Kehidupan setelah Google: Blockchain
—Dwi R. Muhtaman—
Bogor, 01112018
#BincangBuku #12
Percakapan dalam sebuah layar
Embun terakhir baru saja lalu
mentari meninggi, berebut waktu
lewat halaman rumah, hanya pintu di punggung
di jalanan orang-orang berebut peran di panggung
Saya tiba pada sebuah meja, melepas sauh
dengan layar terkembang di depan
: kursor membuka sebuah buku, ia menjawab
—sebelum membaca ini, tuliskan namamu dan katasandi
Saya ikuti kemauannya.
—Kami amat perhatian dengan identitasmu,
demi keamanan siber dan untuk preferensi
Ah basa-basi, kataku, sedikit gelisah.
—Kami ingin melayanimu dengan lebih baik
Saya ingin segera membaca buku ini
tetapi di layar ini engkau begitu cerewet
Selesai satu jawaban, kau pun tak juga berhenti bertanya
—Tuliskan kata yang tertera pada huruf-huruf kotak CAPTCHA
untuk bukti kau bukan robot
Saya mulai tersinggung. Saya sudah dicurigai sebagai robot,
mesin tanpa perasaan
dengan kesabaran yang tersisa,
saya tuliskan apa yang terbaca
—Maaf, nama dan katasandi tidak sesuai dengan catatan kami
Perlu bantuan?
Betapa hidup makin rumit kini, kataku sambil tak lagi ingat
berapa banyak nama dan katasandi yang saya buat selama ini
Saya ingin segera membaca buku ini
—Jika kau ingin mengubah nama dan katasandi,
atau pertanyaan keamanan, silakan klik URL
yang kami kirim pada emailmu
saat kau beli perangkat lunak sebelumnya
Itu sudah lama berlalu yang tak lagi aku ingat
: ini makin menjengkelkan
Aku ingin segera membaca buku yang aku beli
—Maaf emailmu salah. Apakah ingin mengganti alamat email?
By the way, iTunes ingin upgrade perangkat lunakmu
agar lebih memperbaiki kerentanan yang membahayakan
Saya klik untuk upgrade, pagi yang membosankan
Percakapan yang menjengkelkan
—Perangkat lunak ini tdak bisa di-installed
kecuali kau kirim Apple ID dan katasandi
Kau menyuruhku upgrade, kau pula yang melarangnya dengan kecuali
: ruangan sejuk mulai terasa kemarau panjang
—Maaf ID dan katasandi tidak sesuai catatan kami. Mau coba lagi?
: kunang-kunang di ruangan mulai datang
—Untuk mengulangi prosedur ini, silakan unlock Macintosh drive.
Tuliskan katasandi. Jika katasandi hilang atau lupa,
kau hapus drive dan memulai dari awal
Kau akan kehilangan semua konten
yang tidak kau back up, termasuk buku ini.
Kau mulai merampas hakku untuk memiliki properti ini
—Mari kita coba lagi
Namun sebelum mulai, Google memintamu
untuk menuliskan katasandi Google.
Kunang-kunang makin banyak mengerumuni kepalaku.
Bayang-bayang makin mengaburkan pandangan
Aku ketik. Keringat menitik.
—Bukan, bukan katasandi Google yang itu
Sok tahu ah, teriak saya dalam hati, makin kesal
—Ya, kami tahu kamu mempunyai beberapa katasandi untuk Google
terkait dengan beberapa nama
Kami tahu juga kau punya katasandi Apple
yang terkait dengan alamat Gmailmu sebagai nama pengguna
Kau tidak punya hak untuk menyimpan semuanya
Tanpa ijinku setiap saat
—Agar memastikan privasi dan keamananmu,
kami menggantungkan padamu untuk
mengetahui kombinasi nama dan katasandi
yang sesuai pada tiap perangkat yang kamu pakai
: saya pilihkan nama dan katasandi yang terbaik,
yang paling saya ingat, yang tepat
—Bukan, katasandi itu tidak sesuai dengan catatan kami.
Ingin ganti katasandi? Apakah kau yakin kamu adalah pemilik buku ini?
: sial, dia curiga lagi pada saya. Saya ingin baca buku.
Dengan segenap kekesalan yang menumpuk, saya tinggalkan
layar sialan itu.
—Sebelum keluar, silakan isi survey ini tentang pengalamanmu dengan kami.
Saya tinggalkan layar itu. Buku itu hangus terbakar katasandi.
Pagi yang muram.
Bogor, 9 September 2018
Sajak ini terinspirasi oleh sebuah buku: George Gilder, Life After Google, The Fall of Big Data and the Rise of the Blockchain Economy, 2018. Dunia internet adalah dunia yang penuh dengan paradoks. Pada satu sisi, ia memudahkan kita untuk melakukan banyak aktifitas: mencari informasi dengan cepat, membantu arah jalan dengan petanya, menyimpan banyak dokumen dan materi-materi lain, komunikasi yang makin mudah. Namun pada sisi lain, kita juga dibuat puyeng karena verifikasi atas akses yang sangat berlapis. Sajak itu mencerminkan begitu rumitnya ketika saya ingin membaca buku yang sudah saya beli lewat toko online. Sistem melakukan verifikasi dengan pertanyaan yang berlapis-lapis, kata sandi, alamat email dan seterusnya. Sebelum memulai membaca buku elektronik itu, saya sudah lelah luar biasa. Pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh Google untuk memverifikasi data kita dilakukan oleh “Deep Mind” AI (Artificial Intelliegent).
Dalam buku ini George Gilder membahas banyak subjek yang kompleks dan dipenuhi dengan istilah yang perlu diketahui sebelum membaca lebih lanjut (metaverse, thermodynamic entropy, protein-fold geometries). Untungnya penulis menyediakan glosari untuk istilah-istilah itu. George Gilder adalah seorang investor, penulis, ekonom, dan pendiri Discovery Institute, sebuah lembaga think tank nirlaba yang berbasis di Seattle.
Life After Google: The Fall of Big Data and the Rise of the Blockchain Economy mengkritik kerusakan syaraf Silicon Valley sebagai model beriklan dari Google yang berlebihan hingga pelanggaran privasi pribadi, yang pada akhirnya tidak berkelanjutan. Buku ini menawarkan solusi dari cryptocosm, arsitektur digital baru dari blockchain dan turunannya. Memang tidak sedikit usaha blockchain pada akhirnya gagal, tetapi Gilder berpendapat bahwa perusahaan yang masih hidup dalam cryptosystem pada akhirnya akan menggeser generasi Web berikutnya dari silo data tertutup menuju superkomputer terbuka di mana blockchain dapat menyediakan immutable database yang dikembangkan untuk membangun struktur kepercayaan. Setelah data ini ditanam di global blockchain, ia tidak lagi diperlukan untuk membuat perangkat keras mengorganisasikan komputer paralel yang luas—sesuatu yang kini dipraktekkan oleh Google, Facebook, Amazon.
Imran Bashir pada bukunya “Mastering Blockchain,” (2017) menyebutkan dengan penemuan bitcoin pada tahun 2008 dunia diperkenalkan dengan konsep baru yang sekarang mungkin merevolusi masyarakat. Bitcoin dipandang sebagai inovasi terbaru untuk mata uang dunia digital. Namun yang menjadi sorotan lebih penting adalah teknologi Blockchain yang digunakan dalam bitcoin tersebut.
Teknologi ini merupakan sesuatu yang menjanjikan yang mempengaruhi beragam industri termasuk tetapi tidak terbatas pada keuangan, pemerintah, dan media. Beberapa ahli menggambarkannya sebagai sebuah revolusi. Sedangkan mazhab lain berpendapat teknologi ini merupakan sebuah evolusi dan akan memakan waktu bertahun-tahun sebelum bisa dimanfaatkan. Bagi Gilder dengan hadirnya blockchain revolusi telah dimulai; banyak organisasi besar di seluruh dunia sudah membuktikan kebenaran konsep teknologi blockchain ini sebagaimana ia telah diakui telah mendisrupsi industri.
Namun demikian, beberapa organisasi masih pada tahap eksplorasi awal tetapi diharapkan akan berkembang lebih cepat pada saat teknologi ini menjadi lebih matang. Ini adalah teknologi yang berdampak pada eksistensi teknologi yang ada saat ini dan memiliki kemampuan untuk mengubahnya secara fundamental.
Jadi apa sebetulnya Blockchain? Jawaban sederhana adalah bahwa Blockchain merupakan sistem pembukuan yang aman, transparan dan desentralisasi. “Aman” atau “Secure” tidak berarti teknologi ini menyembunyikan informasi. Aman berarti bahwa tidak seorangpun menyalahgunakan yang ada di Blockchain tanpa mengirimkan apa yang disebut “red flags” yang akan dengan cepat diperhatikan oleh para pengembang Blockchain. Bahkan jika ada seseorang yang berusaha menipu dan mengubah catatan, maka catatan asli akan tetap ada di Blockchain dan dapat diketahui dengan membandingkan informasi pada catatan duplikat aslinya, demikian disebutkan oleh Jared Norton, Blockchain Easiest Ultimate Guide To Understand Blockchain (2016). Blockchain adalah sebuah database yang menyimpan informasi tertentu.
Gilder menyebut inilah teknologi baru yang akan menggantikan Google sebagai system of the world. “System of the world,” ini adalah istilah yang dipinjam Gilder dari Neal Stephenson dalam novelnya “Baroque Cycle” yang menceritakan tentang Isaac Newton dan Gottfried Wilhelm Leibniz (h. 36).
Siapa yang tidak kenal Google? Mungkin lebih separuh penduduk bumi telah mengenalnya.
Alphabet, perusahaan induk Google, sekarang adalah perusahaan terbesar kedua di dunia. Diukur dari kapitalisasi pasar. Apple adalah yang pertama. Lalu Amazon, dan Microsoft, diikuti oleh Facebook pada posisi ketujuh. Inilah empat raksasa oligopoli global yang semakin ditakuti. Peningkatan dominasi global perusahaan informasi AS ini cukup mengagetkan. Satu dekade yang lalu yang menjadi perusahaan raksasa dengan kapitalisasi pasar terbesar adalah Exxon, Walmart, China National Petroleum, dan Industrial and Commercial Bank of China. Tidak ada perusahaan Internet yang masuk lima besar. Hari ini empat dari lima besar adalah bahtera Amerika untuk teknologi informasi (h. 35).
Dalam Life After Google, Gilder menguraikan dengan segenap detil bahwa di bawah kepemimpinan Larry Page dan Sergey Brin, Google mengembangkan filosofi terintegrasi yang bercita-cita, dengan kesuksesan yang terus meningkat, untuk membentuk kehidupan dan keberuntungan kita. Google telah mengenalkan theory of knowledge (teori pengetahuan) dan theory of mind untuk menghidupkan visi dominan teknologi dunia; konsep baru tentang uang dan harga; moralitas baru dan gagasan baru tentang makna dan proses kemajuan.
Theory of knowledge dari Google, kini dijuluki sebagai “big data”, sama radikalnya dengan Newton dan bagaimana Newton juga membebaskan teori-teori lama. Newton mengajukan beberapa teori yang relatif sederhana bahwa setiap datum baru (datum sebutan tunggal untuk data) bisa ditafsirkan dan penyimpanan pengetahuan dilipatgandakan dan disesuaikan. Pada prinsipnya siapa pun dapat melakukan perhitungan fisika dan kalkulus atau beragam studi yang dipelajari, disimpan, dimanfaatkan oleh banyak pihak. Ribuan insinyur saat ini telah menambah kemampuan daya simpan pengetahuan dan menginterpretasi tiap datum tiap saat.
Konsep-konsep pemanfaatan gratis aneka fasilitas yang dikembangkan Google menjadi satu kekutan unik. Perdebatan tentang pembiayaan sistem of the world Google yang tidak terasa pagi para pengguna, menjadi bagian penting diskusi dalam Buku Life After Google ini. Sampai kapan gratis atau betulkah layanan yang memerlukan investasi besar itu gratis?
“Jadi apa yang salah dengan gratis? tanya Gilder yang tentu saja meragukan konsep Google for free. Gratis itu bohong, karena di bumi ini, pada akhirnya, tidak ada yang gratis. Bayangkan jika Anda di depan laptop dan mencari video yang diinginkan. Untuk melihat sekilas video pendek yang mungkin Anda ingin lihat sampai selesai atau hanya sebagian saja, Anda ‘dipaksa’ menonton iklan yang cukup lama hingga klik untuk menutup iklan itu. Daripada membayar (untuk melihat video itu) maka Anda membiarkan iklan terpampang mengganggu kenikmatan video Anda sejenak. Anda pada dasarnya membayar untuk menikmati video itu dengan gangguan iklan yang lewat. Anda membayar dengan slippery coin of information and distruction.
Dengan model monetizing seperti itu dan trik-trik lainnya Google telah berhasil membangun sistem transaksi yang efisien dan tidak merepotkan, mengoptimalkan pemrosesan komputernya, dan menurunkan biaya ketika skala diperluas. Google mungkin telah mendapatkan keuntungan besar selama bertahun-tahun. Jika biaya yang dikenakan pada pengguna via iklan cuma satu sen saja maka akan menghasilkan sekitar $ 13 miliar pendapatan per tahun (h .66).
Penelitian Gilder yang mendalam menegaskan satu hal: Keberhasilan Google tampaknya luar biasa. Perusahaan induknya, Alphabet, bernilai hampir $ 800 miliar, hanya sekitar $ 100 miliar lebih sedikit dari Apple. Bagaimana Anda menjadi kaya dengan memberikan sesuatu begitu saja? Google melakukannya melalui salah satu skema teknis paling cerdik dalam sejarah perdagangan (h. 69).
Apa lagi yang bisa dilakukannya? Jawaban Google: apa pun! Karena itu, portofolio layanan Web Google semakin meluas: layanan iklan (AdSense, AdWords), peta (Google Maps), video (YouTube), jadwal (Google Kalender), dokumen (Google Docs), transaksi (Google Checkout), terjemahan (Google Translate) ), email (Gmail), dan perangkat lunak produktivitas (Writely), untuk menyebut sebagian saja. Penantangnya mencoba melakukan yang sama (h. 130).
Buku ini memberi sudut pandang yang menarik yang bertentangan dengan narasi utama bahwa beberapa raksasa Silicon Valley, seperti Google, selamanya akan tetap menjadi tuan dari data terpusat dan bahwa karena kemajuan dalam Artificial Intelligent (AI), dunia digital baru mungkin tidak membutuhkan manusia lagi dan kita akan secara bertahap hidup menganggur selamanya. Gilder percaya AI pada akhirnya merupakan sinyal dari rezim industri di ujung tanduk. Isu-isu yang terkait dengan strategi bisnis, kekayaan intelektual, privasi, dan keamanan tidak dapat diselesaikan dalam arsitektur komputer dan jaringan saat ini. Google akan ditinggalkan. Teknologi Blockchain mungkin akan membuat Google tinggal sejarah.
Pada sebuah wawancara dengan Hoover Institute, London, 28 Agustus 2018 ketika ditanya apakah Blockchain adalah teknologi masa depan? penulis Life After Google ini berpendapat bahwa teknologi bitcoin dan blockchain telah merevolusi Internet. Gilder berpendapat—seperti ditulis dalam bukunya— bahwa komputasi awan, sementara ini adalah teknologi baru yang hot sepuluh tahun yang lalu, telah mencapai batasnya karena keterbatasan fisik dari pusat penyimpanan data yang besar dan akan semakin besar. Perbaikan dalam penguraian/desentralisasi big data sangat lambat saa ini. Dan inilah waktunya bagi teknologi besar berikutnya untuk menggantikannya. Gilder menunjuk ke blockchain sebagai teknologi masa depan, dengan kemampuannya untuk mencegah korupsi dan manipulasi data transaksi dan penggunaan yang tak terbatas di negara-negara dunia ketiga.
Gilder juga membahas sejarah teknologi, kecerdasan buatan, dan bitcoin revolusioner. Dia berpendapat bahwa kecerdasan buatan tidak pernah dapat menggantikan kecerdasan manusia dan kreativitas dan pada prinsipnya, tidak mungkin bagi mesin untuk mengambil alih.
Salah satu yang menjadi kelemahan Google menurut Gilder adalah bahwa the Google system of the world berfokus pada lingkungan material belaka bukan pada kesadaran manusia, pada kecerdasan buatan bukan pada kecerdasan manusia, dan pada machine learning bukan pada human learning, pada pencarian relativistik daripada pada pencarian kebenaran, pada menyalin atau meniru daripada pada penciptaan, pada peluncuran hierarki manusia di alam semesta yang datar daripada memberdayakan manusia di alam semesta yang hierarkis. Ia mencari kemanunggalan dalam mesin daripada di pikiran manusia.
Bagi Gilder, sistem baru dunia, the new system of the world, harus membalik posisi-posisi itu, mengagungkan keanehan ciptaan: pikiran atas materi, kesadaran manusia atas mekanisme, kecerdasan nyata atas pencarian algoritmik belaka, pembelajaran yang bermakna atas kedunguan “evolution, and truth over chance. A new system can open a heroic age of human accomplishment” (h. 700).
Sistem dunia di masa depan akan melihat peningkatan memori dan spesifisitas, penemuan dan faktualitas. Alam semesta bersifat hierarkis dan multidimensi. Ini tidak dapat direduksi menjadi dua dimensi. Industri komputer untuk dunia informasi harus berorientasi pada dimensi kreatif dari virtual reality daripada alam semesta datar dari takhayul materialis. Sistem dunia yang sukses harus dicurahkan untuk menghargai kompleksitas utuh kehidupan dan pikiran manusia”(h. 704).
Teknologi Blockchain menjawab semua kritik dan analisis Gilder terhadap Google.