halamn drm #5
2050, 2084 dan Sesudahnya
Dwi R. Muhtaman
Kita tahu hari-hari ini dunia seolah berhenti. Sejumlah rencana dan kemajuan runtuh dalam sekejap. Serbuan makhluk kecil yang tidak kasat mata itu mengubah banyak hal: Covid-19. UNDP (2021) mengeluarkan dua laporan tentang dampak Covid-19 terhadap pencapaian SDGs. Di bawah skenario ‘Baseline Covid’, pandemi dapat meningkatkan jumlah orang yang hidup dalam kemiskinan ekstrem hingga 44 juta pada tahun 2030. Ketidakpastian terus berlanjut hingga mencapai skenario ‘Kerusakan Tinggi’, maka secara global akan menghasilkan 251 juta orang yang terjerumus pada kondisi kemiskinan ekstrem akibat pandemi, sehingga jumlah totalnya menjadi 1 miliar pada tahun 2030. Namun harapan juga membuncah di tengah badai itu. Penelitian UNDP menunjukkan bahwa serangkaian investasi SDG terintegrasi yang ambisius namun layak akan memiliki potensi untuk melampaui trajectory pembangunan sebelum pandemi, bahkan ketika memperhitungkan Covid-19.
Menggetarkan dunia, tulis Slavoj Žižek, yang dijulukan sebagai “the most dangerous philosopher in the west” itu (Pandemic!: Covid-19 Shakes the World, 2020). Dan itu bukan hal yang pertama kali dialami manusia. Tapi sialnya, kata Hegel yang dikutip Žižek, satu-satunya hal yang dapat kita pelajari dari sejarah adalah bahwa kita tidak belajar apa-apa dari sejarah. “Jadi saya ragu epidemi ini akan membuat kita lebih bijaksana,” tambah Žižek dengan cemas.
Pertanyaan kuncinya adalah: Apa yang salah dengan sistem kita sehingga kita tidak siap menghadapi bencana meskipun para ilmuwan memperingatkan tentang hal itu selama bertahun-tahun? kata Žižek, mungkin dengan wajah yang terlipat-lipat.
Kita tidak takluk. Manusia tidak pernah takluk atas akibat dari tindakannya terhadap lingkungan hidupnya. Yang diperlukan hanya satu: perubahan. Melakukan perubahan adalah sebuah pergulatan. Medan pertempuran. Kita sering merasa perlu cara baru untuk melanjutkan kehidupan. Tetapi pada sisi lain kokoh tak hendak mengubah cara hidup yang lama. Namun kondisi saat ini bagi Žižek merupakan fase baru, sebuah keadaan yang memungkinkan apapun terjadi. Pilihannya untuk bisa keluar dari situasi ini adalah pilihan radikal. Karena melalui upaya kita untuk menyelamatkan umat manusia dari penghancuran diri inilah kita menciptakan kemanusiaan baru. Hanya melalui ancaman fana inilah kita dapat membayangkan kemanusiaan yang bersatu.
Laporan McKinsey and Company (The Coronavirus Effect on Global Economic Sentiment, April 2021) menyebutkan meskipun pandemi membayangi risiko lain terhadap pertumbuhan, optimisme tentang ekonomi tetap ada dan prospek perusahaan terus cerah, terutama di bidang perekrutan. Dalam Survei Global McKinsey terbaru tentang ekonomi, pandangan para eksekutif sama positifnya seperti pada bulan Maret—bahkan ketika pandemi terus mengerdilkan risiko lain terhadap pertumbuhan.
Secara global, 73 persen dari seluruh responden meyakini bahwa kondisi ekonomi dunia akan membaik dalam enam bulan ke depan. Ini sebuah optimisme terbesar sepanjang tahun. Para eksekutif memperkirakan kondisi yang memburuk telah menyusut lebih dari setengahnya dalam tiga bulan terakhir: sekarang 10 persen mengatakan demikian, turun dari 23 persen pada Januari 2021.
Memang pada laporan McKinsey and Company lainnya Rethink Capabilities to Emerge Stronger from COVID-19 (November 2020) disadari bahwa berbulan-bulan mengalami pandemi global, cara orang bekerja telah berubah secara dramatis—dan terus berkembang seiring berlanjutnya krisis COVID-19. Para pemimpin di semua tingkatan diminta untuk melakukan sesuatu secara berbeda. Tetapi bagaimana perusahaan mereka mempersiapkan mereka dan karyawan mereka untuk tuntutan baru ini?
Dalam survei terhadap lebih dari 1.200 pebisnis di seluruh dunia—kebanyakan mereka memegang peran kepemimpinan—responden menganggap pembelajaran dan kapabilitas bernilai tinggi. Mereka mengatakan bahwa perusahaan berinvestasi sesuai dengan itu. Tetapi banyak organisasi berjuang untuk mencapai dampak yang mereka cari, bahkan saat mereka menargetkan kemampuan yang dianggap paling penting untuk masa depan: kepemimpinan, ketahanan, dan kemampuan beradaptasi.
Kita lupakan sejenak pengalaman hari-hari Covid-19 ini.
Kita akan membayangkan dunia yang jauh ke depan. Meski kita tahu “Prediction is very difficult. Especially about the future,” kata Niels Bohr (1885-1962) seorang ahli fisika yang pernah meraih hadiah Nobel Fisika pada tahun 1922. Meskipun sebetulnya “The future is here. It’s just not evenly distributed yet,” celoteh William Gibson (1948-), seorang penulis esai fiksi spekulatif Amerika-Kanada yang dikenal luas sebagai pelopor subgenre fiksi ilmiah yang dikenal sebagai cyberpunk.
Laurence C. Smith, Profesor Studi Lingkungan Universitas John Atwater dan Diana Nelson dan Profesor Ilmu Bumi, Lingkungan dan Planet di Brown University berani melakukan yang sulit itu. Ia menuliskan kajian masa depannya dalam buku “The World in 2050: Four Forces Shaping Civilization’s Northern Future,” (2010). “Ini adalah buku tentang masa depan kita,” tulis Smith. Perubahan iklim hanyalah salah satu komponennya. Tren besar lainnya, adalah menyangkut populasi manusia, integrasi ekonomi, dan hukum internasional. Dalam buku The World in 2050 yang memenangkan the Walter P. Kistler Book Award and Nature Editor’s Pick of 2012 ini, Smith mempelajari geografi dan sejarah untuk menunjukkan bagaimana kondisi masa yang sudah ada sebelumnya akan meninggalkan jejak yang langgeng di masa depan. Ia menggunakan model komputer baru yang canggih untuk memproyeksikan masa depan berkaitan dengan produk domestik bruto, gas rumah kaca, dan pasokan sumber daya alam. Dengan memeriksa tren ini secara kolektif, dan mengidentifikasi konvergensi dan kesejajaran di antaranya, menjadi mungkin untuk membayangkan, dengan kredibilitas ilmiah yang masuk akal, seperti apa dunia kita dalam waktu empat puluh tahun, jika segala sesuatunya berlanjut seperti sekarang. “Ini adalah eksperimen pemikiran tentang dunia kita pada tahun 2050.”
Bagi Smith dan mungkin sebagian dari kita merasa senang, cemas atau selow saja membayangkan seperti apa dunia kita saat itu. Robot dan mobil terbang? Bagian tubuh yang dibuat khusus? Ekonomi hidrogen? Atau seperti yang diimajinasikan oleh penggemar sci-fi yang kecewa, karena kecepatan realitas biasanya lebih lambat daripada imajinasi manusia.
Perubahan besar sering kali begitu mudah masuk. Dan diam-diam mengubah dunia. Seperti apa dunia kita di tahun 2050? Bagaimana dengan populasi dan distribusi orang. Bagaimana dengan model kekuasaan kita? Adakah yang baru dan mengejutkan? Keadaan alam semesta? Negara mana yang akan memimpin, dan mana yang menderita? Menurut Anda, di mana Anda akan berada di tahun 2050?
Jawaban atas pertanyaan-pertanyaan ini, setidaknya dalam buku ini, berasal dari argumen inti: Seperempat utara garis lintang planet kita akan mengalami transformasi yang luar biasa selama abad ini, menjadikannya tempat aktivitas manusia yang meningkat, nilai strategis yang lebih tinggi, dan kepentingan ekonomi yang lebih besar dari hari ini. Memang dalam buku ini Smith berbicara soal “New North.” Ini karena semua daratan dan lautan yang terletak pada garis lintang 45 ° LU atau lebih tinggi yang saat ini dikuasai oleh Amerika Serikat, Kanada, Islandia, Greenland (Denmark), Norwegia, Swedia, Finlandia, dan Rusia.
The World 2050 mengupas prospek seputar delapan negara ini, yang mengontrol wilayah yang luas dan lautan yang membentang sejauh Samudra Arktik ke utara, terdiri dari “Lingkar Utara” (Northern Rim) baru yang secara kasar mengelilingi lautan itu. Perkembangan di negara-negara Lingkar Utara ini, yang disebut negara-negara NORC, atau “NORCs,” dieksplorasi, dan dipaparkan kajian tren dunia yang kuat dalam populasi manusia, ekonomi, permintaan energi dan sumber daya, perubahan iklim, dan faktor-faktor lain yang sangat penting bagi peradaban dan ekosistem global kita.
Namun betapapun canggihnya pisau dan alat analisis yang digunakan untuk membayangkan seperti apa kehidupan bagi sebagian besar kita pada tahun 2050, tetap diperlukan asumsi-asumsi. Smith menetapkan asumsi dasar yang disebut Rules, antara lain:
Pertama, Tidak Ada Silver Bullets. Kemajuan bertahap dalam teknologi untuk empat puluh tahun ke depan. Tidak ada fusi nuklir dingin atau jamur yang menumbuhkan diesel yang akan secara tiba-tiba menyelesaikan semua masalah energi kita; tidak ada rekayasa genetika seperti Tuhan untuk menanam gandum tanpa air. Ini tidak berarti bahwa terobosan teknologi radikal tidak dapat atau tidak akan terjadi; hanya saja kemungkinan itu tidak akan terjadi dalam 2-3 dekade mendatang.
Kedua, Tidak Ada Perang Dunia III. Dua perang “dunia” pada paruh pertama abad ke-20 mengubah peta dan memalsukan perubahan ekonomi, politik, dan infrastruktur yang bergema hingga hari ini. Perang nuklir atau besar, multi-negara, konvensional seperti Perang Dunia II akan menjadi pengubah permainan. Hukum dan perjanjian utama, setelah dibuat, diasumsikan tetap berlaku.
Ketiga, Tidak Ada Genie Tersembunyi. Depresi global selama beberapa dekade, pandemi penyakit mematikan yang tak terhentikan, dampak meteorit, atau peristiwa berdampak tinggi dengan probabilitas rendah lainnya tidak terbayangkan di sini. Namun, asumsi ini dilonggarkan untuk mengeksplorasi enam hal yang masuk akal, jika tidak mungkin, seperti perubahan iklim yang tiba-tiba atau jatuhnya perdagangan global — keduanya telah terjadi sebelumnya dan dapat terjadi lagi. Dan Smith dalam asumsi ini telah meleset karena pendemi global justru hadir tepat sepuluh tahun setelah analisis The World 2050 terbit (2010).
Empat, Modelnya Cukup Baik. Beberapa kesimpulan yang dicapai dalam buku ini berasal dari eksperimen menggunakan model komputer dari fenomena kompleks, seperti iklim dan ekonomi. Model adalah alat, bukan ramalan. Semua memiliki kekurangan dan keterbatasan. Tetapi untuk tujuan skala luas buku ini, menurut Smith, sangat baik.
Lalu apa kesimpulannya?
Ada empat kekuatan besar yang akan menentukan dunia kita pada 2050. Kekuatan global pertama adalah demografi. Pada dasarnya demografi adalah faktor yang sangat dinamis yang pasang surut. Perkembangan peradaban dan dunia dipicu oleh pergerakan kelompok populasi yang berbeda dalam ras manusia. Ukuran demografi mencakup hal-hal seperti tingkat kelahiran, pendapatan, struktur usia, etnis, dan arus migrasi. Perubahan dramatis terjadi dalam hal jumlah total orang yang hidup di Bumi.
Kekuatan global kedua, sebagian terkait dengan yang pertama, adalah meningkatnya permintaan yang diinginkan manusia terhadap sumber daya alam, jasa, dan kumpulan gen planet kita. Sumber daya alam berarti aset terbatas seperti hidrokarbon, mineral, dan air tanah fosil; dan aset terbarukan seperti sungai, tanah subur, satwa liar, dan kayu. Jasa lingkungan mencakup kebutuhan hidup seperti fotosintesis, penyerapan karbon dioksida oleh lautan, dan kerja lebah untuk menyerbuki tanaman kita. Dan dengan kumpulan gen yang dimaksud adalah tentang keragaman gen yang dibawa oleh semua organisme hidup yang masih ada di Bumi.
Kekuatan global ketiga adalah globalisasi. Sebuah kata besar yang mencakup banyak hal. Paling sering mengacu pada perdagangan internasional dan arus modal yang semakin meningkat, tetapi juga memiliki dimensi politik, budaya, dan ideologis. Definisi tentang globalisasi sama banyaknya dengan para ahli yang mempelajarinya. Smith membatasi “globalisasi” secara luas sebagai serangkaian proses ekonomi, sosial, dan teknologi yang membuat dunia lebih saling berhubungan dan saling bergantung.
Kekuatan global keempat adalah perubahan iklim. Sederhananya, dapat diamati fakta bahwa aktivitas industri manusia mengubah komposisi kimia atmosfer sedemikian rupa sehingga suhu keseluruhannya, rata-rata, memanas. Kekuatan gas rumah kaca tidak dapat disangkal. Keberadaan mereka disimpulkan pada tahun 1820-an oleh ahli matematika Prancis Joseph Fourier, yang memperhatikan bahwa Bumi jauh lebih hangat daripada yang seharusnya, mengingat jaraknya dari Matahari. Namun tanpa gas rumah kaca, planet kita akan menjadi kotak es, seperti Bulan dan Mars, dengan suhu sekitar 16 derajat Celcius lebih dingin dari hari ini. Keajaiban mereka berasal dari membiarkan radiasi matahari dengan mudah masuk tetapi tidak mudah keluar. Kira-kira analog dengan bagaimana mobil tertutup menjadi lebih panas di dalam daripada di luar dari sinar matahari yang melewati kaca jendela.
Berdasarkan itu dengan sejumlah uraian panjang dan analisisnya Smith percaya dalam banyak hal, the New North mampu memposisikan diri dengan baik pada abad mendatang bahkan ketika ekosistem uniknya terancam oleh tekanan terkait pengembangan hidrokarbon dan perubahan iklim yang makin kuat. Namun ia masih menyimpan sederet pertanyaan. Dalam dunia 2050 yang terintegrasi secara global dengan lebih dari sembilan miliar orang, dengan megatren yang meningkat dari tekanan air, gelombang panas, dan banjir pesisir, apa artinya ini untuk memotivasi pemukiman manusia yang diperbarui di kawasan itu? Memperluas eksperimen pemikiran lebih jauh, sejauh mana Utara yang basah, berpenduduk kurang, kaya sumber daya, dan tidak terlalu dingin menjanjikan perlindungan dari beberapa tekanan yang lebih besar?
Dimanakah Indonesia?
Dalam The World 2050 Indonesia sama sekali tidak diperhitungkan. Kecuali disinggung hanya pada bagian soal urbanisasi. Masif urbanisasi akan menerjang kota-kota di dunia Selatan, termasuk Indonesia. Pada 1950 hanya ada dua kota-mega (kota dengan penduduk di atas 10 juta) di dunia: New York-Newark, USA (12.3 juta) dan Tokyo, Jepang (11.3). Pada 2007 sudah ada 19 kota-mega: Tokyo, Jepang (35.7), New York-Newark, USA (19.0), Mexico City, Mexico (19.0), Mumbai, India (19.0), São Paulo, Brazil (18.8), Delhi, India (15.9), Shanghai, China (15.0), Kolkata (Calcutta), India (14.8). Belum ada kota di Indonesia masuk dalam kota-mega ini. Pada tahun 2025 diperkirakan sudah ada 27 kota-mega. Jakarta menduduki peringkat 19 dengan penduduk 12.4 juta. Februari 2021 penduduk Jakarta mancapai 10,56 juta.
Selain soal urbanisasi, Indonesia tidak nampak dalam analisis Smith.
Mari kita bergerak lebih jauh ke depan: 2084. Seratus tahun kemudian sejak George Orwell menerbitkan novelnya yang futuristik: 1984. Terbit 1949. Kita menyimak tahun 2084 dari John C. Lennox dalam bukunya, 2084: Artificial Intellligence and the Future Humanity (2020). Buku ini memaparkan kecemasan perkembangan AI bagi seorang Lennox yang merupakan tokoh Kristen yang terlibat dalam sejumlah debat umum untuk mempertahankan iman Kristen. Ia sangat tertarik pada etika dan agama.
Lennox membuka ceritanya dengan mengisahkan tentang imajinasi dua penulis novel berpengaruh. Dua dari skenario futuristik yang paling terkenal adalah novel Brave New World tahun 1931 oleh Aldous Huxley dan novel George Orwell 1984, yang diterbitkan pada tahun 1949. Keduanya, pada waktu yang berbeda, mendapat peringkat yang sangat tinggi sebagai novel berbahasa Inggris yang berpengaruh. Misalnya, Orwell’s dipilih pada 2005 oleh majalah Time sebagai salah satu dari 100 novel berbahasa Inggris terbaik dari 1923 hingga 2005. Kedua novel itu distopia: yaitu, menurut Oxford English Dictionary, “mereka menggambarkan tempat atau kondisi imajiner yang seburuk mungkin.” Namun, tempat yang benar-benar buruk yang mereka gambarkan sangat berbeda, dan perbedaan mereka, yang memberi kita wawasan bermanfaat yang akan berguna untuk kita nanti. Analisis dua novelis ini, menurut Lennox, dijelaskan secara ringkas oleh sosiolog Neil Postman dalam karyanya yang sangat dihormati Amusing Ourself to Death:
Orwell memperingatkan bahwa kita akan dikalahkan oleh penindasan yang dipaksakan dari luar. Namun dalam visi Huxley, tidak ada Big Brother (ini adalah tokoh otoriter dalam novel 1984) yang diperlukan untuk merampas otonomi, kedewasaan, dan sejarah orang-orang. Menurut pandangannya, orang akan menyukai penindasan mereka, mengagumi teknologi yang merusak kemampuan berpikir mereka.
Yang ditakuti Orwell adalah mereka yang melarang buku. Yang ditakuti Huxley adalah tidak ada alasan untuk melarang sebuah buku, karena tidak akan ada orang yang ingin membacanya. Orwell takut pada mereka yang akan merampas informasi dari kami. Huxley takut pada mereka yang akan memberi kita begitu banyak informasi sehingga kita akan direduksi menjadi pasif dan egoisme. Orwell takut kebenaran akan disembunyikan dari kami. Huxley takut kebenaran akan tenggelam di lautan yang tidak relevan. Orwell takut kita akan menjadi budaya tawanan. Huxley takut kita akan menjadi budaya yang remeh. Singkatnya, Orwell takut bahwa apa yang kita benci akan menghancurkan kita. Huxley takut bahwa apa yang kita cintai akan menghancurkan kita.
Lennox adalah profesor matematika dari Inggris yang mengajar di Oxford University. Ia merupakan seorang “Fellow in Mathematics and Philosophy of Science” di Green Templeton College, Oxford University. Satu hal yang unik dan mungkin karena itu mampu bertahan dari Homo sapiens adalah sifatnya yang selalu ingin tahu. Menurut Lennox kita telah mengajukan pertanyaan sejak awal sejarah. Kita secara khusus telah mengajukan pertanyaan besar tentang asal usul dan takdir: Dari mana saya berasal dan ke mana saya akan pergi? Penting pertanyaan-pertanyaan itu sangat jelas. Jawaban kita untuk yang pertama membentuk konsep kita tentang siapa diri kita, dan jawaban kita untuk yang kedua memberi kita tujuan untuk hidup. Secara bersama-sama, tanggapan kita terhadap pertanyaan-pertanyaan ini membantu membingkai pandangan dunia kita, narasi yang memberi makna pada hidup kita.
Masalahnya adalah bahwa ini bukan pertanyaan yang mudah, seperti yang kita lihat dari fakta bahwa banyak jawaban yang kontradiktif ditawarkan. Namun, biasanya, kita tidak menganggap itu sebuah masalah. Selama berabad-abad, manusia telah mengajukan beberapa jawaban yang diberikan oleh sains, beberapa oleh filsafat, beberapa berdasarkan agama, yang lain pada politik.
Apakah 2084 kita mampu atau mau mewujudkan keberadaan Homo deus, sosok manusia baru dengan eneka keunggulan artifisial yang mampu mengalahkan manusia, seperti yang digambarkan oleh Yuval Noah Harari. Menghapus Homo sapiens dari muka bumi.
Salah satu contoh luar biasa dari kemungkinan ini adalah karya Rosalind Picard di MIT, tulis Lennox. Dia mengatakan bahwa tujuan penelitian kecerdasan buatan telah berkembang secara halus tetapi mendalam. Lab Picard bekerja untuk menciptakan alat yang membantu komputer memahami emosi manusia daripada mencoba menirunya. “Kami telah memutuskan untuk membangun kombinasi manusia-mesin yang lebih baik daripada sekedar membangun mesin dan menggunakan sebagai hewan peliharaan rumah tangga.” Karyanya telah membuka jalan baru. Bidang yang disebut “komputasi afektif,” dan dia telah menggunakan sensor canggih untuk mendapatkan wawasan berharga, misalnya, tingkat stres anak-anak autis. Dan itu artinya akan membuka jendela baru bagi kemajuan AI yang makin mendekati kemampuan manusia.
Kita meskipun bersuka cita dengan kehadiran AI yang membuat hidup lebih mudah, juga layak cemas.
Kita sebagai bagian dari warga peradaban dunia harus terlibat dalam mengatasi pertanyaan-pertanyaan etis yang semakin banyak dilontarkan oleh perkembangan teknologi aktual dan hipotetis di bidang-bidang ini. Salah satu pionir terkemuka China di bidang AI, yang disitir Lennox, Dr. Kai-Fu Lee, merangkum situasi tersebut dalam sebuah wawancara dengan Carmine Gallo untuk Forbes pada 4 Oktober 2018: Dr. Lee menyadari bahwa AI tidak akan mengurangi nilai kita selama kita melipatgandakan apa yang membuat kita benar-benar manusia. “AI bisa menangani semakin banyak tugas rutin non-pribadi, non-kreatif,” kata Lee. Tetapi Lee mengatakan keterampilan yang membuat kita menjadi manusia yang unik adalah keterampilan yang tidak dapat ditiru oleh mesin mana pun. Pekerjaan masa depan, kata Lee, akan membutuhkan pemimpin yang kreatif, penuh kasih dan empati yang tahu bagaimana menciptakan kepercayaan, membangun tim, menginspirasi layanan, dan berkomunikasi secara efektif.
Kebajikan seperti itu semua berkaitan dengan cara orang berpikir tentang satu sama lain. Dalam buku 2084, Lennox telah berpikir – berpikir keras – tentang apa yang dipikirkan orang tentang kemungkinan perkembangan teknologi. Tapi bagaimana dengan pemikiran itu sendiri? Apakah tidak hanya penting bahwa kita berpikir tetapi juga bagaimana kita berpikir? Tidak ada penilaian agama tentang AI yang akan lengkap tanpa analisis (singkat) tentang apa perbedaan antara pemikiran di balik proyek Homo deus dan cara Tuhan berpikir dan menginginkan kita berpikir. Manusia berpikir dia bisa menjadi Tuhan. Tetapi jauh lebih besar dari itu adalah fakta (?) bahwa Tuhan berpikir untuk menjadi manusia–sesuatu absurd kita pahami.
Dengan beragam perkembangan teknologi dan sejumlah kekuatan yang mendorong perubahan besar dunia ini maka masa depan kita akan ditentukan, sebagiannya, oleh kemampuan kita menghadapi perubahan-perubahan besar itu. Smith percaya pertanyaannya bukanlah berapa banyak orang di Bumi versus barel minyak yang tersisa, atau berapa hektare tanah yang subur, atau tetesan air yang mengalir melalui siklus hidrologi. Pertanyaannya bukanlah seberapa banyak konsumsi sumber daya yang dapat atau tidak dapat diserap oleh ekosistem global. Dapat diperdebatkan apakah dunia harus secara optimal menampung sembilan miliar orang atau sembilan juta saja, menjajah laut, atau semuanya pindah ke Yakutsk, sebuah tempat paling dingin di dunia (adalah kota pelabuhan Rusia di Sungai Lena, di Siberia timur. Ini adalah rumah bagi Museum Mammoth, dengan fosil mammoth berbulu berusia ribuan tahun. Laboratorium Bawah Tanah Melnikov Permafrost Institute memiliki terowongan yang memamerkan fosil, termasuk anak mammoth, dalam suhu di bawah titik beku. Museum Sejarah dan Budaya Masyarakat Utara Negara Bagian Yakut menyimpan fosil Zaman Es, termasuk mamut dan badak).
Menurut Smith, tidak diragukan lagi kita, manusia, akan selamat dari apapun, bahkan jika beruang kutub dan ikan kod Arktik tidak bisa bertahan. Mungkin kita bisa mendukung sembilan ratus miliar manusia jika kita memilih dunia tanpa hewan besar, apartemen pod, ganggang rekayasa genetika untuk dimakan, dan air toilet desalinisasi untuk diminum.
Atau mungkin cukup sembilan ratus juta jika kita memilih planet yang lebih liar, yang dengan murah hati mengisi kembali makhluk-makhluk rancangan kita. Bagi Smith, pertanyaan yang lebih penting bukanlah kapasitas, tetapi keinginan: “What kind of world do we want?” Dunia seperti apa yang kita inginkan?”
Dalah khasanah Islam, manusia adalah salah satu ciptaan Allah SWT. Prof Yunahar Ilyas dalam bukunya, Tipologi Manusia Menurut Al-Qur’an (2007, Labda Press), Kitabullah itu menyebut manusia dengan istilah yang berbeda-beda. Istilah basyar disebut 35 kali dalam bentuk mufrad dan sekali dalam bentuk mutsanna. Sebutan al-ins sebanyak 18 kali. Al-insan, 65 kali. an-nas, 240 kali. Bani Adam, tujuh kali. Terakhir, dzuriyah Adam sebanyak satu kali.
Manusia adalah makhluk yang terpuji, sebagaimana Sang Pencipta telah menegaskan dalam surah at-Tin ayat keempat, yang artinya, “Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya.” Sebagai “khalifah Allah di muka bumi” (QS al-BAqarah: 30).
Dunia macam apa yang kita inginkan, 2050, 2084 dan sesudahnya?
Bogor, 11 Juni 2021