—Dwi R. Muhtaman—
Bogor, 15102018
#BincangBuku #04
“Ketidakadilan global juga terasa ketika sekelompok dunia enggan mengakui realita dunia yang telah berubah. Pandangan yang mengatakan bahwa persoalan ekonomi dunia hanya bisa diselesaikan oleh Bank Dunia, IMF dan ADB adalah pandangan yang usang yang perlu dibuang.(Presiden Republik Indonesia, Joko Widodo pada saat pidato pembukaan memperingati 60 Tahun Konferensi Asia Afrika di Bandung, 22 April 2015)*”
Kutipan di atas barangkali satu-satunya pidato Jokowi yang paling heroik. Namun hanya diperlukan tiga tahun saja bagi Indonesia untuk menorehkan utangnya yang makin menumpuk. Bank Indonesia mencatat pada kuartal pertama tahun ini mencapai US$ 387,5 Miliar atau sekitar Rp 5.425 triliun (kurs Rp14 Ribu per dolar AS). Angka tersebut naik 8,7 persen dibanding periode yang sama tahun lalu US$330,04 miliar.* Dalam kurang lebih empat tahun pemerintahan Jokowi, jumlah utang pemerintah Indonesia bertambah lebih dari dua ribu triliun. Lebih dari besar utang pemerintahan sebelumnya selama lima tahun.* Padahal Bank Indonesia atas nama Pemerintah Republik Indonesia pada 12 Oktober 2006 secara efektif telah melunasi seluruh pinjaman kepada IMF di bawah skim Extended Fund Facility (EFF).*
Sementara itu utang global saat ini, baik utang pemerintah dan swasta, telah mencapai rekor baru, yakni senilai US$ 182 triliun atau 224 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB) global. Dan, sekitar 60 persen lebih tinggi dibandingkan 2007 lalu. Hal ini, menurut Direktur Pelaksana Dana Moneter Internasional atau IMF, Christine Lagarde, memberikan risiko yang semakin nyata bagi masyarakat global, khususnya negara-negara emerging market. Sebab, ketidakseimbangan global saat ini semakin meluas, di mana defisit neraca transaksi berjalan yang lebih besar dari surplus neraca transaksi berjalan.***
Mengapa sih perlu ada utang dalam pergaulan kita hidup di dunia ini? Bukankah saling membantu sesama yang membutuhkan merupakan kewajiban moral? Orang kaya membantu yang miskin, dan negara kaya membantu negara miskin adalah sebuah tanggung jawab? Lebih-lebih kalau kita berbicara soal bumi sebagai rumah bersama—tempat semua makhluk hidup mencari kehidupan dan mempertahankan hidupnya secara bersama. Darimana asal muasal utang ini?
“APA sebenarnya perbedaan antara sebuah kewajiban, perasaan bahwa seseorang harus berperilaku dengan cara tertentu, atau bahkan ber-utang sesuatu kepada seseorang, dan utang? Jawabannya sederhana: uang. Perbedaan antara utang dan kewajiban adalah bahwa utang dapat diukur secara tepat. Ini membutuhkan uang. Bukan hanya uang yang membuat utang menjadi mungkin: uang dan utang muncul pada saat yang sama,” demikian kata David Graeber penulis buku yang sedang kita bahas ini: Debt: the first 5,000 years (2011). Buku ini ditulis dengan referensi yang dalam dan cermat. Sekurangnya memuat 148 halaman bibliografi. Layak dibaca sebagai rujukan soal sejarah utang dan uang.
Utang adalah ide yang sudah bercokol lama dalam sejarah manusia. Beberapa dokumen tertulis pertama adalah ditemukannya tablet Mesopotamia yang merekam kredit dan debet, ransum yang dikeluarkan oleh kuil, uang yang digunakan untuk menyewa tanah kuil. Nilai tepatnya dari masing-masing konsep utang itu ditentukan dalam bentuk biji-bijian dan perak. Beberapa karya filosof yang paling awal juga merefleksikan arti moralitas utang — yaitu, dalam bentuk uang. Oleh karena itu, sejarah utang adalah sejarah uang – dan cara termudah untuk memahami peran yang dimainkan utang dalam masyarakat manusia adalah hanya mengikuti bentuk-bentuk uang yang telah dibuat, dan bagaimana uang digunakan, berabad-abad – dan argumen yang mengitari semua ini. “Argumen tentang utang telah berlangsung setidaknya selama lima ribu tahun,” catat Graeber. Untuk sebagian besar sejarah manusia — setidaknya, sejarah negara dan kerajaan — sebagian besar manusia adalah debitur. Para sejarawan, dan terutama sejarawan ide, anehnya enggan mempertimbangkan konsekuensi pada kehidupan manusia (h. 53).
Lebih lanjut penulis yang juga aktifis gerakan anti-utang ini menuliskan bahwa ketika para ekonom berbicara tentang asal-usul uang, misalnya, utang selalu merupakan sesuatu yang terlintas dalam pikiran. Pertama barter, lalu uang; kredit hanya berkembang kemudian. Bahkan jika membaca buku tentang sejarah uang, katakanlah, Prancis, India, atau Cina, apa yang umumnya didapat adalah sejarah koin. Hampir tidak ada diskusi tentang pengaturan kredit sama sekali. Selama hampir satu abad, para antropolog telah menunjukkan bahwa ada sesuatu yang sangat salah dengan gambaran soal uang. Versi sejarah-ekonomi standar mengatakan bahwa tidak ada hubungan antara utang dengan apa pun yang berkaitan dengan kehidupan ekonomi yang dilakukan, di komunitas nyata dan pasar. Hampir di mana saja — di mana orang berada dalam utang kepada orang lain dan sebagian besar transaksi terjadi tanpa penggunaan mata uang.
Karena utanglah konflik-konflik kerap terjadi. Selama ribuan tahun, perjuangan antara orang kaya dan orang miskin menimbulkan konflik antara kreditur dan debitur. Konflik ini terjadi misalnya soal kesalahan pembayaran bunga, amnesti utang, kepemilikan kembali, restitusi, perampasan kebun-kebun anggur, dan penjualan anak-anak debitur menjadi perbudakan. Dengan cara yang sama, selama lima ribu tahun terakhir, dengan keteraturan yang luar biasa, pemberontakan populer telah dimulai dengan cara yang sama: dengan perusakan ritual catatan hutang — tablet, papirus, buku besar, bentuk apa pun yang mungkin mereka ambil dalam waktu tertentu dan tempat. Dengan mengutip filsuf klasik Moses Finley, Graeber menuliskan bahwa di seluruh dunia kuno, semua gerakan revolusioner memiliki satu program: Batalkan utang dan distribusikan tanah (h .23).
Graeber dalam buku ini menggambarkan bagaimana sejarah utang lebih banyak mendapatkan mudharat daripada manfaat. Dan itu telah berlangsung ribuan tahun. Dicontohkan bagaimana utang telah membuat ketergantungan yang merusak tatanan sosial sebuah masyarakat di Himalaya Timur pada tahun 1970. Orang-orang miskin makin miskin karena utang. Bahkan harus mengorbankan anak-anak mereka untuk jaminan utang, atau menjajakan diri sebagai pelacur untuk bisa membayarnya. Kekuasaan dan keperkasaan, entah karena posisi politik, kemampuan senjata militer atau apapun sebagai orang/negara kaya, membuat ketergantungan utang tak terelakkan. Kisah Hiromushime di Jepang menegaskan itu. Hiromushime seorang Ibu rumah tangga yang kaya dan memberi utang ke orang-orang di lingkungannya, tak pernah kompromi dengan debiturnya—tidak menunjukkan belas kasihan apa pun. Bunga yang dikenakan sangat mencekik. Tak ada yang mampu atau berani menolak bunga yang tinggi. Ia bisa berbuat begitu karena kekuasaan: suaminya adalah Gubernur pada Jaman Jepang abad pertengahan Tahun 776 Masehi (h. 39). Utang untuk pembangunan biasanya disertai dengan peniadaan berbagai subsidi di megara yang mendapatkan utang. Termasuk dilakukan swastanisasi besar-besaran.
Kita menyaksikan negara-negara yang menerima utang dari Cina, misalnya, harus rela memberikan insfrastruktur yang dibangun dari utang Cina karena kegagalan membayar. Kita pun menyaksikan perhelatan IMF di Bali, Indonesia menjadi ajang pasar bagi proyek-proyek di Indonesia. Terdapat 78 proyek senilai USD 42.1 milyar atau 650 trilyun dijajakan kepada para tamu di Bali (Koran Tempo, 10 Oktober 2018). Cepat atau lambat kita akan mempunyai banyak pembangunan tetapi bukan milik kita.
Dalam sejarah utang, maka, kita memaklumi moralitas ini bahwa (1) membayar kembali uang yang telah dipinjam adalah masalah moral, dan (2) siapa pun dalam kebiasaan meminjamkan uang adalah jahat.
September 2008 kita melihat awal krisis keuangan yang hampir membuat seluruh ekonomi dunia menjerit, berhenti. Kapal berhenti bergerak melintasi samudera, dan ribuan orang tidak bekerja. Crane bangunan teronggok, karena tidak ada lagi gedung yang dibangun. Bank sebagian besar berhenti memberikan pinjaman. Namun dari situlah awal dari percakapan publik tentang utang, uang, dari lembaga keuangan yang telah memegang nasib bangsa-bangsa dalam genggaman mereka. Sayangnya kita gagal belajar dari pengalaman. Utang masih saja berlangsung dan nampak tak akan berhenti. Krisis telah menyelamatkan para bankir. Debitur berskala kecil dibiarkan mampus. Atau dipenjarakan.
Dalam buku yang total 1293 halaman (terbagi dalam 12 bab) ini Graeber banyak mengungkapkan sejarah utang, uang, dan kredit. Juga mempertanyaan eksistensi kita sebagai manusia dengan urusan utang piutang ini. Meski buku ini adalah tentang sejarah utang, tetapi juga menggunakan sejarah itu sebagai cara untuk mengajukan pertanyaan mendasar tentang menjadi seperti apa manusia dan masyarakat dengan adanya utang — apa yang sebenarnya kita lakukan dengan saling berutang, apa pula artinya dengan pertanyaan itu. Buku ini dimulai dengan mencoba menusuk serangkaian mitos – bukan hanya Mitos Barter, yang diambil di bab pertama, tetapi juga mitos saingan tentang utang primordial kepada dewa, atau negara – yang menjadi salah satu cara membentuk dasar dari asumsi akal sehat kita tentang sifat ekonomi dan masyarakat. Dalam pandangan umum, Negara dan Pasar di atas segalanya sebagai prinsip yang bertentangan secara diametral.
Pada Bab 9, THE AXIAL AGE (800 BC – 600 AD) Graeber menguraikan sejarah utang pada masa ketika filosof, pemikir, dan orang-orang bijak lahir dan hidup: di Cina hidup Confucius dan Lao Tse, dan semua trend filosofis lahir. Di India ada Upanishads dan Buddha; seperti di Cina, semua aliran pemikiran dan filsafat lahir dan berkembang.
Pada Bab 10, THE MIDDLE AGES (600 – 450 AD) adalah era dimana pasar komoditas dan agama dunia mulai bergabung. Di mana-mana, kekaisaran mulai runtuh. Negara-negara baru terbentuk. Di negara-negara baru ini, hubungan antara perang, emas, dan perbudakan berantakan; penaklukan dan akuisisi untuk kepentingan mereka sendiri tidak lagi dianggap sebagai akhir dari semua kehidupan politik. Pada saat yang sama, kehidupan ekonomi, dari perilaku perdagangan internasional hingga organisasi pasar lokal, semakin menurun di bawah peraturan otoritas keagamaan. Salah satu hasilnya adalah gerakan yang tersebar luas untuk mengendalikan, atau bahkan melarang, peminjaman predator.
Pada periode inilah Islam memperoleh tumpuan perkembangannya melalui jalur perdagangan dari Aden ke Maluku. Islam berkembang karena pengadilan Islam sangat cocok untuk menyediakan fungsi-fungsi yang membuat pelabuhan menarik sebagai tempat berlabuh para saudagar: sarana membangun kontrak, memulihkan utang, menciptakan sektor perbankan yang mampu menebus atau mentransfer letter of credit. Tingkat kepercayaan yang tercipta antara pedagang di jalur palayaran besar selat Malaka, gerbang ke pulau-pulau rempah Indonesia, adalah legendaris. Kota ini memiliki komunitas Swahili, Arab, Mesir, Ethiopia, dan Armenia, serta tempat untuk pedagang dari berbagai daerah di India, Cina, dan Asia Tenggara (h. 649).
Bab 11, AGE OF THE GREAT CAPITALIST EMPIRES (1450–1971 AD) adalah masa ketika emporium kapitalis menemukan tempatnya yang subur untuk tumbuh dan menguasai dunia.
Buku ini diakhiri dengan menguraikan sejarah munculnya penggunaan lembar kertas dolar Amerika secara global dan tidak lagi mengakui transaksi dengan menggunakan emas seperti dilakukan sebelumnya (Bab 12, 1971–The Beginning of Something Yet to Be Determined). Pada 15 Agustus 1971, Presiden Amerika Serikat Richard Nixon mengumumkan bahwa dolar AS yang dipegang pihak asing tidak akan lagi dapat ditukarkan dengan emas.
Inilah akhir dari kebijakan yang telah efektif sejak 1931, dan diperkuat oleh perjanjian Bretton Woods pada akhir Perang Dunia II: bahwa warga Amerika Serikat tidak lagi diizinkan menggunakan uang tunai dalam dolar mereka untuk emas, semua mata uang AS yang digunakan di luar negeri dapat ditukarkan dengan tarif $ 35 per ounce. Dengan melakukan itu, Nixon memprakarsai rezim mata uang mengambang bebas yang berlanjut hingga hari ini.
Sebagai penutup buku yang penuh dengan data sejarah ini, Graeber menegaskan pertanyaannya: Apa itu utang, sih? ia dengan nada filosofis menjawabnya sendiri: Utang hanyalah pengingkaran sebuah janji. Sebuah janji yang dirusak oleh perhitungan kuantitatif dan kekerasan. Jika kebebasan (kebebasan nyata) adalah kemampuan untuk mendapatkan teman, maka itu juga, tentu saja, kemampuan untuk membuat janji-janji yang dipenuhi. Namun, jenis janji macam apakah yang bisa dibuat dengan tanpa tekanan apapun? Entahlah.
Ini lebih merupakan pertanyaan tentang bagaimana kita bisa menemukan jawabannya kelak. “And the first step in that journey, in turn, is to accept that in the largest scheme of things, just as no one has the right to tell us our true value, no one has the right to tell us what we truly owe.”
Palajaran apa yang bisa kita petik dalam sejarah 5000 tahun utang? Semua orang mempunyai harapan timbal balik. Semua orang mempunyai agenda. “7 billion people have 7 billion agendas,” kata Yuval Noah Harari, 21 Lessons for the 21st Century (2018). Janji untuk tidak menggantungkan pada IMF, Bank Dunia dan ADB hanyalah seperti sebuah pengingkaran yang nyata. Kita harus waspada Game of Thrones juga ada di sekitar kita. Mereka yang berkuasa dan kaya saling berebut untuk mendapatkan kue yang lebih banyak. Meningglkan kaum marjinal terbenam dalam lumpur. Kemiskinan dan ketidakadilan sosial bisa membakar Great Houses.
Kita memerlukan sesuatu yang sederhana saja: Kapan sebagian dari kita bisa mencukupi kebutuhan hidup yang layak. Kapan utang kita bisa lunas, Pak Presiden?
*) Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul “Ini Isi Pidato Jokowi yang Mendapat Sambutan Hangat Peserta KAA”, https://nasional.kompas.com/read/2015/04/23/06412611/Ini
**) https://www.cnnindonesia.com/ekonomi/20180515185044-532-298440/kuartal-i-2018-utang-luar-negeri-indonesia-rp5425-triliun
*) https://finance.detik.com/berita-ekonomi-bisnis/d-3530103/utang-pemerintah-dalam-25-tahun-jokowi-setara-5-tahun-sby
**) https://economy.okezone.com/read/2018/10/09/20/1961719/kapan-terakhir-indonesia-utang-ke-imf-ini-cerita-12-tahun-silam
***) https://www.viva.co.id/berita/bisnis/1083808-utang-dunia-meroket-imf-ingatkan-pentingnya-jaring-pengaman-keuangan