Sustainability 17A #25
Solidaritas Ekologi
Dwi R. Muhtaman,
sustainability learner
Saya mempunyai tetangga baru. Ia datang dari kota lain dan berniat tinggal di kota tempat saya tinggal dan ia menyewa rumah di sebelah. Rumah ini terdapat pekarangan kecil di belakang dengan dua rumpun pohon pisang yang rimbun. Di halaman depan rumah juga ada sepetak lahan dengan satu pohon moringa–yang dikenal sebagai kelor atau superfood karena kandungan proteinnya yang tinggi, dan beberapa pohon kecil serta bunga-bunga. Lahan dengan sedikit tanaman di depan dan belakang ini cukup membuat segar rumah itu dan lingkungan sekitarnya. Air hujan yang turun juga mendapatkan ruang yang leluasa untuk masuk ke tanah melalui dua petak lahan di belakang dan di depan itu. Tanaman pisang dan bunga-bunga ini mampu menyerap karbon sejumlah tertentu meskipun tidak setinggi tanaman berkayu seperti moringa. Pohon dan tanaman lainnya bisa menyerap karbon dalam jumlah yang bervariasi. Dalam sebuah lingkungan tertentu secara agregat tentu akan memberikan kontribusi yang baik bukan saja untuk bumi tetapi juga untuk kesegaran oksigen yang kita perlukan untuk hidup yang sehat.
Tetapi sayangnya tetangga baru itu menebang semua pohon, memberishkan semua tanaman. Halaman mungil di depan dan belakang ditutup dengan lantai beton. Mereka tidak sadar bahwa udara segar, sejumlah oksigen yang dihirup, karbon dioksida yang diserap dari udara sehingga membersihkan udara dari materi yang berbahaya adalah karena jasa yang diberikan oleh pohon-pohon dan sejumlah tanaman. Ketika mereka menebang pohon maka kita mengabaikan kontribusi kita pada hak orang lain atas udara yang bersih dan sehat. Kita telah menghapus rasa solidaritas ekologis dari pergaulan kita sebagai manusia social dan manusia ekologis. Betapi mudah kita menebang pohon daripada menanamnya. Padahal dengan nyata diketahui bahwa udara segar yang kita hirup dengan leluasa karena ada pohon tetangga yang tumbuh perkasa. Karena ada orang-orang lain yang menanam pohon-pohon itu. Menanam dan merawat pohon bukan hanya baik untuk udara tetapi juga meningkatkan perembesan air ke dalam tanah dan sejumlah manfaat yang luar biasa.
Satu pohon muda mampu menyerap sekitar 5.900 gram CO2 per tahun, sementara itu pohon berusia 10 tahun mampu menyerap karbon sejumlah 22.000 gram (22 kg) per tahun. Dengan mengambil angka-angka ini kita dapat menghitung rata-rata CO2 yang diserap pohon selama hidupnya. Kalau dikonversi dalam luasan maka satu hektar hutan mampu menyerap CO2 per pohon per hektar sekitar 6,25 ton CO2per tahun.
Penelitian lebih lanjut tentang tingkat sekuestrasi dilakukan oleh Dexter Dombro CEO of Amazonia Reforestation. Studi yang didukung oleh Science Daily menyatakan bahwa hutan tropis alami Afrika menyerap sekitar 600 kg (1.323 lbs) karbon per hektar per tahun. Jika Anda mengambil 600 kg x 25 kali lebih banyak kayu per hektar dalam pengelolaan perkebunan, hasilnya adalah 15.000 kg (33.000 lbs) per hektar per tahun dibagi dengan 600 pohon perkebunan per hektar, yang menghasilkan rata-rata 25 kg (55 lbs) karbon yang diserap per pohon per tahun. Studi lain yang dilakukan oleh Myers dan Goreau, menunjukkan bahwa hutan tanaman pinus dan kayu putih tropis mampu menyerap rata-rata 10 ton karbon per hektar per tahun. Oleh karena itu, perkebunan dapat menyerap rata-rata 20.000 pon * 3,6663 = 73.326 pon CO2 / ha / tahun, atau, mengambil rata-rata 1.000 pohon per hektar, 33,33 kg atau 73,326 pon CO2 / pohon / tahun.
Menurut tulisan di atas itu, jumlah CO2 penyerap pohon bervariasi berdasarkan kecepatan pertumbuhan, umur, dan spesies pohon tertentu. Pohon muda yang tumbuh dengan cepat menyerap lebih banyak karbon daripada pohon dewasa dengan tingkat pertumbuhan yang lebih lambat. Iklim hangat dan basah dengan musim tanam yang panjang juga berkontribusi pada pertumbuhan tanaman yang cepat dan secara tidak langsung mendorong laju penyerapan karbon yang lebih tinggi. Usia hutan juga berperan.
Sebuah studi baru-baru ini menemukan bahwa hutan hujan baru yang tumbuh di lahan yang dianggap terdegradasi, yang dikenal sebagai hutan sekunder, mampu menyimpan karbon hingga 11 kali lebih banyak daripada hutan hujan tua, di mana pertumbuhan pohon sebagian besar tidak berubah, hal ini didukung oleh laporan oleh FAO.
Maka jika seseorang melakukan penerbangan pulang pergi kelas ekonomi dari London ke New York ia menyebabkan emisi karbon sekitar 1,8 ton CO2. Ini berarti Anda perlu memelihara 0,29 hektare selama satu tahun untuk menyerap karbon yang dihasilkan oleh penerbangan itu. Jika Anda melihat jejak karbon (carbon footprint) rata-rata orang Eropa sekitar 12 ton per tahun. Jika setiap orang Eropa ingin mengimbangi Jejak Karbon mereka, mereka perlu memelihara hutan seluas 4,8 hektar, setiap tahun (yaitu bidang seluas 200 x 200 meter). Menanam 100 juta pohon akan menghasilkan total 18 juta (!) ton karbon yang ditangkap setiap tahun.
Jejak karbon adalah jumlah total gas rumah kaca (termasuk karbon dioksida dan metana) yang dihasilkan oleh tindakan kita. Jejak karbon rata-rata untuk seseorang di Amerika Serikat adalah 16 ton, salah satu tingkat tertinggi di dunia. Secara global, rata-rata mendekati 4 ton per orang. Untuk menghindari kenaikan 2℃ pada suhu global, jejak karbon global rata-rata per tahun harus turun di bawah 2 ton pada tahun 2050.
Menurunkan jejak karbon individu dari 16 ton atau 4 ton menjadi 2 ton tidak terjadi dalam semalam! Dengan membuat perubahan kecil pada tindakan kita, seperti mengurangi makan daging, mengurangi penerbangan lanjutan, dan mengeringkan pakaian dengan menjemur, kita bisa mulai membuat perbedaan besar. Dan tentu saja dengan menanam pohon. Berapapun dan jenis pohon apapun di sekitar rumah tinggal atau di lahan-lahan kosong yang masih mampu menampung tanaman akan membantu untuk menyerap karbon—sesuatu yang membutuhkan solidaritas ekologi bagi semua warga dunia.
Solidaritas Sosial dan Solidaritas Ekologi
Pada penghujung 2020, GoPay yang bekerjasama dengan Kopernik menerbitkan sebuah laporan yang berjudul: GoPay Digital Donation Outlook 2020. Studi ini bertujuan untuk memahami perilaku dan motivasi masyarakat (Indonesia) dalam berdonasi, serta perkembangan ekosistem filantropi donasi digital. Meskipun dalam situasi Pandemi 2020, rupanya gairah untuk berdonasi tidak surut. Rerata kenaikan donasi sebesar 72%. Alasan kesehatan dan keadilan sosial menjadi pilihan para donatur. Nilai sosial ini merupakan mayoritas utama pertimbangan berdonasi. Dilihat dari kelompok umur maka kaum milenial berdonasi rata-rata 1.5 kali per bulan. Generasi X rata-rata berdonasi sekitar 120.000 per donasi. Selama pandemi semua kelompok umur dilaporkan meningkatkan donasinya.
Semangat donasi ini adalah semangat solidaritas sosial—sebuah semangat yang sudah lama dikenal sebagai bagian penitng kehidupan dan karakter bangsa Indonesia. Bahkan dalam tataran global masyarakat Indonesia dikenal sebagai masyarakat yang paling tinggi solidaritas sosialnya.
Bagaimana dengan solidaritas ekologi? Kondisi ekologi Indonesia selalu mendapatkan sorotan global. Deforestasi hutan Indonesia merupakan salah satu yang terbesar di dunia. Indonesia juga dikenal sebagai penghasil limbah plastik terbesar. Limbah makanan yang terbuang juga terhitung paling tinggi ketiga di dunia. Kita mengalami deficit ekologi yang amat berbahaya. Bukan saja bagi kelangsungan dan keselamatan rakyat Indonesia tetapi juga berdampak pada kondisi ekosistem dunia.
Sebelum membahas lebih lanjut tentang solidaritas ekologi, kita akan mengurai dulu hal ihwal solidaritas. Sebagai sebuah kosakata yang biasa digunakan sehari-hari nyaris kata ‘solidaritas’ dianggap sesuatu yang biasa. Bukan sesuatu yang istimewa. Penelusuran lebih dalam mengungkapkan bahwa solidaritas mempunyai makna yang amat mendalam secara filosofis.
Kurt Bayertz dari Westfiilische Wilhelms-Universitiit, Philosophisches Seminar, Munster, Germany menerbitkan sebuah buku yang merupakan himpunan tulisan para pemikir tentang Solidaritas. Bukunya berjudul Solidarity (1999). Menurut Bayertz, solidaritas sebagai fenomena terletak seperti blok yang nyleneh di tengah-tengah lanskap moral Zaman Modern kita. Meski akrab dalam arti sehari-hari, namun demikian tetap menjadi benda asing; dimensi dan beratnya tidak dapat diabaikan, namun ukurannya besar. Hingga saat ini, para ahli geologi justru lebih mengenal lanskap ini-Para filsuf moral Zaman Modern – telah menerima begitu saja, telah berputar-putar memikirkannya: bagaimanapun juga, mereka tidak mampu memindahkannya dari dataran filosofis kepada tingkah laku sehari-hari. Kegelisahan Bayertz dan sejumlah ilmuwan yang tidak puas dengan situasi ini memberi inspirasi untuk mengajak segenap koleganya bertukar pikiran.
Pada musim semi 1994, para ilmuwan dari beragam disiplin ilmu—termasuk philosophy, sociology, history, law, psychology dan biology – bertemu dan membahas konsep tentang solidaritas, sejarahnya dan kepentingannya bagi manusia. Solidaritas bukan perkara yang mudah dan sederhana.
Istilah “solidaritas” berakar pada hukum wajib (Law of Obligations) jaman Romawi. Saat itu setiap anggota individu dalam satu keluarga atau lainnya dalam masyarakat ber-tanggungjawab tak terbatas untuk membayar utang bersama sebagai kewajiban. Sejak akhir abad ke-18, prinsip saling bertanggun jawab antara individu dan masyarakat ini, di mana masing-masing individu menjadi jaminan komunitas dan komunitas menjadi jaminan untuk setiap individu, telah digeneralisasikan di luar konteks hukum kewajiban dan diterapkan pada bidang moralitas, masyarakat dan politik.
Menurut Bayertz terdapat empat penggunaan kata “solidaritas.” Pertama, Solidaritas dan Moralitas (Solidarity and Morality). Dalam penggunaan yang paling umum, istilah “solidaritas” berfokus pada ikatan yang mengikat semua manusia untuk satu komunitas moral yang besar.
Kedua, Solidaritas dan Masyarakat (Solidarity and Society). Solidaritas ditempatkan pada fungsi yang diinterpretasi partikularistik biasa dalam percakapan sehari-hari yang normal, yang menurutnya “solidaritas” tidak mengacu pada ikatan yang mengikat umat manusia secara keseluruhan, tetapi pada kohesi yang lebih sempit dan komunitas yang lebih terbatas, termasuk kewajiban (khusus) yang dihasilkan. Dan karena itu di dunia modern, masyarakat dan negara (sebagai pengganti klan atau suku) memainkan peran penting. Maka itu penting untuk mendefinisikan solidaritas sebagai perekat batin yang menyatukan masyarakat. Sering disebut – dulu dan sekarang- elemen sentral dari kohesi seperti itu termasuk keturunan dan sejarah yang sama, budaya dan cara hidup yang sama, serta cita-cita dan tujuan yang sama.
Ketiga, Solidaritas dan Pembebasan (Solidarity and Liberation). Penggunaan penting ketiga dari “solidaritas” dapat ditemukan dimana pun individu membentuk kelompok untuk membela kepentingan bersama mereka. Jenis solidaritas dapat dibagi menjadi kumpulan variasi yang sangat berbeda. Misalnya – untuk memulai dari ujung spektrum yang kurang menyenangkan – manusia bisa berkumpul untuk membentuk kelompok kriminal, atau perwira untuk membentuk militer junta, saling mendukung untuk mempromosikan tujuan amoral mereka; individu juga bisa masuk ke dalam kewajiban saling membantu untuk kemungkinan risiko tertentu, atau mereka dapat mengambil asuransi kebakaran, kesehatan, atau jiwa. Ketiga variasi solidaritas semacam ini dapat ditemukan dalam konteks gerakan sosial di abad 19 dan 20.
Keempat, Solidaritas dan Negara Kesejahteraan (Solidarity and the Welfare State). Dalam politik sehari-hari, “solidaritas” terutama disebut ketika redistribusi sumberdaya keuangan oleh negara, demi individu yang membutuhkan secara material atau kelompok, harus dibenarkan. Di sini, konsep solidaritas menjadi legitimasi negara kesejahteraan. Premis normatif yang menentukan dari argumentasi bahwa warga suatu negara memiliki kewajiban tertentu untuk membantu sesama warga negara, karena kesamaan sejarah, bahasa, budaya, dll., yang mereka lakukan tidak harus terhadap manusia lain – yaitu penduduk negara bagian lain. Satu sumber sejarah penting tentang ide ini tampaknya adalah konsep persaudaraan, yang muncul bersamaan dengan Revolusi Prancis, dan yang diletakkan secara konkret dalam Deklarasi Hak Asasi Manusia 1793 sebagai “tugas suci” untuk mendukung “anggota masyarakat yang kurang beruntung.” Dalam berbagai bentuk dan rupanya, inilah gagasan tentang ikatan timbal balik antara warga pada negara modern. Mirip dengan yang mengikat anggota keluarga, dan telah memainkan peran penting dalam pemikiran politik abad ke-19 dan ke-20.
“Solidaritas” sekarang dipahami sebagai satu kesatuan keterikatan antarindividu, meliputi dua tingkat: tingkat nyata, kesamaan aktual antara individu dan tingkat normatif kewajiban bersama untuk saling membantu, bagaimana dan kapan jika diperlukan. Konsep ini memiliki dimensi emosional: dari landasan bersama perasaan kewajiban sehingga secara spontan muncul, menjembatani kesenjangan antara apa yang ada dan apa yang seharusnya.
Lebih lanjut dipaparkan Bayertz bahwa dalam pengertian umum, istilah “solidaritas” memasuki terminologi politik selama paruh pertama abad ke-19 dan mengambil tempat berdampingan dengan istilah ”persaudaraan” (fraternity), yang menjadi terkenal setelah Revolusi Perancis, dan bahkan menggantikannya. Pada saat yang sama, Comte dan (kemudian) Durkheim membantunya menjadi konsep sosiologis dasar; akhirnya, yang kemudian diadopsi oleh etika filosofis, di mana hingga saat ini dikaitkan juga dengan istilah seperti “semangat komunitas” (community spirit) atau “keterikatan timbal balik” (mutual attachment), “kerja sama sosial” (social cooperation) atau “amal” (charity), juga tentang “cinta persaudaraan” (brotherly love) atau “cinta umat manusia” (love of mankind).
Elaborasi Bayertz ini dengan demikian menegaskan bahwa konsep solidaritas memiliki nasib yang sama dengan konsep sentral lainnya dalam terminologi etika dan politik, yaitu yang tidak didefinisikan dalam cara yang mengikat, dan akibatnya digunakan dengan cara yang sangat berbeda dan terkadang cara yang sangat kontradiktif. Selain kasus yang sebanding dengan istilah-istilah seperti “keadilan”, “kebebasan” atau “persamaan”, heterogenitas ini tidak berasal dari teori persaingan yang berlimpah. Meskipun dalam politik sehari-hari istilah solidaritas digunakan secara bebas, sebagaimana dan bila diperlukan, untuk memobilisasi kesiapan untuk bertindak dan/atau berkorban, istilah ini jarang digunakan menjadi objek teori yang dielaborasi.
Pandangan Bayertz salah satu alasan di balik pengabaian teoritis ini adalah fakta yang positif kewajiban untuk bertindak, seperti yang tersirat dalam istilah solidaritas, sulit untuk diterapkan dalam pemikiran etika dan politik arus utama. Etika Zaman Modern dan Filsafat politik memiliki orientasi defensif yang fundamental: mereka bertujuan terutama untuk menangkal bahaya bagi individu yang timbul dari persaingan dengan individu lain, pusaran kesesuaian sosial atau kekuatan negara. Membenarkan hak kebebasan individu telah menjadi tugas utama etika; melindungi mereka secara kelembagaan telah menjadi tugas utama politik dan hukum. “Satu-satunya bagian dari perilaku setiap orang, yang membuatnya setuju dengan masyarakat, adalah apa yang menjadi perhatian orang lain,” tulis Bayertz dengan mengutip Mill (1867, p. 6).
Manifestasi solidaritas mungkin terpuji secara moral, tetapi tidak bisa dibuat mengikat. Hubungan solidaritas biasanya termasuk berkaitan dengan kewajiban tertentu. Yang satu bukanlah “solidaritas” dengan sembarang orang, tapi hanya dengan anggota lain dari komunitas tertentu yang dipercaya merupakan bagian dari dirinya. Perbedaan antara mereka yang menjadi milik “kami” dan semua orang dengan demikian merupakan prasyarat; dalam banyak kasus, yang satu hanyalah “solidaritas” menuju yang pertama. Akan tetapi, etika modem bersifat universal: pengikut Kant dan kaum utilitarian bersatu dalam keyakinan mereka bahwa norma moral mungkin tidak berisi referensi apa pun untuk karakteristik seperti keanggotaan kelompok. Kewajiban keluarga, hubungan patriotik atau keterikatan solidaritas atas sesuatu tampaknya tidak secara otomatis cocok dengan dalil universal. Sebab kita bisa memahami “solidaritas” bukan sebagai sebuah istilah etis, tetapi hanya sebagai semboyan politik. Demikian Bayertz.
Oleh karena itu, tidaklah mengherankan bahwa di masa lalu, istilah “solidaritas” digunakan terutama oleh perwakilan dari arus samping modem non-individualistik pemikiran etis dan politik, terutama dalam berbagai bidang sosialistik tradisi teoretis dan dalam teori sosial Katolik; atau itu, di masa sekarang, sekali lagi diambil dalam kerangka teori tersebut pendekatan yang berusaha memisahkan diri dari normatif dominan orientasi Modernitas. Ini termasuk komunitarianisme, feminisme, dan pasca-Modernisme, untuk menyebutkan beberapa, semua didasarkan pada ketidaknyamanan yang umum berkenaan dengan penekanan pada etika umum modern, dan semua (masing-masing dengan caranya sendiri) bertujuan untuk rehabilitasi tertentu.
Fenomena moralitas lebih kompleks dan lebih terdiferensiasi daripada etika modern kalau pun mau percaya; sejak itu tidak dapat direduksi menjadi prinsip universal mencakup alasan dan kewajiban tertentu untuk bertindak.
Dalam tulisannya ini, Bayertz tidak membuat teori solidaritas atas dasar teori alasan dan kewajiban tertentu untuk bertindak. Sebaliknya, ia melakukannya dengan membedakan antara empat penggunaan istilah solidaritas dan menganalisisnya dengan memperhatikan dimensi moral mereka. Dengan demikian diharapkan dapat berkontribusi untuk kejelasan yang lebih baik tentang solidaritas di masa depan.
Konsep solidaritas ini relatif dengan konsep komunitas. Beragam penggunaannya terutama merupakan hasil dari referensi yang sesuai dengan komunitas tertentu. Setiap manusia adalah anggota dari beberapa komunitas: dimulai dengan seluruh komunitas manusia, dilanjutkan ke keanggotaan negara, agama seseorang, kelas sosial, partai politik dan keluarga, dan berakhir dengan klub olahraga dan komunitas macam-macam. Dilihat secara obyektif, komuniti atau komunitas memiliki kepentingan tertentu kepada seorang individu, serta bentuk atau bentuk solidaritas yang dengannya individu sangat bergantung dan berkewajiban tertentu secara historis dan budaya.
Eckart Voland pada artikelnya On the Nature of Solidarity menyebutkan pandangan alamiah soal solidaritas. Baginya hal yang cukup menarik, tidak ada teks populer dan adat tentang Etologi hewan, sosiobiologi hewan, atau ekologi perilaku hewan mencantumkan kata “solidaritas” tersebut dalam indeks mereka. Solidaritas bukanlah istilah yang mapan dalam penelitian perilaku. Ada alasan untuk ini yang terkait dengan kurangnya fokus kontekstualnya. Gagasan tentang “solidaritas” sama sekali bukanlah konsep yang didefinisikan dengan jelas. Meski begitu, menurut Voland, setidaknya ada dua konten semantik yang dapat dibedakan dengan jelas yang secara fundamental tersembunyi di balik istilah yang sama:
- Solidaritas yang dipahami sebagai komitmen terhadap yang kurang beruntung,yang memotivasi individu untuk memberikan bantuan altruistik, dimana dukungan ini bagi yang membutuhkan selalu terkait dengan “solidaritas altruistik”; dan
- Solidaritas yang dipahami sebagai ungkapan kepentingan bersama, yangmemotivasi individu untuk bekerja sama satu sama lain. Sebab jika menjadi individu tunggal hampir tidak akan memiliki kesempatan untuk berhasil mencapai tujuan sendiri. Kesediaan pribadi untuk berkorban untuk seseorang kalau tidak di sini bukan merupakan solidaritas; sebaliknya, itu langsung mengejar kepentingan egois (“cooperative solidarity“).
Pandangan menarik disampaikan dalam tulisan Steven Lukes: Solidarity and Citizenship. Tulisan ini sangat relevan dengan perbincangan kita tentang solidaritas ekologis.
Dua pertanyaan yang disampaikan Luke. Apakah kewarganegaraan (citizenship) solusi untuk saat ini ketika diduga telah terjadi kurangnya atau turunnya solidaritas? Dan jika demikian, apa implikasinya bagi masyarakat dan kebijakan sosial dalam masyarakat kita?
Baginya ini bukanlah pertanyaan baru. Kekurangan atau kemunduran solidaritas itu kuno, abadi dan, tampaknya, kekal. Pencarian arti dan makna “solidaritas” menunjukkan hal seperti itu—tidak ada hentinya diperbincangkan. Ia memiliki konotasi eksklusif atau inklusif: hanya dapat berlaku diantara “kita”, dimana “kita” diidentifikasi oleh batas-batas yang mengecualikan orang lain, atau ia dapat bertahan melewati batas-batas tersebut. Selain itu, kebalikan dari “solidaritas” adalah (jika kata itu ada) “fluidaritas” (fluidarity) – kurangnya hubungan sosial yang stabil atau ikatan atau koneksi, tidak adanya perasaan komunitas atau sesama.
Faktanya, kontras antara solidaritas dan ketidakhadirannya bisa dipahami dengan berbagai cara berbeda yang tidak bersamaan. Jadi bisa mengacu pada salah satu atau semua setidaknya kontras berikut: kerjasama (antara individu atau tetangga atau keluarga atau kelompok atau kelas) untuk tujuan bersama versus konflik diantara mereka; komunikasi terbuka antara mereka versus ketidakpedulian bersama; integrasi individu dalam institusi atau organisasi atau lingkungan yang bertentangan dengan isolasi atau atomisasi mereka; altruisme versus keegoisan; saling percaya versus ketidakpercayaan timbal balik; prevalensi tentang rasa tanggung jawab publik versus budaya keserakahan; sebuah rasa hormat untuk aturan dan norma yang berlaku versus anomi dan gangguan sosial; hubungan tatap muka yang bertentangan dengan anonimitas orang asing.
Berdasarkan uraian historis, filosofis, politik, biologi dan etika yang sebagian dipaparkan di atas jelas bahwa solidaritas adalah sifat penting bagi manusia untuk menjadi kemampuan bersama mereka bertahan hidup. Tanpa solidaritas itu maka kemampuan bertahan hidup dan beradaptasi dengan aneka ancaman kehidupan akan menipis. Maka disinilah pentingnya meletakkan solidaritas dalam konteks keselamatan ekologis bersama. Tantangan dan ancaman ekologi makin nyata. Diperlukan solidaritas kita dengan memulainya dari tingkat individual hingga global. Tindakan solidaritas sekecil apapun akan mempunyai dampak besar dalam skala global.
John D. Thompson dan kawan-kawan memaparkan hasil risetnya tentang solidaritas ekologis ini. Meskipun ini mengambil kasus pada kebijakan konservasi pada kawasan perlindungan (Taman Nasional) di Perancis, tetapi gagasan risetnya bisa menjadi petunjuk tentang pentingny solidaritas ekologis bagi kita. Riset itu dimuat pada Jurnal Comptes Rendus Biologies (2011) berjudul: Ecological solidarity as a conceptual tool for rethinking ecological and social interdependence in conservation policy for protected areas and their surrounding landscape.
Para peneliti menggunakan konsep ‘‘ecological solidarity” untuk memberi kerangka kerja konseptual baru yang mengintegrasikan lanskap di sekitar kawasan perlindungan hukum ke dalam kawasan konservasi fungsional dan untuk mengenali saling ketergantungan antara dinamika ekologi dan sosial. Ini adalah konsep yang jarang. Diakui mereka bahwa dari 21 kertas kerja yang dirujuk hanya satu saja yang menggunakan istilah itu.
Solidaritas ekologi memberikan dasar konseptual untuk menangani masalah konservasi di lokalitas di luar batas kawasan lindung yang ketat. Tujuannya adalah untuk menggambarkan bagaimana konsep ini terintegrasi, dengan cara yang melengkapi inisiatif lain yang muncul, masalah yang berkaitan dengan konektivitas ekologis dan koherensi kawasan lindung dan lanskap sekitarnya dan kebutuhan untuk meyakinkan pembuat keputusan lokal untuk mengadopsi landasan sosial dan ekologis. kebijakan yang bertanggungjawab untuk konservasi keanekaragaman hayati yang melampaui batas-batas hukum Taman Nasional. Masalah mendasar yang umum tentang perlindungan kawasan konservasi adalah pengakuan akan saling ketergantungan tujuan sosial dan ekologi.
Pengelolaan ekologi selalu berbasis interaksi, dan berbasis solidaritas antara individu-individu yang bersatu karena mempunyai tujuan dan kesadaran bersama untuk kepentingan bersama. Ada kewajiban moral dan tanggung jawab untuk membantu orang lain. Sehingga solidaritas ekologis merupakan hubungan saling tergantung dari setiap perbedaan organisme hidup antara satu sama lain dan dengan variasi spasial dan temporal dalam lingkungan fisik. Dan mengakui bahwa manusia adalah bagian integral fungsi ekosistem.
Tabel 1. Ecological principles and possible conservation objectives associated with the six representations of ecological coherence and connectivity
Sumber: J.D. Thompson, et al., Ecological solidarity as a conceptual tool for rethinking ecological and social interdependence in conservation policy for protected areas and their surrounding landscape, C. R. Biologies (2011), doi:10.1016/j.crvi.2011.02.001
Enam representasi (Tabel 1) yang berbeda dari konektivitas dan koherensi ekologi dapat disajikan kepada pemangku kepentingan lokal dengan cara dimana proses ekologi dan target konservasi terkait mereka dapat diidentifikasi dan disesuaikan. Dengan cara ini mereka mewakili alat pengambilan keputusan yang dapat digunakan sebagai argumen untuk pelekatan otoritas lokal ke segala regulasi formal Taman Nasional berdasarkan solidaritas ekologi.
Meskipun demikian, tidak semua area dalam lanskap sekitarnya memiliki kepentingan yang sama dan perlu untuk menetapkan prioritas peran berbagai situs dalam hal solidaritas ekologisnya. Ini dapat dilakukan dengan mengacu pada metode yang dikembangkan dengan baik dalam literatur perencanaan konservasi sistematis. Menurut Thompson, et al, di Perancis solidaritas ekologi sudah mempunyai landasan hukum tahun 2006. Dengan demikian solidaritas ekologi secara legal bisa digunakan untuk memfasilitasi kerja sama antara situs-situs yang dilindungi secara ketat (core zone) dan bagian-bagian sekitarnya dari area adhesi, yang memiliki hubungan fungsional ke inti tersebut. Pada saat yang sama, solidaritas ekologi memberikan kerangka kerja konseptual untuk berbagai fungsi kawasan lindung dan sebuah langkah menuju revitalisasi jasa ekosistem yang berkontribusi pada kesejahteraan lingkungan, ekonomi dan sosial masyarakat lokal. Dan ini mengarah pada komponen integral kedua dari solidaritas ekologis–melibatkan tindakan yang berlandaskan tanggungjawab sosial.
Karena ekosistem alam sering kali terkait erat dengan sejarah masyarakat manusia, masa depan ekosistem dan aktivitas manusia akan saling terkait erat. Karena itu, kebijakan konservasi kontemporer harus mencakup berbagai tujuan dan pendekatan pengelolaan dalam konteks sosial dan ekologi yang beragam. Bagi Thompson dan para peneliti dari berbagai lembaga penelitian dan Taman Nasional Perancis ini kebutuhan akan kebijakan yang berlandaskan sosial untuk konservasi keanekaragaman hayati telah mendorong munculnya dan penerapan berbagai pendekatan konseptual. Berdasarkan ketergantungannya pada pengakuan kolektif dan pribadi atas keragaman saling ketergantungan sosial dan ekologis yang penting untuk diintegrasikan ke dalam kebijakan dan praktik konservasi, solidaritas ekologis dapat dilihat sebagai pengembangan pelengkap dari inisiatif yang berbeda ini.
Ini sejalan dengan apa yang dilaporkan oleh Andrea Keessen et al. dalam artikelnya: Solidarity in water management (2016). Mereka mengidentifikasi ada dua tipe solidaritas (Tabel 2).
Tabel 2. Dua Tipe Solidaritas
Yang pertama solidaritas yang membantu masyarakat yang membutuhkan, disebut one-sided solidarity. Sebagai contoh bantuan yang diberikan kepada masyarakat tanpa berharap imbalan apapun. Memberi bantuan untuk korban bencana alam, memberi pengemis dan lain-lain. Kedua, solidaritas yang mempromosikan kepentingan bersama, two-sided solidarity. Solidaritas tipe ini ada imbal balik dari dua arah. Solidaritasnya didasarkan pada saling-ketergantungan yang kuat dan harapan bersama yang seimbang dan adil sebagai kontribusi masing-masing pihak.
Menurut John D. Thompson dan kawan-kawan ada dua alasan mengapa solidaritas ekologi ini penting. Pertama, konservasi berbasis masyarakat (Community-Based Conservation/CBC) mencakup serangkaian kegiatan yang bervariasi melintasi konteks sosial dan ekologi, tema pemersatunya adalah konservasi oleh, untuk dan dengan masyarakat lokal. CBC umumnya diterapkan di lahan publik dan bertujuan untuk memberdayakan masyarakat lokal dalam proses pengelolaannya. Namun, hilangnya habitat alami di luar kawasan lindung karena alasan ekonomi yang terkait dengan keputusan penggunaan lahan oleh pemilik lahan swasta telah menimbulkan minat dalam penerapannya di lahan pribadi.
Kedua, solidaritas ekologi didefinisikan sebagai tanggung jawab atas kualitas lingkungan bersama oleh orang-orang yang tindakannya mempengaruhi lingkungan, pemeliharaan lingkungan juga menjadi alat konseptual dan pragmatis yang menjanjikan untuk melibatkan masyarakat lokal dalam kebijakan konservasi. Ciri dari konsep ini adalah mengedepankan gagasan tanggungjawab yang mempengaruhi pilihan individu, perusahaan, dan organisasi pemerintah dan merupakan dasar untuk keterlibatan aktif. Dualitas mengambil tanggungjawab atas pilihan dan keterlibatan aktif ini telah diperiksa dalam konteks perlindungan keanekaragaman hayati, mengungkapkan motivasi yang kuat dan keinginan yang didorong oleh nilai untuk mengelola lahan untuk konservasi dan keinginan para pengurus untuk melihat peran konservasi mereka diakui oleh otoritas publik dan kelompok konservasi.
Solidaritas ekologis didasarkan pada gagasan bahwa individu menjadi bersatu untuk tujuan bersama dan sadar akan kepentingan bersama dan tanggungjawab bersama. Dengan demikian, penggunaan solidaritas ekologis dalam kebijakan keanekaragaman hayati—dan dalam konteks yang lebih luas hingga level global–dapat mewakili langkah maju yang lebih jauh untuk mengidentifikasi keragaman saling ketergantungan sosial dan ekologi yang mempengaruhi dinamika keanekaragaman hayati dan ekosistem dunia.
Memang, seiring berkembangnya kebijakan untuk menghadapi krisis keanekaragaman hayati di abad ke-21, melibatkan seluruh nilai yang terkait dengan ketergantungan kita pada alam untuk penyediaan layanan langsung dan tidak langsung telah menjadi masalah utama. Manusia mendapat manfaat dari dan bergantung pada ekosistem alam melalui jasa ekologi yang disediakan sistem ini, suatu perspektif yang sekarang mendapat banyak perhatian untuk mengidentifikasi prioritas dalam praktik konservasi. Dengan demikian, solidaritas ekologis dapat memastikan perlindungan dimensi ekologi dan manusia dari fungsi lanskap, dimana banyak layanan (kebanyakan kurang dihargai) disediakan.
Dalam konteks solidaritas ekologis, manusia adalah bagian dari kontrak alam (natural contract) dengan seluruh dunia yang hidup. Masyarakat manusia dapat berkontribusi pada pelestarian keanekaragaman hayati dimana tidak ada nilai moneter yang dapat diidentifikasi, atau bahkan ketika konflik dengan tujuan ekonomi dan kepentingan manusia teridentifikasi. Dengan solidaritas ekologis, masyarakat manusia dapat dianggap bertanggungjawab atas tindakan mereka dan konsekuensi dari tindakan mereka.
Berdasarkan tindakan yang bertanggungjawab, solidaritas ekologi memberikan landasan untuk membuat keputusan tentang konservasi alam berdasarkan berbagai nilai keanekaragaman hayati, dan bukan nilai moneter yang sederhana. Dalam mengakui solidaritas ekologis, masyarakat manusia bukan hanya bagian dari sistem alam yang dinamikanya sangat mereka pengaruhi. Tetapi juga dapat mengevaluasi dampak kegiatan mereka dan memeriksa kontribusinya terhadap keutuhan ekosistem dengan bentuk pengelolaan yang beradaptasi dan bertanggungjawab.
Menurut pada peneliti, dengan meningkatkan pengetahuan Taman Nasional tentang perannya dalam konservasi proses ekologi regional, interaksinya dengan pemangku kepentingan yang berbeda dan mengintegrasikan informasi ini ke dalam komunikasi dan kemitraan yang berkelanjutan dapat menempatkan otoritas Taman Nasional pada posisi yang lebih baik untuk mencapai tujuan konservasinya. Taman Nasional, yang hanya menangani kepentingan nasional dalam zona perlindungan yang diatur oleh negara bagian, akan menimbulkan masalah besar kecuali jika penduduk lokal mengintegrasikan tujuan konservasi. Akseptabilitas sosial ini telah lama diakui sebagai elemen penting dalam kebijakan konservasi.
Apa yang disediakan oleh solidaritas ekologis adalah dasar konseptual yang melampaui penerimaan untuk memberikan langkah menuju konstruksi bersama yang lebih terintegrasi. Kebijakan konservasi mempertemukan tujuan konservasi dengan kegiatan manusia dan masalah sosial dengan melibatkan tanggungjawab pemerintah daerah. Dengan demikian, konsep ini memberikan cara untuk melampaui penerimaan sosial (yang mencerminkan pendekatan top-down untuk menetapkan tujuan) menuju peningkatan kesadaran publik dan perampasan tujuan konservasi (campuran penetapan tujuan dari atas ke bawah dan dari bawah ke atas).
Solidaritas ekologis menegaskan perlunya kesadaran kolektif dan pribadi berdasarkan tugas dan tanggungjawab kita. Ia memperkenalkan model masyarakat baru di mana kebutuhan material direduksi menjadi keuntungan ekonomi non-materi. Di luar kepentingan heuristiknya, berurusan dengan solidaritas ekologis berarti menghubungkan kembali proses ekologi, praktik pengelolaan, pengetahuan lokal, masalah budaya, dan kebijakan publik; dengan demikian, hal ini menyiratkan pembangunan jembatan dan mediasi antara berbagai sudut pandang dunia, yang semuanya dapat berkontribusi pada solidaritas ekologis. Isu utama yang mendasari solidaritas ekologis adalah saling ketergantungan timbal balik dari interaksi ekologis – termasuk aktivitas manusia – dan dimensi sosial dan kelembagaan yang terkait dengan kemauan untuk melestarikan dan menghormati alam.
Solidaritas ekologis menyediakan kerangka kerja konseptual baru untuk mengintegrasikan lanskap di sekitar kawasan perlindungan hukum ke dalam kawasan konservasi fungsional dan untuk mengenali saling ketergantungan antara dinamika ekologi dan sosial. Dengan membiarkan pilihan untuk mematuhi atau tidak, berada di tangan masyarakat lokal. Negara melibatkan otoritas lokal dalam tanggungjawab untuk tujuan konservasi kepentingan nasional.
Komitmen sukarela ini didasarkan pada pemahaman bersama tentang proses ekologi dan sosial. Dengan demikian, pengakuan solidaritas ekologis tidak melibatkan tanggungjawab yang seragam, tetapi tanggung jawab bersama yang dibedakan oleh kekuasaan dan sumber daya negara, otoritas lokal, dan komunitas lokal. Sekarang perlu untuk mengidentifikasi perangkat pengelolaan dan pengaturan, yang memungkinkan masyarakat lokal untuk sepenuhnya memastikan solidaritas ekologis mereka dengan tujuan konservasi.
Solidaritas ekologis merupakan sarana untuk meningkatkan nilai kawasan lindung bagi masyarakat, dan alat komunikasi dan kerangka kerja untuk menyusun kebijakan dan pengelolaan seputar hubungan manusia dengan sistem alam. Ini telah menjadi masalah utama; Dengan mengutip Johns, baru-baru ini memperdebatkan bagaimana para profesional konservasi dapat terlibat dalam menciptakan masyarakat yang selaras dengan alam dengan menawarkan insentif untuk berhubungan kembali dengan orang lain dan dengan alam. Seperti yang dia tekankan ”konservasi adalah upaya politik sebanyak upaya ilmiah,” di mana sains dan nilai-nilai konservasi menjadi kebijakan melalui pengorganisasian dan tindakan.” Dengan demikian solidaritas ekologis lebih dari doktrin sederhana; dasar ilmiahnya memberikan ajakan yang mendesak untuk bertindak.
Upaya-upaya global baik melalui Konvensi Keaneragamanhayati, Konvensi Perubahan Iklim, Konvensi Lautan, dan begitu banyak Konvensi international dan perjanjian-perjanjian bilateral dan multilateral lainnya adalah bentuk penggalangan solidaritas ekologis. Di tingkat nasional, regional dan lokal upaya dan tindakan menumbuhkan kembali dan merawat solidaritas ekologis tengah menemukan waktunya yang paling tepat. Para pemimpin perlu mempertebal solidaritas ekologis ini agar mereka paham dan bertindak dengan tepat untuk mengelola sumberdaya alam mereka. Tindakan di hulu yang baik akan memberi dampak yang positif di sepanjang hilirnya. Kegagalan mengelola ekosistem di hulu akan mengakibatkan bencana di hilir.
Jadi dengan menanam, merawat dan membiarkan pepohonan tumbuh adalah bagian sumbangan kita untuk hidup yang lebih baik. Sebuah solidaritas ekologi yang patut kita tumbuhkan dan sebarkan. Seberapa kecilpun upaya kita untuk merawat alam adalah bagian penting dari keselamatan kita bersama dan dunia.
Sumber: Getty Images
Tidak ada waktu yang lebih baik daripada sekarang untuk berbagi dalam solidaritas ekologi.
i Sebuah penelitian yang menghitung daya serap karbon dalam ekosistem agroforestry bias dilihat pada tautan ini. Dalam skala desa setiap tanaman yang diteliti mempunya peran penting dalam menyerap karbon. Dessy Natalia, Slamet Budi Yuwono, dan Rommy Qurniati: Potensi Penyerapan Karbon Pada Sistem Agroforestri Di Desa Pesawaran Indah Kecamatan Padang Cermin Kabupaten Pesawaran Provinsi Lampung (Jurnal Sylva Lestari ISSN 2339-0913; Vol. 2 No. 1. Januari 2014 (11320) https://media.neliti.com/media/publications/233981-potensi-penyerapan-karbon-pada-sistem-ag-b7d8b7cc.pdf
ii Cerita tentang pohon bisa dibaca pada artikel dalam tautan ini: https://re-markasia.com/sustainability-17a-15-kalau-pohon-bisa-ngomong/ dan juga fungsi-fungsi pohon untuk kesehatan bias dirujuk pada artikel ini: https://re-markasia.com/sustainability-17a-4-1/
iii https://www.carbonpirates.com/blog/how-much-carbon-do-trees-absorb/?
vi https://greenearthappeal.org/co2-verification/
v Köhl M, Neupane PR, Lotfiomran N (2017) The impact of tree age on biomass growth and carbon accumulation capacity: A retrospective analysis using tree ring data of three tropical tree species grown in natural forests of Suriname. PLOS ONE 12(8): e0181187. https://doi.org/10.1371/journal.pone.0181187
vi Joshi Meenakshi, Preet Pal Singh (2003) Carbon sequestration by rehabilitating degraded forests in India 0405-B2
vii https://www.nature.org/en-us/get-involved/how-to-help/carbon-footprint-calculator/
viii Panduan lengkap cara mengurangi jejak karbon bias dibaca pada tautan ini: https://www.nytimes.com/guides/year-of-living-better/how-to-reduce-your-carbon-footprint
ix Kurt Bayertz: Four Uses of “Solidarity” dalam Kurt Bayertz, “Solidarity” (1999), halaman: 3-28.
x Eckart Voland, On the Nature of Solidarity dalam Kurt Bayertz, “Solidarity” (1999), halaman: 157-172
xi Steven Lukes, Solidarity and Citizenship dalam Kurt Bayertz, “Solidarity” (1999), halaman: 273-280
xii J.D. Thompson, et al., Ecological solidarity as a conceptual tool for rethinking ecological and social interdependence in conservation policy for protected areas and their surrounding landscape, C. R. Biologies (2011), doi:10.1016/j.crvi.2011.02.001
xiii Keessen, A., M. J. Vink, M. Wiering, D. Boezeman, W. Ernst, H. Mees, S. Van Broekhoven, and M. Van Eerd. 2016. Solidarity in water management. Ecology and Society 21(4):35. https://doi.org/10.5751/ES-08874-210435
-
xiv
- Johns, Adapting human societies to conservation, Conserv. Biol. 23 (2010) 641–643.