Sustainability 17A #13
The Chef’s Manifesto: Chef, Bersatulah!
Dwi R. Muhtaman,
sustainability learner
Dan Charnas bukan seorang Chef. Apalagi juru masak. Bukan pemilik restoran. Bukan pula orang yang terobsesi dengan restoran. Charnas, penulis buku Work Clean: The Life Changing Power of Mise-en-Place to Organize Your Life, Work, and Mind (2016), adalah seorang jurnalis profesional yang pernah mendapatkan “the Pulitzer Traveling Fellowship for Arts Journalism” (2007). Ia tidak pernah bekerja di restoran. Tetapi buku yang disajikan dengan teliti dan nyaman dibaca ini ditulis dari sebuah penelitian yang mendalam tentang dunia restoran dan cara kerja para chef dengan para juru masaknya. Ia mewawancai lebih dari 100 Chef kelas dunia yang tersebar di seluruh wilayah Amerika Utara dan New York. Berbulan-bulan mengamati cara kerja orang-orang di restoran. Membaca beragam sejarah chef dan kuliner.
Cara kerja chef dan dunia kuliner telah melahirkan gaya manajemen organisasi yang luar biasa. Semua itu terangkum dalam apa yang disebut Mise-en-Place. Menurut Charnas mise-en-place terdiri dari tiga nilai utama: persiapan, proses, dan kehadiran. Ketika dipraktekkan oleh chef atau juru masak hebat, ketiga kata ini menjadi sangat filosofis. Nilai-nilai Mise-en-place telah membentuk inti dari kerja juru masak yang berlangsung lama. Dan ia masih menggerakkan kehidupan juru masak kontemporer hingga sekarang. Jikai nilai-nilai ini di bawa keluar dapur, tentu mempunyai rasa yang berbeda meski dengan esensi yang sama.
Dunia yang menghadapi tantangan akut persoalan lingkungan hidup membutuhkan chef.
Menurut Dan Charnas, dalam bahasa Prancis, “chef” setara dengan “chief” dalam bahasa Inggris. Seorang insinyur perangkat lunak Paris kemungkinan besar akan mengucapkan kata “Oui, Chef” —Ya, bos! —Seperti juru masak Paris. Dalam bahasa Inggris, istilah chef disejajarkan dengan dunia kuliner sebagai bentuk kependekan dari gelar Prancis chef de cuisine, kepala dapur. Begitu banyak konsepsi dan bahasa kita seputar makanan berasal dari bahasa Prancis, termasuk istilah restoran, yang juga memiliki arti literal yang menarik: tempat restorasi, dinamai demikian untuk sup restoratif (restoran) yang dijual oleh beberapa tempat pada awal istilah ini dikenal. Pemilik restoran adalah seseorang yang memulihkan orang, memberi makan mereka. Chef memungkinkan restorasi itu.
Chef adalah bos. Seorang pemilik restoran yang memulihkan, menyegarkan kami. Chef adalah bos yang membantu memulihkan kita dari kelelahan dan kelaparan. Ada sebuah kata dalam bahasa Inggris yang mendekati arti itu — bos yang membantu memulihkan kita. Kata itu adalah mentor.
Di hampir setiap profesi orang bisa menemukan mentor yang hebat. Beberapa profesi menjaga hubungan master-magang (master-apprentice) sebagai bagian penting — dokter seharusnya menjadi guru, begitu pula tukang pipa. Tapi magang juga dilakukan dalam dunia kuliner. Chef-magang (The chef-apprentice) memberinya kerja keras sebagai imbalan atas pengetahuan dan pengalaman. Selain itu, ekonomi dapur yang ketat dan kompleksitas pekerjaan dapur membuat chef yang baik harus menangani perbaikan biaya mereka dengan sangat serius. Seperti yang diamati oleh Charnas, hanya setengah dari pendidikan cooking itu tentang memasak; separuh lainnya justru tentang hal-hal seperti organisasi, pergerakan, perencanaan, ketergantungan, komunikasi — dengan kata lain, mise-en-place.
Mise-en-place adalah frasa bahasa Prancis yang diterjemahkan sebagai “put in place,” atau ”diletakkan pada tempatnya.” Di dapur mise-en-place berarti mengumpulkan dan mengatur bahan dan alat yang dibutuhkan untuk memasak. Tetapi bagi banyak profesional kuliner, frasa itu mengandung arti yang lebih dalam. Mise-en-place adalah tradisi fokus dan disiplin, sebuah metode kerja dan keberadaan. Banyak chef menyebutnya sebagai cara hidup, a way of life.
Sebuah filosofi (apa yang dipercaya oleh chef) dan sistem inti dari profesi chef (apa yang dilakukan chef). Juga bisa disebut sebagai kode etik seperti disebut Charnas. Mise-en-place adalah segalanya. Chef sendiri menggunakan istilah tersebut untuk menunjukkan susunan bahan di stasiun mereka, penyiapan mereka. Tetapi juga praktik menyiapkan penyiapan itu untuk diri mereka sendiri atau juru masak lain. Dan kondisi pikiran seseorang yang tahu persis bagaimana untuk berpikir, merencanakan, dan bergerak dari satu tempat ke tempat lainnya di dapur. Mise-en-place adalah semua hal itu juga.
Charnas menyebut Michael Ruhlman dan Anthony Bourdain–dua chef kenamaan–, yang memperkenalkan konsep tersebut ke dalam kesadaran publik. The Making of a Chef, kisah luar biasa Ruhlman tentang perjalanannya belajar menjadi chef dengan menyematkan dirinya sebagai mahasiswa di Culinary Institute of America, diterbitkan pada tahun 1997 dan pasti menjadi salah satu catatan kontemporer pertama mise-en-place sebagai budaya pribadi dan profesional. Membaca gagasan Anthony Bourdain tentang mise-en-place di tengah-tengah memoarnya yang laku keras, Kitchen Confidential, yang diterbitkan pada tahun 2000, akan menemukan konsep itu.
Bourdain, tulis Charnas, mengamati mise-en-place dunia sekarang: Sebagai chef, dia adalah jurnalis yang lebih baik daripada banyak jurnalis; sebagai seorang jurnalis, lebih berpengaruh pada generasi chef muda daripada yang dia bisa lakukan sebagai chef.
Mari kita letakkan konsep mise-en-place dalam konteks menyelamatkan kekayaan kuliner yang berbasis pada keaneragaman hayati yang tersedia di alam.
“Makanan memiliki kekuatan besar untuk mengubah kehidupan dan merupakan alat yang paling inklusif untuk dijangkau jumlah terbesar orang yang membutuhkan,” kata Chef David Hertz, Brasil. Demikian pula bagi Chef Robert Bolanos, Filipina, peran chef adalah “Menjadi yang terdepan dalam mempengaruhi ekosistem makanan dari praktik pertanian, pada produksi, dan kesadaran konsumsi dan preferensi konsumen.”
Kekayaan alam dari resep local genius yang sehat pada tubuh dan sehat pada bumi. Mise-en-place adalah praktik spiritual. Spiritualitas tentang keseimbangan, terutama ketika begitu banyak chef dan juru masak tidak menjalani kehidupan yang seimbang sama sekali. Tapi mise-en-place adalah filosofi tentang bagaimana memulai sesuatu dan bagaimana menyelesaikan sesuatu, bagaimana mempercepat dan bagaimana memperlambat, bagaimana mengatakan “ya” untuk sesuatu dan “tidak” kepada orang lain, dan dengan demikian, kapanpun jika dipraktikkan secara sadar, mise-en-place dapat membantu dalam menciptakan keseimbangan.
Mengapa kita membutuhkan chef sejati untuk merawat bumi?
Serupa ketika kita menikmati pemandangan yang indah. Udara yang segar. Satwa-satwa yang cantik dalam taman-taman hutan tropis dan boreal. Yang membahagiakan, yang menciptakan pengalaman baru. Siapapun akan bahagia menikmatinya. Demikian pula dengan makanan. “Makanan adalah bahasa internasional yang sebenarnya. Kebangsaan apa pun akan dengan senang hati duduk di sekitar meja untuk menikmati makanan yang enak dan jujur. [Makanan] adalah tentang membuat orang bahagia, menemukan rasa baru, mencoba hidangan baru dan melihat wajah tersenyum bahagia. Saya tidak pernah bosan memasak, karena [itu] selalu merupakan perjalanan baru,” kata Chef Luigi Carola, Italia.
Sustainable Development Goal #12 adalah Konsumsi dan Produksi yang Bertanggung Jawab. Salah satu targetnya adalah “By 2030, halve per capita global food waste at the retail and consumer levels and reduce food losses along production and supply chains, including post-harvest losses.”–SDG 12.3. Pemerintah Indonesia menerjemahkan ini pada Kebijakan RPJMN 2020-2024 adalah: (1) Peningkatan kualitas lingkungan hidup agar dapat menopang pelaksanaan pembangunan; (2) Penanganan Limbah; (3) Pengembangan industri hijau; dan (4) Peningkatan kinerja pengurangan dan penanganan sampah rumah tangga dan sampah sejenis sampah rumah tangga termasuk sampah plastik. Limbah dan limbah plastik di Indonesia menjadi masalah besar yang belum terselesaikan dengan baik. Seorang chef seharusnya bisa membantu mengurangi sampah dari makanan yang berlebihan, terbuang sia-sia. Mereka bisa membantu mendidik masyarakat untuk berperilaku bijak dalam produksi dan konsumsi bahan pangan dan pangan yang dimasak.
UNEP menerbitkan dokumen Foodkit: our global anti-food waste campaign toolkit. Dokumen ini diterbitkan untuk kampanye anti limbah pangan dan mengurangi foodprint. Secara global sedikitnya sepertiga dari setiap makanan yang diproduksi di seluruh dunia berakhir jadi sampah, hilang begitu saja. Itu berarti lebih dari 1,3 miliar ton makanan – bernilai sekitar US $ 1 triliun–jumlah yang memberi makan sekitar 870 juta orang yang kelaparan setiap hari. Sampah itu menghasilkan 3.3 giga ton emisi gas rumahkaca. Padahal seperempat saja dari makanan yang jadi sampah itu bisa diselamatkan maka dunia bisa memberi makan pada ratusan juta orang kelaparan. Sayangnya makanan tersebut disia-siakan. Keluarga membuang makanan karena mereka menyiapkan makanan yang terlalu banyak. Penjual membuang makanan karena tidak memenuhi standar estetika atau harga yang terlalu tinggi.
“Sebagai chef, kami melakukan pekerjaan kami di persimpangan penting dalam sistem makanan kami yang memberi kami a perspektif unik tentang masalah yang kami hadapi. Kami dapat belajar dari dan bekerja dengan makanan dari awal perjalanannya hingga akhir melalui produsen, konsumen, distributor, sesama chef dan aktor lain dalam ekosistem makanan. Percakapan kami yang sedang berlangsung dengan mereka kelompok, dan cara kita berdua bisa belajar dari dan mempengaruhi mereka secara bergantian, memberi chef itu potensi dampak yang luar biasa.” Chef Evan Hanczor, AS.
Menurut UNEP, Foodkit, luar biasanya, 1.4 milyar hektare lahan – 28 persen dari lahan pertanian dunia — digunakan setiap tahun untuk menghasilkan pangan yang tidak pernah dimakan, hanya menjadi sampah.
Makanan terbuang oleh konsumen/per orang adalah antara 95 dan 115 kg per tahun di Eropa, Amerika Utara dan Oseania. Sementara konsumen di sub-Sahara Afrika, Asia Selatan dan Tenggara masing-masing membuang 6 sampai 11 kg makanan setahun. Indonesia menduduki peringkat kedua paling boros menghasilkan sampah makanan. Data dari Food Sustainability Index Setiap orang Indonesia membuang sampah makanan sejumlah 300 kg/tahun. Ini mengalahkan Amerika Serikat yang menghasilkan 277 kg/orang/tahun. Peringkat pertama bertengger Saudi Arabia yang menyia-nyiakan makanan 427 kg/orang/tahun.
Padahal tindakan sederhana bisa dilakukan. Seperti yang aksi teladan oleh dua kampus di Amerika Serikat ini. Universitas di Delaware dan New Hampshire memutuskan untuk meniadakan nampan di kafetaria mereka. Tujuannya mahasiswa lebih sadar kuantitas makanan yang mereka konsumsi dan berapa yang tersisa di akhir makan mereka. Setelah kebijakan “Tanpa nampan,” itu diberlakukan, Universitas New Hampshire mampu mengurangi limbah makanan hingga hampir 13 metrik ton dari tahun-tahun sebelumnya, dan menghemat lebih 100.000 liter air setiap tahun. Keuangan yang bisa diselamatkan sebesar US $ 79.000 per tahun (Tilton 2010, FAO 2013).
Ketersediaan pangan tidak bisa dilepaskan dari keberadaan keanekaragaman hayati. Wilson (1988) yang dikutip Kjetil Bevanger dalam artikelnya Global Biodiversity Threats and Development Trends memprediksikan bahwa tingkat kepunahan spesies disebabkan oleh intervensi ulah manusia saat ini, dan khususnya perusakan hutan hujan tropika mencapai 1.000 hingga 10.000 kali lebih cepat dari biasanya sepanjang sejarah Bumi. Beberapa peneliti
telah menguji perkiraan ini. Tidak ada bantahan atas angka ini.
Meningkatnya populasi manusia selama beberapa ratus tahun terakhir telah mengubah keanekaragaman kehidupan di semua benua dan menyebabkan hilangnya keanekaragaman hayati yang luar biasa. Perubahan negatif terkait keanekaragaman hayati telah menjadi lebih cepat selama 50 tahun terakhir dibandingkan sebelumnya dalam sejarah manusia. Dan yang paling mengkhawatirkan adalah skenario proyeksi masa depan yang menunjuk ke arah yang sama; tren negatif akan berlanjut atau bahkan lebih cepat.
Laporan Millenium Assessment meringkas tren penurunan negatif di beberapa taksa, menunjukkan fakta lain bahwa amfibi secara global, mamalia Afrika, burung tanah pertanian, kupu-kupu Inggris, Karibia dan terumbu karang IndoPacific, dan spesies ikan yang biasa dipanen mengalami tren penurunan. Sekitar 100 kepunahan burung, mamalia, dan amfibi telah terjadi dan telah didokumentasikan selama 100 tahun terakhir; yaitu 100 kali kecepatan rata-rata.
Dari kelompok taksonomi tinggi yang dipelajari dengan baik (mamalia, burung, amfibi, tumbuhan runjung/conifers, dan sikas), antara 10% dan 50% saat ini terancam punah, menurut kriteria IUCN. Sekitar 12, 23, dan 25% masing-masing untuk burung, mamalia dan tumbuhan runjung, serta termasuk 32% amfibi, saat ini menghadapi kepunahan–sesuatu yang tidak bisa dianggap remeh. Di antara tanaman sejenis palem hijau (sikas), 52% ancaman telah telah direkam. Selain itu, keanekaragaman genetik telah menurun secara global, tidak tidak termasuk spesies peliharaan. Selama 50 tahun terakhir, atau “Revolusi Hijau” terjadi perubahan total dalam pertanian karena intensifikasi sistem pertanian dan spesialisasi oleh pemulia tanaman, dll., yang kemudian menghasilkan pengurangan besar-besaran keanekaragaman genetik tumbuhan dan hewan peliharaan.
Padahal menurut catatan ETC–sebuah LSM yang gencar mengamati isu-isu pertanian, keanekaragaman hayati, peran perusahaan-perusahaan pangan global–petani adalah yang utama ataubahkan penyedia makanan tunggal untuk lebih dari 70% dari penduduk dunia, dan petani memproduksi makanan ini dengan kurang (seringkali jauh lebih sedikit) dari 25% sumber daya – termasuk tanah, air, bahan bakar fosil – bekas untuk mendapatkan semua makanan dunia tersedia di meja.
Sebaliknya Rantai Makanan Industri menggunakan setidaknya 75% dari sumber daya pertanian dunia dan merupakan sumber utama emisi GRK (Gas Rumah Kaca), tetapi menyediakan makanan untuk kurang dari 30% dari penduduk dunia. Siklus jaringan produksi makanan oleh petani malah mampu memelihara 9-100 kali keanekaragaman hayati yang digunakan, mulai dari tanaman, ternak, ikan dan hutan. Petani punya pengetahuan, inovatif energi dan jaringan yang dibutuhkan untuk merespon perubahan iklim; mereka memiliki ruang lingkup operasional dan skala; dan mereka paling dekat dengan yang lapar dan kurang gizi.
Intinya: setidaknya 3.9 miliar orang kelaparan atau kurang gizi karena Rantai Makanan Industri karena terdistorsi, sangat mahal, dan – setelah 70 tahun mencoba – tidak bisa meningkatkan secara berarti untuk memberi makan dunia.
Masalah pangan penuh dengan paradoks. Keragaman sumber dan bahan seharusnya merupakan faktor penting ketahanan pangan karena mencegah ketergantungan pada sedikit sumber pangan. Makin beragam sumber pangan maka makin banyak pilihan orang pada beragam kondisi geografi, budaya dan akses. Tetapi pada sisi lain justru dunia makin dikenalkan dengan cara berproduksi pangan yang monokultur, seragam. Kebutuhan pangan setiap tahun meningkat sesuai dengan pertumbuhan populasi, tetapi pada sisi lain pangan yang hilang mulai dari saat dipanen hingga sampai di dapur konsumen juga luar biasa besarnya.
Mungkin karena alasan itulah maka sekelompok chef bergerak. Keluar dari dapur. Melihat dunia yang lebih luas. Bergerak tidak saja melayani pelanggan di resorannya tetapi juga melayani manusia yang ada di bumi, di luar restoran dan kafe. Dengan semangat mise-en-place mereka meluncurkan The Chef’s Manifesto.
Mengapa Chef?
Chef adalah jantung dari sistem pangan global. Mereka menjembatani kesenjangan antara pertanian dan garpu – memengaruhi apa yang kita tanam, apa yang kita letakkan di piring dan bagaimana kita berpikir dan berbicara tentang makanan. Jika chef memimpin isu-isu keberlanjutan – seperti menangani limbah makanan dan sumberdaya yang berkelanjutan – penikmat restoran, petani, bisnis dan bahkan pemerintah akan mengikuti. Melalui jaringan mereka, chef memiliki kekuatan untuk melakukan kurasi percakapan global baru tentang makanan dan menerjemahkan United Nations ‘Sustainable Development Goals (SDGs atau Global Goals) menjadi tindakan sehari-hari yang dapat diakses di dapur kita, ruang kelas dan komunitas.
Adalah sebuah jaringan yang disebut The SDG2 Advocacy Hub yang mengoordinasikan kampanye dan advokasi global untuk mencapai Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDG) 2: Mengakhiri kelaparan, mencapai ketahanan pangan dan peningkatan gizi, serta mempromosikan pertanian berkelanjutan pada tahun 2030. (Sustainable Development Goal (SDG) 2: To end hunger, achieve food security and improved nutrition, and promote sustainable agriculture by 2030). Jaringan ini menyatukan LSM, kelompok advokasi, masyarakat sipil, sektor swasta dan badan-badan PBB untuk berbagi keahlian, ide, dan berkolaborasi dalam kampanye sehingga dampak keseluruhan sebagai komunitas pemberi pengaruh meningkat. Dengan 17 Tujuan Pembangunan Berkelanjutan yang akan dicapai pada tahun 2030, Hub menawarkan rencana baru – cara kerja yang melibatkan kelompok terbesar dari beragam aktor untuk bekerja bersama dalam prioritas SDG2 dan mencapai target.
The SDG2 Advocacy Hub bertujuan untuk menciptakan komunitas chef di seluruh dunia yang dilengkapi serangkaian tindakan sederhana untuk membantu mereka mencapai kemajuan menuju sistem pangan yang lebih berkelanjutan. Dalam kegiatannya Hub menyediakan: Rencana Tindakan Manifesto Chef atau dikenal dengan The Chefs’ Manifesto Action Plan–sebuah kerangka, disusun oleh chef, yang memadukan Tujuan Global ke dalam 8 bidang tematik dan memberikan tindakan sederhana dan jelas yang dapat dilakukan chef untuk berkontribusi pada tujuan. Tindakan yang dilakukan didasarkan pada sains, untuk memastikan aktivitas dapat dipercaya dan hasil yang baik untuk masyarakat dan planet ini.
The Chefs’ Manifesto kemudian berkembang dengan membuat The Chefs’ Manifesto Network, sebuah jaringan online chef yang terlibat dari seluruh dunia untuk berbagi praktik terbaik, studi kasus dan berkolaborasi dalam event utama.
Beragam kegiatan dilakukan di lokasi berbeda di seluruh dunia. Menyelenggarakan lokakarya, acara-acara khusus, dan mendorong aksi lokal sesuai dengan Manifesto. Melalui kreasi bersama dan penyebaran Manifesto Chef ini, para chef mengambil sikap dan bersuara memberi perspektif baru dalam debat publik untuk membantu publik mengadvokasi transformasi sistem pangan.
Melalui penjangkauan online dan lokakarya serial, lebih dari 130 chef dari 38 negara telah bersama-sama menciptakan Manifesto Chef. Dikembangkan oleh chef, untuk chef, Manifesto ini menguraikan masalah sistem makanan yang dilakukan chef dengan cara paling bersemangat dalam menanganinya. Manifesto ini diperkenalkan pada Hari Pangan Sedunia pada Oktober 2017 dengan serangkaian media sosial yang dilihat oleh lebih dari satu juta orang di seluruh dunia. Dan semakin banyak chef yang terlibat, semakin besar pengaruh dan jangkauannya- saat chef duduk di jantung sistem makanan, untuk setiap chef yang terlibat, kami juga menjangkau jaringan yang lebih luas petani, pemasok, pelanggan dan pengunjung yang penting untuk memberikan yang lebih baik masa depan makanan.
“Yang saya sukai dari pekerjaan ini adalah saya memiliki kekuatan untuk menciptakan pengalaman, momen dan membangunkan emosi. Selain itu, saya dapat mengungkapkan siapa saya, menunjukkan perasaan dan akar saya. Selain itu, saat ini dengan memasak kita dapat memberikan dampak sosial di negara kita dan di seluruh dunia,” demikian Chef Mayra Flores, Peru.
“Bagaimana kita memberi makan semua mulut, sekarang dan di masa depan sambil mengurangi dampaknya di ekosistem kita, ” kata Chef Ben Tamlyn, Inggris.
Dengan konsultasi bersama 130+ chef dari 38 negara, disusunlah The Chefs’ Manifesto Action Plan terdiri dari delapan area yang paling disukai oleh chef dalam menghdaapi tantangan ini. Di bawah setiap area yang dikembangkan serangkaian tindakan ilustratif yang memberikan contoh bagaimana aktivitas chef dapat meningkatkan keberhasilan pencapaian Tujuan Global.
- Bahan diperoleh dari sumber yang menghormati bumi & lautannya
- Perlindungan keanekaragaman hayati & peningkatan kesejahteraan hewan
- Investasi dalam mata pencaharian
- Hargai sumber daya alam & kurangi limbah
- Menikmatimakanan lokal & musiman
- Fokus pada bahan nabati
- Pendidikan tentang keamanan pangan & pola makan sehat
- Makanan bergizi yang dapat diakses & terjangkau untuk semua
Salah satu yang bisa dilakukan untuk memastikan bahan pangan diperoleh dari sumber yang menghormati bumi & lautannya di dapur sendiri misalnya dengan mengenali bahan-bahan digunakan. Bagaimana ditanam, dipelihara atau diambil dari mana? Pilih bahan yang paling rendah berdampak pada lingkungan. Gunakan daya beli Anda untuk memilih produsen dan pemasok yang bekerja secara berkelanjutan. Beli hanya dari sumber yang punya nilai-nilai sama dengan Anda. Dan praktekkan itu di menu dan di restoran Anda.
Beberapa chef dalam Chefs’ Manifesto Network sudah beraksi. Melalui Dana Internasional untuk Pengembangan Pertanian (IFAD), Chef Ali L’artiste belajar tentang biji-bijian yang ditanam di Kenya – sorgum (atau kacang hijau). Bahan itu tida hanya penting untuk masakan di Kenya tetapi secara historis, sorgum juga penting bagi masa depan negara yang tahan iklim. Biji-bijian yang membutuhkan sedikit air untuk tumbuh. Di Kota Mwingi, Chef Ali belajar dari orang lokal petani kecil tentang proses menumbuhkan, memproses, dan menyiapkan biji-bijian untuk memasak dan menjadikan masakan itu menu utama.
Lain lagi cerita Chef Manjit Gill. Ia adalah pendukung serius soal sumber berkelanjutan. Bagi Chef Gill chef berperan besar dalam mendukung praktek makanan yang lebih baik dari pertanian ke garpu. Chef bisa mendorong petani untuk menanam musiman memproduksi dan mendiversifikasi tanaman dengan bekerja dekat dengan pemasok untuk membuat menu yang memanfaatkan produk yang tersedia. Ini menciptakan siklus positif di dalam sistem pangan yang bergerak “dari pertanian ke panci lalu ke piring dan kembali ke petani”. Bahan-bahan yang bersumber secara berkelanjutan menguntungkan semua orang – meningkatkan ketahanan pangan dan hasil nutrisi, mendukung lingkungan dan bahkan meningkatkan rasa makanan.
Eco-Chef Justin Horne percaya kualitas tidak perlu dikorbankan saat hidup secara berkelanjutan. Dia telah menerjemahkan pemikiran ini ke dalam praktik dengan mendirikan restoran London Organik pertama, vegetarian dan tanpa limbah. Bahan yang berlebih, jika tidak digunakan pasti akan dibuang, bersumber dari pemasok makanan lokal dan pernah membuat hidangan sehat serba-sayuran. Chef Justin berharap restorannya bisa membantu mendidik orang dan mengubah praktik industri makanan seputar pengelolaan makanan. Ke depan, Chef Justin sedang bekerja untuk membuat restoran Vertical Farm Circular Economy yang tumbuh sendiri memproduksi dan menghasilkan energinya sendiri.
Sebagai bagian dari warga dunia chef punya peran yang unik: menyajikan makanan dari sumber baik untuk bumi dan warga bumi yang sehat dan berkelanjutan. Chef, bersatulah!
Bagaimana dengan dapur Anda?
i Koki atau juru masak adalah orang yang menyiapkan makanan untuk disantap. Istilah ini kadang merujuk pada chef, walaupun kedua istilah ini secara profesional tidak dapat disamakan. Istilah koki pada suatu dapur rumah makan atau restoran biasanya merujuk pada orang dengan sedikit atau tanpa pengaruh kreatif terhadap menu dan memiliki sedikit atau tanpa pengaruh apapun terhadap dapur. Mereka biasanya adalah semua anggota dapur yang berada di bawah chef (kepala koki). Jenis restoran lain mungkin memiliki menu yang relatif konstan dan hanya memiliki orang-orang yang dapat menyiapkan makanan secara cepat dan konsisten, serta tidak terlalu membutuhkan kepala koki. Restoran jenis ini dapat dijalankan sepenuhnya oleh koki, contohnya pada restoran cepat saji.
ii The Chefs’ Manifesto: Join our community to help deliver a better food future for all. SDG2 Advocacy Hub website: www.sdg2advocacyhub.org. Chefs’ Manifesto: www.chefsmanifesto.com
iii Idem ditto
iv Idem ditto
v UNEP. Foodkit: Our global anti-food waste campaign toolkit www.thinkeatsave.org. Reduce your foodprint
vi Global Biodiversity, Volume 1: Selected Countries in Asia. Global biodiversity (Oakville, Ont.) Global biodiversity / edited by T. Pullaiah, PhD. 2019 by Apple Academic Press, Inc.
vii Who Will Feed Us? The Industrial Food Chain vs. The Peasant Food Web. 3rd Edition 2017
viii http://demo-sdg2.nuvole.org/node/3
ix http://demo-sdg2.nuvole.org/actions?status=chefs_manifesto