Sustainability 17A #15
Kalau Pohon Bisa Ngomong
Dwi R. Muhtaman,
sustainability learner
“A forest is much more than what you see,” kata ekologis, Suzanne Simard. Penelitian selama lebih dari 35 tahun yang dilakukan di kawasan hutan Kanada itu menghasilkan temuan yang mengagumkan: pohon mampu bercakap-cakap, bahkan kerap pada jarak yang jauh sekalipun. Kehidupan sosial pohon yang cukup rumit ini membuat kita akan mengubah cara pandang terhadap pohon, tentang hutan, tentang alam. Kalau mau.
Tetapi apa itu pohon?
“Semua orang tahu apa itu pohon,” tulis Peter Thomas (Trees: Their Natural History, 2000). Sebuah kayu besar yang memberi keteduhan. Oaks, jati, beringin, pinus dan pohon megah besar yang serupa mungkin langsung terlintas dalam pikiran kita. Dalam definisi botani pohon adalah tumbuhan apa pun yang memiliki batang kayu yang mampu menopang sendiri kehidupannya. Ahli hortikultura menyebut sebuah ‘pohon’ dengan definisi sesuatu yang memiliki batang tunggal dengan tinggi lebih dari 6 m, yang bercabang menjulang di atas tanah, demikian kata Thomas.
Dan pohon mempunyai sejarah yang jauh lebih panjang daripada manusia. Dalam buku itu Peter Thomas menguraikan sejarah ringkasnya. Pada era Silurian, lebih dari 400 juta tahun yang lalu, tumbuhan vaskular pertama (yaitu dengan pipa internal) muncul di Bumi. Dari sini pohon-pohon pertama berevolusi pada era Devonian awal sekitar 390 juta tahun yang lalu. Dalam 100 juta tahun, rawa penghasil batu bara Carboniferous (360–290 juta tahun yang lalu) didominasi oleh hutan lebat. Pakis pohon dari hutan yang lainnya — jenis ekor kuda raksasa dan clubmosses — sudah lama menghilang. Hanya menyisakan beberapa kerabat kecil pakis-pakisan hutan yang ada sekarang.
Pakis ekor kuda seperti Calamites tingginya mencapai 9 m dan diameter 30 cm tetapi clubmosses (terutama Lepidodendron) pasti sangat luar biasa hingga setinggi 40 m dan diameter satu meter. Di hutan ini tumbuhan konifer primitif pertama muncul dan sekitar 250 juta tahun yang lalu (akhir Permian) pohon seperti sikas, ginkgo dan monkey puzzles dapat dikenali: jenis pohon yang ditemukan membatu di hutan yang membatu di Arizona, Amerika. Pinus tidak jauh di belakang, mungkin berkembang sekitar 180–135 juta tahun yang lalu (Jurassic) berbagi bumi dengan dinosaurus.
Dominasi tumbuhan konifer cukup lama tetapi kayu keras (hardwood) mula-mula mendiversifikasi selama awal jaman Cretaceous, sekitar 120 juta tahun yang lalu. Kayu keras mungkin berevolusi dari kelompok konifer yang sekarang punah.
Magnolia adalah salah satu jenis kayu keras yang paling awal yang kini masih ada. Selama periode Cretaceous dan memasuki awal Tersier (65–25 juta tahun yang lalu) hardwood mengalami ekspansi besar-besaran, menggeser tumbuhan konifer, yang kemungkinan besar adanya iklim global yang hangat dan lembab di Tersier awal.
Pada akhir periode Permian, sekitar 250 juta tahun lalu, sebagian besar massa tanah bumi terjepit menjadi benua super lama Pangea (Pangaea). Pada saat kayu keras berevolusi, Pangaea telah terpisah menjadi Laurasia (yang memunculkan benua di belahan bumi utara) dan Gondwanaland (berisi apa yang sekarang menjadi Australia, Afrika, Amerika Selatan, India dan Antartika), menjebak pinus terutama di belahan bumi utara. Laurasia dan Gondwanaland sendiri kemudian berpisah, dan kejadian itu bisa menjelaskan mengapa kayu keras di belahan bumi utara dan selatan begitu berbeda satu sama lain namun sangat mirip di seluruh dunia pada belahan bumi.
Pada 95 juta tahun yang lalu (pertengahan periode Cretaceous) sejumlah pohon-pohon yang kita kenali hari ini ada di sekitar: pohon salam, magnolia, planes, maple, pohon ek, willow dan, dalam 20 juta tahun lagi, pohon palem. Ketika dinosaurus punah (pada 65 juta tahun yang lalu) kayu keras mendominasi dunia dengan tumbuhan konifer yang sebagian besar berada jauh ke dataran tinggi.
Sejarah pohon yang begitu tua mungkin juga membuat cara pohon berkomunikasi makin canggih. Menurut Suzanne Simard, para ilmuwan menemukan bahwa satu akar semai pinus dapat mengirimkan karbon ke akar semai pinus lainnya. Itu terjadi dalam laboratorium secara in vitro. Bisakah ini terjadi di areal hutan yang sebenarnya? Pohon di hutan mungkin juga berbagi informasi lewat ekosistem bawah tanah, tempat mereka hidup. Riset yang berusaha menyingkap kemampuan pohon berkomunikasi ini adalah ide kontroversial. Simard mengaku sangat kesulitan mendapatkan dana penelitian.
Namun dia nekat tetap melakukan beberapa percobaan jauh di dalam hutan, 30 tahun yang lalu. Melakukannya dengan biaya murah dari kantong sendiri. Membeli beberapa kantong plastik dan lakban, kain peneduh, pengatur waktu, kertas, alat bantu pernapasan. Dia meminjam beberapa barang berteknologi tinggi dari universitas tempat dia bekerja: Geiger counter, scintillation counter, mass spectrometer, dan mikroskop. Kemudian dia juga mendapatkan beberapa barang yang sangat berbahaya: jarum suntik yang penuh dengan gas karbon dioksida karbon-14 radioaktif dan beberapa botol bertekanan tinggi dari gas karbon dioksida isotop stabil.
Ahli ekologi yang mempelajari jaringan kompleks dan simbiotik pohon ini menanam 80 bibit dari tiga jenis spesies: paper birch (Betula papyrifera), Douglas fir/cemara (Pseudotsuga menziesii), dan western red cedar (Thuja plicata). Ujicoba itu menunjukkan bahwa pohon birch dan cemara terhubung dalam jaringan di bawah tanah. Tapi pohon cedar tidak. Nampaknya cedar mempunyai dunia pergaulannya sendiri.
Selama proses pertumbuhan bibit-bibit itu ia tak lelah memeriksa dari satu plot ke plot lainnya memeriksa semua 80 tanaman. Uji C-13 dan C-14 menunjukkan bahwa pohon paper birch dan Douglas fir melakukan percakapan intensif dua arah yang hidup. Pada saat itu, di musim panas, birch mengirim lebih banyak karbon ke cemara daripada yang dikirim cemara ke birch, terutama saat cemara itu dinaungi. Dan kemudian dalam percobaan selanjutnya, ditemukan sebaliknya. Cemara mengirim lebih banyak karbon ke birch daripada yang dikirim birch ke cemara, dan ini karena cemara masih tumbuh sementara pohon birch tidak berdaun. Jadi ternyata kedua spesies itu saling bergantung, seperti yin dan yang.
Keberadaan keragaman pohon telah membangun pula jaringan komunikasi kuat bawah tanah yang sangat besar. Seperti sebuah dunia lain. Bagaimana paper birch dan Douglas fir berkomunikasi? Simard menemukan ternyata mereka berbicara tidak hanya dalam bahasa karbon. Tetapi juga nitrogen dan fosfor, air dan sinyal pertahanan dan alel bahan kimia dan hormon – yang itu semua adalah informasi.
Tentu hal yang penting dari memungkinkannya komunikasi pohon itu adalah karena adanya tanah/soil. Kemudian dari adanya pohon maka terjadi proses pembentukan tanah. Peter J. Gregory, Director, Scottish Crop Research Institute, Invergowrie, Dundee Visiting Professor of Soil Science, University of Reading, dalam bukunya: Plant Roots Growth, Activity and Interaction with Soils (2006) memaparkan dengan lengkap bagaimana tanaman, akar dan tanah berperan. Asosiasi yang erat antara tanah dan tanaman ini juga telah menyebabkan perdebatan yang terus berlanjut tentang peran tumbuhan dalam pembentukan tanah. Joffe (1936), yang dikutip Gregory, menulis bahwa ‘tanpa tanaman, tidak ada tanah yang dapat terbentuk.’ Peneliti lain menunjukkan bahwa vegetasi dapat berperan baik sebagai variabel dependen maupun variabel independen dalam hubungannya dengan faktor pembentuk tanah yang selanjutnya menjadi medium pohon untuk berkomunikasi dan berkembangbiak.
Para ilmuwan menyatakan bahwa simbiosis mutualistik di bawah tanah melibatkan tumbuhan yang disebut mikoriza (Gambar 1). Mikoriza secara harfiah berarti “akar jamur.” Jamur, sebuah tanaman yang nampak rentan dan amat sepele, ini ternyata mempunyai peranan amat penting bagi tanaman. Organ reproduksinya mudah terlihat kalau kita berjalan melewati hutan. Itu sebetulnya adalah jamur. Namun jamur hanya merupakan bagian kecil dari cerita yang lebih besar dan kompleks dari proses sebuah percakapan diantara pohon-pohon. Karena yang keluar dari batang akar pohon adalah benang jamur yang membentuk miselium, dan miselium itu menginfeksi dan menjajah akar semua pohon dan tumbuhan. Rizosfer juga berperan dalam proses ini. Di mana sel jamur berinteraksi dengan sel akar, ada pertukaran karbon dengan nutrisi, dan jamur mendapatkan nutrisi tersebut dengan tumbuh melalui tanah dan melapisi setiap partikel tanah. Jaringan ini sangat padat bahkan bisa ada hingga ratusan kilometer miselium di bawah satu jejak kaki.
Gambar 1. Jaringan bawah tanah pohon yang dihubungkan melalui mikoriza
Tidak hanya itu. Miselium menghubungkan individu yang berbeda di hutan, individu tidak hanya dari spesies yang sama tetapi juga antar spesies, seperti birch dan cemara, dan bekerja seperti sebuah jaringan Internet (Gambar 2).
Gambar 2. Jaringan akar yang mendukung dan menghubungkan beragam jenis dan umur pohon.
Seperti umumnya semua jaringan, jaringan mikoriza memiliki node dan tautan. Simard lantas membuat peta jaringan ini dengan memeriksa urutan pendek DNA dari setiap pohon dan setiap individu jamur di sepetak hutan Douglas fir. Dalam Gambar 3, lingkaran mewakili cemara Douglas, atau node, dan garis mewakili jalan raya jamur yang saling terkait, atau tautan. Dalam jaringan ini ditemukan bahwa satu pohon bisa berkomunikasi dengan 47 pohon lainnya dalam satu bentang hutan. Sebaliknya jika satu pohon ditebang/dihilangkan maka terdapat 47% hubungan yang hilang dalam jaringan itu.
Node terbesar dan paling gelap adalah node tersibuk. Disebut sebagai pohon penghubung, atau pohon induk. Karena ternyata pohon penghubung tersebut memelihara anak-anaknya, yang tumbuh di bawah tanah. Pada titik-titik kuning, itu adalah bibit muda yang telah tumbuh di dalam jaringan pohon induk tua. Dalam satu hutan, pohon induk dapat dihubungkan dengan ratusan pohon lainnya. Dan dengan menggunakan pelacak isotop, Simard menemukan bahwa pohon induk akan mengirimkan karbon berlebih melalui jaringan mikoriza ke bibit tumbuhan bawah. Relasi solidaritas ini telah mampu meningkatkan kelangsungan hidup bibit sebanyak empat kali lipat.
Gambar 3. Jaringan kompleks komunikasi pohon
Pada waktu yang berbeda Simard melakukan percobaan untuk menguji apakah pohon hanya mampu mengenali kerabatnya dalam satu jenis? Pohon induk ditanam bersamaan dengan menanam pohon kerabat dan bibit pohon jenis asing, jenis yang berbeda. Dan ternyata pohon induk memang mengenali kerabatnya. Pohon induk memenuhi kerabat mereka dengan jaringan mikoriza yang lebih besar. Mereka mengirimkan lebih banyak karbon di bawah tanah. Mereka bahkan mengurangi persaingan akar mereka sendiri untuk memberi ruang bagi anak-anak mereka. Ketika pohon induk terluka atau sekarat, mereka juga mengirimkan pesan-pesan kebijaksanaan kepada generasi bibit berikutnya. Jadi dengan menggunakan pelacakan isotop untuk melacak karbon yang bergerak dari pohon induk yang terluka ke batangnya ke jaringan mikoriza dan ke bibit tetangganya, tidak hanya karbon tetapi juga sinyal pertahanan. Dan kedua senyawa ini telah meningkatkan daya tahan bibit tersebut terhadap tekanan di masa depan. Jadi pohon terbukti bisa ngomong.
Yang menjadi persoalan adalah ‘bahasa’ menurut definisi kamus. Bahwa bahasa adalah cara yang digunakan orang ketika berbicara satu sama lain. Definisi ini menurut Peter Wohlleben, dalam bukunya “The Hidden Life of Trees: What They Feel, How They Communicate? Discoveries from a Secret World,” satu-satunya makhluk yang dapat menggunakan bahasa, karena konsepnya terbatas, adalah spesies kita, manusia. Padahal menarik untuk mengetahui apakah pepohonan juga dapat berbicara satu sama lain? Bagaimana caranya? Mereka pasti tidak menghasilkan suara, jadi tidak ada yang bisa kami dengar. Cabang-cabang berderit saat bergesekan satu sama lain dan dedaunan berdesir, dentuman-dentukan saat hujan adalah suara yang berasal dari pepohonan. Tetapi suara ini disebabkan oleh angin dan pohon tidak dapat mengendalikannya. “Pohon, ternyata, memiliki cara komunikasi yang sangat berbeda: mereka menggunakan aroma,” tulis Wohlleben.
Betulkah aroma sebagai alat komunikasi? Sebetulnya konsep ini tidak asing bagi kita. Kita menggunakan deodoran dan parfum sebagai cara untuk mengatakan sesuatu kepada orang lain, baik secara sadar maupun secara tidak sadar. Para ilmuwan percaya feromon dalam keringat adalah faktor penentu ketika kita memilih pasangan kita. Aroma adalah bahasa rahasia, dan pohon telah menunjukkan bahwa mereka juga melakukannya.
Dijelaskan juga bahwa pohon berkomunikasi melalui sinyal olfaktorius, visual, dan listrik. (Sinyal listrik berjalan melalui suatu bentuk sel saraf di ujung akar). Bagaimana dengan suara? Wohlleben juga menyebutkan peneliti dari Bristol dan Florence, Dr. Monica Gagliano dari University of Western Australia meneliti bibit biji-bijian. Mereka mendengarkan seuatu yang berasal dari bibit tersebut. Alat pengukur suara mendeteksi akar yang berderak pelan pada frekuensi 220 hertz. Akar kok berderak? Kayu mati pun berderak ketika dibakar. Dan dalam kasus penelitian terungkap setiap kali akar bibit terkena suara retakan pada 220 hertz, akar bibit mengarahkan ujungnya ke arah itu. Tumbuhan mampu “mendengar.”
Tumbuhan berkomunikasi melalui gelombang suara. Orang juga berkomunikasi menggunakan gelombang suara. “Jika Anda mendengar suara gemerisik saat Anda berjalan-jalan di hutan lagi, mungkin itu bukan hanya angin…,” kata Wohlleben.
Dari penelitian yang dilakukan oleh Simard dan Wohlleben serta para peneliti lainnya jelaslah bahwa pohon mempunyai cara berkomunikasi, baik dengan suara, aroma dan juga persentuhan sesama pohon. Mereka mempunyai solidaritas dari pohon yang tua dan sehat kepada pohon muda yang sakit. Mereka mentrasfer kebutuhan-kebutuhan kerabatnya. Seperti halnya komunitas manusia maka komunitas pohon juga mempunyai ketergantungan satu dengan yang lain. Beragam istilah bahasa yang digunakan manusia berasal–dan kita pinjam–dari istilah dan bahasa alam atau pepohonan. Ekosistem, misalnya, adalah kata untuk menggambarkan relasi biotik dan abiotik dalam sebuah kompleks alami. Itu bisa berarti globalisasi dalam bentang dunia. Kita melakukan mimicri, peniruan banyak hal dari alam.
Karena eratnya ketergantungan satu pohon dengan pohon lainnya maka kerusakan satu pohonpun dalam bentang alam akan mempengaruhi pohon lainnya. Kehidupan sosial pohon akan terpengaruh. Seperti halnya kehidupan sosial manusia, pohon pun mempunyai kewajiban untuk mewariskan ilmunya kepada generasi berikutnya. Secara alami menjadi tua dan setelah mewariskan segala apa yang perlu diwariskan pada pohon berikutnya, akhirnya mati secara wajar, damai. Pohon generasi baru melanjutkan perjalanan hidupnya.
Pada tingkat internasional tentu juga betapa pentingnya jaringan hutan global yang saling berhubungan ini dengan wilayah lain di alam. Bahkan 50% oksigen bumi yang kita hirup setiap saat adalah kontribusi dari fitoplakton, tumbuhan mikroskopik yang melayang-layang di laut yang mampu mengolah gabungan nutrisi di air luat dengan enerji matahari. Katsuhiko Matsunaga, seorang ahli kimia kelautan di Universitas Hokkaido, seperti diceritakan oleh Wohlleben, menemukan bahwa daun-daun yang jatuh ke sungai dan sungai melepaskan asam ke laut dan itu merangsang pertumbuhan plankton, bahan penyusun pertama dan terpenting dalam rantai makanan. Maka itu lebih banyak hutan akan meningkatkan populasi ikan di lautan. Karena itu peneliti itu mendorong penanaman lebih banyak pohon di wilayah pesisir, yang ternyata memberikan hasil yang lebih tinggi bagi perikanan dan petani tiram.
Pohon bukanlah sekedar tumbuhan yang berdiri dengan sejumlah apa yang bisa dilihat secara kasat mata. Tetapi ia adalah makhluq yang mempunyai kecerdasan dan solidaritas sosial yang tinggi. Meskipun hingga saat ini sebetulnya hanya sedikit sekali kita ketahui. Mereka masih menyimpan sejumlah teka-teki kecil dan keajaiban bagi kita. Di bawah kanopi pepohonan, sebuah drama tengah berlangsung dan mungkin juga kisah cinta yang mengharukan. Temun ilmiah ini suatu saat akan lebih menjelaskan bahasa pepohonan dan memberi kita bahan kisah-kisah menakjubkan selanjutnya.
Berapa jumlah pohon di bumi? Apakah Program Tanam Milyar Pohon dari PBB cukup atau kurang? Kampanye Milyar Pohon PBB bertujuan untuk memerangi pemanasan global, tetapi masalahnya: kita tidak begitu yakin apakah satu trilyun pohon adalah jumlah yang tepat. Apakah itu terlalu banyak? Tidak cukup? “Apakah menanam satu miliar pohon akan menambah 1 persen pohon dunia, atau menambahkan 50 persen pohon dunia,” kenang Crowther, seorang peneliti Yale School of Forestry and Environmental Studies, Yale University, Connecticut, USA. “Kita bahkan tidak tahu apakah mungkin untuk memasukkan satu miliar pohon di Bumi.”
Kemudian T. W. Crowther bersama rekannya H. B. Glick, dan M. A. Bradford melakukan penelitian dan menuliskan laporannya dalam artikelnya di Nature: Mapping tree density at a global scale (2015) memetakan kerapatan pohon hutan berkelanjutan pertama secara spasial dalam skala global. Penelitian distribusi pohon hutan secara global ini sangat penting bagi pemahaman kita tentang biosfer terestrial.
Peta ini mengungkapkan bahwa jumlah pohon di dunia adalah sekitar 3,04 triliun, jumlah yang lebih tinggi dari perkiraan sebelumnya. Dari pohon-pohon ini, sekitar 1,30 triliun terdapat di hutan tropis dan subtropis, dengan 0,74 triliun di daerah boreal dan 0,66 triliun di daerah beriklim sedang. Tren tingkat bioma dalam kerapatan pohon menunjukkan pentingnya iklim dan topografi dalam mengendalikan kerapatan pohon lokal pada skala yang lebih halus, serta pengaruh manusia yang luar biasa di sebagian besar dunia. Berdasarkan proyeksi kepadatan pohon, diperkirakan bahwa lebih dari 15 miliar pohon ditebang setiap tahun, dan jumlah pohon di dunia telah turun sekitar 46% sejak dimulainya peradaban manusia.
Sepertiga dari daratan wilayah bumi adalah tutupan hutan. Itu berarti terdapat 4.06 trilyun hektare (ha) wilayah hutan. Jika pada Januari 2020 penduduk bumi mencapai 7.8 milyar maka setiap orang mendapatkan jatah wilayah hutan setara dengan 0.52 ha. Pada saat yang sama WEF bertemu di Davos dan mendeklarasikan “One Trillion Trees” (Januari 2020). Itu artinya setiap orang mempunyai kewajiban menanam dan memelihara 128 pohon. UNEP yang pernah mencanangkan program serupa pada tahun 2006, hingga akhir 2019 (13 tahun) berhasil menanam 13,6 miliar pohon, dengan Tiongkok, India dan Ethiopia sebagai penyumbang terbanyak dengan masing-masing 2,8; 2,5; dan 1,7 miliar pohon. Satu tahun hanya menanam satu milyar pohon. Kalau dengan kecepatan UNEP 1 tahun 1 milyar maka kita akan mencapai 1 trilyun pohon selama 1000 tahun–sesuatu yang sangat terlambat untuk mencegah pemanasan global. Diperlukan cara yang berbeda untuk mengatasi masalah global berbeda yang dihadapi bersama ini.
Para peneliti menemukan bahwa di semua wilayah, pengaruh manusia merupakan pengaruh dominan terhadap kerapatan pohon. Dengan menggabungkan pengukuran kerapatan pohon dengan perkiraan tutupan hutan selama 12 tahun terakhir, Crowther, Glick, dan rekannya menyimpulkan bahwa manusia bertanggung jawab atas hilangnya 15 miliar pohon dalam setahun. Mereka menduga sekitar 5 miliar pohon baru ditanam atau bertunas setiap tahun, tetapi yang hilang 10 miliar. Menurut perkiraan mereka sejak awal peradaban manusia, jumlah pohon telah turun hingga 46%.
“Ukuran pohon, identitas spesies, dan kualitas pohon sangat penting dalam memperhitungkan pentingnya hutan dan pohon di luar hutan,” kata Robin Chazdon, seorang ahli ekologi hutan dari University of Connecticut, Storrs yang dikutip Science (2015). “Studi ini tidak memperhitungkan atribut tersebut.” Namun satu hal yang jelas: Bahkan 14,2 miliar pohon yang ditanam dalam program Miliar Pohon hanyalah setetes air dalam ember besar.
Sekarang kita tahu pohon bisa ‘ngomong.’ Dan pohon yang makin berkurang jumlahnya, justru merupakan penopang penting kehidupan di bumi. Satu pohon yang kita tebang akan mengurangi setitik penopang kehidupan. Sebaliknya setiap pohon yang kita tanam akan menambah kekuatan penopang hidup kehidupan di bumi. Saatnya kita menghentikan menebang pohon. Saatnya kita menanam pohon.
Ada baiknya kita ikuti nasihat Wangari Maathai, wanita asal Afrika yang pertama dianugerahi Penghargaan Perdamaian Nobel untuk kontribusinya dalam bidang pembangunan berkelanjutan, demokrasi, dan perdamaian: “It’s the little things citizens do. That’s what will make the difference. My little thing is planting trees.”
i Suzanne Simard memaparkan kisahnya ini pada panggung TED Summit, June 2016. Hingga saat saya view (6 Januari 2021) video TEDnya telah ditonton oleh 4,633,790 orang https://www.ted.com/talks/suzanne_simard_how_trees_talk_to_each_other?language=mg#t-1087041
ii Mikologi aadalah ilmu tentang jamur. Apa peran jamur bagi lingkungan, silakan simak paparan pendek video ini, https://www.youtube.com/watch?v=SsJSzABM-K0
iii Uraian ringkas tentang miselium ini, bahan renik yang bis amenyelamatkan dunia dari bencan ekologi, bisa dismak dalam video ini, https://www.youtube.com/watch?v=XI5frPV58tY
iv Rizosfer (rhizosphere) adalah zona tanah yang dekat dengan akar di mana aktivitas komunitas mikroba meningkat sebagai konsekuensinya dari ketersediaan hara (terutama nitrogen) untuk tanaman. Saat ini, rizosfer didefinisikan secara lebih luas sebagai volume tanah yang terpengaruh oleh adanya akar tanaman yang tumbuh. Perubahan pada tanah mungkin bersifat biologis, kimiawi atau fisik di alam dan definisi yang lebih luas ini berarti bahwa ukuran rizosfer juga meningkat