Sustainability 17A #16
Mengintip Fotografer Melihat
A Pale Blue Dot
Dwi R. Muhtaman,
sustainability learner
Di sebuah sungai nampak tiga perempuan dan satu laki-laki. Seorang perempuan menggendong anaknya. Mereka bergembira mandi bersama sambil masing-masing bermain dengan beberapa ekor penyu. Bercengkerama dengan penyu-penyu di sekitarnya. Semua tertawa riang lepas seperti sungai yang mengalir. Menikmati kecipak sungai dan bercanda bersama. James, sambil tetap memotret momen yang menyenangkan itu, ikut mandi dengan mengenakan celana pendeknya. Mereka semua tertawa kepada James. James sebetulnya tidak mengerti bahasa mereka. Tetapi untuk beberapa hal kata apapun yang diucapkan, mereka saling memahami apa maksudnya. Apalagi sebuah kegembiraan. Kegembiraan tak mengenal bahasa.
Suasana riang di sungai itu adalah sebuah foto yang dijepret oleh James di tengah hutan Amazon, Brazil. Kegembiraan selalu ada ruang, bagaimanapun buruknya; kondisi menyedihkan hutan di Amazon di Brazil dan Peru, penambang, penggembala dan illegal loggers, hutan yang dibuldozer, sungai tercemar, wajah-wajah sedih masyarakat adat yang terpampang di media. James ingin mengabarkan secuil kegembiraan yang terselip diantara arus air sungai dan lebatnya hutan yang tersisa.
Antara 2016-2018 Charlie Hamilton James, fotografer National Geographic melakukan perjalanan jauh ke jantung pelosok Amazon. Ia tinggal selama 1.5 tahun bersama masyarakat adat Awa dan Guajajara. Masyarakat adat ini termasuk suku terakhir yang bertahan hidup di Amazon. James mendapatkan tugas peliputan ini sebagai tanggungjawab majalah yang lebih 130 tahun merekam dan mengabarkan kepada khalayak tentang manusia dan seisi buminya. Termasuk menceritakan tentang komunitas yang seluruh hidupnya bergantung dari hutan–sesuatu yang sama sekali berbeda dari kita yang hidup dalam dunia serbamoderen.
Fotografi bisa dengan efektif mengabarkan bagaimana orang-orang yang hidup di pelosok dan menggantungkan kehidupannya pada sumberdaya hutan seperti di Amazon. Ancaman deforestasi berarti ancaman terhadap ruang kelola hidup mereka dan itu akan mempunyai konsekwensi daya hidupnya bakal menurun. Jumlah mereka dari tahun ke tahun makin berkurang drastis. Apa yang harus dilakukan? Sebagai fotografer, James menggunakan media fotografi untuk menyampaikan pesannya: Ada masyarakat adat di pelosok kelebatan hutan yang perlu mendapatkan hak ruang hidup yang seperti mereka inginkan untuk hidup dan berkembang. Bahwa hutan bukanlah hanya apa yang nampak. Ada kehidupan di dalamnya. Kehidupan yang sama dengan kita, meski dengan cara yang berbeda.
“And now there came,
upon the turbid waves,
a crash of fearful sound at
which the shores both trembled…”
(Inferno, Dante)
“Black drizzling crags…
the sick sight and giddy prospect
of the raving stream, the unfettered clouds
and regions of the heavens, tumult and peace,
the darkness and the light…”
(The Prelude, Wordsworth)
Dua potongan sajak itu dikutip oleh Michael Freeman dalam buku fotografi: The Photographer’s Mind, Creative Thinking for Better Digital Photo (2010). Kalau diterjemahkan kira-kira seperti ini: “Dan datanglah/di atas gelombang keruh/suara yang menakutkan pada/kedua pantai bergetar …” (Inferno, Dante). “Tebing gerimis hitam …/pemandangan yang lelah dan harap yang membuncah/arus yang mengoceh, awan yang tak terkekang/dan hamparan surga, kekacauan dan kedamaian/kegelapan dan terang…” (Prelude, Wordsworth).
Sajak itu menggambarkan betapa sempurnanya kecantikan alam, kesempurnaan lekuk, sosok, hamparan, gelombang, suara yang mencekam, awan yang mengalir berarak dengan suara kencang, namun penuh kedamaian–juga kekacauan dan kegelapan– hingga gelap turun dengan pancaran cahaya yang lain…. Penyair seringkali bisa menggambarkan drama dari sebuah suasana dengan kata, seperti seorang fotografer yang menangkap suasana dengan jepretan gambar. Penyair menangkap sesuatu dengan rasa, pikiran kreatifnya dan menuangkan dalam kata-kata pilihan yang tepat. Demikian juga fotografer yang mampu menangkap utuh suasana dengan rasa, pikiran kreatif dan ketajaman intuisi, mengatur komposisi, dan kecepatan mengambil keputusan untuk memencet tombol. Karena itu pada dasarnya antara penyair dan fotografer adalah dua profesi yang serupa. Kemampuan penyair menciptakan word-pictures bukanlah sesuatu yang asing bagi fotografer. Fotografi adalah soal momentum. Fotografi adalah soal rasa dan imajinasi. Maka lakukanlah dengan rasa yang mendalam pada tiap jepretan. Lakukannya dengan penuh imajinasi. Seperti sebuah puisi.
Sisi lain dari keindahan adalah keluhuran yang menakjubkan. Misalnya ketika pada suatu tempat kita terpesona dengan panorama atau situasi yang luar biasa atau bahkan menakutkan. Kita di Indonesia tidak sulit menemukan situasi ini. Mereka yang berkunjung ke Pulau Krakatau, menjejakkan kaki di gunung dengan ketinggian 813 m itu akan sesekali merasakan getaran-getaran bumi karena aktifnya gunung api itu. Tiap hari Gunung yang letusannya pada 1883 tercatat sebagai salah satu erupsi gunung api terdahsyat di dunia itu, bergetar ratusan kali—sesuatu yang biasa terjadi. Kekuatan alam yang dahsyat ini mempesona meski kadang menakutkan. Faktanya, kekuatan alam sejenis itulah yang menginspirasi banyak seniman dan penyair Romawi pada akhir abad ke-18, abad yang menciptakan seni yang luhur — seperti yang digambarkan oleh para filosof, misalnya Edmund Burke dan Immanuel Kant.
Ketika perang Teluk berkecamuk di Irak, militer Amerika menggunakan istilah “Shock and Awe” saat membombardir Baghdad. Cahaya yang ditimbulkan oleh hempasan bom-bom memecah malam. Mereka tidak sengaja menunjukkan ketakjuban dan sekaligus keprihatinan yang mendalam: shock bagi mereka yang menebarkan kedahsyatan pemunah masal itu, dan kagum bagi mereka yang menonton dengan nyaman duduk di sofa empuk depan televisi yang jauh dari hancurnya malam. Derita yang tiada tara bagi mereka yang menjadi sasaran kehancuran peradaban. Dari sisi fotografi, seperti yang ditulis Freeman, sangat sederhana: ada adegan, langit, dan sejumlah pencahayaan, dan semua itu biasanya disebut sebagai “dramatis.” Tetapi apa yang terjadi jauh lebih menarik dari itu.
Fotografi adalah kegiatan yang mampu menggambarkan dengan baik keindahan yang menakjubkan pada suatu saat. Seperti badai yang berubah dengan cepat maka perlu kecepatan yang tepat untuk bisa menangkapnya. Pada waktu bersamaan, fotografi juga bukanlah perangkat yang sempurna. Ia cenderung mengurangi banyak hal, misalnya fotografi harus digunakan dengan format dan presentasi tertentu untuk menangkap momen dan kesan tertentu. Untuk sebuah obyek foto bisa jadi fotografer mempunyai selera yang serupa, baik sudut pengambilan, cahaya atau kejamanannya. Semua bisa melakukannya. Karena itu fotografi menuntut kreatifitas, menunutut ketajaman rasa dalam menghadapi tantangan-tantangan situasi itu, tulis Freeman.
“Fotografi itu sifatnya langsung, to the point,” kata Freeman, seorang fotografer internasional dan penulis yang spesialisasinya pada perjalanan, arsitektur dan seni Asia. Ada sesuatu di depan kamera; jepret dan Anda memiliki gambar itu, dengan atau tanpa cukup banyak mikir. Jika Anda melakukan ini cukup sering bisa jadi akan menghasilkan permata. Tetapi berpikir lebih dulu saat akan melakukan jepretan tentu saja dijamin akan lebih baik. Apalagi disertai dengan perencanaan yang matang, maka foto-foto yang diambil oleh fotografer handal adalah foto-foto berkelas. Karena itu tidak mengherankan jika fotografer profesional menghabiskan cukup banyak waktu untuk menyiapkan dan merencanakan detil setiap akan melakukan perjalanan untuk pengambilan gambar.
Banyak instruksi fotografi berfokus pada bagaimana foto yang jernih dan jelas, dengan mengidentifikasi subjek, memilih lensa, sudut pandang, dan framing yang paling efisien dan mengomunikasikannya pada menikmat foto.
Itulah yang biasanya dilakukan oleh fotografi berita. Misalnya untuk kebutuhan-kebutuhan yang cepat—kejelasan dan efisiensi diperlukan— tetapi apa yang cocok untuk foto dalam satu konteks mungkin tidak tepat jika disajikan untuk tujuan dan konteks yang berbeda, seperti di dinding galeri. Nasihat Freeman, “Jika Anda ingin orang memperhatikan fotografi Anda dan menikmatinya, Anda harus bisa memberi alasan yang meyakinkan untuk melihatnya lebih lama dari sekedar sekilas.”
The Photographer’s Mind ini dibuka dengan judul yang provokatif: Democratic Photography—sebuah manifesto bahwa melalui fotografi orang bebas mengekspresikan sikap, pernyataan, kegundahan dan bahkan sebuah protes. Layaknya sebuah pentas demokrasi. Menyuarakan kebebasan berpendapat. Freedom of expression. Dengan mengutip fotografer fenomenal, Susan Sontag dalam bukunya On Photography, Freeman menulis: “…being educated by photographs…anthology of images…To collect photographs is to collect the world.” Ketika Susan mendiskusikan tentang fotografi bersama orang awam, lanjutnya, it is as a social phenomenon: “…photography is not practiced by most people as an art. It is mainly a social rite…” Ritual sosial itulah yang kini menjangkiti milyaran penduduk bumi untuk senantiasa terbius melakukan fotografi. Dengan segala jenis ponsel pintar siapapun bisa mengambil foto. Setiap orang bisa menjadi fotografer. Fotografi kini menjadi ritual sosial baru yang merambah orang segala usia, segala profesi, segala bangsa.
Freeman yang telah menerbitkan lebih dari 20 buku fotografi menuliskan buku Photographer’s Mind seperti menulis sebuah buku filsafat fotografi. Setiap bagian tehnis yang dirangkum dalam tiga bab ini, tidak hanya mengupas soal tehnis belaka. Tetapi lebih dari itu memberi values, memberi filosofi dari tiap tehnik yang diuraikan. Sebagai tips ringkasannya dia memberi enam daftar yang bisa menjadi panduan fotografi yang baik—meskipun tidak semua fotografi bagus memenuhi semua hal berikut, tetapi kebanyakan melakukan sebagai berikut:
- Pahami apa yang umumnya bisa memuaskan. Bahkan jika sebuah gambar mengabaikan dasar-dasar teknis dan estetika, rasa yang bisa memuaskan tetap perlu diletakkan dalam konteks yang tepat.
- Merangsang dan memprovokasi. Jika sebuah foto tidak membangkitkan atau menarik minat, maka itu hanya tinggal foto tanpa sesuatu yang lain.
- Apakah multi-layered. Sebuah gambar yang berfungsi lebih dari satu level, seperti muka grafis dengan makna yang lebih dalam, akan lebih baik. Penikmat biasanya menyukainya.
- Cocok dengan konteks budaya. Fotografi kini merupakan bagian dari visual dietyang secara alamiah bersifat kontemporer. Kebanyakan orang menyukainya, kini dan di sini–tempat dimana fotografi dilakukan.
- Berisi ide. Setiap karya seni memiliki beberapa kedalaman pemikiran yang masuk ke dalam karya. Sebuah gambar perlu menangkap imajinasi penikmat sebagaimana juga menarik perhatiannya.
- Benar dan tepat untuk medium yang pas. Ini sudah lama dipegang sebagai pandangan dalam kritik seni, bahwa setiap media seharusnya mengeksplorasi dan memanfaatkan apa yang baik, dan tidak meniru bentuk seni lainnya.
Sebagai media yang menyampaikan cerita, fotografi seringkali memberi kejutan-kejutan. Kita ingat tahun 1984 bidikan Steve McCurry, fotografer National Geographic, foto Sharbat Gula atau dikenal juga sebagai Sharbat Bibi seorang Gadis Afghanistan. Potret Gula yang diambil di camp pengungsian Afganistan itu kemudian muncul di sampul National Geographic bulan Juni 1985. Gambar itu menceritakan seorang gadis remaja bermata hijau dengan kerudung merah sedang menatap tajam kamera. Tatapan tajam matanya seperti membelah kemanusiaan kita terhadap perang di Afghanistan.
“But to be a great photojournalist, you have to have more than just one or two great photographs in you. You’ve got to be able to make them all the time. But even more importantly, you need to know how to create a visual narrative. You need to know how to tell a story….,” kata David Griffin, the photo director National Geographic. Fotografer yang handal pasti menghasilkan puluhan, ribuan karya terbaiknya. Karena ia melakukannya secara terus menerus; mengeksplorasi segala kemungkinan, melakukan eksperimen. Setiap jepretan ada pelajaran yang dipetik untuk jepretan berikutnya.
Jonas Bendiksen, seorang fotografer yang energenik mengeksplorasi Dharavi sebuah kawasan bagian dari Mumbai, India. Jonas tinggal beberapa minggu di situ untuk mampu menangkap dan menyingkap dinamika kehidupan pemukiman kumuh pinggiran kota yang merupakan bagian penting dari detak urbanisasi. Ia mengamati napas kehidupan vital fungsi urban dan memotretnya dengan cantik.
Namun terkadang, satu-satunya cara untuk menyampaikan sebuah cerita adalah dengan gambar yang menyeluruh. Itulah yang dilakukan fotografer bawah air Brian Skerry dan jurnalis foto Randy Olson dengan mendokumentasikan menipisnya perikanan dunia. Foto-foto yang dibuat Brian dan Randy adalah yang terbaik untuk menangkap kerusakan manusia dan alam akibat penangkapan ikan yang berlebihan. Foto oleh Brian, seekor hiu yang tampak insangnya terperangkap dalam jaring baja. Atau gambar beragam ikan-ikan yang tidak sengaja tertangkap saat memancing untuk spesies tertentu dengan komposisi dan sudut pandang yang dramatis. Ikan-ikan yang telah mati itu akhirnya hanya dibuang sebagai sampah.
Fotografer tentu tidak semata menangkap hal-hal yang muram. Tapi ada juga secercah harapan. Brian memotret cagar alam laut di Selandia Baru, dimana penangkapan ikan komersial telah dilarang – hasilnya adalah spesies yang ditangkap secara berlebihan telah dipulihkan, dan dengan itu ada kemungkinan solusi untuk perikanan berkelanjutan. Keindahan-keindahan yang ditunjukkan oleh fotografer menjadi harapan yang mencerahkan; sesuatu yang perlu terus dirawat untuk bisa dinikmati sepanjang generasi dan sejauh jaman.
Bagi Griffin, fotografi dapat membuat hubungan nyata dengan orang-orang, connecting people; dan dapat digunakan sebagai agen positif untuk memahami tantangan dan peluang yang dihadapi dunia kita saat ini.
Lain halnya pengalaman fotografer Stephen Wilkes. Passionnya yang luar biasa dalam fotografi mampu menceritakan kisah-kisah yang mempesona.
Baginya fotografi dapat digambarkan sebagai perekaman satu momen yang dibekukan dalam waktu singkat. Setiap momen atau foto mewakili sepotong kenangan kita yang nyata seiring berjalannya waktu. Namun Wilkes, yang memulai konsep foto ini pada tahun 1996, bahkan mampu menghadirkan dan mengabadikan lebih dari satu momen dalam sebuah lembar foto. Ia ringkas waktu yang panjang, pagi dan siang; kadang lebih dari 24 jam, menjadi momen terbaik siang dan malam dengan mulus menjadi satu gambar.
Itulah yang dilakukan Wilkes. Ia membuat konsep yang disebut “Day to Night.“
Prosesnya dimulai dengan memotret lokasi ikonik, tempat-tempat yang menjadi bagian yang disebut memori kolektif kita. Lalu ia memotret dari sudut pandang tetap, dan tidak pernah bergerak. Ia tangkap momen singkat humanis dan membiarkan cahaya alami seiring berjalannya waktu. Memotret selama 15 hingga 30 jam dan memotret lebih dari 1.500 gambar, dan kemudian dipilih momen terbaik dalam rentang siang dan malam itu.
Menggunakan waktu sebagai panduan, ia dengan tanpa lelah memadukan momen-momen terbaik itu ke dalam satu foto tunggal, memvisualisasikan perjalanan sadar kita dengan waktu. Wilkes dapat membawa kita ke Paris untuk melihat pemandangan dari Jembatan Tournelle. Atau menunjukkan kepada Anda pendayung pagi hari di sepanjang Sungai Seine. Dan secara bersamaan, ia bisa menunjukkan Notre Dame bersinar di malam hari. Dan di antaranya, bisa ditunjukkan romansa Kota Cahaya.
Wilkes, yang mulai kenal fotografi pada usia 12 tahun ini, mengaku adalah seorang street photographer dari ketinggian 15 meter di udara, dan setiap hal yang terekam pada karya fotonya adalah momen yang terjadi pada hari foto itu diambil.
Day to Night adalah proyek global. Bagi Wilkes pekerjaannya ini adalah selalu tentang sejarah. “This is not a timelapse, this is me photographing throughout the day and the night. I am a relentless collector of magical moments. And the thing that drives me is the fear of just missing one of them,” katanya. “I’m interested in creating images that resonate with the way we actually see the world,” kata Wilkes.
Fotografer Stephen Wilkes membuat komposisi lanskap yang menakjubkan saat waktu bertransisi dari siang ke malam, menjelajahi kontinum ruang-waktu dalam foto diam dua dimensi. Bepergian bersamanya adalah pengalaman yang ajaib dan tak akan terlupakan; ke lokasi ikonik seperti Jembatan Tournelle di Paris, El Capitan di Taman Nasional Yosemite, dan lubang berair yang menghidupkan di jantung Serengeti dalam tur seni dan prosesnya ini.
Salah satu momen yang menarik dan ini berkaitan erat dengan masa depan bumi kita adalah ketika Wilkes berkunjung ke Taman Nasional Serengeti di Tanzania. Momen yang diakuinya memiliki arti khusus. Sebuah foto yang diambil di tengah Seronera. Seronera adalah pemukiman kecil di Taman Nasional Serengeti, Tanzania. Ini adalah tempat bagi landasan kapal terbang kecil. Pada bagian Seronera terdapat Lembah Sungai Seronera (The Seronera River Valley), terletak di wilayah tengah-selatan Taman Nasional, adalah salah satu area paling populer di seluruh cagar alam. Dikenal sebagai the Big Cat Capital of Africa, Seronera kaya akan singa, macan tutul, dan cheetah – dan orang-orang sering melihat ketiganya dalam satu hari.
Sabana terbuka di selatan Sungai Seronera – adalah wilayah utama cheetah. Hewan lain yang dapat dilihat di berbagai habitat sungai, rawa, kopjes, dan padang rumput termasuk gajah, kuda nil, dan buaya di sungai, kerbau, impala, topi, serigala, dan rubah bertelinga kelelawar. Lokasi Seronera adalah salah satu tempat terbaik untuk melihat Migrasi Besar dimulai, karena hewan-hewan tersebut berpindah-pindah area selama berbulan-bulan.
Ia pergi secara khusus selama migrasi satwa puncak untuk berharap menangkap berbagai jenis hewan yang paling beragam. Sayangnya, saat tiba di sana, terjadi kemarau, kekeringan selama lima minggu. Jadi semua hewan berhimpun ke sumber air satu-satunya di wilayah itu. Ada satu kubangan berair. Dan itulah dia mendapatkan kesempatan nyata untuk menangkap sesuatu yang unik.
Bersama timnya ia menghabiskan tiga hari untuk mempelajari situasi. Ia memotret selama 26 jam dari balik tirai khusus kamuflase, setinggi 17 meter dari permukaan. Apa yang disaksikannya adalah sesuatu yang tidak terbayangkan. Disaksikan, selama 26 jam itu, semua spesies satwa yang berkompetisi dalam jaringan makanan ini berbagi satu sumber daya yang disebut air–sumberdaya yang sama yang akan diperebutkan manusia selama 50 tahun ke depan. Hewan-hewan itu bahkan tidak pernah saling mengganggu. Mereka tidak memangsa yang biasa menjadikan santapan. Masing-masing mempunyai kesempatan untuk menikmati air. Dan menyingkir dengan damai ketika merasa cukup.
Mereka tampaknya memahami sesuatu yang kita manusia tidak mengerti. Bahwa sumberdaya berharga yang disebut air ini adalah sesuatu yang kita semua harus berbagi.
Gambar ini, bagi Wilkes, menegaskan kesadaran bahwa konsep fotografi Day to Night benar-benar cara baru untuk melihat, meringkas waktu, menjelajahi kontinum ruang-waktu dalam sebuah foto. Seiring perkembangan teknologi seiring dengan fotografi, foto tidak hanya akan mengkomunikasikan makna yang lebih dalam dari waktu dan memori, tetapi juga akan menyusun narasi baru dari cerita yang tak terhitung, menciptakan jendela abadi ke dunia kita.
Hampir dalam banyak hal kondisi bumi, keindahan dan kehancuran, kegembiraan dan kemuraman, perkembangannya dari waktu ke waktu, kita ketahui dari hadirnya gambar-gambar yang bisa kita lihat dari fotografi siapapun yang melakukannya.
Baru 50 tahun yang lalu ketika manusia mendarat di bulan, kita menyadari sosok a pale blue dot yang disebut bumi ini. Dan kini nasibnya tengah dipertaruhkan ketika kita telah mengetahui gambarnya dengan baik. Mampukah kita merawatnya dan mewariskan planet biru yang mampu memberi kehidupan yang makin baik bagi generasi-generasi yang akan datang?
i Scott Wallace and Chris Fagan, Photographs by Charlies Hamilton James, Threatened by the Outside World. National Geographic. October 2018.
ii Susan Goldberg, Isolated and at Risk: People of the Amazon. National Geographic. October 2018.
iii https://www.ted.com/talks/david_griffin_how_photography_connects_us?language=en
iv Idem ditto
v https://www.ted.com/talks/stephen_wilkes_the_passing_of_time_caught_in_a_single_photo
vi https://www.smithsonianmag.com/travel/how-photographer-stephen-wilkes-captures-full-day-single-image-180972935/
vii https://www.discoverafrica.com/safaris/serengeti-national-park/central-serengeti-seronera-valley/
viii A Pale Blue Dot ini adalah sebutan Sagan untuk bumi ketika bumi untuk pertama kalinya bisa dilihat dari planet lain: bulan. Menurut Sagan, seribu tahun dari sekarang, zaman kita akan dikenang sebagai saat pertama kali kita meninggalkan Bumi dan melihatnya dari luar planet terluar sebagai a pale blue dot (titik biru pucat), hampir hilang dengan latar belakang bintang-bintang. Saat kita menyelesaikan pengintaian awal Tata Surya kita, kita mendambakan visi jangka panjang tentang masa depan manusia. Sekarang, astronom yang membawa Semesta kepada begitu banyak orang menjawab panggilan itu — menunjukkan bahwa kelangsungan hidup kita bergantung pada eksplorasi dan penyelesaian dunia lain. Titik Biru Pucat mengungkapkan bagaimana sains telah merevolusi pemahaman kita tentang di mana kita berdiri dan siapa kita dan menantang kita untuk menimbang apa yang akan kita lakukan dengan pengetahuan itu. Muncul dari pengakuan kita yang terkadang enggan atas tempat kita yang sebenarnya di Kosmos muncul sebuah visi tentang masa depan yang menggembirakan dengan dampak spiritual yang mengejutkan.
ix Carl Edward Sagan. “Pale Blue Dot: A Vision of the Human Future in Space.” 1994.
x Dalam buku itu biografi disebutkan CARL SAGAN adalah Profesor Ilmu Astronomi dan Antariksa David Duncan dan Direktur Laboratorium Kajian Planet di Universitas Cornell. Dia memainkan peran utama dalam program luar angkasa Amerika sejak awal. Dia adalah konsultan dan penasihat NASA sejak 1950-an, memberi pengarahan kepada astronot Apollo sebelum penerbangan mereka ke Bulan (1969), dan merupakan eksperimen dalam ekspedisi Mariner, Viking, Voyager, dan Galileo ke planet-planet. Dia membantu memecahkan misteri suhu tinggi Venus (jawaban: efek rumah kaca besar-besaran), perubahan musim di Mars (jawaban: debu yang tertiup angin), dan kabut kemerahan Titan (jawaban: molekul organik kompleks). Untuk karyanya, Dr. Sagan menerima medali NASA untuk Exceptional Scientific Achievement dan (dua kali) untuk Distinguished Public Service, serta the NASA Apollo Achievement Award. Asteroid 2709 Sagan dinamai menurut namanya.