Sustainability 17A #14
“Benim bir günüm var, senin bir günün var“
Secukupnya Saja….
Dwi R. Muhtaman,
sustainability learner
Seneca pernah berkata: “It is not the man who has too little, but the man who craves more, that is poor.”
Pada sebuah siang yang sibuk di tengah kota New York. Seorang eksekutif muda yang berjalan dengan jas rapi warna hitam. Ia berjalan perlahan menjajakan sesuatu yang tidak biasa. Pada sekujur jas anak muda ini tertempel lembaran uang dolar Amerika. Lembaran uang itu ditempel mulai dari bahu, punggung, dada, hingga ujung jas di perut. Termasuk kanan kiri lengannya. Penuh dengan uang dolar. Dia berjalan perlahan sambil memegang sebilah lembar karton kardus bekas. Tertulis dengan spidol di karton itu: Take What You Need. Ambillah sejumlah yang kau perlukan. Orang-orang lalu lalang sepanjang depan perkantoran yang sibuk.
Lalu seseorang dengan jas serupa para eksekutif berpapasan, berhenti dan mengambil 4-5 lembar dolar. Dan pergi. Kemudian seorang perempuan pakaian parlente dengan menenteng tas Louis Vuitton tak ketinggalan mencomot uang dolar itu. Dan lelaki yang berkemeja uang itu, karena melihat perempuan dengan tas mahal, maka dia bertanya padanya: “You really Need This?” Perempuan itu dengan santai menjawab: “Ya. Besok saya ada janji ke salon untuk merapikan kuku.” Siang berjalan seperti biasa, kesibukan orang-orang eksekutif kota. Selanjutnya ada seseorang dengan tergopoh-gopoh balik lagi untuk mengambil beberapa lembar, sambil berkata: “I don’t even need it.” Saya nggak butuh sih sebetulnya. Dia tidak memerlukan tetapi tetap saja dia mengambilnya. Anak muda berbaju uang itu melanjutkan berjalan pelan. Tak lama seorang perempuan dengan menenteng tas Givenchynya sibuk mengambil beberapa lembar.
Sampailah lelaki itu pada sebuah perempatan, dekat pemberhentian bis. Di samping halte itu ada seorang gelandangan. Disapa dengan ramah. Gelandangan itu mengambil dua lembar. Dia memang bilang hanya akan mengambil dua lembar saja. “Cukupkah segitu?” Kata lelaki berbaju uang itu. “Mungkin kau membutuhkan lebih banyak,” katanya lagi. “Tidak. Saya hanya membutuhkan dua lembar saja cukup untuk beli beberapa makanan. Silakan kau berikan kepada orang yang membutuhkannya.” “Apakah kau tidak beli makanan lagi lebih banyak untuk besok atau lusa?,” katanya dengan sedikit rasa penasaran. Gelandangan itu tetap bersikukuh: “Tidak, saya sudah cukup ini saja. Kau berikan kepada orang lain saja.” Anak muda itu kemudian mengambil beberapa lembar dari dalam dompetnya dan diberikan pada gelandangan yang berteman anjing itu. Ia sodorkan lembaran dolar sebagai apresiasi dari apa yang telah dia lakukan hari itu: mengambil secukupnya, ada orang lain yang juga membutuhkan. Meskipun hanya mengambil dengan gratis, ia sadar ada orang lain yang memerlukannya juga.
DI New York—seperti halnya di belahan mana pun di dunia, orang-orang yang kaya selalu masih merasa memerlukan lebih banyak lagi. Tidak peduli pada orang-orang yang sejatinya sangat membutuhkan.
Ada kisah lain:
Roti dalam Keranjang Gantung, Askida Ekmek. Pada jaman Turki Usmani ada sebuah tradisi mulia yang sederhana di Turki. Askıda Ekmek adalah sebuah kebiasaan yang berakar pada zaman Ottoman itu berkaitan dengan konsep zakat, pilar agama Islam yang berfokus pada berbagai tindakan amal. Ada lima rukun iman dalam Islam. Para pengikut harus memenuhi semua untuk menjalani kehidupan yang baik dan bermoral. Persyaratan zakat dapat dipenuhi dengan memberikan uang, beras atau bentuk lain sesuai ketentuan. Pemberian ekmek (roti) sangat penting di Turki karena dalam kepercayaan Islam, roti menopang kehidupan dan perlindungan hidup adalah suci.
Tentang kisah roti yang disimpan dalam Keranjang Gantung. Dalam kisah itu seseorang yang membeli sepotong roti di toko roti lalu membayar dengan harga dua potong roti, maka roti dari kelebihan pembelian itu diletakkan di dalam keranjang yang biasa digantung di pojok depan toko. Roti dalam keranjang gantung ini diberikan pada orang-orang yang membutuhkannya. Jika suatu saat ada yang datang dan membutuhkan roti tetapi tidak mampu untuk membelinya, maka dia bisa mengambil roti dalam keranjang gantung. Mengambil secukupnya untuk sekedar menghalau lapar. Pada saat tertentu penjual roti memberikan roti yang ada dalam keranjang itu 4-5 potong. Namun, biasanya orang yang memintanya itu akan mengembalikan jika berlebihan. “Saya hanya memerlukan dua potong roti saja, sudah cukup. Berikan pada orang yang yang juga membutuhkan.”
Tradisi Keranjang Gantung itu masih dipraktekkan di Turki. Orang-orang yang mengambil roti itu tidak pernah berpikir untuk mengambil lebih banyak dari yang ia butuhkan. Dan sisi yang paling menakjubkan dari tradisi ini adalah orang-orang yang dulu membutuhkan itu, jika suatu saat kondisinya membaik, mereka tidak pernah melupakan hari-hari dia mengambil roti dari Keranjang Gantung. Ketika membeli roti, mereka tidak lupa meletakkan roti di Keranjang Gantung. Agar orang lain yang membutuhkan bisa mengambilnya cuma-cuma. “Benim bir günüm var, senin bir günün var,“ kata orang Turki. “Ada hari milikku, ada hari milikmu.”
Rasulullah SAW bersabda: “Tidaklah seseorang dikatakan beriman jika ia kenyang, tetangganya merasakan kelaparan.” Roti di Keranjang Gantung adalah contoh terbaik bagi masyarakat yang bijak. Mereka akan menjadikan hadits ini sebagai syiarnya.
Kita sekarang pergi ke Jepang. Berkunjung pada Jepang pada tahun 1603. Jepang memasuki periode Edo. Kisah sustainable living ini saya olah dari buku Azby Brown, Just Enough: Lessons in Living Green from Traditional Japan (Tuttle Publishing, 2012).
Masyarakat Jepang menghadapi kemungkinan kehancuran karena degradasi lingkungan. Tetapi pemerintahan Edo bertindak cepat. Bencana itu tidak terjadi. Meskipun terjadi kerusakan ekologi yang parah. Cara penanganan masalah ekologi yang tepat telah menjadikannya contoh yang instruktif bagi langkah-langkah Jepang selanjutnya. Pada masa itu Jepang menghadapi kesulitan ekstrem dalam memperoleh kayu bangunan, menderita erosi dan kerusakan daerah aliran sungai karena telah menebang habis begitu banyak hutan di gunung untuk mendapatkan kayu. Hampir tidak dapat memperluas produksi pertanian sampai pada tingkat yang diperlukan untuk memberi makan populasi yang tumbuh. Kebutuhan penduduk perkotaan, terutama ibu kota Edo, tetapi juga penduduk Osaka, Nagoya, dan banyak kota lain yang bertumbuh, bertentangan dengan kepentingan penduduk pedesaan. Kehidupan para petani menjadi semakin sulit oleh kewajiban hukum mereka untuk menyerahkan sepertiga atau lebih dari hasil panen mereka untuk mendukung kelas prajurit.
Dalam hal lingkungan dan sumber daya alam, Jepang menghadapi aneka tantangan dan sekaligus berkah karena kelimpahannya. Kepulauan Jepang sangat bergunung-gunung, dan tanah yang subur terbatas pada beberapa dataran pantai yang luas dan banyak lembah gunung yang sempit, yang jumlahnya hanya sekitar seperempat dari luas daratan negara. Pada awal periode Edo, hampir semua tanah yang berpotensi ditanami sudah dibuka untuk ditanami. Dan itu hanya memberi makan penduduk sekitar dua belas juta. Lahan pertanian di banyak daerah menunjukkan tanda-tanda penurunan dan degradasi. Hasilnya menurun. Tetapi negara ini mendapat manfaat dari iklim sedang dan arus laut yang hangat. Diberkahi dengan curah hujan yang melimpah dan musim tanam yang panjang. Air tawar dari pencairan salju sangat murah hati dan mengalir deras. Daerah aliran sungai yang luas mengalir ke lembah-lembah sungai dan lahan basah yang subur. Hutan perawan yang awalnya menutupi pegunungan kepulauan luas dan beragam dalam spesies berdaun lebar dan jenis konifer. Dan menyediakan habitat yang sangat kaya tempat segala macam flora dan fauna berkembang.
Alam sendiri telah memberkahi Jepang dengan baik untuk tempat tinggal manusia. Tetapi pada awal 1600-an tanah itu menderita eksploitasi berlebihan oleh populasi besar. Maka, yang lebih luar biasa, bahwa dua ratus tahun kemudian tanah yang sama mendukung tiga puluh juta orang — dua setengah kali populasi awal— dengan sedikit tanda degradasi lingkungan. Deforestasi telah dihentikan dan dibalikkan, lahan pertanian ditingkatkan dan dibuat lebih produktif, dan konservasi dilaksanakan di semua sektor masyarakat, baik perkotaan maupun pedesaan. Standar hidup secara keseluruhan telah meningkat. Orang-orang mendapatkan pengan, tempat tinggal, dan pakaian yang lebih baik. Mereka lebih sehat. “Dengan standar obyektif apa pun, itu adalah prestasi yang luar biasa. Bisa dibilang tak tertandingi di tempat lain, sebelum atau sesudahnya.
Keberhasilan ini sebagian karena kemajuan teknologi dan sebagian karena visi pemerintah. Pemuliaan pertanian berperan, seperti halnya peningkatan hidrologi. Desain sangat penting, seperti juga soal pengumpulan dan distribusi informasi yang tepat waktu. Tetapi lebih dari segalanya, keberhasilan ini disebabkan oleh mentalitas yang merata yang mendorong semua upaya untuk menjadi lebih baik. Mentalitas ini didasarkan pada pemahaman tentang fungsi dan batas-batas yang inheren dari sistem alami. Ini mendorong kerendahan hati, sampah dianggap tabu, selalu kerjasama mencari solusi. Menemukan makna dan kepuasan dalam kehidupan yang indah di mana setiap individu hanya mengambil secukupnya saja dari dunia dan tidak berlebih. Brown menuliskan beragama Kisah yang menggambarkan banyak aspek teknis kehidupan yang lebih luar biasa selama periode Edo ini. Serta faktor-faktor sosial, politik, dan ekonomi yang relevan. Tetapi hal yang jauh lebih penting dalam sejumlah kisah dari beragam sudut kehidupan Jepang periode Edo ini adalah untuk menyampaikan mentalitas “secukupnya” ini sebagai pedoman harian—sebuah teladan menuju sustainable living bagi kehidupan jutaan orang di seluruh masyarakat Jepang dan bagi delapan milyar manusia di Bumi.
Di nusantara tradisi “secukupnya” juga melimpah. Menjadi praktek kehidupan beberapa masyarakat adat. Masyarakat Dayak Iban di Dusun Sungai Utik, Desa Batu Lintang, Kecamatan Embaloh, Kabupaten Kapuas Hulu, Kalimantan Barat misalnya. Mereka memiliki komitmen menjaga hutan sebagai sumber penghidupan mereka. Memiliki hutan adat seluas 9.453,5 hektar yang selalu dijaga kelestariannya. Mempertahankan dari terkaman dan ancaman korporasi. Komunitas Dayak Iban yang pernah mendapatkan Equator Award 2019, bersama 22 komunitas lokal dan adat seluruh dunia dari UNDP [United Nations Development Programme] ini merawat sumberdaya alam yang mereka miliki dengan acara memanen dengan secukupnya. Menangkap ikan pada waktu-waktu tertentu. Menebang pohon hanya dilakukan untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan secukupnya: membangun rumah kayu baru, mengganti kayu yang lapuk. “Wilayah hutan adat dibagi beberapa zona. Ada permukiman, hutan lindung adat, hutan produksi, dan hutan cadangan. Masyarakat mengandalkan alam untuk hidup. Mereka berburu, menangkap ikan, dan mencari sayur,” ujar Bandi yang dikenal dengan sebutan Apay Janggut [Pak Janggut], kepala rumah panjang Sungai Utik, seperti ditulis, Mongabay Indonesia (24 June 2019). “Menjaga hutan merupakan amanah leluhur yang harus dijunjung tinggi. Menjaga hutan artinya menjaga kehidupan.”
Masyarakat adat Baduy di Kabupaten Lebak, Propinsi Banten juga mempunya cara hidup yang “secukupnya.” Setiap panen padi hanya secukupnya saja digunakan untuk makan sehari-hari. Sebagian besar disimpan sebagai cadangan. Gabah kering yang disimpan di leuit atau lumbung Baduy adalah padi yang dihasilkan dari ladang atau huma. Gabah-gabah tersebut dapat disimpan hingga 50 tahun dan masih layak untuk di konsumsi. Ada 3 jenis bentuk lumbung di masyarakat yang mendiami Desa Kanekes, Kecamatan Leuwidamar ini. Yaitu leuit lenggang, leuit mandiri, dan leuit karumbung. Pembedanya ada dibentuk bangunan dan juga kapasitas ikat padi yang dapat ditampung. Umumnya Baduy Luar menggunakan leuit karumbung yang mampu menampung 500 ikat gabah. Sedangkan leuit lenggang ataupun leuit mandiri banyak ditemukan di Baduy Dalam, dan ini bisa menampung hingga 1000 ikat.
Setiap kepala keluarga di masyarakat Baduy minimal memiliki satu buah leuit. Ini berhubungan dengan kepercayaan Sunda Wiwitan yang mereka anut. Berladang adalah sebuah kewajiban bagi masyarakatnya. Pun begitu dengan menyimpan hasilnya dalam leuit. Tabu bagi mereka untuk memperdagangkan padi hasil ladang. Penggunaan benih, pupuk dan pestisida modern pun menjadi pantangan bagi masyarakat Baduy. Benih penanaman di tahun berikutnya tidak memasukkannya ke leuit. Tapi bulir-bulir yang dianggap unggul dipisahkan, disimpan dalam kotak-kotak kayu di rumah mereka.
Dalam kesehariannya Masayarakat Adat Baduy cukup memanfaatkan semua bahan-bahan yang tersedia di alam. Bagi mereka itu adalah cukup. Tidak ada peralatan elektronik, tidak menggunakan perabotan rumah tangga seperti piring atau cangkir yang terbuat dari logam atau kaca. Tidak ada sabun, shampo atau pasta gigi saat mandi. Masyarakat lebih memilih menggunakan bahan-bahan yang tersedia di alam untuk membersihkan diri mereka. Orang Baduy Dalam menggunakan batu yang kemudian di gosok-gosokan ke tubuh mereka. Sementara, untuk membersihkan gigi, mereka menggunakan serabut kelapa. Suku Baduy Dalam memang sangat menghargai alam mereka, mereka tidak ingin menggunakan peralatan yang mengandung bahan kimia dan sampah plastik.
Kehidupan yang secukupnya bagi orang Baduy adalah kehidupan yang bahagia. Kehidupan yang sederhana.
Tetapi hidup dengan secukupnya kini menjadi sesuatu yang mewah. Kerakusan seperti menjadi kerasukan. Kita tidak pernah merasa cukup. Nafsu konsumsi selalu menjadi kebutuhan-kebutuhan baru yang tidak diperlukan. Konsumsi berlebihan seperti sebuah ketagihan. Dan seperti halnya bahan-bahan yang merangsang ketagihan, atas beragam produk, kita ketagihan untuk selalu membelinya. Jika penyalahgunaan konsumsi obat-obatan itu yang menimbulkan ketagihan seperti ditulis Judith Grisel, “Never Enough: the Neuroscience and Experience of Addiction” (2019) yang penderitanya merasa kehilangan harapan, harga diri, hubungan, uang, keramahtamahan, keluarga, struktur sosial masyarakat dan sumberdaya masyarakat, maka ketagihan konsumsi berlebihan mungkin bisa menimbulkan hal yang serupa. Utamanya tentu saja menyedot sumberdaya masyarakat.
Daine Coyle menulis pentingnya filosofi secukupnya menjadi bagian urgen kerangka pembangunan. Bukunya yang berjudul “The Economics of Enough How to Run the Economy
As If the Future Matters” (2011). The Economics of Enough mencoba melihat bagaimana memastikan kebijakan pemerintah dan tindakan-tindakan individual dan bisnis melayani kita dengan lebih baik dalam jangka panjang, dan bagaimana memastikan apa yang akan kita capai saat ini tidak mengorbankan masa depan. Tentang bagaimana menjalankan ekonomi seperti kita melihat pentingnya keberlanjutan masa depan.
Beberapa krisis (ekonomi) telah kita lewati dengan berdarah-darah, dari the Great Depression hingga saat ini. Namun, demikian catat Coyle, selalu saja salah satu reaksi terhadap krisis adalah argumen yang harus kembali pada gagasan mendukung pertumbuhan ekonomi. Padahal selama lebih dari duaratus tahun sejak revolusi industri pertumbuhanlah yang memberi tekanan pada iklim dan sumber daya alam, pertumbuhanlah yang memikat orang ke dalam utang.
Banyak bukti yang menunjukkan bahwa di negara kaya, bagaimanapun, pertumbuhan ekonomi tidak membuat orang lebih bahagia.
Menurut Coyle, orang mungkin mengira dengan melihat dampak resesi (ketika tidak ada pertumbuhan, menurut definisi) pada kesejahteraan masyarakat, maka “kebahagiaan” berhenti sejenak. Tidak adanya pertumbuhan sepertinya membuat banyak orang tidak bahagia. Dalam beberapa tahun ini semakin banyak penelitian tentang apa yang membuat
kebahagiaan. Misalnya riset tentang Happiness Index yang dikembangkan oleh Sanz (2016) yang melihat kebahagiaan pada faktor-faktor development, freedom and equality (solidarity, justice and peace). Tidak ada soal GDP.
Bahkan gerakan “psikologi positif” menunjukkan pentingnya faktor-faktor seperti keterlibatan sosial aktif, penyerapan pekerjaan, dan kebebasan untuk kebahagiaan manusia. Hal ini sejalan dengan penelitian ekonomi empiris yang menunjukkan bahwa pekerjaan, perkawinan, partisipasi agama, dan kebebasan politik serta pendapatan adalah indikator penting dari kebahagiaan yang dilaporkan.
Teladan hidup “secukupnya” seperti contoh-contoh di atas pantas menjadi cermin bagi kita untuk mengikutinya. Begitu banyak teladan, begitu banyak kebijaksanaan yang ditunjukkan oleh jejak peradaban. Tinggal bagaimana kita menyikapi teladan itu. Bumi dan seisinya ini cukup untuk menjadi sumber kehidupan bagi ummat manusia. Tetapi tidak mampu untuk memenuhi nafsu menguasai dan konsumsi yang berlebihan dari segelintir manusia.
Betul kata Seneca, bukan soal manusia itu kekurangan. Tetapi ada orang-orang yang selalu ingin mendapatkan lebih banyak, dan dialah orang miskin yang sebenarnya.
i Sanz, Maria T.a; Caselles, Antoniob; Micó, Joan C, & Soler, David. Development of the Happiness Index in a country. IFDP`16 – Systems & Design:Beyond Processes and Thinking, Universitat Politècnica de València, Spain, 2016.