—Dwi R. Muhtaman—
Bogor, 20102018
#BincangBuku #07
“Be like a postage stamp— stick to one thing until you get there.”
—Josh Billings”
Dikutip dari Gary Keller with Jay Papasan.
“The ONE Thing. “The Surprisingly Simple Truth Behind Extraordinary Results.” 2012.
Kupasan saya tentang buku “The Leading Brain” diprotes emak-emak. Itu lantaran saya mengutipkan bahwa multi-tasking adalah mitos belaka dan malah lebih parah, ia bisa merusak kecerdasan otak. Saya sebutkan bahwa orang-orang yang diinterupsi dalam sebuah pekerjaan utama, 50 persen lebih lambat menyelesaikan tugas dan 50 persen lebih banyak kesalahan. Adanya interupsi singkat sekalipun pada tugas utama diperlukan rata-rata dua puluh tiga menit untuk sepenuhnya kembali ke situasi awal. Mengirim SMS/WA atau email yang terus-menerus disela-sela pekerjaan utama — sebagai multitaskers — telah terbukti mengurangi secara sementara IQ Anda sebanyak 15 poin. Padahal penelitian akademis menemukan bahwa kebanyakan dari kita diinterupsi — atau menginterupsi diri sendiri — rata-rata sekitar tiap tiga menit!
Emak-emak tidak mau terima. Bagaimana dengan kegiatan menggendong anak sambil masak. Bagaimana dengan mencuci pakaian sambil mengawasi anak-anak mandi. Bersih-bersih rumah sambil menjadi guru bagi anak-anak? Dan sejumlah kegiatan-kegiatan yang selama ini dipersepsikan sebagai “multi-tasking.” Tiap hari kita rata-rata terlintas 4.000 aneka pikiran dalam otak. Tak heran jika kita selalu saja ingin melakukan banyak hal dalam waktu yang bersamaan. Nenek moyang kita mengerjakan satu pekerjaan sambil tak henti waspada untuk mengamati ada tidaknya binatang buas. Pesulap mampu melempar 3-4 bola di udara secara bergantian seolah-olah dilakukan secara bersamaan karena cepatnya. Kegiatan itu semua disebut “juggling.” Para peneliti menyebutnya “task switching.” (h. 83).
“Gary Keller dan Jay Papasan dalam buku The ONE Thing (2012) juga membahas multi-tasking sebagai salah satu aspek dari 18 aspek yang dituangkan dalam buku setebal 476 halaman ini.
Kata dan konsep multi-tasking atau tugas ganda awalnya adalah istilah yang digunakan untuk komputer. Konsep manusia melakukan lebih dari satu hal pada satu waktu ini bahkan telah dipelajari oleh para psikolog sejak tahun 1920-an, tetapi istilah “multitasking” baru mulai dikenal pada tahun 1960-an. Istilah itu digunakan untuk komputer, bukan orang. Saat itu, komputer dengan kecepatan prosesing sepuluh megahertz dianggap sangat cepat. Sehingga diperlukan sebuah kata baru yang mampu menggambarkan kemampuan komputer melakukan banyak tugas dengan cepat.
Para ahli komputer waktu itu mungkin membuat keputusan yang buruk dengan pilihan istilah “multi-tasking”—yang nampak seperti menipu. Multi-tasking adalah beberapa tugas dijalankan secara bergantian dengan berbagi satu sumber daya (CPU). Berdasarkan wikipedia, multi-tasking komputer dengan prosesor tunggal, hanya satu instruksi yang dapat bekerja dalam satu waktu. CPU tersebut secara aktif mengolah instruksi untuk satu pekerjaan tersebut. Tetapi kemudian dengan konteks yang baru multi-tasking ditafsirkan bahwa banyak tugas yang dilakukan secara bersamaan oleh satu sumber daya (seseorang). Ini menyesatkan. Karena komputer sekalipun hanya dapat memproses satu kode pada satu waktu. Ketika melakukan “multi-task,” komputer beralih bolak-balik, bergantian dikerjakan hingga tugas-tugasnya selesai. Kecepatan komputer menangani banyak tugas memberi ilusi bahwa segala sesuatu terjadi pada saat yang bersamaan (padahal tidak sama sekali). Jadi membandingkan komputer dengan manusia dapat membingungkan.
Tentu saja orang dapat melakukan dua atau lebih banyak hal sekaligus, seperti berjalan sambil berbicara, atau ngopi sambil dan membaca koran, atau seperti contoh emak-emak itu menggendong anak sambil memasak nasi; tetapi, seperti komputer, apa yang tidak bisa kita lakukan adalah fokus pada dua hal sekaligus.
Potensi tragedi abad ini adalah bahwa orang-orang mencoba melakukan terlalu banyak hal sekaligus dan lupa melakukan sesuatu yang harus mereka lakukan. Tetapi begitulah. Lama kelamaan citra manusia modern makin akrab sebagai multi-tasker. Anak-anak belajar sambil mengirim pesan, mendengarkan musik, atau menonton televisi. Orang dewasa mengemudi sambil berbicara di telepon, mengirim pesan, makan, merias wajah, atau bahkan mencukur kumis. Melakukan sesuatu di satu ruangan sambil berbicara dengan seseorang di ruang sebelah. Ponsel pintar selalu lebih cepat ada di tangan sebelum piring ada di meja makan.
Di kantor pun kita selalu saja mengalami lingkungan yang memaksa untuk multi-tasking yang mengganggu. Ketika kita sedang dengan tekun menyelesaikan sebuah laporan atau bahan presentasi, kolega kita menghampiri menawarkan oleh-oleh yang menggoda; lalu setelah melahap habis oleh-oleh itu kembali mencoba melanjutkan tugas utama; baru sepuluh menit berjalan notifikasi email baru mendenting, pesan whatapps bertubi-tubi datang; berita media sosial Anda terus berusaha menarik perhatian Anda dan ponsel Anda sebentar-sebentar bergetar di meja untuk mendengarkan teks baru.
Setumpuk surat yang belum dibuka dan tumpukan pekerjaan yang belum selesai seperti menari-nari mencari perhatian. Pekerjaan utama Anda: laporan atau bahan presentasi terasa begitu sulit untuk diselesaikan dalam waktu yang telah ditetapkan. Distraction, disturbance, disruption. Tetap mengerjakan tugas utama itu melelahkan. Para peneliti memperkirakan bahwa para karyawan mendapatkan interupsi setiap 11 menit dan kemudian menghabiskan hampir sepertiga hari mereka untuk membebaskan diri dari gangguan-gangguan ini.
Padahal kita memiliki terlalu sedikit waktu untuk melakukan semua hal.
“But we’re fooling ourselves. Multitasking is a scam,” kata Gary Keller dan Jay Papasan, penulis buku The ONE Thing yang kita perbincangkan ini, dengan ketus. Penyair Billy Collins mengatakan: “We call it multitasking, which makes it sound like an ability to do lots of things at the same time. … A Buddhist would call this monkey mind: We think we’re mastering multitasking, but we’re just driving ourselves bananas.” Kita semua disibukkan dengan mengerjakan ini itu secara bersamaan. Seperti mengerjakan banyak tetapi sejatinya hanya sebutir pisang saja yang kita dapatkan.
Padahal perlu diingat “… extraordinary success is sequential, not simultaneous,” tulis Keller dan Papasan. Gary Keller dan Jay Papasan dalam bukunya “The ONE Thing. “The Surprisingly Simple Truth Behind Extraordinary Results.” (2012) mengupas pentingnya mempunyai sikap dan tindakan yang fokus satu hal pada satu waktu: The ONE Thing. “The most successful companies know this and are always asking: “What’s our ONE Thing?”
Kita tahu perusahaan Apple. Apple melakukan penelitian mendalam untuk menciptakan lingkungan di mana The ONE Thing yang luar biasa harus diciptakan sebelum bergerak pada yang lain. Karena itu, menurut Keller dan Papasan, dari tahun 1998 hingga 2012, The ONE Thing dari Apple bergerak dari Mac ke iMac ke iTunes ke iPod ke iPhone, dengan iPad. Karena setiap “golden gadget” baru memasuki arena pasar, produk lain tidak dihentikan atau diturunkan ke label diskon. Melainkan terus disempurnakan sehingga menciptakan efek yang membuat pengguna mengadopsi seluruh keluarga produk Apple.
Disamping soal multi-tasking, penulis juga menyoroti persepsi yang keliru mengenai, misalnya Everything Matters Equally, A Disciplined Life, Willpower Is Always on Will-Call. Bahkan pandangan soal A Balanced Life dan Big Is Bad menjadi bahasan yang menarik.
“A balanced life is a lie,” kata para penulis.
Untuk mencapai hasil yang luar biasa, Anda harus memilih yang paling penting dan mencurahkan perhatian sepenuhnya sepanjang waktu. Tentu saja hal itu membutuhkan keseimbangan yang luar biasa dalam kaitannya dengan semua hal lainnya. Namun demikian bukan berarti kita harus melupakan urusan dunia lainnya, keluarga dan teman-teman Anda, kebutuhan pribadi Anda dan seterusnya. Itu semua tidak dapat dikorbankan jika Anda bermaksud untuk “memiliki kehidupan.” Sehingga Anda tidak dapat meninggalkan hal-hal itu untuk cuma sibuk bekerja atau satu urusan yang lain. Semuanya mendapatkan perhatian. Hanya perhatiannya akan tergantung prioritas kepentingannya. Bukan soal A Balanced Life. Keller dan Papasan menyebutnya sebagai Counter-balancing, menjaga keseimbangan pada tempatnya yang wajar, pantas dan sesuai.
Bagian lain yang menarik adalah ketika Penulis Buku menguraikan pentingnya tiga hal: The Focusing Question, The Success Habit dan The Path to Great Answers. Kita sering denganr pepatah Cina: Langkah seribu dimulai dari langkah pertama. Tetapi yang jadi masalah jika langkah pertama salah maka kita akan tersesat setelah melangkah seribu itu. Maka mengajukan pertanyaan yang tepat akan menentukan langkah pertama yang benar agar tidak salah langkah (The Focusing Question). (h. 189-223). “Judge a man by his questions rather than his answers,” kata Voltaire.
Gambar tujuh lingkaran dalam artikel ini adalah cara untuk memetakan kebiasaan-kebiasaan yang bisa kita anggap membantu menuju sukses. Penulis membantu kerangka Kebiasaan The One Thing agar kita sendiri memahami apa yang harus dilakukan agar kegiatan-kegiatan berhasil.
“The One Thing yang diuraikan Keller dan papasan ini memaksa kita untuk berpikir besar, menyelesaikan berbagai hal melalui penyusunan hal-hal penting, memprioritaskannya dan wow— The One Thing mulai menggerakkan efek dominonya. Jika kita mencoba melakukan segalanya, kita bisa berakhir tanpa apa-apa. Jika kita mencoba melakukan The One Thing, yang lain akan mengikutinya. Itulah rumus yang dipaparkan.
Buku ini pada dasarnya merupakan buku manajemen untuk menjadi pribadi yang sukses. Buku tentang produktifitas. Pada bagian akhir, Keller dan Papasan memberi nasihatnya dalam butir-butir ini (h. 248-290):
* Live with Purpose
* Live by Priority
* Live for Productivity
Penting bagi kita menyadari untuk selalu berkomitmen menjadi yang terbaik. Hasil luar biasa hanya terjadi ketika kita memberikan yang terbaik yang kita miliki untuk menjadi yang terbaik yang bisa kita lakukan pada pekerjaan kita yang paling penting.
Jangan hanya puas dengan apa yang terjadi secara alami — bersikap terbuka terhadap pemikiran baru, keterampilan baru, dan hubungan baru. “Only those who will risk going too far can possibly find out how far one can go.”— T. S. Eliot.”
Terakhir, carilah seorang coach. Contoh-contoh orang sukses yang dipaparkan pada buku ini semua selalu ada seseorang dibalik kesuksesan mereka: coach.