Sustainability 17A #38
Rame-rame Menaklukkan Armageddon Laut
Dwi R. Muhtaman,
sustainability learner
Saat yang paling mengharukan ini terjadi di laut perbatasan antara Malaysia dan Indonesia. Nelayan lokal seperti biasa pergi melaut. Dari pagi hingga menjelang matahari beranjak tinggi. Kadang dilanjutkan, setelah rehat siang di rumah tepi pantai mereka. Menjadi nelayan adalah panggilan nenek moyang. Itulah gaya hidup pilihan mereka. Dengan sukacita ataupun terpaksa. Hari itu mereka (mungkin ada 3-4 nelayan dalam satu perahu kayu kecil) mendapat pengalaman berbeda. Mereka menebar jala seperti biasa, menangkap ikan. Tetapi tiba-tiba seekor anak hiu paus (hiu totol) terlihat mendekat ke perahu mereka. Panjangnya sekitar kurang dari 1.5 meter. Di wilayah itu dan di banyak belahan dunia perburuan hiu dilarang. Demikian juga yang ada di benak nelayan ini, mereka tidak menagkap hiu yang mendekat hingga menempel pada lambung perahu kayu mereka. Jadi mereka mengabaikannya. Terus mendayung pergi. Tetapi anak hiu itu mendekati perahu mereka lagi dan lagi. Karena rasa penasaran mereka mencermati dengan baik anak hiu itu.
Mereka akhirnya menghentikan laju perahunya karena menyadari bahwa bayi hiu paus itu membutuhkan bantuan mereka. Itulah sebabnya ia mendekati perahu. Apa yang terjadi? Ternyata ada tali plastik besar yang melilit tubuh ikan. Tali masuk melingkar dari ekor hingga persis melilit sirip belakang sebelah kanan dan kiri. Hiu itu masih bisa berenang, tetapi dengan gerakan amat terbatas. Tidak bisa menggerakkan siripnya dengan leluasa, dan tidak bisa berenang sampai ke laut dalam. Menyadari situasi itu para nelayan mencari cara untuk memotong tali itu. Sang hiu hanya diam saja seperti memasrahkan diri. Mengharapkan pertolongan. Nelayan mengait tali plastik itu, menarik ke atas hingga bisa menyentuh tubuh hiu, hiu hanya mengambang dan membiarkan tubuhnya terangkat. Nelayan merengkuh tali kemudian berhasil memotong dan mengurai dan melepas talinya dari hiu. Begitu tali terlepas ekor hiu berkecipak lincah seolah melambaikan tangan mengucapkan terima kasih. Bebas dari ikatan tali plastik yang terkutuk itu.
Kasus seperti itu bukan hanya sekali ini terjadi. “The Plastic Ocean” sebuah film dokumenter yang diproduksi Craig Leeson menghimpun beberapa kasus serupa. Craig adalah seorang jurnalis pemenang beragam penghargaan, pembuat film, presenter televisi dan pembicara publik. Dia adalah pendiri Leeson Media International dan Ocean Vista Films dan Chairman I Shot Hong Kong Film Festival. Dia juga koresponden Asia untuk the Seven Network dan koresponden internasional untuk jaringan global, Al Jazeera Bahasa Inggris.
Film ini menyingkap seekor paus yang terdampar di pantai, menggelepar dan perlahan menghembuskan napas terakhir dengan amat pedih. Di dalam lambungnya ternyata terdapat lembaran plastik hampir sepuluh meter dan sejumlah benda-benda plastik lainnya. Paus itu mati karena plastik yang tanpa sengaja terhisap pada saat paus menganga untuk memakan udang-udang kecil yang disebu krill, makanan utama paus di lautan. Seekor paus tidak bisa membedakan plastik atau bukan. Dia hanya menganga, membuka mulutnya yang lebar dan menyedot pangan kesukaannya itu. Ketika lautan penuh dengan sampah plastik yang mengambang dan krill berbaur di situ, paus tidak bisa memilahnya. Maka segala limbah itu masuk ke dalam metabolismenya.
Lautan plastik diperkirakan akan membunuh jutaan hewan laut setiap tahun. Hampir 700 spesies, termasuk yang terancam punah, diketahui telah menjadi terdampak. Beberapa berbahaya secara nyata – dicekik oleh jaring ikan yang dibuang (seperti kasus anak hiu di atas) atau bentuk-bentuk lainnya. Banyak lagi yang mungkin terancam tanpa terlihat. Spesies laut dari semua ukuran, dari zooplankton hingga paus, sekarang makan mikroplastik, benda yang lebih kecil dari seperlima inci. Di Pulau Besar Hawaii, di pantai yang tampaknya seharusnya jernih – tidak ada jalan beraspal yang mengarah ke sana – hanya bertumpuk pasir microplastics. Kalau diinjak terdengar suara berderak seperti krupuk krispi. Keberadaan limbah plastik yang bertebaran dimana-mana dari dasar laut hingga Gunung Everest seharusnya membuka mata kita bahwa plastik (termasuk yang di laut) adalah bencana yang menjulang, layak disebutkan dalam napas yang sama dengan perubahan iklim. Di KTT Global di Nairobi Desember 2020, Kepala Program Lingkungan PBB berbicara tentang “Armageddon Laut.” Dialah plastik.
Namun ada perbedaan utama: plastik laut tidak rumit dengan perubahan iklim. Tidak ada penyangkal sampah laut (ocean trash deniers) seperti halnya climate change deniers, setidaknya sejauh ini. Untuk melakukan sesuatu tentang plastik itu, kita tidak harus membuat kembali seluruh sistem energi planet kita.
“The Plastic Ocean” juga memaparkan penelitian tentang seberapa dalam plastik bisa menjangkau dasar laut? Ilmuwan menggunakan kapal selam khusus berkapasitas dua orang menelusuri dasar lautan hingga lebih dari 1.600 meter di Pulau yang relatif dianggap jernih dan cantik di wilayah Inggris. Seperti yang sudah diduga sampah plastik ditemukan berceceran. Dari botol miniman plastik, ban bekas, tali plastik bekas jaring ikan dan sejumlah barang-barang ‘modern’ yang kita bayangkan dari plastik. Semua ada. Termasuk begitu banyak platik yang hancur karena matahari dan benturan-benturan gelombang laut dan meremukkan materi plastik. Mengubahnya menjadi apa yang dikenal dengan microplastic. Microplastic ini dikonsumsi oleh binatang laut, termasuk bakteri yang ditemukan. Bentuk benda plastik bisa berubah hingga menjadi microplastic, tetapi elemen-elemen kimia yang melekat dalam microlastic tidak berubah. Plastik akan tinggal selamanya di lautan.
Bahkan mikroplastik telah ditemukan ada di Everest. Bagi petualang di seluruh dunia, Gunung Everest adalah pemandangan yang tak terlupakan – salju menyelimuti puncaknya bak permadani yang lembut. Tetapi ketika dilihat dari dekat, seperti dilakukan oleh satu tim ilmuwan iklim, kita mulai sadar telah ada tanda-tanda dampak manusia dari orang-orang yang datang dari jauh maupun sekitarnya.
Pada 2019 National Geographic and Rolex melakukan ekspedisi ke Gunung Everest: Perpetual Planet Everest Expedition. Ekspedisi ini dimaksudkan sebagai bagian dari upaya yang kuat untuk meningkatkan pemahaman dan ketahanan kita terhadap dampak perubahan iklim pada sistem gunung. Ekspedisi dilakukan dari bulan April hingga Juni 2019. National Geographic melakukan ekspedisi tunggal yang paling komprehensif dalam sejarah ke Gunung Everest (dikenal secara lokal sebagai Sistarmatha atau Chomolungma). Berkolaborasi erat dengan Universitas Tribhuvan, pemerintah Nepal, Universitas internasional dan utama di Amerika Serikat, dan komunitas lokal wilayah Khumbu di Nepal. Ekspedisi ini memiliki tim yang berfokus pada biologi, geologi, glaciology, meteorologi, dan pemetaan. Ekspedisi didukung oleh Rolex sebagai bagian dari inisiatif planet abadi.
Saat ini, permukaan es di base camp di Nepal berada pada lebih dari 46 meter lebih rendah dari keadaan 35 tahun yang lalu. Perubahan ini hasil dari glasial yang meleleh pemanasan iklim. Awalnya para ahli berpendapat zona es pada wilayah ketinggian aman dari pemanasan global. Kini salju mulai berkurang. Bahkan salju itu sendiri sudah tidak begitu murni. Pada ketinggian 8.442.96 meter, salju Everest telah terkontaminasi dengan microplastics — inilah daratan tertinggi yang ditemukan microplastics di planet ini.
“Kita membuat plastik. Kita bergantung padanya. Sekarang kita tenggelam di dalamnya.” Demikian sebuah judul yang diberikan oleh National Geographic.
Plastik baru ditemukan pada akhir abad ke-19. Produksi masal benar-benar baru lepas landas sekitar tahun 1950. Waktu itu kita hanya memiliki 9,2 miliar ton barang dalam kehidupan kita. Dari sejumlah itu, lebih dari 6,9 miliar ton telah menjadi limbah. Dan dari limbah itu, 6,3 miliar ton yang tidak pernah berhasil mencapai keranjang daur ulang — sebuah angka yang mengejutkan para ilmuwan pada 2017, tulis Laura Parker, penulis artikel itu.
Tidak ada yang tahu berapa banyak limbah plastik yang tidak didaur-ulang dan berakhir di lautan, tempat pembuangan terakhir Bumi. Pada 2015, Jenna Jambeck, seorang profesor teknik Universitas Georgia, yang dikutip Parker, menarik perhatian semua orang dengan perkiraan kasar: antara 5,3 juta dan 14 juta ton setiap tahun hanya dari wilayah pesisir. Sebagian besar tidak dibuang dari kapal laut, tetapi dibuang dengan sembarangan di darat atau di sungai, sebagian besar di Asia. Kemudian tertiup atau terseret ke laut. Bayangkan lima kantong belanjaan plastik diisi dengan sampah plastik, kata Jambeck, ada di setiap garis pantai di seluruh dunia – dan itu berarti setara dengan sekitar 8,8 juta ton, perkiraan perkiraan rata-rata setiap tahun. Tidak jelas berapa lama untuk plastik itu untuk biodegrade sepenuhnya menjadi molekul konstituennya. Estimasi berkisar dari antara 450 tahun hingga tak pernah bisa dihancurkan.
Bahan ajaib itu telah memungkinkan kehidupan modern. Tetapi lebih dari 40 persen dari itu digunakan hanya sekali, dan itu mencekik saluran-saluran air kita.
“Kita memiliki masalah limbah,” tulis David McGinty dalam artikelnya How to Build a Circular Economy. Dunia membuang sekitar 300 juta ton plastik pada 2019, hampir setara dengan berat populasi manusia. Para ilmuwan menduga ada lebih banyak plastik daripada ikan di laut pada tahun 2050. Satu tahun limbah elektronik bisa berbobot di lebih dari 50 juta ton. Dan sementara terlalu banyak orang masih lapar, kita menyia-nyiakan sepertiga dari semua makanan yang diproduksi. Menjadi limbah makanan.
Secara keseluruhan, lebih dari 100 miliar ton sumber daya mengalir ke ekonomi setiap tahun, dan lebih dari 60% berakhir sebagai limbah atau emisi gas rumah kaca. Menurut McGinty meskipun Covid-19 membuat konsumsi global berkurang secara signifikan tetapi itu mungkin bersifat temporer, bukan gambar besar yang sesungguhnya. Penjualan pakaian anjlok, tetapi pembelian kantor rumah dan peralatan olahraga naik; pengeluaran di industri perhotelan turun, tetapi bahan makanan meningkat. Penggunaan plastik penggunaan tunggal meningkat secara signifikan, sementara anjloknya harga minyak mengurangi insentif ekonomi untuk daur ulang plastik.
Resesi 2008 menunjukkan kepada kita bahwa penurunan konsumsi cenderung sementara tanpa upaya bersama untuk membuat perubahan jangka panjang. Ini bukan hanya tentang konsumen yang terlalu banyak membeli dan terlalu sedikit mendaur ulang. Ekonomi global kita dibangun pada model “take-make-waste” di mana sumber daya alam diekstraksi, digunakan, dan kemudian berakhir sebagai limbah. Model yang tidak efisien ini mendorong planet kita ke tepi jurang, mengendarai krisis iklim, dan menipiskan sumber daya yang kita butuhkan untuk mendukung komunitas yang lebih adil dan berkembang di masa depan.
Sebagai negara tropis, Indonesia kaya sumberdaya alam. Laut kita membentang amat luas, mengitari hampir tiga perempat daratan. Dihiasi oleh 17.504 pulau seperti butir-butir mutiara. Di daratan kita mempunyai luas hutan tropis sebesar 39.549.447 hektare, menjadikan Indonesia sebagai negara dengan hutan tropis terbesar di dunia. Hutan tropis di Indonesia berada hampir di setiap pulau besar, seperti Sumatera, Jawa, Kalimantan, dan Sulawesi. Meskipun dari tahun ke tahun hutan kita makin terancam.
Di dunia, selain hutan tropis, hutan yang dimiliki Indonesia berada di posisi sembilan sebagai hutan terluas di dunia dengan luas wilayah 884.950 km persegi atau mencapai 133.300.543,98 hektar.
Daratan Indonesia juga makin cantik karena dihiasi oleh kelok liku sungai-sungai. Terdapat 550 sungai mengalir seperti urat nadi tubuh pulau-pulau. Sebagai urat nadi yang mengalirkan deras air dari hulu ke hilir, sungai telah memberi jejak peradaban yang kaya. Kehidupan dan peradaban tumbuh, berkembang, mencapai kemajuan berawal dari sungai. Kerajaan-kerajaan lahir dan membangun kekuatan dan kejayaannya dari tepi-tepi sungai.
Tetapi seperti apakah wajah sungai kita kini?
Mari kita tengok ekspedisi kecil yang dilakukan Pecinta Alam Kabupaten Karawang, Bara Rimba. Ekspedisi Sungai Sedari. Ekspedisi kecil ini dilakukan selama 3 hari dan menempuh jarak lebih dari 20 km. Melewati 4 kecamatan, yakni Kec. Rengasdengklok, Kec. Jayakerta, Kec. Tirtajaya, dan Kec. Cibuaya, Kabupaten Karawang.
Sepanjang jalur yang dilewati banyak bendungan dan jembatan bambu. Arus yang cukup deras dengan kelokan yang tajam menjadi tantangan tersendiri bagi tim. Kondisi medan yang berbeda-beda membutuhkan moda ekspedisi yang juga berbeda: berjalan kaki, pengarungan dengan perahu, dan pengarungan dengan perahu nalayan. Sungai Sedari memiliki hulu dangkal dan sempit, bagian tengah yang lebar, dan hilir berombak dan berawa. Sungai Sedari dulunya bagian Sungai Citarum. Namun terpisah sejak pembangunan kanal irigasi Tarum Utara oleh pemerintah kolonial Hindia Belanda.
“Dulu ketika badan sungai masih lebar, Sungai Sadari menjadi sarana transportasi perahu-perahu yang mengangkut manusia dan kebutuhan pokok dari kampung ke kampung. Sampai saat ini kita masih bisa menemui perahu-perahu yang mengangkut barang atau manusia. Namun tidak seramai dulu. Belum lagi permasalahan limbah rumah tangga dan limbah pertanian yang terbuang ke Sungai Sadari,” ujar Revaldi, ketua pelaksana ekspedisi.
Sumber air Sungai Sadari berasal dari Kp. (kampung) Pacing, Desa Dewisari. Sekarang sungai ini menjadi tempat pembuangan air irigasi di persawahan utara Kab. Karawang. Fungsi baru Sungai Sedari menjadikan sungai ini terlupakan dan terdegradasikan. Sampah-sampah salah satu yang merusak sungai. Kalau tidak diatasi Sungai Sedari akan mati—seperti sungai-sungai lainnya di nusantara.
Di daerah perkotaan seperti di Karawang dan apalagi di metropolitan wajah sungai makin rusuh. Perubahan wajahnya bisa ditelusuri dari hulu hingga hilir. Contoh Sungai Ciliwung. Hulu Sungai Ciliwung berada di Telaga Saat sebagai NOL Kilometer Ciliwung. Telaga Saat berada di Kampung Cibulao, Desa Tugu Utara, Kecamatan Cisarua, Kabupaten Bogor. Inilah induk Sungai Ciliwung. Sungai ini mengalir dari NOL Kilometer ini lalu membelok ke utara melalui Bogor, Depok, Jakarta dan bermuara di Teluk Jakarta. Dari Kota Jakarta, alirannya bercabang dua di daerah Manggarai: yang satu melalui tengah kota, antara lain sepanjang daerah Gunung Sahari, dan yang lain melalui pinggir kota, antara lain melalui Tanah Abang. Bagaimanakah wajah sungai ini? Di hulu kita bisa membayangkan segelas air minum yang akan kita tenggak: bening, jernih, segar dan sehat. Cobalah ambil segelas air dari ujung Sungai Ciliwung yang berada di muara Teluk Jakarta. Anda tahu warnanya. Anda bisa cium baunya. Anda bisa mati karenanya jika menenggak segelas air itu.
Data per Desember 2018 (WWF Indonesia) menunjukkan dari 82 sungai yang dipantau, 50 sungai kondisinya stabil, 18 sungai membaik, dan 14 sungai dalam keadaan buruk. Dari total 550 sungai yang ada di Indonesia, 82 % dalam kondisi rusak bahkan masuk dalam 10 sungai terkotor di dunia—sebuah ‘prestasi’ yang amat memalukan bagi negara yang mempunyai sungai sebagai kekayaan. Indonesia memiliki lebih dari 74.000 desa yang tersebar di seluruh penjuru nusantara. Dan 25,1% desa di Indonesia air tanahnya sudah tercemar. Bahkan tercatat misalnya di Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, ada 13 titik sungai yang belum bisa diolah menjadi air bersih akibat limbah.
Data Bappenas tahun 2017 menunjukkan indeks kualitas air terendah berada di wilayah provinsi DKI Jakarta sebesar 35% sementara kualitas air tertinggi ada di provinsi Sulawesi Tenggara sebesar 70%. Direktur Kehutanan dan Konservasi Sumber Daya Air Bappenas, Nur Hygiawati Rahayu mengatakan bahwa ketersedian dan permintaan air di Indonesia belum seimbang. Belum ada ketersediaan air secara berkelanjutan namun dari sisi permintaan terus bertambah sejalan dengan pertumbuhan penduduk. “Diperkirakan pada tahun 2045, pulau Jawa akan defisit air permukaan dan ini sangat mengkhawatirkan dan menjadi perhatian pemerintah.”Sungai adalah mata air kehidupan. Ia mengalirkan kekayaan air untuk kehidupan manusia. Kegagalan kita merawat sungai bisa berujung kegagaln kita merawat kehidupan itu sendiri.
Sungai-sungai mati karena peruntukan yang berubah. Ini dengan mudah bisa kita temukan. Sepanjang sempadan sungai seringkali sudah menjadi aneka bangunan. Menjadi peruntukan selain untuk aliran dan area perawatan sungai. Bahkan di atas sungai-sungai kecil pun bisa menjelma menjadi bangunan. Maka sungai pun mati. Kebiasaan membuang sampah ke sungai juga akan membunuh sungai. Bahkan sampah yang mengalir dan menumpuk di saungai-sungai tidak akan berhenti di situ. Ia akan mengalir dan menjadi bagian sampah yang bergentayangan di pantai dan lautan. Sampah, termasuk sampah plastik yang mudah mengambang, bisa mengalir begitu jauh dari hulu di ujung gunung hingga tiba di tengah lautan dan membunuh laut dan segala isinya. National Geography membuat liputannya soal limbah plastik yang mengalir jauh hingga di laut dan membunuh pulau-pulau kecil.
Pulau Henderson adalah pulau kecil yang tak berpenghuni di tengah Samudra Pasifik, 3.000 mil dari pusat populasi utama. Meskipun ukurannya setengah dari Kota Manhattan, Amerika Serikat (luas Manhattan 60 km2, lebih besar sedikit daripada Jogjakarta yang luasnya 46 km2; Pulau Henderson lebih kecil daripada Jogjakarta) lebih dari 19 ton sampah mengotori pantainya yang putih dan berpasir.
Para peneliti memperkirakan bahwa ia memiliki konsentrasi puing-puing dan aneka limbah tertinggi dari semua tempat di dunia, dengan total lebih dari 37 juta keping di keseluruhan pulau kecil itu. Untuk setiap meter persegi yang Anda jalani, rata-rata Anda akan menemukan 672 sampah. Untuk setiap potongan puing yang terlihat di pantai dalam video yang dibuat, dua potongan dikubur di pasir. Bagaimana ceritanya begitu banyak sampah yang terdampar di Pulau Henderson yang terpencil itu?
National Geography menelusuri asal muasal benda-benda sampah itu. Mari kita mulai dengan bagaimana plastik yang dibuang ditangani di darat. Pada 2015, para peneliti menghitung berapa banyak limbah yang mengalir dari negara-negara pantai ke lautan. Sampah plastik yang tidak dikelola dengan baik didefinisikan sebagai limbah yang tidak dikelola dengan layak, baik secara sengaja atau tidak sengaja. Sampah yang tidak dikelola dengan baik cenderung lebih tinggi di negara-negara berkembang yang tidak memiliki sistem pengumpulan sampah kota yang mengirimkan sampah ke pusat daur ulang dan/atau tempat pembuangan sampah.
Pembuangan langsung berkontribusi besar terhadap sampah plastik di sungai, tetapi sampah yang dibuang di darat juga bisa menuju ke air. Air hujan mengantar sampah yang tidak dikelola dengan baik dari tanah ke saluran air lokal, yang masuk ke anak sungai dan sungai yang lebih besar, yang pada gilirannya membanjiri lautan. Dengan cara ini, plastik dari jauh ke pedalaman dapat melakukan perjalanan puluhan dan ratusan kilometer ke garis pantai.
Sungai-sungai yang tercemar terus menerus menggelontorkan plastik dunia ke lautan — membawa sebagian besar dari perkiraan 9 juta ton plastik yang berakhir di lautan setiap tahun. Itu setara dengan lima kantong belanjaan yang diisi dengan sampah plastik untuk setiap meter garis pantai.
Ada 20 sungai yang paling tercemar menyumbang dua pertiga dari jumlah plastik yang masuk ke lautan dari sungai. Lima belas berada di Asia, di daerah dengan curah hujan deras dan populasi pantai yang padat. Sungai-sungai di Asia bertanggung jawab atas 86 persen input sampah dari sungai.
Terdapat 122 sungai teratas mencakup lebih dari 90 persen input plastik dari sungai ke lautan dan mendapatkan umpan dari darat yang menampung 36 persen populasi global. Limbah plastik yang relatif sedikit masuk ke lautan dari Amerika Utara dan Eropa karena sistem pengelolaan limbahnya yang lebih kuat.
Grafis itu menunjukkan lingkaran-lingkaran pink dengan beragam ukuran. Itu menunjukkan besarnya limbah plastik yang diproduksi oleh sungai-sungai tersebut. Peta menunjukkan pergerakan limbah tersebut dari sungai menuju bagian-bagian di lautan. Sebagian limbah yang bergerak itu berakhir di Pulau Henderson.
Sementara itu Carole Excell dalam artikelnya 4 Ways to Reduce Plastic Pollution menyebutkan 8 juta ton plastik melayang-layang di lautan setiap tahun, mengancam margasatwa dan mencemari ekosistem. Jumlah ini diperkirakan akan tumbuh. Sebuah laporan baru-baru ini dari Pew Amall Trust menunjukkan bahwa tanpa perbaikan untuk pengelolaan limbah, 90 juta ton plastik dapat memasuki ekosistem perairan di dunia pada tahun 2030. Bahkan plastik telah ditemukan pada tubuh manusia dan di udara.
Pandemi Covid-19 memperburuk keadaan. Selain peningkatan penggunaan tunggal plastik yang diperlukan untuk peralatan pelindung pribadi (PPE–personal protective equipment) seperti masker dan perisai wajah, beberapa pemerintah dan bisnis telah menunda atau membatalkan penggunaan kantong plastik dan larangan pengemasan. Sebelum pandemi Covid-19, WRI dan UNEP ditemukan bahwa lebih dari 100 negara mengatur penggunaan kantong plastik sekali pakai.
Sebuah laporan baru dari PBB Lingkungan dan WRI menemukan bahwa setidaknya 127 negara (dari 192 ditinjau) telah mengadopsi undang-undang untuk mengatur kantong plastik hingga Juli 2018. Kebijakan ini berkisar dari larangan langsung seperti di the Marshall Islands hingga phase-out progresif seperti Moldova dan Uzbekistan. Atau berupa undang-undang di Rumania dan Vietnam yang memberi insentif pada penggunaan tas yang dapat digunakan kembali.
Namun meskipun ada peraturan yang meningkat, polusi plastik tetap menjadi masalah besar. Begitu memasuki rantai makanan, mengancam kesehatan manusia. Plastik dapat memasuki rantai makanan dalam banyak hal; Misalnya, plastik rusak dan berakhir di lautan dan hewan laut yang kita makan. Kontaminasi plastik dan turunan terhadap terhadap perairan merupakan bahaya lingkungan utama menuru PBB. Perusahaan menghasilkan sekitar 5 triliun kantong plastik per tahun. Masing-masing dapat memakan waktu lebih dari 1.000 tahun untuk menguraikan, dan sedikit yang didaur ulang.
Sejak pandemi, 50 kota di Amerika Serikat melonggarkan peraturan plastik. Pada bulan Desember 2020, kota Vancouver, Kanada menunda biaya untuk cangkir sekali pakai dan larangannya pada tas belanja plastik selama lebih dari satu tahun. Starbucks dan Dunkin ‘menunda penggunaan wadah yang dapat digunakan kembali. Dan beberapa program daur ulang ditangguhkan di Amerika Serikat dan Uni Eropa karena pemotongan anggaran karena pandemi.
Sementara peningkatan penggunaan plastik diperlukan untuk melawan pandemi, terutama untuk PPE, negara-negara perlu memastikan perubahan darurat ini tidak menggagalkan kemajuan jangka panjang pada berlalunya hukum yang bertujuan mengurangi polusi plastik. Jika negara ingin membangun kembali dengan lebih baik setelah Covid-19, reformasi legislatif pada pembatasan limbah plastik adalah bagian penting dari agenda. Panduan legislatif baru diluncurkan oleh UNEP dan WRI untuk memberi solusi regulasi yang dapat digunakan untuk mengatasi polusi plastik dan mendukung circular plastics economy.
Berbagai pihak antusisa untuk menaklukkan plastik. Didukung oleh kebijakan pemerintah maka akan memberi harapan pengelolaan limbah plastik lebih baik.
Pergeseran kebijakan dapat mengurangi polusi plastik dengan memberi insentif pada perilaku bisnis dan konsumen, serta dalam desain plastik, alternatif dan daur ulang. Berikut adalah empat pendekatan kebijakan dan hukum dari Panduan UNEP dan WRI yang dapat digunakan negara untuk mengurangi limbah plastik mereka secara permanen:
- Larangan plastik sekali pakai
Larangan dan pembatasan pada produk plastik sekali (yang secara langsung melarang produksi, distribusi atau penggunaannya) adalah beberapa mekanisme hukum yang paling banyak digunakan oleh pemerintah dan sukses. Beberapa kesuksesan ini karena fleksibilitas legislasi melarang yang memungkinkan pengecualian produk medis dan penggunaan lain yang diperlukan sambil mempromosikan penggunaan produk-produk alternatif seperti kain atau kantong kertas.
- Pajak dan insentif ekonomi
Pemerintah juga dapat mengenakan pajak untuk menghalangi produksi atau penggunaan plastik sekali pakai, atau menawarkan keringanan pajak, subsidi dan insentif fiskal lainnya untuk mendorong alternatif produk plastik.
- Pada 2015 Portugal memasukkan pajak atas produsen sebesar € 0,10 (sekitar $ 0,12) per kantong tas plastik ukuran tertentu. Empat bulan kemudian, konsumsi tas ini menurun sebesar 74%.
- Demikian pula, Denmark memperkenalkan biaya pajak pengemasan berbasis berat pada tahun 1999 (diamandemen baru-baru ini). Tarif yang berbeda berlaku untuk bahan kemasan plastik yang berbeda, dengan tingkat terendah untuk plastik daur ulang dan tingkat tertinggi untuk plastik primer. Setelah diperkenalkannya pajak atas kantong kemasan, Denmark mampu mengurangi kemasan kertas dan plastik sekitar 70%.
Portugal dan Denmark telah menggunakan instrumen ekonomi ini secara efektif untuk meningkatkan penggunaan produk yang dapat digunakan kembali dan didaur ulang. Pajak dan insentif dapat berlaku untuk bisnis tertentu (seperti supermarket atau produsen plastik) atau produk tertentu (seperti tutup cangkir kopi plastik atau botol soda). Pemerintah juga dapat menggunakan insentif ekonomi untuk mendorong produsen untuk mengadopsi alternatif untuk plastik (seperti menggunakan tebu untuk membuat kantong plastik) atau untuk menciptakan pendapatan yang dapat mendanai upaya pembersihan limbah plastik.
- Standar Produk
Standar produk, sertifikasi, dan persyaratan pelabelan dapat dirancang untuk mendidik masyarakat atas dampak plastik pada lingkungan, dan bahaya kesehatan dan keselamatan yang timbul dalam produksi dan penggunaannya. Legislasi pada produk plastik sekali pakai dapat menetapkan standar pada komposisi material, reusability, pemulihan (untuk memastikan produk dapat didaur ulang), biodegradabilitas dan memastikan produk dapat dikompos. Pendekatan ini dapat mendukung pilihan konsumen produk berkelanjutan.
- Di Amerika Serikat, produsen dan pemasok kemasan harus memberikan kepada pembeli mereka sertifikat kepatuhan, menyatakan bahwa kemasan mereka tidak melebihi konsentrasi yang diijinkan dari logam berat yang diatur karena konten daur ulang.
- Uni Eropa memiliki aturan tentang pembuatan dan komposisi kemasan untuk memastikannya “terbatas pada jumlah minimum yang memadai yang diperlukan untuk mempertahankan tingkat keselamatan, kebersihan, dan penerimaan yang diperlukan.” Disyaratkan kemasan harus dirancang dan diproduksi dengan cara yang aman, bijaksana dan berkelanjutan, dapat membatasi produksi dan penggunaan plastik berbahaya.
- Tanggungjawab produsen yang diperluas (Extended Producer Responsibility)
Program Extended Producer Responsibility (EPR) dapat memastikan bahwa produsen bertanggung jawab untuk produk plastik sekali pakai pada seluruh siklus hidup produk-produk tersebut. Alat legislatif ini dapat menjamin desain yang lebih berkelanjutan dengan meminta produsen bertanggung jawab untuk plastik sekali pakai yang diproduksi di seluruh pengumpulan, pemulihan, daur ulang atau penggunaan kembali produk mereka.
- Di Jerman, misalnya, sistem EPR yang diadopsi pada tahun 1991 meminta bahwa biaya lisensi dibayarkan berdasarkan jumlah dan jenis kemasan yang diperkenalkan ke pasar oleh produsen setiap tahun. Antara 1991 dan 1998, peraturan itu mengakibatkan pengurangan limbah 1 juta ton. Legislasi kemasan baru yang disampaikan pada 2019 di Jerman juga mendukung EPR mencakup registrasi pengemasan pusat (Central Packaging Registry), peningkatan target daur ulang untuk semua plastik, dan insentif moneter untuk dibayar untuk kemasan ekologis.
- Di Finlandia, di bawah skema EPR semua kemasan produk, atau importir produk-produk paket yang dianggap sebagai produsen, secara hukum bertanggung jawab untuk mengatur sistem pengumpulan dan daur ulang untuk limbah kemasan plastik yang memasuki pasar. Pada 2016, tingkat pengembalian kemasan plastik adalah 92%.
Tidak ada cara ajaib untuk mengatasi polusi plastik
Tidak ada cara ajaib untuk menyelesaikan masalah plastik dunia. Peran pemerintah di tingkat nasional dan sub-nasional untuk membuat peraturan untuk mengatasi produk plastik sekali pakai, menentukan pendekatan kebijakan apa yang ingin mereka gunakan dan jenis undang-undang apa yang akan mendukung tujuan itu. Tantangan di depan: kurangnya investasi dan dukungan untuk industri daur ulang agar kompetitif, peningkatan produksi plastik murni sekali pakai, dan tanggung jawab produsen yang kecil di banyak negara di luar Eropa. Tidak ada kerangka hukum global untuk memfasilitasi tindakan kolektif dari berbagai negara, tidak ada kesepakatan umum di mana plastik harus dihapus, dan tekanan dari produsen plastik pada anggota parlemen untuk tidak maju pada undang-undang. Tetapi untuk memajukan tindakan, kita perlu disengaja dalam mengadopsi solusi beragam.
Legislator harus mempertimbangkan dan mengadopsi pendekatan yang berbeda dan saling melengkapi untuk menjadi paling efektif, termasuk larangan dan pembatasan, instrumen ekonomi, standar informasi dan pelabelan, dan tanggung jawab produsen yang diperluas termasuk skema penggunaan kembali, daur ulang dan pengembalian uang muka. Upaya pelengkap yang mendukung pendekatan-pendekatan ini juga penting, seperti program pendidikan konsumen, persyaratan pengadaan barang publik, investasi dalam infrastruktur pengelolaan limbah dan kemitraan publik-swasta.
Pandemi Coronavirus telah menyingkap pentingnya penggunaan jangka pendek plastik untuk mengekang wabah dan membantu orang merasa aman. Tetapi tidak ada waktu untuk memiliki perhitungan lambat pada masalah jangka panjang dari limbah plastik. Kita membutuhkan peningkatan ambisi dan inovasi oleh pemerintah, perusahaan dan masyarakat sipil, serta adopsi berbagai kebijakan pencegahan dan langkah-langkah legislatif untuk mengatasi skala masalah tersebut.
Kesempatan untuk berubah
Ada beberapa negara yang mendorong melampaui peraturan yang ada untuk mengejar pendekatan baru dan menarik. Mereka berusaha untuk mengalihkan tanggung jawab untuk polusi plastik dari konsumen dan pemerintah ke perusahaan yang menghasilkan plastik. Australia dan India, misalnya, menetapkan undang-undang yang membutuhkan EPR, pendekatan kebijakan di mana produsen harus bertanggung jawab untuk pembersihan atau daur ulang produk mereka. EPR mencakup manajemen dampak potensial dari suatu produk dalam semua tahap produksi, distribusi, penggunaan, pengumpulan, penggunaan kembali, daur ulang, pemrosesan ulang dan pembuangan.
Ketika produksi plastik berlipat ganda dalam 20 tahun terakhir dan diperkirakan akan terus meningkat, dunia sangat perlu mengurangi penggunaan kantong plastik sekali pakai. Diperlukan keputusan, kebijakan dan regulasi serta tindakan ambisius dan radikal agar dapat memerangi kecanduan plastik dan meningkatkan penyerapan alternatif yang dapat digunakan kembali. Kita perlu meningkatkan desain dan implementasi hukum di seluruh dunia.
Demikianlah perjalanan limbah plastik yang kita produksi. Setiap orang yang membuang sampah bisa jadi adalah orang yang juga membuat sungai mati dan lautan tamat. Jangan menjadi orang yang seperti itu. Merawat bumi adalah bagian penting merawat kehidupan kita. Merawat bumi adalah tanggungjawab kemanusiaan untuk mengembalikan bumi yang kita pinjam dari generasi yang akan datang.
Anda bisa berpartisipasi dengan berjanji untuk mengurangi sampah plastik dengan klik tautan ini. Atau bacalah buku Brigette Allen: Living Without Plastic (2020) yang memberi saran lebih dari 100 tips untuk hidup tetap nyaman tanpa plastik. Gaya hidup bebas plastik yang disampaikan cukup sederhana dan tetap bergaya untuk segala kegiatan mulai dari pena dan sikat gigi hingga botol sekali pakai dan kantong plastik 5 triliun yang kita gunakan – dan buang – setiap tahun. Misalnya beberapa butir ide ini:
- Gunakan bahan alami, bukan spons sintetis
- Beli susu dalam botol kaca atau produksi susu kacang buatan sendiri
- Pilihlah sampo bebas limbah (dalam bentuk batangan, atau refill)
- Hindari cetak kwitansi dan pilih via email sebagai gantinya
- Bungkus kado dengan indah menggunakan kain
Diatur menjadi lima bagian – di rumah, makanan & minuman, kesehatan & kecantikan, saat bepergian, dan acara-acara khusus – hidup tanpa plastik adalah koleksi lengkap solusi yang dapat dilakukan, termasuk program detoksifikasi plastik 30 hari. Saya bisa menambahkan: gunakanlah tumbler, wadah air minum yang bisa digunakan berkali-kali. Hindari membeli air minum dalam kemasan sekali pakai, baik bentuk gelas air mineral, minuman dalam botol plastik dan sejenisnya. Upaya ini adalah bagian dari Kampanye Gerakan Setumbu (Gerakan Sejuta Tumbler Merawat Bumi).
Pilih planet atau plastik?
i https://images.app.goo.gl/PucTQ2xEr1XTjWRR6
ii https://plasticoceans.org/craig-leeson/
iii https://plasticoceans.org/wp-content/uploads/2018/11/PO_Educational_Sup_v16_NOV2018.pdf ini adalah materi pendidikan tentang plastik yang diringkas dari film The Plastic Oceans. Materi yang sangat baik untuk dijadikan rujukan kampanye anti-plastik. Sejumlah data dipaparkan.
iv https://news.sky.com/story/un-members-vow-to-tackle-ocean-armageddon-plastic-problem-11158101
v https://www.nationalgeographic.com/environment/article/microplastics-found-near-everests-peak-highest-ever-detected-world-perpetual-planet
vi https://www.nationalgeographic.org/projects/perpetual-planet/everest/?utm_source=nationalgeographic.com&utm_medium=referral&utm_campaign=ngp-ongoing&utm_content=ngp-pp-everest#findings
vii https://www.nationalgeographic.com/magazine/article/plastic-planet-waste-pollution-trash-crisis
viii https://www.wri.org/insights/how-build-circular-economy
ix https://www.nationalgeographic.com/magazine/2018/06/the-journey-of-plastic-around-the-globe/
x https://www.wri.org/insights/4-ways-reduce-plastic-pollution
xi https://www.wri.org/insights/127-countries-now-regulate-plastic-bags-why-arent-we-seeing-less-pollution
xii https://www.unep.org/regions/north-america/regional-initiatives/tackling-marine-debris
xiii https://wedocs.unep.org/bitstream/handle/20.500.11822/34570/PlastPoll.pdf.pdf?sequence=3&isAllowed=y
xiv https://www.nationalgeographic.com/environment/plasticpledge/ Janji untuk mengurangi pastik dalam segala bentuknya. #GerakanSatuJutaTumblerMerawatBumi #gerakansetumbu #stmb #Ayopakaitumbler #OneMillionTumblersCaringEarth #savetheearth #savetheplanet #savetheocean #savetheriver #savethechildren #sustainability
xv Gerakan Setumbu diluncurkan pada 2020 saat maraknya pandemi Covid-19. Bertujuan untuk mengajak publik menggunakan tumbler–wadah air minum yang bisa digunakan berkali-kali. Bawalah tumbler kemanapun pergi. Dengan begitu kita menghindari membeli air minum mineral sekali pakai. Gerakan Setumbu juga menghimpun donasi tumbler untuk didistribusikan ke pelosok-pelosok Nusantara untuk dibagikan ke masyarakat dan mengajak masyarakat desa utamanya menggunakan tumbler untuk kemasan air minum sehari-hari.