—Dwi R. Muhtaman—
Bogor, 18102018
#BincangBuku #06
“We are going to have a lot more of these external crises because we are living in such a volatile world— an age where everything is leveraged and technology moves so fast. You can be rocked by something that originated completely outside your area.”
“Those who understand the magnitude and the permanence of the changes that we are now witnessing, reset their intuitions accordingly, and see the opportunities will shape this new world—and they will thrive.”
(Dobbs, Richard; Manyika, James; Woetzel, Jonathan.)
“No Ordinary Disruption: The Four Global Forces Breaking All the Trends). 2015.
Tidak mudah mengelola bisnis atau organisasi pada jaman yang penuh diliputi kejutan ini. Siapa yang menyangka dunia transportasi di tanah air gonjang ganjing karena kehadiran Go-Jek. Para imperium retailer geleng-geleng kepala menyaksikan toko-tokonya sepi gara-gara nongolnya Tokopedia atau Bukalapak di smartphone konsumen. Para pengelola jasa tamasya pun bisa dibuat tidak nyaman melihat adanya Traveloka yang seolah-olah muncul dari negeri antah berantah dan langsung menggerogoti pangsa pasar yang selama ini nikmat dikuasainya.
Perubahan dramatis kini, awalnya datang entah dari mana. Tiba-tiba kemudian datang dari mana-mana. Pergeseran besar itu tanpa kita sadari membuat kita buta, mungkin pada awalnya perlahan. Lalu gelap sama sekali. Demikianlah dengan nasib banyak industri, perusahaan, produk, teknologi, dan bahkan negara dan kota yang bisa timbul dan tenggelam dalam sekejap dan dengan cara yang benar-benar tidak dapat diprediksi. Coba bayangkan beberapa peristiwa yang telah membalik asumsi yang sudah lama dipegang, proyeksi jangka panjang, dan keyakinan dasar tentang bagaimana ekonomi global bekerja:
Misalnya: Selama bertahun-tahun, industri ritel global selalu berorientasi ke konsumen Amerika, yang paling kuat dan produktif di dunia, sebagai ukuran trend konsumen global. Pada hari Cyber Monday — sehari setelah akhir pekan Thanksgiving — e-niaga tahunan, pada 1 Desember 2014, Amerika menghabiskan US$ 2,65 miliar secara online. Namun, hanya beberapa minggu sebelumnya, bom belanja online yang jauh lebih signifikan meledak. Tanggal 11 November (11.11) adalah Singles China yakni hari libur tidak resmi yang menjadi kesempatan untuk belanja. Singles China selalu menjadi kesempatan belanja online yang terbesar kedua di dunia. Pada 11 November 2014, Alibaba, e-tailer terbesar di Cina, mencatat penjualan lebih dari US$ 9,3 miliar, rekor belanja terbesar di dunia untuk satu hari. Retailer konvensional buta terhadap kesempatan itu.
Contoh lain. Pada 19 Februari 2014, Facebook mengakuisisi WhatsApp, startup yang baru berusia lima tahun, dengan nilai US$ 19 miliar. Aplikasi pesan instan ini, dimulai pada pertengahan tahun 2009 oleh dua mantan karyawan Yahoo, dan pada waktu itu telah mempunyai 450 juta pengguna — lebih dari Twitter dan lebih dari seluruh penduduk Amerika Serikat. Namun banyak bankir Wall Street yang tidak paham dengan perusahaan dan model bisnisnya. Indonesia sedikitnya telah memiliki empat perusahaan perintis (startup) yang berstatus “unicorn” atau memiliki valuasi di atas US$ 1 miliar (Rp 13,8 triliun). Keempat perusahaan tersebut adalah Go-Jek yang memiliki valuasi sebesar US$ 61,6 miliar, Traveloka senilai US$ 27,4 miliar, Tokopedia senilai US$ 15 miliar, dan Bukalapak sebesar US$ 13,8 miliar. Empat perusahaan ini, lagi-lagi adalah makhluk yang datang dengan membawa perubahan dramatis tanpa bisa diantisipasi oleh kalangan industri yang mapan.
Di masa lalu, para eksekutif biasanya tahu pesaing utama mereka ada di sekitar oprasional mereka dan di luar negeri, dan mereka bisa mengejar kompetitor baru yang muncul. Tetapi saat ini intensitas persaingan telah baru sama sekali. Teknologi yang ada sekarang memberi keuntungan pada perusahaan wirausaha dan kecil, atas perusahaan besar yang didirikan dengan biaya tetap yang tinggi. Persaingan baru datang dari gelombang pendatang baru yang tumbuh dengan cepat yang luput dari radar strategis, sampai semuanya telah terlambat. Pendatang baru ini bermain dengan seperangkat aturan yang berbeda. Mereka memiliki basis biaya yang jauh lebih rendah, waktu yang lebih cepat ke pasar, dan tentu lebih murah.
Kisah-kisah mengagumkan yang sekarang makin banyak dan penting itu memberi pelajaran yang kadang membingungkan tetapi juga menyenangkan. “Speed, surprise, and sudden shifts” dalam arah di pasar global yang sangat besar secara rutin berdampak pada nasib perusahaan yang mapan dan sekaligus memberikan peluang bagi pendatang baru,” demikian kata Dobbs; Manyika; Woetzel (2015). Meskipun era ini penuh dengan kesempatan, tetapi ia belum selesai. Gejolak disrupsi akan masih berjalan….
Itulah beberapa catatan awal dari buku “No Ordinary Disruption: The Four Global Forces Breaking All the Trends” yang ditulis oleh Richard Dobbs, James Manyika, Jonathan Woetzel; diterbitkan PublicAffairs™, New York (2015).
Buku ini dibagi menjadi dua bagian besar. Dalam empat bab pertama, digambarkan empat kekuatan besar yang mengubah dunia kita. Dalam enam bab terakhir, dideskripsikan cara-cara bagaimana kita dapat — dan seharusnya — merespon tantangan-tantangan yang ada karena kekuatan-kekuatan ini, baik merespon untuk kepentingan organisasi bisnis, LSM maupun pemerintahan. “We must think differently about strategy, constructing business plans, approaching markets, assessing competitors, and allocating resources.”
Menurut Dobbs; Manyika; Woetzel—penulis yang semuanya merupakan konsultan senior di McKinsey Global Institute ini—terdapat empat kekuatan besar yang mengubah dinamika ekonomi global saat ini.
Pertama adalah lokus pergeseran aktivitas ekonomi dan dinamikanya – ke pasar yang sedang berkembang (emerging markets) seperti Cina dan, negara-negara, kota-kota besar, menangah di sekitarnya. Emerging markets ini sedang mengalami revolusi industri dan urbanisasi secara simultan yang dimulai pada abad kesembilan belas di negara maju. Keseimbangan kekuatan ekonomi dunia bergeser ke timur dan selatan dengan kecepatan yang belum pernah terjadi sebelumnya.
Pertumbuhan ekonomi itu bergerak ke Asia, Amerika Latin, dan Timur Tengah. “Hampir setengah dari pertumbuhan PDB global antara 2010 dan 2025 akan datang dari 440 kota di pasar negara berkembang — 95 persen dari mereka adalah kota kecil dan menengah yang banyak eksekutif Barat mungkin bahkan tidak pernah dengar dan tidak bisa menunjuk pada peta. Mumbai, Dubai, dan Shanghai sudah biasa. Tetapi Hsinchu tidak pernah kita dengar. Ia adalah kota kecil di Taiwan Utara, yang sudah menjadi pusat elektronik canggih terbesar keempat dan pusat teknologi tinggi di wilayah Cina (h.39).
Pasar yang sedang berkembang ini tentu saja mencakup India, Indonesia, Russia, dan Brazil yang merupakan kekuatan utama manufaktur global. Dan urbanisasi adalah faktor penting yang mendorong aktifitas ekonomi itu. Kota, bukan pedesaan. Ini penting karena kota adalah tempat penduduk suatu negara bertemu dengan dunia modern dan ekonomi global. Kota-kota mengubah petani miskin menjadi pekerja yang lebih produktif dan menjadi warga dan konsumen global.
Gelombang urbanisasi saat ini telah memainkan peran kunci dalam membantu mengangkat 700 juta orang keluar dari kemiskinan, sebagian besar dari mereka di Cina — dengan demikian memenuhi Millennium Development Goal untuk mengurangi separuh jumlah orang yang hidup dalam kemiskinan ekstrim lima tahun lebih cepat dari jadwal (h. 52). Sebuah pandangan yang memang sangat kapitalistik.
Kedua adalah akselerasi dalam lingkup, skala, dan dampak ekonomi dari teknologi. Teknologi — mulai dari mesin cetak hingga mesin uap dan Internet — selalu menjadi kekuatan besar dalam menjungkirbalikkan status quo. Perbedaannya saat ini adalah teknologi yang tumbuh dan digunakan di mana-mana dalam kehidupan dan dalam kecepatan adopsi yang luar biasa. Teknologi memberi kemajuan ekonomi yang menajanjikan bagi miliaran orang di negara berkembang dengan kecepatan yang tidak terbayangkan tanpa internet seluler.
Hampir dua puluh tahun yang lalu, hanya kurang dari 3 persen penduduk dunia memiliki ponsel dan kurang dari 1 persen terjangkau Internet. Saat ini dua pertiga dari populasi dunia memiliki akses ke telepon seluler dan sepertiga dari semua manusia dapat berkomunikasi di Internet. Teknologi memungkinkan bisnis untuk memulai dan mendapatkan skala bisnis dengan kecepatan yang menakjubkan dengan menggunakan modal kecil, seperti yang dilakukan WhatsApp. Enterpreneur dan start-up sekarang bisa menikmati keunggulan dibandingkan bisnis besar dan mapan (h.75).
Ketiga adalah demografi. Populasi manusia semakin tua. Tingkat kesuburan menurun. Populasi dunia nampak lebih banyak beruban secara dramatis. Dominasi generasi tua telah terbukti di negara maju. Jepang dan Rusia telah mengalami penurunan populasi mereka selama beberapa tahun terakhir. Defisit demografis sekarang menyebar ke China dan kemudian akan menyapu seluruh Amerika Latin. Tenaga kerja produktif hanya akan menjadi arena bagi generasi muda yang terbatas untuk mendorong pertumbuhan. Sementara itu beban keuangan pemerintah yang semakin besar untuk merawat sejumlah besar orang lanjut usia (h.128).
Keempat adalah derajat dimana dunia jauh lebih terhubung melalui perdagangan dan melalui gerakan modal, orang, dan informasi-apa yang disebut ‘the flow.’ Perdagangan dan keuangan telah lama menjadi bagian dari kisah globalisasi. Dalam beberapa dekade terakhir, ada perubahan yang signifikan. Alih-alih serangkaian jalur yang menghubungkan pusat perdagangan utama di Eropa dan Amerika Utara, sistem perdagangan global telah berkembang menjadi jaringan yang kompleks, rumit, dan luas. Asia menjadi wilayah perdagangan terbesar di dunia saat ini. Arus “Selatan-Selatan” antara pasar negara berkembang telah menggandakan pangsa perdagangan global mereka selama dekade terakhir. Volume perdagangan antara China dan Afrika meningkat dari US$ 9 miliar pada tahun 2000 menjadi US$ 211 miliar pada 2012. Aliran modal global diperluas dua puluh lima kali antara 1980 dan 2007. Orang-orang melintasi perbatasan lebih dari satu miliar kali pada tahun 2009, lebih dari lima kali jumlah pada tahun 1980. Ketiga jenis koneksi ini semua berhenti selama resesi global tahun 2008 dan telah pulih perlahan sejak itu. Tetapi hubungan yang ditempa oleh teknologi telah berjalan tanpa gangguan dan dengan peningkatan kecepatan, mengantarkan pada fase baru yang dinamis dari globalisasi, menciptakan peluang yang tak tertandingi, dan menimbulkan volatilitas yang tak terduga (h.168).
Itulah empat kekuatan yang sangat menentukan arena bermain bagi siapapun. Ia akan menentukan siapa yang menjadi pemenang dan memimpin ekonomi dunia baru, baik pada tingkat individual, bisnis, kota dan negara. Bagi para penulis buku ini, dunia baru akan lebih kaya, lebih urban, lebih terampil, dan lebih sehat daripada yang digantikannya. Penduduknya akan memiliki akses kuat ke inovasi yang dapat mengatasi tantangan jangka panjang, menciptakan produk dan layanan baru untuk masyarakat yang semakin berkembang, dan menghadirkan peluang bagi global entrepreneurial class. Dalam banyak hal, lanjut Dobbs; Manyika; Woetzel, “we live in an age of recurring miracles.”
Tetapi tentu saja mendapatkan manfaat dari dunia baru itu bukan begitu saja. Kita perlu mengubah intuisi. Intuisi adalah produk dari pengalaman hidup, pengetahuan, dan pemahaman kita atas dunia yang kita himpun lama. “In the new world, executives, policy makers, and individuals all need to scrutinize their intuitions from first principles and boldly reset them if necessary. This is especially true for organizations that have enjoyed great success.” (h. 29). Policy maker alias pemerintah juga harus berperan menciptakan kondisi pemungkin. Menciptakan kebijakan publik yang kondusif, memberi insentif lahirnya enterpreneur dan start up, membangun jaring-jaring situs kreatif, menyediakan sarana publik dan pendidikan yang dijangkau oleh semua kalangan masyarakat dengan kualitas dunia.
Kita perlu mengubah cara pandang, pengetahuan. Dan bertindak yang memadai dalam merespon perkembangan dinamika disrupsi. Kita perlu terus dan selalu memperbarui pengetahuan dan keahlian kita. Terus belajar. Para pemimpin yang sukses harus beradaptasi dengan menjadi siswa dengan cara yang mungkin belum pernah dilakukan sebelumnya, demikian kata guru manajemen Tom Peters yang dikutip dalam buku ini (h. 460). Hal lain yang juga dituliskan sebagai saran agar bisa bertahan dalam situasi ini adalah bergaulah dengan orang-orang yang tepat yang bisa menjadi katalis perubahan dalam organisasi. Organisasi atau pemimpin juga harus mempunyai sifat yang agile, agility cepat tanggap, responsif, lincah, luwes, fleksibel. Itu semua agar kita mampu berdansa di atas gelombang tanpa tersapu olehnya.
“The coming decades will redefine who runs the world economy: which countries, which companies, and which individuals,” pungkas para penulis—sebuah panggilan bagi pengembara di jalan kesuksesan (h. 452)