Sustainability 17A #27
Membaca Sampah, Membaca Wajah Kita
Dwi R. Muhtaman,
sustainability learner
Setiap hari saya melewati jalan alternatif menuju ke kantor. Dari tempat tinggal di kawasan Desa Cihideung Ilir Ciampea ke kantor di Kota Bogor bisa ditempuh dalam waktu 45-60 menit. Jaraknya hanya 15.3 km. Pada sebuah tepi jalan tepatnya Jalan Kebon Genep, Kampung Carang Pulang RT 03 RW 06, Desa Cikarawang, Dramaga, Kabupaten Bogor, terdapat lahan yang tidak seberapa lebar, sekitar 5-10 meter. Lahan sempadan jalan. Sebuah pekarangan yang menjorok ke lembah tepi sungai. Jarak ke sungai dari tepi jalan itu sekitar 50 meter. Lahan itu bertahun-tahun menjadi tempat pembuangan sampah. Pemilik lahan berkali-kali juga memasang peringatan melarang membuang sampah di tempat itu. Jelas itu bukan tempat sampah. Tetapi berbagai cara melarangnya tidak pernah berhasil. Spanduk besar pernah dipasang. Bahkan pernah juga dipagar dengan pagar bambu. Hingga pagar bambu roboh orang tetap membuang sampah di situ.
Ketika artikel ini saya tulis tempat itu masih menjadi tempat idaman membuang sampah. Hingga pemilik lahan, karena begitu kesalnya, menulis pada sebuah papan putih dengan tulisan tangan warna hitam, huruf kapital, di tempel pada pohon di situ: “Ya Allah cabutlah nyawa orang yang suka membuang sampah di sini! Amin.” Siapakah makhluq yang membuang sampah di situ? Ini tidak jelas sama sekali. Saya pun tidak pernah memergoki orang yang membuang sampah di situ. Nampaknya mereka membuang sampah secara diam-diam. Mungkin malu juga. Kalau ada rasa malu bisa diduga mereka sejenis manusia juga.
“Tempat yang dipasang papan dilarang membuang sampah malah menjadi tempat favorit buang sampah,” tulis Rendy Aditya Wachid seorang arsitek muda dengan sejumlah inovasi sosialnya termasuk pendiri Parongpong Recycle Center. Bahkan ketika ada tumpukan kecil sampah maka tumpukan itu akan mengundang sampah-sampah lain datang, kata Rendy mengutip sebuah penelitian yang menujukkan perilaku seperti itu. Dan dia membuktikan sendiri. Karena itu tempat sampah di depan rumahnya di Desa Parompong Bandung difungsikan menjadi tempat kompos daun kering. Pada mulanya setiap ada sampah kecil (plastik, tisu kertas) dipungut dan disingkirkan dari tempat sampah itu sehingga yang tertinggal selalu hanya daun. Setelah sebulan tidak ada lagi warga pejalan kaki, tamu kantor dan cafe yang buang sampah ke tempat itu. Padahal bentuknya masih tempat sampah yang sama. Sekarang bertahun-tahun tidak ada tempat sampah di depan rumahnya kecuali tempat kompos daun-daun. “Meningkatkan kesadaran memang susah,” tulis Rendy dalam percakapan via WA Group. “Tetapi berhasil saya coba selama ini. Dan dengan kesabaran, pelan-pelan dan tidak tergesa-gesa lalu diingatkan terus menerus. Ternyata cuma perlu konsisten kalau untuk urusan sampah ini,” lanjutnya. Barangkali selain kesabaran, kosistensi perlu ada sejumlah inovasi juga untuk membuatnya berhasil.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia sampah didefinisikan sebagai: sampah /sam·pah /n 1 barang atau benda yang dibuang karena tidak terpakai lagi dan sebagainya; kotoran seperti daun, kertas: jangan membuang — sembarangan;
Sampah sebagai sebuah kata, sudah begitu jelas susunan enam hurufnya. Tetapi kata ‘sampah’ inilah merupakan kata yang paling sulit dipahami oleh banyak orang di Indonesia.
Berdasarkan Undang-undang Nomor 18 Tahun2008 tentang Pengelolaan Sampah, disebutkan bahwa sampah adalah sisa kegiatan sehari-hari manusia dan/atau proses alam yang berbentuk padat. Sampah dapat berada pada fase materi padat, cair, dan gas. Jika sampah berada pada fase cair dan gas, maka sampah disebut sebagai emisi. Emisi ini yang biasa dikaitkan dengan polusi. Jenis sampah yang diatur dalam pengelolaan sampah, berdasarkan Undang-undang Nomor18 Tahun 2008, yakni:
- Sampah rumah tangga
Adalah sampah yang berbentuk padat, berasal dari sisa kegiatan sehari-hari rumah tangga, namun tidak termasuk tinja dan sampah spesifik (seperti sampah Bahan Berbahaya Beracun) dan dari proses alam yang berasal dari lingkungan rumah tangga. Sumber sampah ini yakni rumah atau pemukiman.
- Sampah sejenis sampah rumah tangga
Adalah sampah rumah tangga yang berasal dari sumber lain selain rumah tangga dan lingkungan rumah tangga, seperti berasal dari pasar, pusat perdagangan, kantor, sekolah, rumah sakit, rumah makan, hotel, terminal, pelabuhan, industri, taman kota, dan lainnya
- Sampah spesifik
Adalah sampah rumah tangga atau sampah sejenis rumah tangga yang karena sifat, konsentrasi, dan/atau jumlahnya memerlukan penanganan khusus, meliputi sampah yang mengandung B3 (bahan berbahaya beracun), sampah yang mengandung limbah B3 (sampah medis), sampah akibat bencana, puing bongkaran, sampah yang secara teknologi belum dapat diolah, sampah yang timbul secara periode.
Saya berkali-kali menjumpai sebuah tempat, baik di pinggir jalan, di tepi gang, di pinggir kali atau di sebuah tempat wisata, yang dengan jelas memberi peringatan pada orang yang melintasi tempat itu: Dilarang Membuang Sampah di Sini. Apa yang terjadi? Orang tetap saja berkali-kali membuang tempat di tempat yang sudah ada peringatan larangan itu. Anda pasti juga pernah menjumpai itu dan punya pengalaman soal hal yang menjengkelkan itu. Dimanapun ada tanah kosong seolah-olah hanya pantas untuk tempat sampah.
Bahkan pemilik lahan kosong harus berkali-kali memagari dengan harapan orang tidak lagi membuang sampah di situ seperti kisah di atas. Hingga pagar bambunya roboh orang tetap saja menyampah di situ. Apa yang terjadi? Mengapa orang tidak peduli dengan sampah yang dihasilkannya sendiri. Sampah dihasilkan sendiri tetapi dibuang di halaman orang lain.
Sampah telah mengganggu peradaban manusia sejak ribuan tahun. Kini masalah limbah telah tumbuh secara eksponensial dengan revolusi industri dan petrokimia, pertumbuhan populasi dunia yang cepat, dan konsumerisme yang makin meledak.
Kemajuan teknologi dalam pengurangan volume limbah dan bahayanya tidak sebanding dengan produksi limbah yang terus berlanjut dan mengancam masyarakat. Ancaman sampah makin meningkat terhadap kesehatan publik dan integritas ekosistem. Menurut Trevor M Letcher dan Daniel A. Vallero dalam bukunya Waste a Handbook for Management (2019) dicatat bahwa kerugian ekonomi yang ditimbulkan oleh limbah menunjukkan dua kegagalan. Pertama, sampah selalu merupakan indikasi inefisiensi. Jumlah dan jenis massa atau energi yang keluar di sepanjang aliran sampah adalah contoh inefisiensi. Kedua, massa atau energi apa pun yang keluar di sepanjang jalur sampah ini, menimbulkan biaya untuk penanganan dan pemulihan dan bisa dengan angka yang mengejutkan.
Stephen M Jones dalam buku Advancing a Circular Economy: A Future Without Waste? (2021) memaparkan pentingnya mulai mempertimbangkan gagasan ekosonomi sirkular dengan sungguh-sungguh. Menurut Jones, dengan mengutip berbagai sumber, pada 2015, Program Lingkungan PBB (the UN Environment Programme) membuat deklarasi yang menggugah dalam bahasa ‘keadilan sosial’ bahwa pengelolaan sampah telah menopang masyarakat di abad kedua puluh satu. Sanitasi yang tepat dan pengelolaan limbah padat sama pentingnya dengan penyediaan air minum, tempat tinggal, makanan, energi, transportasi dan komunikasi sebagai hal yang penting masyarakat dan ekonomi secara keseluruhan (UNEP 2015).
Data Bank Dunia, kata Jones, menunjukkan 2,01 miliar ton limbah padat perkotaan (municipal solid waste–MSW) dihasilkan di seluruh dunia pada tahun 2016 dan setidaknya 33% tidak dikelola dengan aman secara lingkungan. Pada tahun 2050, timbulan sampah diharapkan dapat meningkat sebesar 70% menjadi 3,40 miliar ton limbah setiap tahun (Bank Dunia 2018). Salah satu dampak dari skenario ini adalah proliferasi plastik di aliran limbah. Prediksi saat ini menunjukkan bahwa, meskipun dengan dilakukan ‘aksi bersama segera’, sampah plastik saja akan masuk ekosistem laut global tiga kali lipat dari volume saat ini dalam 20 tahun ke depan. Bukti menunjukkan efek merugikan dari polusi plastik termasuk dilahap oleh satwa laut yang menyebabkan biaya ekonomi industri perikanan, pariwisata dan perkapalan. Sampah plastik mikro kini sedang berpindah-pindah melalui sistem makanan manusia dan dapat ditemukan di organ manusia.
Sama pentingnya adalah tekanan lingkungan yang timbul dari konsumsi rumah tangga kini diakui sebagai penyebab lebih dari 60% emisi gas rumah kaca global dan antara 50% dan 80% dari total penggunaan tanah, material, dan air. Metode penanganan limbah kita, tulis Jones, gagal mencegah kerusakan lingkungan signifikan dan kita perlu memberikan prioritas untuk mengidentifikasi praktik berkelanjutan yang akan membantu mengurangi dampak kita terhadap sistem penting ekologi untuk kelangsungan hidup jangka panjang kita.
Pengelolaan sampah menjadi pekerjaan rumah besar bagi Indonesia. Riset terbaru Sustainable Waste Indonesia (SWI) mengungkapkan sebanyak 24% sampah di Indonesia masih tidak terkelola. Ini artinya, dari sekitar 65 juta ton sampah yang diproduksi di Indonesia tiap hari, sekitar 15 juta ton mengotori ekosistem dan lingkungan karena tidak ditangani. Sedangkan, 7% sampah didaur ulang dan 69% sampah berakhir di Tempat Pembuangan Akhir (TPA). Sumber sampah terbesar 65.3% berasal dari rumah tangga. Lihat juga Gambar 1.
Laporan itu mengungkap jenis sampah yang paling banyak dihasilkan. Yakni sampah organik sebanyak 60 %, sampah plastik 14 persen, diikuti sampah kertas (9%), metal (4,3%), kaca, kayu dan bahan lainnya (12,7%). “Ada 1,3 juta sampah plastik per tahun yang tidak dikelola,” ungkap Direktur SWI, Dini Trisyanti ketika menyampaikan presentasi risetnya terkait Analisis Arus Limbah Indonesia pada 2017, di Workroom Coffee, Cikini, Jakarta pada Selasa (24/4).
Gambar 1. Jenis dan Sumber Sampah: Tantangan Pengelolaan di Rumah
Sampah plastik ini masih dinilai sangat banyak. Plastik tidak mudah terurai. Jika tidak dikelola di TPA atau didaur ulang, akan merusak ekosistem. Sampah plastik yang tidak dikelola ini biasanya tertimbun di tanah, atau ikut mengalir ke lautan. Tingginya angka sampah yang tidak terkelola dipengaruhi oleh beberapa hal. Pertama, terkait sistem yang memadai untuk proses pengumpulan sampah. Proses ini biasanya dilakukan para pemulung di jalanan, atau petugas kebersihan yang mengangkat sampah-sampah dari tiap rumah tangga menggunakan truk. Pengumpulan sampah ini dinilai belum optimal, karena belum bisa menjangkau semua sampah. Data nenunjukkan bahwa dari 400 kota kabupaten di Indonesia, tidak semuanya seperti di Jakarta, ada truk sampah. Sementara itu timbulan sampah dari 263 kabuptan/kota di Indonesia mencapai hampir 31 juta ton/tahun (Gambar 2).
Gambar 2. Situasi sampah pada 2020 dari 263 Kabupaten/Kota se Indonesia
Kedua, yang patut jadi perhatian adalah perilaku dan kebiasaan masyarakat Indonesia itu sendiri, yang sering membuang sampah langsung ke sungai atau ke alam. Sampah-sampah ini tidak masuk ke dalam proses pengumpulan yang dilakukan pemulung dan petugas kebersihan, dan akhirnya mengotori ekosistem. Walau di satu sisi masyarakat tidak bisa sepenuhnya disalahkan, karena Indonesia masih punya banyak hambatan infrastruktur pelayanan sampah. Masyarakat seringkali membuang sampah sembarangan karena tidak adanya tempat pengumpulan sampah atau TPA di sekitar tempat tinggalnya, sehingga mereka bingung.
Infrastruktur dan optimalisasi pelayanan sampah kerap terkendala karena anggaran yang terbatas. Selain itu, peningkatan pelayanan sampah juga masih belum dijadikan prioritas oleh pemerintah. “Yang menyadari bahwa kebersihan itu butuh biaya dan sistem yang baik, masih menjadi minoritas (CNN Indonesia).
Sejak Cina mengumumkan akan mengurangi impor limbah plastik dan kertas pada 2017 silam, sejumlah negara sibuk mencari lokasi baru untuk membuang limbah yang kian menumpuk. Limbah-limbah itu terutama berasal dari negara makmur, seperti Eropa, Kanada, Amerika Serikat, Jepang dan Korea Selatan. Selama ini Cina mengimpor 56% lombah plastik dan kertas. Namun demi “melindungi” kesehatan warga, pemerintah di Beijing mengambil langkah drastis dengan menutup keran impor. Akibatnya hanya dalam beberapa bulan setelah Cina mengumumkan keputusan tersebut, Negara-negara maju yang merupakan langganan ekspor limbah sampah ke Cina menjadi kewalahan. Tak Ayal, negara-negera Asia Tenggara menjadi sasaran buangan ekspor sampah plastik dan kertas dunia.
Thailand, Vietnam, Malaysia, dan Indonesia menjadi tujuan baru ekspor sampah plastik dan kertas oleh negara-negara Maju. Ironi memang, apalagi Indonesia dan Vietnam merupakan penyumbang sampah plastik ke laut terbesar kedua dan ketiga di dunia setelah Cina. Semua negara tersebut memiliki satu kesamaan, yakni aturan impor limbah yang longgar dan program pengolahan limbah setengah hati. Menurut laporan Bank Dunia 2018 silam, lebih dari 90% limbah di negara berkembang dan miskin “dibuang secara ilegal atau dibakar sehingga menimbulkan konsekuensi serius terhadap kesehatan, keamanan dan lingkungan.
Regulasi Sampah di Indonesia
Jumlah timbulan sampah berkorelasi dengan jumlah penduduk pada suatu wilayah. Setiap kegiatan yang dilakukan penduduk pasti akan menghasilkan sampah. Oleh karena itu semakin banyak penduduk dengan beragamnya kegiatan yang dilakukan ditambah dengan perilaku penduduk yang konsumtif mengakibatkan semakin meningkatnya jumlah timbunan sampah.
Jenis sampah juga tergantung pada jenis material yang dikonsumsi penduduk. Jenis sampah yang dihasilkan di suatu wilayah terkait dengan gaya hidup penduduk yang tinggal di wilayah tersebut.
Pengelolaan sampah merupakan kegiatan yang sistematis, menyeluruh, dan berkesinambungan yang meliputi kegiatan pengurangan dan penanganan sampah (Undang-undang Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah). Penjelasan masing-masing kegiatan pengelolaan sampah adalah sebagai berikut:
- Pengurangan sampahmerupakan kegiatan untuk mengatasi timbulnya sampah sejak dari produsen sampah (rumahtangga, pasar, dan lainnya), mengguna ulang sampah dari sumbernya dan/atau di tempat pengolahan, dan daur ulang sampah disumbernya dan/atau di tempat pengolahan
- Penanganan sampahmerupakan kegiatan penanganan sampah yang mencakup:
- Pemilahan, adalah pengelompokan dan pemisahan sampah menurut jenis dan sifatnya
- Pengumpulan, yaitu kegiatan memindahkan sampah dari sumber sampah ke TPS atau tempat pengolahan sampah terpadu. Pada tahapan ini digunakan sarana bantuan berupa tong sampah, bak sampah, peti kemas sampah, gerobak dorong, maupun tempat penampungan sementara (TPS atau dipo)
- Pengangkutan, yaitu kegiatan memindahkan sampah dari sumber, TPS atau tempat pengolahan sampah terpadu
- Pengolahan hasil akhir, adalah kegiatan mengubah bentuk, komposisi, karakteristik, dan jumlah sampah agar diproses lebih lanjut, dimanfaatkan, atau dikembalikan pada alam dan pemrosesan aktif kegiatan pengolahan sampah atau residu hasil pengolahan sebelumnya agar dapat dikembalikan ke media lingkungan.
Perkembangan industri dan teknologi juga dapat membawa dampak negatif. Salah satunya menambah volume, jenis, dan karakteristik sampah yang semakin beragam. Pengelolaan sampah merupakan kegiatan yang sistematis, menyeluruh, dan berkesinambungan yang meliputi pengurangan dan penanganan sampah. Permasalahan pengelolaan sampah yang ada di Indonesia dapat dilihat dari beberapa faktor yaitu tingginya jumlah sampah yang dihasilkan, tingkat pengelolaan pelayanan masih rendah, TPA yang terbatas jumlahnya, institusi pengelola sampah dan masalah biaya. Kesadaran masyarakat akan sampah dan pentingnya menjaga lingkungan juga masih rendah sehingga dapat membawa masalah yang baru seperti banjir.
Pengelolaan sampah selama ini juga belum sesuai dengan metode pengelolaan sampah yang berwawasan lingkungan. Sementara ini, pengolahan sampah di Indonesia yakni sebagian besar sampah dikirim ke TPA (69%), 7,5% kompos dan daur ulang, pembakaran terbuka 5%, ditimbun 10% dan tidak ada perlakuan 8,5%. Sebagian besar pengelolaan sampah TPA di Indonesia menggunakan metode open dumping dan landfill, namun ada juga metode lain yaitu pembuatan kompos, pembakaran, pemilahan, dan daur ulang meskipun tidak banyak digunakan (Winahyu dkk, 2013).
Metode open dumping adalah metode yang paling sederhana, sampah dibuang di TPA begitu saja tanpa perlakuan lebih lanjut, sedangkan metode landfill yaitu sampah diratakan dan dipadatkan dengan alat berat dan dilapisi dengan tanah. Kedua metode tersebut kurang ramah lingkungan karena berpotensi terjadi pencemaran pada air tanah dan juga pencemaran udara. Menurut Purwanta (2009) TPA berpotensi menyumbang emisi Gas Rumah Kaca (GRK) dengan gas yang mendominasi adalah CH4 (Metana), CO2 dan N2O. Hal tersebut mengakibatkan diperlukan adanya inovasi dalam pengelolaan sampah sehingga sampah tidak hanya menumpuk di TPA yang tapi juga dimanfaatkan untuk kepentingan lain.
Pengolahan sampah menjadi energi dengan menggunakan proses termal semakin populer sebagai teknologi alternatif untuk pengolahan sampah di dunia. Sebagai salah satu negara pemilik teknologi mengubah sampah menjadi energi, Finlandia menawarkan kerjasama kepada Indonesia. Hal tersebut disampaikan Menteri Perekonomian dan Tenaga Kerja Finlandia, H.E. Mika Lintilä saat bertemu Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Indonesia Siti Nurbaya di Jakarta, Selasa (06/06/2017).
Pemerintah Indonesia menyambut baik setiap upaya mitra strategis untuk menjalin kerjasama mendukung implementasi National Action Plan on Marine Plastic Debris, termasuk sampah daratan, pantai dan laut yang secara signifikan dapat mengurangi plastic debris dan merealisasikan kebijakan bebas dari sampah. Dengan produksi sampah mencapai 64 juta ton per tahun, dan komposisi sampah: organik 60%, plastik 15%, kertas 10%, lainnya (metal, kaca, kain, kulit) 15%, pastinya Indonesia sangat potensial untuk pengembangan teknologi proses termal sampah menjadi enegi tersebut. Teknologi ini selain mengurangi jumlah sampah yang ada, juga menghasilkan energi yang bermanfaat untuk masyarakat.
Siti Nurbaya menyatakan bahwa Beberapa kota besar di Indonesia sudah siap untuk menggunakan proses termal secara langsung untuk mengubah sampah menjadi energi seperti: Makassar, Surabaya, Jakarta, Bandung, Solo, Denpasar, Tangerang dan Semarang. Upaya ini tentunya akan mendukung pencapaian Target Nasional tahun 2025 yaitu pengurangan sampah 30% dan target penanganan sampah 70%.
Kita tahu The UN SDG 12 adalah untuk ‘mempromosikan konsumsi dan produksi yang bertanggungjawab.’ Gagasan pentingnya aspek produksi dan konsumsi ini karena soal inilah yang menjadi biang tumbuhnya volume sampah yang mengancam keberadaan kemanusiaan yang memaksa perlunya mencari alternatif pendekatan pengelolaannya. Vidal (2020) seperti dikutip Jones (2021) berpendapat bahwa dengan cara dan tingkat konsumsi saat ini tidak mungkin akan mencapai konsumsi berkelanjutan. Pemerintah dan industri dinilai telah gagal untuk mengurangi volume limbah dan menciptakan bahan yang bisa dapat digunakan kembali dan didaur ulang dengan lebih mudah. Kita gagal mencapai kemajuan yang dibutuhkan oleh SDGs.
Laporan kemajuan terbaru tentang SDGs memperjelas hal ini: Secara global, timbulan sampah semakin meningkat. Sekitar sepertiga dari makanan diproduksi untuk konsumsi manusia setiap tahun hilang atau terbuang percuma. Sebagian besar itu terjadi di negara maju. Tindakan mendesak diperlukan untuk memastikan kebutuhan material saat ini tidak mengarah pada ekstraksi sumber daya yang berlebihan dan degradasi lingkungan lebih lanjut.
Kebijakan harus diterapkan untuk meningkatkan efisiensi sumber daya, mengurangi limbah dan mengarusutamakan praktik keberlanjutan di semua sektor ekonomi.
Bisakah sampah menjadi sumber pendapatan? Banyak teladan yang bisa kita baca dan petik dari orang-orang yang kreatif, orang-orang yang mampu mengubah masalah menjadi peluang. Termasuk dalam hal sampah. DI sekitar saya tinggal banyak pengusaha barang-barang bekas. Mereka adalah pahlawan yang memanfaatkan sampah menjadi lebih bermanfaat.
Atau apa yang dilakukan oleh PT Bio Konversi Indonesia (Biokonversi) seperti yang ditulis oleh Jansen Sinamo, Sampah dalam Arus Ekonomi Sirkular. Setiap bulan, Biokonversi yang berlokasi dekat gunungan sampah raksasa Bantargebang, Bekasi Timur menghasilkan sekitar 1,5 juta liter pupuk hayati cair dalam botol-botol plastik berbagai ukuran. Pupuk hayati itu dihasilkan dari gunungan sampah ini telah menjadi masalah lingkungan yang pelik bagi Kota Bekasi dalam 45 tahun terakhir, volumenya kini lebih dari 40 juta ton, dan terus bertambah sekitar 7.500 ton per hari. Dengan bantuan maggot (sejenis belatung atau larva lalat bersih yang disebut black soldier fly)– ragam sampah dapur berupa sayur-sayuran, buah-buahan, umbi-umbian, biji-bijian, dan bumbu-bumbuan sekarang diolah dalam pabrik Biokonversi itu langsung menjadi biofertilizer cair konsentrasi tinggi.
Di pabrik seluas 11 ribu meter persegi itu, tiap hari sekitar 50 ton material organik dari berbagai pasar dan supermarket Jakarta Bekasi, dibeli untuk melengkapi input sampah organik dari gunungan tadi ke dalam reaktor biologis Biokonversi.
Pupuk hayati cair berformula ini kemudian dipakai mensuplementasi pupuk kimia pada kebun-kebun hortikultura di kabupaten Bogor, Cianjur, dan Sukabumi, yang pada gilirannya menghasilkan produk-produk tani berkualitas tinggi untuk konsumsi Jabodetabek yang diperkirakan berpenduduk hampir 25 juta itu; yang selanjutnya menyampah ke Bantargebang.
Sampah menjadi pupuk hayati cair dan digunakan untuk proses produksi pertanian yang hasilnya dikonsumsi. Menurut Sinamo inilah contoh proses ekonomi masa depan, ekonomi sirkular. Lingkungan makin bersih, sampah jadi punya harga, proses menjadi pupuk itu menggunakan bioteknologi terkini, tanah-tanah pertanian perkebunan mengalami rejuvenasi sebagai khasiat pupuk hayati cair itu, pemakaian pupuk kimia bisa berkurang sampai 50%, hasil tani masyarakat bisa meningkat sampai 20%, serta banyak lapangan kerja tercipta di sekitar dan di antara sub-proses usaha-usaha kreatif itu.
Ciri khas ekonomi sirkular adalah zero waste, hal yang tak dipunyai ekonomi linier, yang justru berakhir di gunungan sampah seperti Bantargebang itu. Yang istimewa: gerak ekonomi sirkular ini bisa bermula dari gunungan sampah seperti pupuk hayati cair di atas, memakai inovasi dan teknik biologi, berproses membentuk banyak sirkular lanjutan, banyak industri, dan banyak usaha, seperti sulur-sulur melingkar pada tanaman labu siam.
Kelangkaan sumber daya dan pencemaran sumber daya alam mendorong banyak inisiatif untuk mengembangkan dan menerapkan inovasi produksi-konsumsi. Mendorong pertumbuhan ekonomi tetapi tidak menipiskan sumber daya dan meningkatkan emisi polutan. Ekonomi sirkular dianggap mewakili pengintegrasian kegiatan ekonomi dan kesejahteraan lingkungan secara berkelanjutan.
Ekonomi sirkular telah mengilhami model bisnis alternatif yang memungkinkan untuk pendekatan baru bagi keberlanjutan, memahami konsep keberlanjutan sebagai keadaan keseimbangan ekonomi, lingkungan dan sosial kepedulian masyarakat.
Seperti diuraikan oleh Jones ‘Circular business models’ menggunakan bahan yang sudah ada dan produk sebagai input dan oleh karena itu jejak lingkungannya cenderung menjadi jauh lebih kecil daripada model bisnis tradisional. Survei Uni Eropa tentang strategi melingkar (sirkuler) di setiap tingkat, pemerintah mengklaim bahwa ‘pengolahan limbah adalah elemen yang hampir penting dalam setiap lingkaran strategi ekonomi. Pengolahan sampah dan khususnya pengelolaan sampah kota menjadi masalah umum yang mempengaruhi seluruh wilayah nasional.
Memperbaikinya sangat tergantung pada masalah legislatif di nasional atau pada level pemerintahan lainnya. Diakui bahwa mendorong perpindahan ke masyarakat yang lebih berkelanjutan membutuhkan kecanggihan yang lebih tinggi dalam mengelola sampah. Banyak waktu dan uang yang harus digunakan oleh pemerintah dan industri untuk mendidik penduduk tentang nilai pemilahan sampah dalam rumah tangga.
Tentunya, warga perlu berpartisipasi. Tantangan juga dihadapi oleh konsumen perorangan sebagai penghasil sampah. Mereka harus memikul tanggung jawab yang tinggi untuk menempatkan kontaminan ke dalam sistem daur ulang yang harus ditangani oleh sistem pengelolaan limbah. Kalau warga sudah terbiasa dengan kemudahan pemilahan terpusat, lalu pindah ke sistem yang lebih kompleks akan lebih mudah. Petts (2000), yang dikutip Jones, berpendapat bahwa pengelolaan sampah yang paling efektif harus berkaitan dengan prioritas lingkungan, ekonomi dan sosial setempat. Survei menunjukkan bahwa ada kemauan di dalam komunitas untuk lebih bertanggung jawab atas limbah; di Eropa kemauan ini sangat kuat. Di Indonesia jalan masih panjang untuk membuat masyarakat dari desa ke kota ber-tanggungjawab atas sampah yang dihasilkan sendiri. Membaca sampah seperti membaca wajah kita sendiri. Jika kita membuang sampah sembarangan sebetulnya juga membuang wajah kita sembarangan. Sebab indahnya wajah kita bisa dilihat dari bagaimana kita mengelola sampah.
Apa yang bisa Anda lakukan?
- Kurangi memproduksi sampah. Setiap orang Indonesia menghasilkan 0.65 kg sampah. Maka lakukan pengurangan dari diri sendiri
- Kelola sampah sendiri. Jika di rumah tangga, untuk sampah organik bisa dibuatkan lubang sampah di halaman yang terbaas sekalipun
- Gunakan wadah-wadah yang awet dan bisa dipakai berulang kali. Air minum dengan wadah tumbler. Kantong barang bawaan dengan kantong kain. Beli makanan yang menggunakan wadah atau kemasan yang bisa dipakai berkali-kali.
- Mendukung gerakan-gerakan pengelolaan sampah komunitas
- Mengajak keluarga, tetangga, kenalan, teman, saudara dan orang khalayak untuk sadar sampah, berhemat sampah dan menuju zero-waste society.
Ucapan Terima kasih
Artikel ini didukung oleh Chaida Chairunnisa yang melakukan studi ringkas tentang aspek kebijakan persampahan. Terima kasih atas kontribusinya.
Sumber:
- Purwaningsih, Murni Rahayu. 2012. Analisis Biaya Manfaat Sosial Keberadaan Pembangkit Listrik Tenaga Sampah Gedebage bagi Masyarakat Sekitar. Jurnal Perencanaan Wilayah dan Kota, Vol. 23, No. 3.
- Purwanta, Wahyu. 2009. Perhitungan Emisi Gas Rumah Kaca (GRK) dari Sektor Sampah Perkotaan di Indonesia. Jurnal Teknologi Lingkungan Vol. 10 No.1
- Undang-undang Dasar 1945 No. 18 tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah
- Winahyu, Djatmiko. Hartoyo, Sri. Syaukat, Yusman. 2013. Strategi Pengelolaan Sampah pada Tempat Pembuangan Akhir Bantargerbang Bekasi. Jurnal Manajemen Pembangunan Daerah Vol 5 No.2
- http://sipsn.menlhk.go.id/sipsn/#