sebagai latar belakang. Wolman meneliti ketersediaan sumber daya air di AS dan membandingkannya dengan konsumsi yang diantisipasi. Dengan perkiraannya, pada 1965, limapuluh lima tahun yang lalu, permukaan yang tersedia secara ekonomis sumber daya air sekitar 70×1011 gal/hari (1,8×108 m3/hari). Pada 1965, mereka bisa dengan mudah memenuhi permintaan air (diambil dari sumber air permukaan) sejumlah 20×1011 gal / hari (8,50×107 m3/hari). Namun, Wolman meramalkan, permintaan yang meningkat akan melebihi 70×1011 gal/hari yang tersedia antara tahun 1980 dan 2000. Dia lebih lanjut menulis, “Di AS saat ini perhatian difokuskan pada kekurangan air dan pencemaran air dan udara. Di sana adalah banyak air, tetapi untuk memasoknya membutuhkan tinjauan ke masa depan. Sementara New Yorkers menonton waduk yang kosong, California sedang membangun saluran air. Berkat pandangan ke depan orang-orang di California mampu menyirami halaman rumput dan mengisi kolam renang mereka, sementara di New York halaman rumput sekarat dan kolam kosong.
Pada tahun 1965 itu penduduk New York 17.73 juta. Saat ini (2020) penduduknya mencapai mendekati 19 juta, turun 0.01% dari 2019. Bandingkan dengan Jakarta dengan penduduk 10.56 juta (2020). Pertumbuhan penduduk yang terus meningkat maka membuat metabolisme kota juga akan makin meningkat. Harus mampu mengolah material input dan menghasilkan output yang tidak lagi menjadi beban kota.
Pada tahun 1997 Peter Baccini, A City’s Metabolism: Towards the Sustainable Development of Urban Systems percaya bahwa konsep metabolisme kota adalah tool yang bisa digunakan untuk mendorong pengelolaan pembangunan kota yang berkelanjutan.
Dua isu penting yang selalu mengemuka dalam perbincangan tentang pembangunan berkelanjutan. Yaitu daerah perkotaan negara-negara berkembang dan konsumsi bahan bakar fosil. Sayangnya menurut pengamatan Baccini, tidak ada model yang valid untuk mengevaluasi keberlanjutan perkembangan wilayah perkotaan. Ada model di skala global— pedoman pengurangan sumber daya per kapita konsumsi untuk mengamankan kebutuhan generasi mendatang dengan populasi global delapan-sepuluh miliar mendatang— tetapi tidak ada yang mengevaluasi “metabolisme” sumber daya saat digunakan, diubah oleh, dan kemudian dipindahkan dari wilayah perkotaan. Tulisan Baccini, meskipun terbit lebih 20 tahun lalu masih relevan dan merupakan upaya untuk menciptakan model mengevaluasi keberlanjutan perkembangan wilayah perkotaan.
Bagi Baccini jika metabolisme wilayah perkotaan ingin berkelanjutan secara ekologis, harus ada pembangunan yang:
- hanya didasarkan pada sumber daya yang dapat diperbarui. Artinya, tingkatkonsumsi sumber daya tidak boleh melebihi tingkat di mana sumber daya tersebut dapat digunakan ulang
- tidak mengurangi keanekaragaman hayati.Artinya, pembangunan mempertahankan “genetic pool”
- tidak mengarah pada sistem yang mengurangi kebebasan masa depangenerasi dengan meninggalkan generasi tersebut perairan tercemar dan ekosistem darat.
Untuk mengevaluasi keberlanjutan metabolisme, misalnya dicontohkan pada kasus Dataran Rendah Swiss, pertama-tama kita harus menetapkan hipotesis yang digunakan untuk mengevaluasi sistem perkotaan apa pun. Menurutnya metabolisme sistem perkotaan apa pun akan berkelanjutan jika:
- permintaan untuk “barang massal” penting seperti air, biomassa,bahan konstruksi (misalnya, batu) dan pembawa energi, dapat tersedia secara terus menerus lebih dari 80 persen dalam jangka waktu yang lama. Tingkat kemandirian, kebutuhan barang esensial, menentukan batas ekologis yang ditentukan dari sistem perkotaan.
- permintaan akan “barang massal” yang esensial tidak dipenuhi sendiri maka dapat dipenuhi oleh “pasar eksternal” sedemikian rupasehingga kapital sumberdaya global per kapita dari pasar eksternal ditentukan oleh tingkat pertumbuhan tahunan dari wilayah perdesaan dibagi dengan populasi dunia.
- keluaran (emisi) tidak menjadi beban bagi generasi mendatang.Tidak ada lingkungan lingkungan (hidrosfer, atmosfer, litosfer) dapat digunakan sebagai wadah untuk fluks antropogenik sedemikian rupa agar bidang atau bagiannya ini menjadi situs berbahaya untuk manusia atau biosfer.
Kesimpulannya, studi Baccini tentang “metabolisme” di satu daerah perkotaan menunjukkan bahwa jika pembangunan berkelanjutan ingin direalisasikan, wilayah tersebut harus melaku-kan modifikasi secara drastis material pemukiman dan mengganti materialnya saat ini digunakan untuk transformasi energi. Manajemen tiga “barang massal” lainnya di kawasan itu (air, biomassa, dan konstruksi material) dapat lebih mudah dimodifikasi dan, oleh karena itu, dapat lebih mudah dibuat berkelanjutan.
Bagaimana cara terbaik kita melacak tuntutan percepatan urbanisasi global? Apa yang harus dilakukan agar pertumbuhan urbanisasi itu benar-benar bisa dikelola dengan baik dan masih bisa menciptakan kehidupan urban yang manusia dan berkelanjutan? Michael Weinstock, Direktur Penelitian dan Pengembangan Arsitektur Association (AA) di London, mengusulkan pendekatan matematika untuk mengungkap dinamika kota. Dia menganjurkan metode ganda yang mengungkapkan kekhususan metabolisme kota mana pun dengan secara bersamaan memetakan bentuk fisiknya – kekompakannya dan kepadatan – dan aliran energi, informasi dan materialnya.
Dalam tulisannya “The Metabolism of the City the Mathematics of Networks and Urban Surfaces,” Michael Weinstock (2011) merunut gambaran kota-kota. Antropolog Claude Lévi-Strauss, kutip Weinstock, menggambarkan kota itu sebagai ‘kumpulan hewan yang menyelipkan sejarah biologis mereka ke dalam batas-batasnya dan pada saat yang sama melalui setiap tindakan sadar mereka mencetak dan membentuknya. Dengan pembangunan dan bentuknya, sehingga itu menjadi bentuk prokreasi biologis, evolusi organik, dan estetika penciptaan. Hal ini sekaligus merupakan obyek dari alam dan subjek budaya; seorang individu dan kelompok; sesuatu yang hidup dan sesuatu yang diimpikan; prestasi manusia tertinggi.’ Separuh dari manusia yang hidup saat ini tinggal di kota, meskipun pola geografisnya tidak merata; di Eropa dan Amerika Utara, empat dari lima orang tinggal di kota.
Saat populasi dunia terus bertambah, kota-kota yang ada sedang berkembang dan kota-kota baru sedang dibangun, terhubung dan terintegrasi ke dalam sistem dunia. Urbanisasi dunia semakin cepat, dan diperkirakan dalam waktu kurang dari dua generasi akan ada tambahan 2 miliar penghuni perkotaan, yang sebagian besar akan berlokasi di Asia Tenggara, China, India dan Afrika.
Perluasan kota yang ada dan penciptaan kota-kota baru untuk memenuhi permintaan ini adalah tugas yang mencemaskan. Kota adalah bentuk material terbesar dan paling kompleks yang dibangun oleh manusia, tetapi mereka jauh lebih dari sekadar artefak sangat luas. Mereka adalah susunan dinamis, spasial dan material bangunan yang dibangun, dikerjakan ulang dan dibangun kembali dari waktu ke waktu, membusuk, runtuh, dan meluas dalam episode pertumbuhan dan penggabungan yang tidak teratur. Saat mereka tumbuh dan berkembang, sistem mereka untuk pergerakan makanan, material, air, manusia dan artefak yang diproduksi harus tumbuh dan berkembang bersama mereka.
Dari perspektif ini, kota bukanlah susunan struktur material yang statis, tetapi dianggap sebagai analogi dengan makhluk hidup, karena mereka mengkonsumsi energi, makanan, air dan bahan lainnya, membuang limbah dan mempertahankan diri dari generasi ke generasi. Studi matematika kontemporer kota-kota itu berasal dari perkembangan sejarah studi metabolisme dalam biologi telah difokuskan baik pada hubungan-hubungan ‘allometric’ bentuk fisik morfologi perkotaan seperti bentuk keseluruhan, kekompakan dan kepadatan, atau pada hubungan energi, informasi dan aliran material dan jaringannya dengan pola spasial kota.
Faktor-faktor internal dan eksternal (seperti banjir, rob atau perubahan iklim) sebagai bagian dari material yang masuk dalam metabolisme kota harus menjadi bagian pengelolaan dan desain. Makin bagus membuat desain dan mengeksekusinya maka metabolisme kota akan berjalan dengan baik. Jika ada ‘infeksi’ atau anomali dalam metabolismenya kita tahu apa yang harus dilakukan.
i https://www.youtube.com/watch?v=v6hp3i2ydrI
ii https://www.basicknowledge101.com/subjects/big5.html
iii https://www.basicknowledge101.com/subjects/citymanagement.html#infrastructure
iv https://www.slowfood.com/much-meat-eat/
v Rujukan yang baik tentang konsumsi bahan pangan dunia dan beberapa negara dalam 50 tahun (1961-2011) dicatat oleh National Geographic pada tautan ini: https://www.nationalgeographic.com/what-the-world-eats/
vi https://www.nationalgeographic.com/environment/article/human-made-materials-now-equal-weight-of-all-life-on-earth
vii https://www.basicknowledge101.com/subjects/sustainable.html
viii Waf Sci. T~clt. Vol. 40. No. 4-5. pp. 29-36. 1999. Published by Elsevier Science LId Pnnted m Great Bntam. All rights reserved.
ix https://www.google.com/search?client=safari&rls=en&q=New+York+Population+in+1965&ie=UTF-8&oe=UTF-8
x https://www.macrotrends.net/cities/23083/new-york-city/population
xi https://www.google.com/search?client=safari&rls=en&q=Jakarta+population&ie=UTF-8&oe=UTF-8
xii Journal of Urban Technology, Volume 4, Number 2, pages 27-39. Copyright © 1997 by The Society of Urban Technology. All rights of reproduction in any form reserved. ISSN: 1063-0732
xiii https://en.wikipedia.org/wiki/Seven_generation_sustainability
Sebagai tambahan catatan dari saya, ‘konsep keberlanjutan generasi mendatang biasa dihitung dengan tujuh generasi ke depan. Keberlanjutan Generasi Tujuh adalah konsep yang mendorong generasi manusia saat ini untuk hidup dan bekerja demi kepentingan generasi ketujuh di masa depan. Hal ini diyakini berasal dari Iroquois – Hukum Agung Iroquois – yang berlaku untuk berpikir tujuh generasi ke depan (sekitar 140 tahun ke depan) dan memutuskan apakah keputusan yang mereka buat hari ini akan menguntungkan anak-anak mereka tujuh generasi ke depan. Hal ini sering dikaitkan dengan konsep pengelolaan lingkungan atau ‘keberlanjutan’ yang modern dan populer, tetapi konteksnya jauh lebih luas.