Sustainability 17A #22
Bersepeda: Hidup Sehat Merawat Bumi
Dwi R. Muhtaman,
sustainability learner
Bagian 1 dari 3 Tulisan
Anda tahu negeri manakah yang gencar terus menerus mengajak warganya bersepeda?
Kelompok lima besar negara yang penduduknya gemar bersepeda adalah: Belgia (Jumlah penduduk 10.827.519; Jumlah sepeda 5,2 juta; Jumlah pengendara sepeda lebih 48 persen), Belanda (Jumlah penduduk 16.652.800; Jumlah sepeda 16,5 juta; Jumlah pengendara sepeda lebih 99,1 persen), Jepang (Jumlah penduduk 127.370.000; Jumlah sepeda 72.540.000; Jumlah pengendara sepeda lebih 56,9 persen), Tiongkok (Jumlah penduduk 1.357.000.000 jiwa; Jumlah sepeda lebih 500 ribu; Jumlah pengendara sepeda lebih 37,2 persen) dan Swiss (Jumlah penduduk 7.782.900; Jumlah sepeda 3,8 juta; Jumlah pengendara sepeda lebih 48,8 persen).
Siapa yang tidak kenal sepeda? Sepeda yang paling populer tentu yang disebut sepeda onthel. Sepeda ini mulai digunakan di Indonesia sejak masa kolonial Belanda. Orang Belanda membawa sepeda buatan Eropa itu sebagai alat transportasi. Pada masa itu hanya para penguasa dan juga bangsawan yang dapat menikmati transportasi sepeda.
Sepeda-sepeda kuno buatan Belanda (Dutch Bike) sering pula dijuluki sebagai sepeda ontel atau sepeda unta. Bahkan kini pada abad ke-21, masih terdapat koleksi sepeda buatan awal abad ke-20 seperti merek Veeno yang dicari oleh pecinta sepeda.
Selain onthel, kita juga mengenal sebutan sepeda jengki. Istilah “jengki” berasal dari kata “Yankee”, sebutan ini diperuntukan orang Amerika. Istilah ini muncul ketika orang Amerika pada tahun 1960-an dapat menginvasi Indocina. Sepeda buatan tahun 1930-an sampai tahun 1950-an telah menjadi barang jadul dan menjadi barang koleksi onthel di era ini. Sepeda kuno buatan Inggris antara lain seperti Humber Cross (buatan tahun 1901), Raleigh (buatan tahun 1939), Phillips (buatan tahun 1956), Hercules (buatan tahun 1922) atau sepeda onthel buatan Belanda misalnya seperti Batavus (buatan tahun 1920), Gazelle (buatan tahun 1925), Valuas (buatan tahun 1940), Master (buatan tahun 1950), dan merek-merek lainnya tinggal kenangan. Bersepeda pun makin langka.
Kebiasaan bersepeda tidak berkembang menjadi budaya dan gaya hidup. Ini berbeda dengan negara-negara lain yang terjadi revolusi besar dalam bersepeda. Namun perlahan-lahan gemar bersepeda di nusantara makin subur. Komunitas peseda berkembang dalam beberapa tahun terkahir. Termasuk mereka yang mempromosikan bersepeda ke kantor, komunitas Bike To Work, misalnya. Sayangnya pertumbuhan pesepeda dan sepeda belum sebanding dengan ketersediaan insfrastruktur yang memadai. Sehingga bersepeda sekedar sebagai media bersantai, olahraga belaka. Bukan sebuah kesadaran baru gaya hidup untuk berkendara yang ramah terhadap lingkungan. Dalam index kenyamanan bersepeda Indonesia hanya menjadi negara buncit yang diwakili Jakarta.
Sebuah buku yang berjudul “Bicycle: The Definitive Visual History” (2016) merekam perjalanan sejarah sepeda. Seperti banyak penemuan besar dunia, mesin yang kita kenal sebagai sepeda ini lahir karena kebutuhan. Pada awal abad 19, petani-petani di Eropa mengangkut hasil pertaniannya dengan kuda. Lalu tahun 1812 seorang pegawai negeri Jerman mengembangkan alat transportasi tenaga manusia, menggantikan ketergantungan pada tenaga kuda yang sulit tersedia karena kelangkaan pakan ternak. Karl von Drais pada 1817 menjuluki penemuannya sebagai “Laufmaschine” (“mesin berjalan”). Untuk menjalankan Laufmaschine diperlukan gerakan pengendara untuk mendorongnya ke depan.
Meskipun desainnya tidak memiliki pedal, terobosan Drais adalah realisasi bahwa gerak maju dan keseimbangan dapat dipertahankan hanya dengan dua roda, sebuah gagasan yang terinspirasi ketika dia menonton ice skaters.
Laufmaschine — juga dipanggil draisine, velocipede, atau kuda pesolek — dengan cepat menarik perhatian, memicu minat di seluruh Eropa. Namun, pada tahun 1820-an, ia keburu mati. Gagasan itu dihidupkan kembali pada tahun 1860-an, ketika engkol pedal ditambahkan ke roda depan dari velocipede di Paris. Penemu peningkatan revolusioner ini tidak diketahui namanya—Tetapi produsen pertama menghasilkan mesin seperti itu dalam skala besar adalah Pierre Michaux, pada tahun 1867.
Perjalanan pertama velocipede berpedal yang menggelegar—langsung populer. Untuk pertama kali, orang bisa mendorong diri mereka sendiri sambil menyeimbangkan pada dua roda, dengan kaki mereka di permukaan tanah. Dan sepeda telah lahir.
Inovasi-inovasi bermunculan yang meningkatkan bentuk dan fungsi sepeda dari waktu ke waktu hingga bentuknya seperti yang kita ketahui saat ini. Bahkan bagi mereka yang takut mengowes onthel dua roda maka pada 1880 ditemukan sepeda beroda tiga (tricycle). Tricycle mulai muncul setelah draisine (sepeda roda dua) di Perancis, Inggris, dan AS, dan beberapa memiliki mekanik sistem penggerak. Di tahun 1840-an dan 1850-an, pembuat kereta menghasilkan tricycle dalam jumlah terbatas utamanya sekedar untuk mainan. Tetapi dengan kedatangan dari sepeda yang digerakkan pedal, dari pertengahan 1860-an dan seterusnya, muncul gelombang pengembangan roda tiga. Untuk sementara waktu itu tidak jelas apakah sepeda atau sepeda roda tiga yang akan menjadi bentuk transportasi pribadi dominan.
Kini beragam jenis dan fungsi sepeda dikembangkan. Teknologi bersepeda juga semakin memanjakan para penggunanya. Ada bermacam jenis sepeda: urban bikes, cargo/passenger bikes, commuter bikes, hybrid bikes, bahkan ada yang disebut Cutting-Edge Designs Bikes.
Sepeda Perkotaan (urban bike) mulai berkembang tahun 2000, pabrikan mengganti nama sepeda hybrid sebagai sepeda kota. Tujuannya untuk menarik kaum muda, dewasa dan para komuter. Sepeda ini, seperti hibrida pada akhir 1990-an, memiliki unsur sepeda gunung dan model tur. Tetapi sangat bervariasi dalam spesifikasi. Beberapa memiliki 28-in (70-cm) roda dan ban yang licin dirancang untuk hanya digunakan di jalan, sementara yang lain menggunakan roda 26-in (65-cm) dengan beberapa tapak, menjadikannya ideal untuk medan ringan. Frame memiliki dudukan untuk fender dan rak atau keranjang. Sepeda kota murah, dibangun dari aluminium ringan dan pembuatannya di-outsourcing-kan.
Sepeda Kargo dan Sepeda Penumpang pertama kali dibuat untuk pedagang dan digunakan sebagai alat pengiriman, dan sangat populer selama awal abad ke-20. Namun, setelah Perang Dunia II menjadi kurang umum karena van dan truk digunakan untuk pengiriman. Sepeda kargo ini bangkit lagi pada 1980-an ketika bisnis menjadi lebih ramah lingkungan. Lalu berkembang dengan teknologi tinggi sehingga sepeda jenis ini mampu mengangkut beban berat, perlengkapan berkemah, atau bahkan anak-anak, suatu cara alternatif yang lebih hijau untuk bepergian yang dicari keluarga. Bagian depan roda biasanya lebih kecil dari roda belakang untuk membuat ruang muat kontainer dan meningkatkan stabilitas dengan mengurangi pusat gravitasi di waktu yang sama.
Setelah sepeda gunung pertama diperkenalkan pada 1981, sepeda komuter menjadi pilihan populer untuk komuter: dengan frame kokohnya dan kemampuan membawa beban maka bisa berfungsi sebagai sepeda serba guna dan sepeda olahraga. Pada tahun 1988, sepeda jenis baru, hibrida, diperkenalkan untuk memenuhi kebutuhan pengendara sepeda kota yang berkembang. Sepeda hybrid menggabungkan fitur sepeda gunung, sepeda jalan, dan sepeda touring. Hibrida dirancang untuk bepergian memiliki batang datar dan ban lebar dirancang untuk kenyamanan, daya dukung beban, dan keserbagunaan pada berbagai permukaan jalan. Roda kecil, siklus lipat adalah pilihan populer lainnya untuk komuter, dan paling sering digunakan untuk bepergian untuk bekerja melalui angkutan massal.
Misalnya desain unik seli (sepeda lipat) Brompton yang memungkinkan dilipat menjadi sepeda yang portabel dan ringkas sehingga bisa dibawa dalam bagasi mobil dan transpot transit. Ketika dikendarai, ia lincah dan stabil dan roda kecilnya membantu kemampuan manuver dalam lalu lintas.
Sepeda hibrida adalah turunan dari sepeda gunung. Sepeda gaya Raleigh dirintis pada tahun 1988, diikuti dengan cermat oleh Bianchi. Tujuannya adalah untuk menjaga pengereman yang baik, gearing rasio lebar, dan posisi naik tegak sepeda gunung, tetapi dengan rangka yang lebih ringan dan ban yang lebih ramping terlihat seperti sepeda jalanan. Ada berbagai jenis hibrida, dan sebagian besar dapat digunakan untuk dikayuh dalam perkotaan dan untuk rekreasi.
Setelah lebih dari satu setengah abad hampir terus menerus berevolusi, desain dan teknologi sepeda semakin meningkat dan dicirikan oleh satu sifat — spesialisasi. Desain sepeda makin canggih. Dari sepeda balap yang memfokuskan pada kecepatan dengan satu set komponen “Terintegrasi” dengan bingkai untuk mengoptimalkan aerodinamika, untuk bombproof, kemana saja “sepeda gemuk” dengan ukuran ban besar untuk bepergian di salju atau pasir, tersedia sepeda dalam berbagai bentuk, ukuran, dan spesifikasi sesuai selera. Sementara ahli teknologi canggih, dari spesialis Formula Satu hingga merek sepeda dunia, mendefinisikan kembali kemampuan bahan mutakhir, seperti serat karbon, masih ada ruang bagi pengrajin untuk membangun kreasi esoterik dari tangan purist favorit—baja.
Tetapi rangka sepeda kini tidak melulu dari baja atau aluminium. Inovasi juga dilakukan untuk sepeda berbahan kayu dan bambu. Di Indonesia kita kenal dua inovator dan produsen sepeda yang berbahan istimewa. Pertama, sepeda kayu “Kayuh Wooden Bike” di Bandung, Jawa Barat. Dalam beberapa waktu belakangan ini Kayuh Wooden Bike mengembangkan rangka sepeda yang terbuat dari kayu pohon karet dengan tehnik bending. “Ide ini berangkat dari tiga point, yakni keinginan kami untuk memanfaatkan kayu, membangun kembali lifestyle bersepeda di kota besar, dan membantu mengatasi kemacetan serta polusi,” kata Co-Founder Kayuh Wooden Bike, Maulidan Isbar.
Kayu karet tersedia dalam jumlah yang sangat besar di Indonesia sebagai produsen karet rakyat dunia. Itulah alasan utama pemilihan kayu karet menjadi bahan dasar sepedanya. Menurutnya, pohon karet ini setiap tahunnya ditebang dan ditanam kembali, bahkan tak sedikit limbah kayu yang sudah tak digunakan lantaran sudah tidak produktif dan hanya dijadikan kayu bakar. Selain tahan lama, kayu karet memiliki daya elastisitas yang sangat tinggi, sehingga pada saat dibengkokkan (bending) pun kayu ini bisa melipat dari ujung ke ujungnya. “Kayu karet ini memenuhi syarat itu, kalau dibengkokan bisa dari ujung ke ujung,” jelasnya.
Kedua, sepeda bambu “Spedagi” di Temanggung, Jawa Tengah. Menurut Singgih S. Kartono, creator dan innovator Spedagi dalam sejarahnya yang dipaparkan di websitenya, Spedagi berasal dari kata “sepeda pagi”, kegiatan bersepeda yang awalnya dilakukan Singgih S. Kartono untuk menjaga kesehatan. Rutin bersepeda dan latar belakang profesi desainer membuatnya tertarik pada desain sepeda. Singgih takjub melihat sepeda bambu karya Craig Calfee dari USA. Bukan hanya terbuat dari bambu, sepeda dengan desain baik itu dibuat dengan metoda kerajinan tangan. Sepeda ini menginspirasi Singgih untuk mengembangkan desain sepeda bambu, mengingat bambu tersedia melimpah di Indonesia dan metoda produksi kerajinan tangan adalah bidang yang sehari-hari ditekuninya. Pengembangan desain dimulai awal tahun 2013. Akhir tahun 2014 kegiatan produksi dimulai seiring penyempurnaan berkelanjutan dalam hal desain dan proses produksi. Sepeda bambu Spedagi bukan hanya wujud sebuah produk berbasis sumber daya desa, namun juga menjadi picu awal lahirnya gerakan Revitalisasi Desa Spedagi. Sebuah gerakan yang bertujuan membawa Desa kembali ke harkat dasarnya sebagai komunitas lestari dan mandiri.
Sepeda Bambu Spedagi pada tahun 2018 memenangkan penghargaan desain dari Good Design Award, Indonesia’s best in the GLOBAL region for Best 100 G-Mark 2018 untuk Personal mobility – Bicycle category!
Pada laman g-mark.com disebutkan bahwa “Bukan hanya bambu yang digunakan untuk membuat sepeda, tetapi dengan menggunakan sepeda sebagai simbol yang mudah dipahami, keterampilan pengrajin, industri desa, dan karakteristik lokal dipamerkan untuk menarik perusahaan-perusahaan dan pihak-pihak lain dari luar desa datang ke desa dengan tujuan merevitalisasi seluruh wilayah itu. “Pendekatan ini” dipikirkan dengan baik dalam hal efek tidak langsungnya, yang dipuji. Selain itu, bahkan dalam soal sepedanya sendiri, semua detil diselesaikan dengan indah dan dengan standar kualitas yang tinggi, terlihat dalam tekstur bambu, ketepatan sambungan, dan hasil akhir dari elemen-elemen logam.”
Good Design Award sangat terkesan dengan Spedagi. “Proyek Spedagi menandai pergeseran dalam karya Singgih. Sebelumnya, dengan Magno (penghargaan G-Mark, 2008), ia ingin menunjukkan bahwa desa dapat menghasilkan produk yang betul-betul baik. Sekarang, melalui Spedagi Bamboo Bike, ia menemukan bahwa desain/produk yang baik dapat menjadi alat yang kuat untuk suatu gerakan. Spedagi percaya bahwa desa adalah masa depan yang masih tertinggal, dan sepeda bambu adalah metafora dari upayanya untuk menjemput masa depan itu. Secara metaforis seperti desa yang dianggap sebagai masa lalu, bambu, yang merupakan bahan yang murah, dipandang sebelah mata, dan kuno, dapat menghasilkan produk yang bernilai tinggi.
Spedagi tersedia dalam beberapa pilihan desain yang dirancang untuk penggunaan yang berbeda-beda. Spedagi Dwiguna (dual track) dirancang untuk anda yang menyukai bersepeda di jalur jalan raya dan track kasar pedesaan. Spedagi Dalanrata (road bike) menjadi pilihan yang tepat untuk anda yang hanya menyukai bersepeda pada track panjang jalan raya yang mulus. Untuk jalur pendek perkotaan, terdapat 2 pilihan jenis sepeda yaitu Spedagi Gowesmulyo (joy bike) dan Spedagi Spedagi Rodacilik (minivelo) dimana keduanya menggunakan ban dengan diameter kecil yang praktis dan nyaman untuk jalur perkotaan. Sepeda Bambu Spedagi dapat dibeli dalam bentuk sepeda utuh (full bike) atau rangka (frame) saja.
Dua jenis bahan alternatif ini mengisi celah pasar khusus penggemar sepeda di Indonesia dan di luar negeri. Bahan dan desainnya menjadi daya tarik utama. Dampak terhadap lingkungan tidak diragukan lagi untuk memproduksinya. Dengan produksi skala butik yang terbatas maka kebutuhan bambu juga sedikit. Belum ada penanaman khusus bambu. Bambu tumbuh dengan mudah di Desa Kandangan dan sekitarnya tempat Spedagi diproduksi. Penanaman bambu pernah dilakukan saat event tertentu misalnya pada pra konfrensi ICVR#3 (International Conference on Village Revitalization) di Desa Ngadiprono, Kab Temanggung. Kebutuhan bambu setiap batch hanya menebang sekitar 10 batang pohon bambu, setahun sekitar 3-4 batch, demikian kata Mas Singgih saat dihubungi.
Demikian ihwal ringkas sepeda. Fungsi bersepeda terus mengalami revolusi. Jika pada awalnya untuk mengangkut komoditi pertanian, lalu menjadi alat transportasi manusia, alat olahraga, gaya hidup dan kini ditambah lagi sebagai cara untuk hidup sehat dan berwawasan lingkungan. Perubahan iklim yang mengkhawatirkan kelangsungan bumi dan manusia telah mendorong pemerintah dan warga untuk kembali menggunakan sepeda sebagai alat tranportasi. Sepeda dianggap mampu mengurangi polusi udara. Mengurangi bahan bakar fosil dan mampu merawat interaksi sosial. Sebuah alat mobilitas yang sangat ideal.
i Tautan ini bisa dibaca informasi mengenai 2019 Worldwide Cycling Index, Bicycle growth figures, country per country, city per city. Tetapi tidak terbatas dengan itu hal-hal lain yang berkenaan dengan bersepeda bisa dilihat pada fitur-fitur lainnya.
ii https://www.eco-compteur.com/en/2019-worldwide-cycling-index/ Bicycle tourism case study bisa dibaca pada tautan ini: https://www.eco-compteur.com/en/ressources/great-rivers-greenway-network/
.