Sustainability 17A #23
Mengganti Kapitalisme dengan Donat
Dwi R. Muhtaman,
sustainability learner
Pada pertengahan abad ke-19 Elizabeth Gregory membuat adonan goreng dengan menggunakan bahan rempah pala, kayu manis dan kulit lemon untuk putranya, Hanson, seorang kapten kapal New England. Dia membuatnya agar Hanson dan krunya dapat menyimpan kue itu dalam perjalanan panjang. Dan mungkin bisa membantu menangkal penyakit kudis dan pilek. Nyonya Gregory meletakkan hazelnut atau kenari di tengah adonan yang mungkin tidak akan matang sepenuhnya.
Bagaimana kue itu menjadi berlubang di tengahnya? Menurut David A. Taylor dalam artikelnya The History of the Doughnut, sejarahwan berbeda pendapat soal itu. Ada yang mengatakan Hanson memberi lubang itu agar ketika mengendalikan kapalnya dia tetap bisa menikmati roti berlubang itu dengan menusuk/menempatkan jeruji kemudi kapal pada tengah donat yang berlubang.
Dalam sebuah wawancara dengan Boston Post pada pergantian abad, 50 tahun kemudian, Kapten Gregory mengatakan bahwa dia menggunakan bagian atas tempat lada yang bundar untuk memotong bagian tengah donat yang biasanya kurang matang, meskipun ternyata dengan berlubang maka dia mudah menikmatinya saat mengendalikan gagang kemudi kapal. Jadilah kue berlubang itu disebut donat.
Namun, Gregory tidak membayangkan bahwa kue ciptaannya itu memberi inspirasi Kate Rowarth yang, seabad kemudian, menciptakan teori ekonomi untuk mengganti kapitalisme: Doughnut Economics.
Pada awalnya adalah kapitalisme
Menurut kamus, kapitalisme adalah sistem ekonomi yang didasarkan pada kepemilikan pribadi atas alat-alat produksi, distribusi, dan pertukaran, yang bercirikan kebebasan pemodal untuk mengoperasikan atau mengelola properti mereka demi keuntungan dengan berkompetisi.
Definisi inilah yang menjadi magnet universal saat ini. Kita menerima begitu saja hak milik pribadi dengan upaya memperolehnya. Tetapi komunisme menegasikan adanya kepemilikan pribadi. Karl Marx menulis dalam The Communist Manifesto, seperti ditulis Tepper dalam bukunya the Myth of Capitalism (2018), “Teori Komunis dapat diringkas dalam satu kalimat: Penghapusan kepemilikan pribadi.” Setelah runtuhnya Tembok Berlin pada tahun 1989, komunisme runtuh dan secara luas didiskreditkan sebagai kegagalan yang menyedihkan. Pertempuran untuk kepemilikan pribadi telah dimenangkan dan makin merasuk menjadi jalan utama manusia di bumi.
Namun definisi itu sebetulnya mengandung aspek yang lebih rumit: kapitalisme dicirikan oleh kebebasan kapitalis untuk mengoperasikan atau mengelola properti mereka untuk mendapatkan keuntungan dalam kondisi persaingan. Betulkah ada persaingan? Bagi Tepper pertarungan untuk persaingan sedang kalah. Industri menjadi sangat terkonsentrasi di tangan beberapa pemain, dengan sedikit persaingan nyata. Di industri pangan global bahkan nasional misalnya sebagian besar kebutuhan pokok penting hanya dikuasai oleh sekitar sepuluh perusahaan. Mereka menguasai mulai dari obat-obatan pertanian, benih, proses produksi, jalur pemasaran hingga produk pangan siap konsumsi. Sebagian malah makin menjadi raksasa karena melakukan merger. Kapitalisme tanpa persaingan bukanlah kapitalisme. Dan kecenderungan ini yang terjadi.
Persaingan penting karena mencegah ketidaksetaraan yang tidak adil, alih-alih transfer kekayaan dari konsumen atau pemasok ke perusahaan monopoli. Jika tidak ada persaingan, konsumen dan pekerja kurang memiliki kebebasan untuk memilih. Persaingan menciptakan sinyal harga yang jelas di pasar, mendorong penawaran dan permintaan. Ini meningkatkan efisiensi. Persaingan menciptakan lebih banyak pilihan, lebih banyak inovasi, perkembangan dan pertumbuhan ekonomi, dan demokrasi yang lebih kuat dengan menyebarkan kekuatan ekonomi. Pada akhirnya akan mempromosikan inisiatif dan kebebasan individu. “Persaingan adalah inti dari kapitalisme, namun ia sedang sekarat,” tulis Tepper. Persaingan adalah dasar evolusi. Tidak adanya persaingan berarti tidak adanya evolusi, kegagalan untuk beradaptasi dengan kondisi baru. Itu mengancam kelangsungan hidup kita.
Tetapi kini persaingan tetap menjadi ideal yang semakin menjauh dari jangkauan. Bahkan menurut New York Times, “Pasar bekerja paling baik ketika ada persaingan yang sehat di antara bisnis. Di banyak industri, persaingan itu sudah tidak ada lagi. The Economist memperingatkan bahwa “Amerika membutuhkan kompetisi yang berat.” Tidak hanya Amerika, kita di Indonesia semestinya juga menjaga semangat kompetisi ini, meskipun kita juga perlu mempertanyakan soal kompetisi. Betulkah kini kompetisi masih dianggap satu cara yang mujarab untuk menuju kehidupan yang lebih baik? Padahal manusia juga adalah makhluk sosial dan selalu hidup dalam sebuah tim untuk mencapai tujuan-tujuannya. Konsep-konsep kolaborasi dan co-creation saat ini tumbuh subur dimana-mana.
Bagi Douglas Rushkoff (Team Human, 2020) alam berjalan dengan tindakan-tindakan kolaboratif. Jika manusia adalah spesies yang paling berevolusi, itu hanya karena kita telah mengembangkan cara paling canggih untuk bekerja dan bermain bersama. Kita telah dikondisikan untuk percaya pada mitos bahwa evolusi adalah tentang persaingan: survival of the fittest. Dalam pandangan ini, setiap makhluk berjuang melawan makhluk lainnya untuk mendapatkan sumberdaya yang langka. Hanya yang terkuat yang bertahan untuk mewariskan gen superior mereka, sedangkan yang lemah pantas kalah dan mati. Tapi evolusi sama pentingnya dengan kerjasama seperti persaingan.
Seperti halnya Rushkoff, Gaurav Bhalla dalam bukunya “Collaboration and Co-creation: New Platforms for Marketing and Innovation (2011) berpendapat istilah kolaborasi dan kreasi bersama (Collaboration and Co-creation) mungkin baru, tetapi sebetulnya bukan sesuatu yang sama sekali baru. Beberapa ribu tahun yang lalu pada era masyarakat pemburu-pengumpul apakah mungkin bagi orang-orang yang berada pada sistem ekonomi itu mampu bertahan hidup tanpa Collaboration and Co-creation? Atau, era Adam Smith dan spesialisasi tenaga kerja apakah spesialisasi satu dengan yang lainnya bisa hidup dan berkembang tanpa Collaboration and Co-creation?
Yang kita butuhkan adalah inovasi strategis—ide yang merusak cara lama yang usang, memetakan wilayah yang sama sekali baru, atau menemukan gaya solusi untuk masalah yang kompleks. Yang kita butuhkan adalah cara dan sarana memenuhi harapan dan impian. Tantangan inovasi itu adalah kreasi bersama/co-creation. Itu berdasarkan satu prinsip sederhana: memanfaatkan potensi kolektif kelompok dapat memimpin untuk menemukan terobosan yang diberdayakan setiap orang. “Collective creativity is a difference that makes the difference.” (Bryan R. Rill and Matti M. Hämäläinen. The Art of Co-Creation: A Guidebook for Practitioners, 2018)
Gagalnya kompetisi dan maraknya monopoli membuat konsumen tidak mempunyai kebebasan untuk memilih. Tidak bisa lagi memilih untuk menggunakan produk atau jasa dari perusahaan yang menghormati aspek-aspek sosial dan lingkungan. Tidak bisa memilih perusahaan-perusahaan yang cara produksi barang atau jasanya yang sustainable. Jika tidak cukup tersedia pilihan maka perusahaan yang buruk, karena monopoli, akan mempunyai daya rusak yang besar.
Menurut Adam Buick dan John Crump (The Alternative to Capitalism, 2013) kapitalisme memiliki enam karakteristik esensial berikut ini:
- Produksi komoditasapapun, hampir semua kekayaan diproduksi untuk dijual di pasar.
- Penanaman modal dalam produksi dengan maksuduntuk mendapatkan keuntungan moneter.
- Eksploitasi tenaga kerja upahan, sumberkeuntungan makin besar jika mempekerjakan tenaga kerja yang tidak dibayar sebagai penghasil barang
- Pengaturan produksi oleh pasarmelalui perjuangan kompetitif untuk mendapatkan keuntungan.
- Akumulasi modal dari keuntungan,mengarah ke perluasan dan pengembangan kekuatan produksi.
- Ekonomi dunia tunggal.
Hingga saat ini, meskipun hanya menjadi pilihan jalan satu-satunya hampir semua penduduk bumi, kapitalisme masih dianggap sebagai masalah dan karena itu menjadi objek yang layak mendapat perhatian politik dan intelektual. Sejumlah ahli menerbitkan begitu banyak referensi yang mengritik kapitalisme dan menyatakan keprihatinnya bahwa kita terjebak dalam pergolakan krisis yang sangat dalam – krisis sistemik yang parah. Apa yang kita hadapi adalah disfungsi struktural yang dalam yang bersarang di jantung bentuk kehidupan kita seperti ditulis Nancy Fraser dalam bukunya bersama Rahel Jaeggi “Capitalism: A Conversation in Critical Theory“ (2018).
“Apa itu kapitalisme?” Bagi Fraser yang merupakan filosof Amerika, critical theorist dan juga Professor Political and Social Science dan profesor filosofi di The New School, New York City, pertanyaan ini membutuhkan definisi esensial, sekumpulan fitur inti yang membedakan masyarakat kapitalis dari masyarakat non-kapitalis. Kapitalisme memiliki dimensi sosial, ekonomi, politik yang harus dilihat berdiri dalam hubungan yang saling berhubungan satu sama lain. Namun, orang yang skeptis mungkin mengklaim bahwa tidak mudah untuk menentukan elemen inti kapitalisme. Sebab kapitalisme tidak terlihat sama di mana-mana di dunia? Mungkinkah kita tidak menyimpulkan bahwa masyarakat kapitalis terlihat begitu berbeda satu sama lain sehingga tidak ada penyebut umum yang sebenarnya? Jika ini masalahnya, kita menghadapi masalah yang nyata, kata Fraser. Jika kita tidak dapat menentukan elemen inti yang membuat formasi sosial kapitalis, bagaimana kita bisa berbicara tentang krisis kapitalisme? Tanpa elemen-elemen inti tersebut, tidak akan ada cara untuk menetapkan bahwa krisis saat ini adalah benar-benar krisis kapitalisme dan bukan krisis yang lain. “Hal yang sama berlaku untuk sumber daya kita untuk mengkritik kapitalisme: bagaimana kita bisa mengklaim bahwa contoh penderitaan sosial yang ingin kita tangani sebenarnya terkait dengan kapitalisme, jika kita bahkan tidak memiliki konsep kapitalisme yang cukup jelas dan koheren yang memungkinkan kita untuk mengidentifikasi elemen intinya?
Sebagian ekonom, Joseph A. Schumpeter: “Can Capitalism Survive?” (1940), dari awal meragukan apakah kapitalisme akan bisa bertahan dengan karakteristiknya sendiri? Meskipun hingga kini diakui kapitalisme memberi banyak perubahan yang membuat manusia merasa nyaman.
Pada satu sisi, seperti diakui oleh Lekachman, kapitalisme beroperasi tidak terutama untuk orang kaya tetapi berdasarkan sifatnya terutama untuk kepentingan pekerja biasa dan keluarganya. Produktivitas kapitalis telah memperpendek minggu kerja dan memberi massa keuntungan waktu luang, yang sebelumnya merupakan hak prerogatif elit yang kaya dan berkuasa. Pakaian murah, makanan yang dikemas dengan nyaman, dan peralatan rumah tangga yang murah bukanlah konsekuensi yang besar bagi orang kaya, yang di setiap zaman mampu membeli banyak pelayan pribadi dan produk terbaik dari pengrajin paling terampil. Di zaman kita sekarang (meski bahagia itu tidak hinggap pada era Schumpeter), televisi adalah hiburan massal yang sangat murah, demikian kata Robert Lekachman Universitas Lehman City, University of New York ”dalam tulisan pengantarnya untuk buku Joseph A. Schumpeter: “Can Capitalism Survive?” (1940).
“Bagi orang biasa, kapitalisme adalah yang terbaik dari semua sistem. Ketika bekerja dengan baik, itu menghancurkan proses lama, teknologi, dan mode organisasi. Barang-barang baru yang digantikan oleh para kapitalis ternyata menghasilkan bermacam-macam barang dan jasa konsumen yang semakin banyak untuk sebanyak mungkin pelanggan,” lanjutnya.
“Badai penghancuran kreatif (the gale of creative destruction),” istilah Schumpeter, adalah karya minoritas kecil — wirausahawan yang berani dan kreatif yang mengubah penemuan ilmuwan dan insinyur menjadi barang kesenangan bagi pelanggan dan keuntungan bagi promotor.
Dalam pengamatan Schumpeter, kata Lekachman, “Berbeda sekali dengan kebijaksanaan profesional konvensional, Schumpeter tidak takut bahwa perusahaan besar akan membungkam persaingan, menghambat inovasi, atau memperlambat pertumbuhan. Justru sebaliknya. Itu adalah perusahaan besar yang mensubsidi penelitian dan pengembangan, bukan karena dorongan altruistik tetapi dengan ekspektasi keuntungan monopoli selama beberapa tahun di mana para pesaing dengan panik berusaha mengejar ketinggalan dengan perkembangan baru. Di bawah kapitalisme, sebagaimana Schumpeter mendiagnosis perilakunya, kemajuan adalah masalah monopoli sementara dan mantra singkat keuntungan berlebih yang difasilitasi oleh monopoli semacam itu.”
Namun kapitalisme juga pada akhirnya terperosok pada kegagalan.
Dalam pidato terkenal tahun 1938 di American Economic Association Alvin Hansen, yang saat itu adalah seorang Keynesian Amerika terkemuka, mempopulerkan versi Keynes yang disebut stagnasi sekuler, menyatakan bahwa kapitalisme pasti akan menderita pengangguran yang tinggi secara permanen, setidaknya jika tanpa adanya intervensi pemerintah, karena peluang investasi, kekuatan pendorong ekspansi kapitalis, telah berkurang secara drastis, seperti dikutip Schumpeter. “Kapitalisme pasti akan gagal justru karena pencapaiannya yang luar biasa.”
“Bisakah kapitalisme bertahan? Tidak. Tidak akan bisa bertahan. Kapitalisme akan mengalami dekomposisi jika faktor-faktor yang menggerogotinya tidak mengalami perubahan,” tulis Schumpeter.
Lebih lanjut dikatakan, “Dihadapkan pada meningkatnya permusuhan dari lingkungan dan oleh praktek legislatif, administratif dan yudisial yang lahir dari permusuhan itu, para pengusaha dan kapitalis — pada kenyataannya seluruh lapisan yang menerima skema kehidupan borjuis — pada akhirnya akan berhenti berfungsi. Sasaran standar mereka dengan cepat menjadi tidak dapat dicapai, upaya mereka sia-sia.”
Paul Collier dalam bukunya “The Future of Capitalism: Facing the New Enxieties” (2018) menyebutkan bahwa kapitalisme terakhir berjalan dengan baik antara 1945 dan 1970. Selama periode itu, kebijakan dipandu oleh bentuk komunitarian sosial demokrasi yang telah dilebur melalui partai politik arus utama. Tetapi fondasi etika sosial demokrasi terkikis. Asal-usulnya berasal dari gerakan koperasi abad kesembilan belas, diciptakan untuk mengatasi kecemasan mendesak saat itu. Narasi solidaritasnya menjadi fondasi bagi jaringan kewajiban timbal balik yang semakin dalam untuk mengatasi kecemasan ini. Tapi kepemimpinan partai-partai sosial demokrat beralih dari gerakan koperasi ke teknokrat Utilitarian dan pengacara Rawlsian. Etika mereka kurang beresonansi dengan kebanyakan orang. Para pemilih secara bertahap menarik dukungan mereka.
Pertanyaan Collier adalah mengapa partai politik tidak beralih ke pragmatisme? Kemungkinan besar, ini adalah kesalahan para pemilih. Pragmatisme menghimbau orang untuk memperhatikan bukti konteks dan menggunakan alasan praktis untuk menilai apakah solusi yang diusulkan benar-benar akan berhasil. Itu membutuhkan usaha. Para pemilih yang terinformasi adalah barang publik tertinggi, dan seperti halnya semua barang publik, setiap individu memiliki sedikit insentif untuk menyediakannya. Sebagian besar barang publik bisa disediakan oleh negara, tapi yang ini hanya bisa disediakan oleh masyarakat sendiri. ”
Kini di sebagian wilayah dunia kapitalisme seperti cerita horor, hantu yang menakutkan, ghost story, kata Arundhati Roy pada buku “Capitalism: A Ghost Story” (2014). Seperti halnya hantu maka kapitalisme ini menakutkan, sulit disentuh dan bersosok yang menyeramkan, berbeda dengan sosok yang umum.
Ia mengambil contoh India, kampung halamannya. Di negara berpenduduk 1,2 miliar, seratus orang terkaya di India memiliki aset yang setara dengan seperempat PDB. Sementara sisanya adalah orang-orang yang bernasib buruk, selalu diburu hantu.
Mungkin nasib buruk dan hantu itu semua salah Karl Marx, tulis Roy. “Kapitalisme,” kata Marx yang dikutip Roy, “telah menyulap alat produksi dan pertukaran yang sedemikian dahsyat, sehingga seperti dukun yang tidak lagi mampu mengendalikan kekuatan dunia bawah yang dia panggil dengan mantranya. Di India, 300 juta dari kita yang tergabung dalam “reformasi” kelas menengah pasca-Dana Moneter Internasional (IMF) baru—pasar—hidup berdampingan dengan roh dari dunia bawah, poltergeist sungai mati, sumur kering, pegunungan botak, dan hutan gundul; hantu dari 250.000 petani yang dililit utang yang telah bunuh diri, dan dari 800 juta yang telah dimiskinkan dan “dirampas untuk memberi jalan bagi kita. Dan yang bertahan hidup dengan kurang dari dua puluh rupee India sehari.
“Perjuangan ini telah membangkitkan imajinasi kita. Dalam perjalanannya, Kapitalisme mereduksi gagasan keadilan menjadi hanya “hak asasi manusia”, dan gagasan untuk memimpikan kesetaraan menjadi penghujatan. Kita tidak berjuang untuk mengutak-atik reformasi sistem yang perlu diganti.”
Tepper (2018) menegaskan bahwa di seluruh dunia, orang memiliki perasaan yang luar biasa bahwa ada sesuatu yang rusak. Populisme di Amerika Serikat dan Eropa makin populer. Terjadi kebangkitan kembali intoleransi, dan keinginan untuk mengubah tatanan yang ada. Kelompok Kiri dan Kanan tidak bisa sepakat tentang apa yang salah, tetapi mereka berdua tahu ada sesuatu yang busuk. Kapitalisme telah menjadi sistem terbesar dalam sejarah untuk mengangkat orang keluar dari kemiskinan dan menciptakan kekayaan, tetapi “kapitalisme” yang kita lihat sekarang, di Amerika Serikat misalnya, jauh dari pasar kompetitif. Apa yang kita miliki saat ini adalah versi kapitalisme yang aneh dan cacat. Ekonom seperti Joseph Stiglitz telah menyebutnya sebagai “kapitalisme semu,” di mana representasi yang terdistorsi terlihat sangat jauh dari yang sebenarnya.
Persoalan lingkungan yang dihadapi warga dunia ini tidak lepas dari dampak kapitalisme. Sejak diluncurkan industrialisasi, lalu dilengkapi dengan kapitalisme maka sumberdaya alam menjadi satu-satu bahan yang bisa dieksploitasi untuk memenuhi segala hasrat kebutuhan dan keinginan manusia melalui maksimalisasi keuntungan yang tanpa batas.
Bahkan Cina sebagai negara komunis sekalipun dengan gembira menunggangi kuda kapitalisme untuk memenuhi nafsu kekuasaan ekonominya. Menguasai komoditi dan sumbernya adalah menguasai masa depan.
Dambisa Moyo pada bukunya: “Winner Take All: China’s Race for Resources and What It Means for the World” (2012) mencatat, pada musim panas tahun 2007, sebuah perusahaan China membeli sebuah gunung di Peru. Lebih khusus lagi, ia membeli hak mineral untuk menambang sumber daya yang terkandung di dalamnya. Pada ketinggian lima belas ribu kaki (empat puluh enam ratus meter), Gunung Toromocho adalah daratan yang mengesankan — lebih dari setengah tinggi Gunung Everest. Toromocho mengandung dua miliar ton tembaga, salah satu deposit tembaga tunggal terbesar di dunia. Dengan biaya yang lumayan besar sebesar US$ 3 miliar, status Gunung Toromocho ditransfer dari orang Peru ke tangan orang China.
Bagi Moyo, penulis buku “How the West Was Lost” yang berasal dari Zambia ini, untuk memahami pendekatan China dalam mengamankan sumberdaya global, kita harus melihat dalam konteks yang lebih luas yakni permintaan komoditas global, supply and demand komoditas global. Memahami dinamika permintaan yang terus berkembang: mengapa tekanan permintaan global di seluruh kompleks komoditas — tanah subur, air, energi, dan mineral — akan meningkat, dan bagaimana faktor permintaan ini akan memperburuk kelangkaan sumber daya dalam beberapa dekade mendatang.
China tidak memiliki apa-apa jika bukan ambisi yang tinggi, dan inilah yang memicu amukannya pada sumber daya global. Untuk memenuhi tantangan ini, Tiongkok, antara tahun 2005 dan 2011, telah terlibat dalam lebih dari 350 penanaman modal asing langsung senilai lebih dari US$ 400 miliar, yang sebagian besar berada di sumberdaya alam. Sebagai perbandingan, selama tiga ratus minggu (periode enam tahun) pengeluaran orang Cina rata-rata US$ 1 miliar per minggu. Jika strategi China membuahkan hasil, pelaksanaannya akan membutuhkan banyak lahan subur, banyak air yang dapat digunakan, banyak energi, dan banyak mineral.
Namun, meskipun kritis, diambil secara terpisah, dinamika permintaan hanya setengah dari persamaan. Risikonya adalah bahwa permintaan komoditas akan berkembang lebih cepat daripada yang dapat ditampung oleh pasokan dunia. Akibat yang tak terhindarkan adalah kekurangan bahan-bahan utama yang berulang, dan kekurangan inilah yang dapat memicu konflik global. “Jika pasokan global dari spektrum penuh sumberdaya dapat mengimbangi peningkatan permintaan yang diproyeksikan, tidak banyak yang perlu dikhawatirkan. Namun jika penawaran komoditas tidak dapat memenuhi permintaan, maka ketidakseimbangan tersebut menempatkan ekonomi global secara keseluruhan pada jalur yang berbahaya. Jadi, di mana posisi dunia di sisi pasokan sumber daya alam?”
Banyak ahli demografi percaya bahwa perkembangan populasi dunia yang terjadi saat ini adalah kelanjutan dari trend luar biasa yang dimulai sekitar dua abad yang lalu dan telah menemukan momentum sejak awal abad kedua puluh. Kabar buruknya adalah bahwa trend pertumbuhan yang cepat dan ekstensif ini akan berlanjut hingga tahun 2050, ketika prakiraan menyebutkan jumlah populasi global lebih dari sembilan miliar. Berdasarkan analisis yang disajikan dalam buku Moyo, bumi sama sekali tidak memiliki sumber daya yang memadai untuk mendukung populasi ini, terutama pada standar kehidupan yang telah dibiasakan oleh ratusan juta orang.
Kabar baiknya adalah, jika diatur dalam konteks sejarah, ledakan populasi dunia yang sedang berlangsung dapat dipandang sebagai episode unik — belum pernah terjadi sebelumnya dalam sejarah. Dan begitu trend saat ini telah berjalan dengan sendirinya, sangat kecil kemungkinannya bahwa perluasan populasi seperti itu, dalam hal kecepatan dan besarnya, akan terjadi lagi. Perkiraan terbaik dari Perserikatan Bangsa-Bangsa adalah bahwa populasi dunia akan mulai menurun pada tahun 2075 setelah mencapai 9,2 miliar. “Dengan kata lain, populasi dunia tidak akan tumbuh ad infinitum, dan kemungkinan akan ada penurunan tekanan permintaan komoditas. China sendiri berisiko menjadi tua sebelum menjadi kaya, dengan beberapa perkiraan menunjukkan bahwa setengah dari populasi China akan menjadi lima puluh tahun atau lebih pada tahun 2050.
Hal ini dapat mengurangi permintaan komoditas, karena biasanya orang muda (bukan orang tua) yang mendorong konsumsi.
Namun, inilah masalah yang tak terhindarkan: perubahan komposisi yang dramatis seperti itu kemungkinan tidak akan terjadi untuk beberapa waktu. Fakta ini berarti bahwa kita menemukan diri kita di bumi pada waktu yang unik dengan tantangan luar biasa dalam mengelola dan menghadapi angin sakal kekurangan komoditas yang dihadapi dunia selama dua dekade mendatang. Saat ini kita tidak siap untuk menghadapi kemungkinan ini, namun tantangan yang kita hadapi melampaui standar hidup kita untuk kelangsungan hidup planet seperti yang kita kenal. Pertarungan ini tentang hidup atau mati.
Krisis kapitalisme akan semakin dalam, tulis Richard Wolff dalam buku “Capitalism’s Crisis Deepens: Essays on the Global Economic Meltdown” (2016). Jatuhnya kapitalisme global terburuk kedua dalam tujuh puluh lima tahun terus berlanjut, mendekati tahun kesepuluh. Apa yang disebut pemulihan sejak 2009 telah melewati 90 persen orang yang lebih rendah dan meninggalkan mereka jauh di bawah 10 persen teratas. Mereka yang memperoleh kekayaan paling banyak dalam setengah abad terakhir—orang-orang yang paling bertanggung jawab atas kehancuran itu—adalah satu-satunya yang sekarang pulih. Dana talangan pemerintah yang mereka cari dan peroleh dengan cepat di hari-hari kelam di akhir tahun 2008 menguntungkan sebagian besar bagi mereka. Kelemahan, kelambatan, dan keberpihakan pemulihan mencerminkan dan memperburuk ketimpangan ekonomi yang tumbuh. Untuk melestarikan kekayaan mereka yang terkumpul, perusahaan besar dan orang-orang yang mereka perkaya menggunakan kekuasaan yang semakin tidak demokratis atas ranah politik dan budaya masyarakat. Sasaran mereka adalah pelestarian diri dan pembesaran diri.
“Ciri-ciri kapitalisme ini adalah semua kegagalan sosial dalam hal keadilan, demokrasi, kesetaraan, kebebasan, dan kewarasan ekologis. Namun media arus utama, politisi, dan akademisi dengan gigih bertindak dan berbicara seolah-olah kapitalisme adalah sistem yang jelas “optimal” untuk dilanjutkan, diperkuat, dan dirayakan. Dengan berjalan seolah-olah kita tidak mengalami kegagalan sistemik kapitalisme, mereka menjalankan tugas ideologisnya.
Mereka juga melanjutkan seolah-olah tidak ada sistem alternatif atau alternatif tersebut tidak perlu didiskusikan dan diperdebatkan. “Masalah” kapitalisme apa yang bahkan diakui kemudian dengan cepat terkubur di bawah tumpukan komentar tentang poin-poin penting dari kebijakan fiskal dan moneter ini atau itu yang dianggap memadai untuk menyelesaikannya. Mempertanyakan sistem kapitalis, apalagi membahas perubahan sistem, tidak terpikir oleh kalangan akademisi arus utama, jurnalis, dan politisi yang mereka bina. Wacana seperti itu ditekan.”
Adakah alternatif?
“There is no alternative (“Tina”) to capitalism? tanya Wolff dengan penuh keraguan.
Apakah kita harus pasrah atau menyerah dengan kecenderungan kapitalisme yang berulang terhadap ketidaksetaraan ekstrim dan jurang semakin dalam antara pendapatan, kekayaan, dan kekuatan politik dan budaya — karena tidak ada alternatif? Dalam buku itu Wolff menegaskan tentu saja, ada alternatif; kelompok-kelompok masyarakat selalu me-lakukannya. Mereka secara sadar atau tidak, secara demokratis atau tidak mengorganisir diri dengan cara-cara alternatif untuk mengatur produksi dan distribusi barang dan jasa yang memungkinkan kehidupan individu dan sosial yang lebih baik.
“Kita yang ingin mendapatkan kembali komunitas dan koneksi saat ini melakukannya dengan kesadaran yang lebih besar tentang alternatif,” tulis Rushkoff (Team Human, 2019). “Kita tidak mengambil kolektivisme secara kebetulan, tetapi karena pilihan. Hal ini memungkinkan untuk secara sadar memanfaatkan kekuatan koneksi akar rumput, politik bottom-up, dan bisnis kooperatif — dan membangun masyarakat yang dengan sengaja tangguh dan tahan terhadap kekuatan yang akan menaklukkan kita.”
Wolff memberi teladan yang baik. Kota Arrasate-Mondragon, di wilayah Basque Spanyol merupakan markas besar Mondragon Corporation (MC), sebuah gerakan ekonomi alternatif atas organisasi produksi kapitalis. MC terdiri dari banyak koperasi yang dikelompokkan menjadi empat bidang: industri, keuangan, ritel, dan pengetahuan. Di setiap perusahaan, anggota koperasi (rata-rata 80–85 persen dari semua pekerja per perusahaan) secara kolektif memiliki dan mengarahkan perusahaan. Melalui rapat umum tahunan, para pekerja memilih dan mempekerjakan seorang direktur pelaksana dan memegang kekuasaan untuk membuat semua keputusan dasar perusahaan (apa, bagaimana, dan di mana harus memproduksi dan apa yang harus dilakukan dengan keuntungan yang diperoleh).
Karena setiap perusahaan adalah konstituen MC secara keseluruhan, para anggotanya harus berunding dan memutuskan dengan semua anggota perusahaan lainnya tentang aturan umum apa yang akan mengatur MC dan semua perusahaan konstituennya. Singkatnya, anggota-pekerja MC secara kolektif memilih, mempekerjakan, dan memecat direktur, sedangkan di perusahaan kapitalis yang terjadi sebaliknya. Salah satu aturan yang diterapkan secara kooperatif dan demokratis yang mengatur MC membatasi pekerja/anggota bergaji tertinggi untuk berpenghasilan 6,5 kali lipat dari pekerja bergaji terendah. Tidak ada yang lebih dramatis yang menunjukkan perbedaan yang membedakan ini dari organisasi perusahaan alternatif kapitalis. (Di perusahaan AS, chief executive officer dapat meng-harapkan untuk dibayar 400 kali gaji rata-rata pekerja — tarif yang telah meningkat dua puluh kali lipat sejak 1965).
MC memiliki 85.000 anggota (dari laporan tahunan 2010), aturan ekuitas pembayarannya dapat dan memang berkontribusi pada masyarakat yang lebih besar dengan persamaan pendapatan dan kekayaan yang jauh lebih besar daripada yang biasanya terjadi di masyarakat yang telah memilih organisasi perusahaan kapitalis. Lebih dari 43 persen anggota MC adalah perempuan, yang kekuasaannya sama dengan anggota laki-laki mempengaruhi hubungan gender dalam masyarakat yang berbeda dari perusahaan kapitalis.
MC menunjukkan komitmen terhadap keamanan kerja yang jarang kita temui di perusahaan kapitalis: MC beroperasi di dalam perusahaan koperasi tertentu. Anggota MC menciptakan sistem untuk memindahkan pekerja dari perusahaan yang membutuhkan lebih sedikit ke mereka yang membutuhkan lebih banyak pekerja — dengan cara yang sangat terbuka, transparan, diatur aturan dan dengan perjalanan terkait serta subsidi lainnya untuk meminimalkan kesulitan. Sistem yang berfokus pada keamanan ini telah mengubah kehidupan para pekerja, keluarga mereka, dan komunitas mereka, juga dengan cara yang unik. Aturan MC bahwa semua perusahaan harus mendapatkan input mereka dari produsen terbaik dan paling murah — apakah mereka juga perusahaan MC atau tidak — telah membuat MC tetap menjadi yang terdepan dalam teknologi baru. Demikian pula, keputusan untuk menggunakan sebagian dari pendapatan bersih setiap perusahaan anggota sebagai dana untuk penelitian dan pengembangan telah mendanai pengembangan produk baru yang mengesankan. Penelitian dan pengembangan dalam MC sekarang mempekerjakan 800 orang dengan anggaran lebih dari $75 juta. Pada 2010, 21,4 persen penjualan industri MC merupakan produk dan jasa baru yang tidak ada lima tahun sebelumnya. Selain itu, MC mendirikan dan memperluas Universitas Mondragon; itu menampung lebih dari 3.400 siswa pada tahun akademik 2009-2010, dan program gelar sesuai dengan persyaratan kerangka pendidikan tinggi Eropa. Total pendaftaran siswa di semua pusat pendidikannya pada tahun 2010 adalah 9.282.
Sebagai perusahaan terbesar di wilayah Basque, MC juga merupakan salah satu perusahaan terbesar di Spanyol (dalam hal penjualan atau pekerjaan). Jauh lebih baik daripada masa bertahan hidup sejak didirikan pada 1956, MC telah berkembang secara dramatis. Dalam perjalanannya, ia menambahkan bank koperasi, Caja Laboral (memegang simpanan hampir $ 25 miliar pada tahun 2010). Dan MC telah berkembang secara internasional, sekarang mengoperasikan lebih dari tujuh puluh tujuh bisnis di luar Spanyol. MC telah membuktikan dirinya mampu tumbuh dan berkembang sebagai alternatif untuk — dan pesaing — organisasi perusahaan kapitalis.
Menarik untuk menyimak pandangan John Holloway (2019) dalam perlawanan terhadap kapitalisme. Professor sosiologi dari the Instituto de Ciencias Sociales y Humanidades di Benemérita Universidad Autónoma de Puebla, Mexico ini yakin bahwa harapan melawan kapitalisme itu bukan pada membangun partai, bukan pada memenangkan kendali negara, sebuah institusi yang benar-benar terintegrasi ke dalam kapitalisme yang tidak bisa digunakan untuk mengatasinya.
Bagi intelektual yang telah menerbitkan Teori Marxist, the Zapatista movement dan juga pemilkiran-pemikiran tentang bentuk-bentuk baru perjuangan anti-kapitalisme ini, percaya bahwa harapan sekarang terletak pada jutaan orang dan jutaan kita yang berkata: Tidak, kami tidak akan menerima kehancuran Anda dan tambang Anda dan bendungan Anda dan senjata Anda dan perang Anda. Kami tidak akan menerima aturan uang. Kami akan melakukan berbagai hal dengan cara yang berbeda, terhubung satu sama lain dengan cara yang berbeda. Kami tidak ingin totalitas kematian Anda. Kami tidak ingin ada totalitas.
Kita telah melihat di abad yang lalu apa yang terjadi ketika satu totalitas digantikan oleh yang lain, satu penutupan digantikan oleh yang lain — tragedi komunisme yang memalukan seperti itu. Dan sekarang kita berkata Tidak. Kita melepaskan diri dari totalitas kapital-kematian dalam jutaan cara berbeda. Kami berkomunikasi, berjuang untuk menguasai bumi sebelum mereka menghancurkan sepenuhnya. Kami berjuang untuk membuka celah antara masa depan kapitalisme, yang hanya bisa berupa kematian, dan masa depan umat manusia yang masih bisa hidup.
Arundhati Roy mengungkapkan ini dengan indah: “Dunia lain tidak hanya mungkin, dia sedang dalam perjalanan…. Pada hari yang tenang, jika saya mendengarkan dengan cermat, saya dapat mendengar napasnya.”
Holloway adalah penulis beberapa buku antara lain “Change the World without Taking Power” (…), “In, Against, and Beyond Capitalism: The San Francisco Lectures (2016).” Dia juga menjadi co-editor dari buku “Beyond Crisis: After the Collapse of Institutional Hope in Greece, What? (2019)
Disamping itu semua, barangkali kita juga perlu mendengarkan apa yang dikupas oleh filosof Slavoj Zizek dalam buku “Like a Thief in Broad Daylight Power in the Era of Post-Human Capitalism” (2018). Untuk benar-benar mengubah banyak hal, seseorang harus menerima bahwa tidak ada yang benar-benar dapat diubah dalam sistem yang ada. Jean-Luc Godard menyuarakan moto, ‘Ne change rien pour que tout soit soit différent’ (‘Tidak mengubah apa pun sehingga semuanya akan berbeda’), kebalikan dari ‘Beberapa hal harus berubah agar semuanya tetap sama’. Dalam dinamika konsumeris kapitalis akhir kita dibombardir oleh produk-produk baru setiap saat, tetapi perubahan konstan ini menjadi semakin monoton. Ketika hanya revolusi diri yang konstan yang dapat mempertahankan sistem, mereka yang menolak untuk mengubah apa pun secara efektif adalah agen perubahan sejati: perubahan pada prinsip perubahan. “A change to the very principle of change.”
“Atau, dengan kata lain, perubahan sejati bukan hanya penggulingan orde lama tetapi, di atas segalanya, pembentukan orde baru. Louis Althusser pernah mengimprovisasi tipologi pemimpin revolusioner yang layak untuk klasifikasi Kierkegaard tentang manusia menjadi petugas, pembantu rumah tangga dan penyapu cerobong asap: mereka yang mengutip peribahasa, mereka yang tidak mengutip peribahasa, dan mereka yang menemukan peribahasa baru. Yang pertama adalah bajingan (pemikiran Althusser tentang Stalin), dan yang kedua adalah kaum revolusioner hebat yang pasti akan gagal (Robespierre); hanya ketiga yang memahami sifat sejati sebuah revolusi dan berhasil (Lenin, Mao). Tiga serangkai ini mencatat tiga cara berbeda untuk berhubungan dengan Yang Lain yang besar (substansi simbolis, wilayah adat istiadat tak tertulis dan kebijaksanaan yang paling baik diekspresikan dalam kebodohan peribahasa). Para bajingan hanya memasukkan kembali revolusi ke dalam tradisi ideologis bangsa mereka (bagi Stalin, Uni Soviet adalah tahap terakhir dari perkembangan progresif Rusia). ”
“Revolusioner radikal seperti Robespierre gagal karena mereka hanya memutuskan hubungan dengan masa lalu tanpa berhasil dalam upaya mereka untuk menegakkan seperangkat adat baru (ingat kegagalan terbesar dari gagasan Robespierre untuk menggantikan agama dengan kultus baru dari Yang Tertinggi). Pemimpin seperti Lenin dan Mao berhasil (setidaknya untuk beberapa waktu) karena mereka menemukan peribahasa, artinya mereka memberlakukan adat istiadat baru yang mengatur kehidupan sehari-hari. Salah satu Goldwynisme terbaik menceritakan bagaimana, setelah diberi tahu bahwa para kritikus mengeluh karena terlalu banyak klise lama dalam filmnya, Sam Goldwyn menulis memo ke departemen skenarionya: ‘Kami membutuhkan lebih banyak klise baru!’ Dia benar, dan ini adalah tugas revolusi yang paling sulit – untuk menciptakan ‘klise baru’ untuk kehidupan sehari-hari yang biasa.”
Ekonomi Donat
Selain the Mondragon Corporation yang memberi teladan alternative is possible and available, maka pada tatanan teori (dan sebagian sudah dipraktekkan di beberapa kota di Eropa) adalah Doughnut Economics.
Majalah Time Februari 2021 memuat kupasan tentang itu. Sistem kapitalisme itu berasal hanya satu mil dari toko bahan makanan. Pada 1602, di sebuah rumah di gang sempit, seorang pedagang mulai menjual saham di Perusahaan Hindia Timur Belanda (Dutch East India Company) yang baru lahir. Dengan melakukan itu, dia membuka jalan bagi penciptaan bursa saham pertama — dan ekonomi global kapitalis yang telah mengubah kehidupan di bumi.
TIME menulis bahwa pada April 2020, selama gelombang pertama COVID-19, pemerintah kota Amsterdam mengumumkan akan pulih dari krisis, dan menghindari krisis serupa di masa depan, dengan merangkul teori “ekonomi donat.”
Teori ekonomi donat ini diperkenalkan oleh Ekonom Inggris, Kate Raworth, dalam buku … (2017) yang mengritik pemikiran ekonomi abad ke-20 yang tidak lagi sesuai dengan tantangan dan kenyataan abad ke-21. Planet kita tertatih-tatih di tepi kerusakan iklim jika masih mengikuti pemikiran kadaluarsa itu.
Pemikiran kadaluarsa itu percaya bahwa kemajuan ekonomi akan mengambil bentuk yang sama, garis pertumbuhan yang terus meningkat, PDB. PDB, produk domestik bruto, itu hanyalah total biaya barang dan jasa yang dijual dalam suatu perekonomian dalam satu tahun. Konsep PDB ditemukan pada tahun 1930-an, lalu diadopsi cepat menjadi tujuan utama pembuatan kebijakan, sedemikian rupa hingga hari ini, di negara-negara terkaya dan juga diikuti oleh hampir semua negara yang ada di bumi, pemerintah berpikir bahwa solusi untuk masalah ekonomi mereka terletak pada lebih banyak pertumbuhan.
W.W. Rostow menguraikannya dalam karya klasiknya pada 1960: “The Stages of Economic Growth: A Non-Communist Manifesto.” Sampai batas mana? Kita saat ini sudah menghadapi kebangkrutan sumberdaya alam karena mengejar pertumbuhan tanpa henti. Kita perlu melakukan perubahan. “… the shift we need to make if we, humanity, are going to thrive here together this century,” kata Raworth.
Seperti diceritakan kembali oleh Raworth dalam TED, Doughnut Economics, Rostow berpendapat semua perekonomian harus melewati lima tahap pertumbuhan: pertama, masyarakat tradisional, di mana output suatu bangsa dibatasi oleh teknologi, institusi, dan pola pikirnya; tetapi kemudian itu menjadi prasyarat untuk lepas landas, berkembanglah industri perbankan, mekanisasi kerja dan keyakinan bahwa pertumbuhan diperlukan untuk mencapai martabat nasional atau kehidupan yang lebih baik bagi anak-anak; kemudian lepas landas, di mana beragam kepentingan dibangun ke dalam lembaga-lembaga ekonomi dan pertumbuhan menjadi kondisi normal; keempat adalah dorongan menuju kedewasaan di mana Anda dapat memiliki industri apa pun yang Anda inginkan, tidak peduli basis sumber daya alam Anda; dan tahap kelima dan terakhir, era konsumsi massal tinggi di mana orang dapat membeli semua barang konsumsi yang mereka inginkan, seperti sepeda dan mesin jahit – yang marak saat itu tahun 1960.
Istilah take-off adalah metafora pesawat yang tinggal landas. Bedanya kalau pesawat harus landing maka pertumbuhan ekonomi saat take off maka tidak akan pernah diizinkan untuk mendarat. Rostow membiarkan kita terbang menuju matahari terbenam dalam konsumerisme massal. “…. dan dia tahu itu,” kata Raworth. Kemudian pertanyaan selanjutnya, apa yang harus dilakukan ketika peningkatan pendapatan riil itu sendiri kehilangan daya tariknya?
Rostow tidak pernah menjawabnya, dan inilah alasannya. Saat itu tahun 1960, dia adalah penasihat calon presiden John F.Kennedy, yang mencalonkan diri dalam pemilihan dengan janji pertumbuhan lima persen, jadi tugas Rostow adalah menjaga agar pesawat itu tetap terbang, bukan untuk menanyakan apakah, bagaimana, atau kapan bisa diizinkan mendarat.
Kita saat ini tengah terbang menuju matahari terbenam konsumerisme massal lebih dari setengah abad, dengan ekonomi yang datang untuk mengharapkan, menuntut dan bergantung pada pertumbuhan tanpa akhir, karena kita secara finansial, politik dan sosial kecanduan itu. Alih-alih mengejar pertumbuhan PDB yang tak pernah ada batasnya sebagai ukuran masyarakat yang sukses, tujuan pembangunan harusnya menyesuaikan semua kehidupan manusia ke dalam apa yang disebut Raworth sebagai “titik manis” antara “landasan sosial” (the “sweet spot” between the “social foundation”), di mana setiap orang memiliki apa yang mereka butuhkan untuk menjalani kehidupan yang baik, dan “plafon lingkungan.” (Lihat Gambar 1.)
Menurut catatan Raworth, pada umumnya, orang di negara kaya hidup di atas batas atas lingkungan. Negara-negara miskin seringkali berada di bawah social foundation. Ruang di antaranya: itulah donatnya.
Gambar 1. Ekonomi Donat Memberi Landasan Sosial dan Menjaga Batas Ekologi (Sumber: TIME, Feb 2021).
Seperti apa ekonomi yang berkelanjutan dan menguntungkan secara universal? “Seperti donat,” kata ekonom Oxford Kate Raworth. Model ekonomi donat ini akan mampu membawa negara keluar dari keadaan – di mana orang-orang gagal memenuhi kebutuhan hidup – dan menciptakan ekonomi regeneratif dan distributif yang bekerja dalam batas ekologi planet.
Tantangan umat manusia di abad ke-21 sudah jelas: untuk memenuhi kebutuhan semua orang dan beragam makhluk hidup lainnya dalam planet kita agar mampu melangsungkan hidup dan berkembang bersama kelimpahan alam.
Untuk mencapai tujuan ini maka tidak akan diukur dengan metrik uang, apalagi konsep pertumbuhan ekonomi. Dibutuhkan dasbor indikator, berupa sebuah donat.
Bayangkan penggunaan sumber daya manusia memancar dari tengah. Lubang di tengah itu adalah tempat di mana orang-orang gagal memenuhi kebutuhan hidup. Mereka tidak memiliki makanan, perawatan kesehatan, pendidikan, suara politik, perumahan yang dibutuhkan setiap orang untuk kehidupan yang bermartabat dan kesempatan. Kita harus mampu membawa semua orang keluar dari lubang tengah itu, melalui social foundation, dan bergerak ke dalam donat hijaunya.
Tapi, kita tidak bisa membiarkan penggunaan sumber daya kolektif kita melampaui lingkaran luar itu, batas maksimal ekologis, karena di sana kita memberi begitu banyak tekanan pada planet yang luar biasa ini sehingga berisiko ekologis yang besar. Kerusakan iklim, pengasaman lautan, menggerogoti lubang di lapisan ozon, mendorong diri kita sendiri melampaui batas planet dari sistem pendukung kehidupan yang selama 11.000 tahun terakhir membuat bumi menjadi rumah yang baik bagi umat manusia.
Tantangan dua sisi itulah yang harus kita jaga untuk memenuhi kebutuhan semua orang di planet ini, mendorong bentuk kemajuan baru, bukan lagi garis pertumbuhan yang terus meningkat. Tetapi titik manis bagi umat manusia, berkembang dalam keseimbangan dinamis antara pondasi dan batas maksimal yang bisa dipenuhi.
Dan menurut Raworth konsep donat itu rupanya juga adalah simbol kesejahteraan di banyak budaya kunoyang mencerminkan rasa keseimbangan dinamis yang sama, dari Maori Takarangi hingga Taoist Yin Yang, simpul Buddha yang tak berujung, Spiral ganda Celtic (Lihat Gambar 3).
Jadi dapatkah kita menemukan keseimbangan dinamis ini di abad ke-21?
Kita perlu menciptakan ekonomi yang mengatasi banyak persoalan yang dihadapi manusia abad-21 ini. Kita membutuhkan ekonomi yang regeneratif dan distributif yang didesain. Kita mewarisi industri degeneratif. Kita mengambil materi bumi, membuatnya menjadi barang yang kita inginkan, menggunakannya untuk sementara, seringkali hanya sekali, dan kemudian membuangnya, dan itu mendorong kita melewati batas planet, jadi kita perlu membengkokkan arah itu, menciptakan ekonomi yang berhasil dengan dan di dalam siklus dunia kehidupan, sehingga sumber daya tidak pernah habis tetapi digunakan lagi dan lagi dan lagi. Ekonomi yang berjalan dengan sinar matahari, di mana limbah dari satu proses menjadi makanan untuk proses berikutnya (Lihat Gambar 4).
Desain regeneratif semacam ini bermunculan di mana-mana. Lebih dari seratus kota di seluruh dunia, dari Quito hingga Oslo, dari Harare hingga Hobart, telah menghasilkan lebih dari 70 persen listriknya dari matahari, angin, dan ombak. Kota-kota seperti London, Glasgow, Amsterdam memelopori desain kota sirkular, menemukan cara untuk mengubah limbah dari satu proses perkotaan menjadi makanan untuk proses berikutnya. Dan dari Tigray, Ethiopia hingga Queensland, Australia, para petani dan rimbawan meregenerasi lanskap yang dulunya tandus sehingga dipenuhi dengan kehidupan kembali. Pada bulan Juli, grup DEAL Raworth menerbitkan metodologi yang digunakan untuk menghasilkan “potret kota” yang memandu Amsterdam terhadap donat. Metode ini digunakan oleh pemerintah daerah mana pun.
Tapi selain menjadi regeneratif berdasarkan desain, ekonomi kita harus distributif berdasarkan desain, dan kita memiliki peluang yang belum pernah terjadi sebelumnya untuk mewujudkannya, karena teknologi, institusi, kekayaan terkonsentrasi, pengetahuan, dan kekuasaan abad ke-20 hanya ada di beberapa tangan. Abad ini, kita dapat merancang teknologi dan institusi kita untuk mendistribusikan kekayaan, pengetahuan dan pemberdayaan kepada banyak orang. Alih-alih energi bahan bakar fosil dan manufaktur skala besar, kami memiliki jaringan energi terbarukan, platform digital, dan pencetakan 3D. Pengendalian perusahaan atas kekayaan intelektual selama 200 tahun diubah oleh pengetahuan umum yang bersifat bottom-up, open-source, peer-to-peer. Dan perusahaan yang masih mengejar tingkat keuntungan maksimum untuk pemegang saham mereka, tiba-tiba terlihat agak ketinggalan zaman dibanding perusahaan sosial yang dirancang untuk menghasilkan berbagai bentuk manfaat/values dan membagikannya dengan orang-orang di seluruh jaringan mereka. Jika kita dapat memanfaatkan teknologi saat ini, dari AI hingga blockchain hingga Internet of Things hingga ilmu material, jika kita dapat memanfaatkannya dalam layanan desain distributif, kita dapat memastikan bahwa perawatan kesehatan, pendidikan, keuangan, energi, suara politik menjangkau dan memberdayakan mereka yang paling membutuhkannya. Desain regeneratif dan distributif menciptakan peluang luar biasa bagi ekonomi abad ke-21.
Marieke vanDoorninck, wakil walikota untuk keberlanjutan, mencoba menjadikan Amsterdam “kota donat.” Ambisi Amsterdam adalah membawa semua 872.000 penduduk ke dalam donat, memastikan setiap orang memiliki akses ke kualitas hidup yang baik, tetapi tanpa memberi tekanan lebih pada planet daripada berkelanjutan (Lihat Gambar 2).
Dipandu oleh organisasi Raworth, Donut Economics Action Lab (DEAL), kota ini memperkenalkan proyek infrastruktur besar-besaran, skema pekerjaan, dan kebijakan baru untuk kontrak pemerintah untuk tujuan itu.
Sementara itu, sekitar 400 orang dan organisasi lokal telah membentuk jaringan yang disebut Koalisi Donat Amsterdam — yang dikelola oleh Drouin — untuk menjalankan program mereka sendiri di tingkat akar rumput. Ini adalah pertama kalinya kota besar mencoba menerapkan teori donat di tingkat lokal, tetapi Amsterdam tidak sendirian.
Raworth mengatakan DEAL telah menerima banyak permintaan dari para pemimpin kota dan lainnya yang berusaha membangun masyarakat yang lebih tangguh setelah COVID-19. Mayoritas dewan kota Kopenhagen memutuskan untuk mengikuti contoh Amsterdam pada bulan Juni, seperti halnya wilayah Brussel dan kota kecil Dunedin, Selandia Baru, pada bulan September, dan Nanaimo, British Columbia, pada bulan Desember.
Di AS, Portland, Oregon, Sedang bersiap untuk meluncurkan versi donatnya sendiri, dan Austin mungkin sudah hampir ketinggalan.
Gambar 2. Sistem Ekonomi Baru Membutuhkan Kepemimpinan Baru (Sumber: TIME, Feb 2021).
Naturalis Inggris terkenal Sir David Attenborough mendedikasikan satu bab untuk donat dalam buku terbarunya, A Life on Our Planet, menyebutnya “kompas spesies kita untuk perjalanan” menuju yang berkelanjutan masa depan. “Sustainability in all things’ should be our species’ philosophy; the Doughnut Model, our compass for the journey. The challenge it sets us is simple, yet formidable: to improve the lives of people everywhere, while at the same time radically reducing our impact on the world.”
Marieke van Doorninck, wakil walikota untuk keberlanjutan dan perencanaan kota, mengatakan pandemi menambah urgensi yang membantu kota mendukung strategi baru yang berani. “Jika tujuan abad kedua puluh satu umat manusia adalah masuk ke Donat, pola pikir ekonomi apa yang akan memberi kita kesempatan terbaik untuk sampai ke sana?
Inti dari Donat: fondasi sosial kesejahteraan yang tidak boleh dilampaui oleh siapa pun, dan batas ekologis tekanan planet yang tidak boleh kita lewati. Di antara keduanya ada ruang yang aman dan adil untuk semua.”
Grafis 3. Saatnya Menggantikan Kapitalisme dengan Ekonomi Donat (Sumber: Raworth, Kate. Doughnut Economics: Seven Ways to Think Like a 21st-Century Economist. 2017). Cincin Bagian Dalam: Dua belas hal penting dalam kehidupan yang tidak boleh diabaikan oleh siapa pun dalam masyarakat; Cincin Luar: Sembilan batas ekologis sistem pendukung kehidupan di bumi yang tidak boleh dilampaui oleh manusia secara kolektif; Sweet Spot: Ruang yang aman bagi lingkungan dan secara sosial di mana umat manusia dapat berkembang
Tujuh Cara Menjadi Ekonom Abad 21
Seperti yang diuraikan dalam buku Doughnut Economics, ada tujuh cara untuk berpikir seperti ekonom abad kedua puluh satu. Fokusnya adalah menciptakan gambar baru yang menangkap prinsip-prinsip penting untuk memandu kita sekarang. Diagram dalam buku ini bertujuan untuk meringkas lompatan dari pemikiran ekonomi lama ke baru. Secara bersama-sama mereka menetapkan – secara harfiah – gambaran besar baru bagi ekonom abad kedua puluh satu: Gerakan gelombang Doughnut Economics (Lihat Gambar 5 dan 6).
Pertama, ubah tujuannya. Selama lebih dari 70 tahun ekonomi telah terpaku pada PDB, atau keluaran nasional, sebagai ukuran kemajuan utamanya. Fiksasi itu telah digunakan untuk membenarkan ketidaksetaraan yang ekstrim antara pendapatan dan kekayaan ditambah dengan kehancuran dunia kehidupan yang belum pernah terjadi sebelumnya. Untuk abad kedua puluh satu, tujuan yang jauh lebih besar dibutuhkan: memenuhi hak asasi manusia setiap orang dalam sarana planet pemberi kehidupan kita. Dan tujuan itu terangkum dalam konsep Donat. Tantangannya sekarang adalah menciptakan ekonomi – lokal hingga global – yang membantu membawa semua umat manusia ke dalam ruang Donat yang aman dan adil. Alih-alih mengejar PDB yang terus meningkat, sekarang saatnya untuk menemukan cara berkembang dengan seimbang.”
Kedua, lihat gambaran besarnya. Ilmu ekonomi arus utama menggambarkan seluruh perekonomian hanya dengan satu gambar yang sangat terbatas, diagram Aliran Melingkar. Lebih jauh lagi, keterbatasannya telah digunakan untuk memperkuat narasi neoliberal tentang efisiensi pasar, ketidakmampuan negara, mengatur rumah tangga, dan tragedi milik bersama (the tragedy of the commons). Inilah saatnya untuk menarik ekonomi baru, menanamkannya pada masyarakat dan di alam, dan diberdayakan oleh matahari. Penggambaran baru ini mengundang narasi baru – tentang kekuatan pasar, kemitraan negara, peran inti rumah tangga, dan kreativitas masyarakat. ”
Ketiga, peliharalah sifat manusia. Di jantung ekonomi abad ke-20 berdiri potret manusia ekonomi rasional: dia telah memberi tahu bahwa kita mementingkan diri sendiri, terisolasi, menghitung, tetap dalam selera, dan dominan atas alam – dan potretnya telah membentuk siapa kita nantinya. Tetapi “sifat manusia jauh lebih kaya dari ini, seperti yang diungkapkan sketsa awal potret diri kita yang baru: kita bersifat sosial, saling bergantung, mendekati, sangat cair dalam nilai, dan bergantung pada dunia yang hidup. Terlebih lagi, memang mungkin untuk memelihara sifat manusia dengan cara yang memberi kita kesempatan yang jauh lebih besar untuk masuk ke ruang Doughnut yang aman dan adil.
Keempat, pahami sistem. Persilangan ikonik dari kurva penawaran dan permintaan pasar adalah diagram pertama yang dihadapi setiap siswa ekonomi, tetapi ini berakar pada metafora keseimbangan mekanis abad kesembilan belas yang salah tempat. Titik awal yang jauh lebih cerdas untuk memahami dinamisme ekonomi adalah pemikiran sistem, yang diringkas dengan sepasang loop umpan balik sederhana. Menempatkan dinamika seperti itu di jantung ekonomi membuka banyak wawasan baru, mulai dari boom dan kehancuran pasar keuangan hingga sifat ketidaksetaraan ekonomi yang menguatkan diri dan titik kritis perubahan iklim. Sudah waktunya untuk berhenti menelusuri tuas pengontrol ekonomi yang sulit dipahami dan mulai mengelolanya sebagai sistem kompleks yang terus berkembang.
Kelima, desain untuk didistribusi. Pada abad ke-20, satu kurva sederhana – Kurva Kuznets – membisikkan pesan yang kuat tentang ketidaksetaraan: sialnya ia menjadi lebih buruk sebelum bisa menjadi lebih baik, dan pertumbuhan (pada akhirnya) akan menyamakannya. Namun, ketimpangan ternyata bukanlah kebutuhan ekonomi: ini adalah kegagalan desain. Para ekonom abad ke-21 akan menyadari bahwa ada banyak cara untuk merancang ekonomi agar jauh lebih distributif dari nilai yang mereka hasilkan – sebuah gagasan yang paling baik direpresentasikan sebagai jaringan arus (a network of flows). Ini berarti tidak hanya mendistribusikan pendapatan tetapi juga untuk mengeksplorasi cara-cara mendistribusikan kembali kekayaan, terutama kekayaan yang terletak pada pengendalian lahan, perusahaan, teknologi, pengetahuan, dan kekuatan untuk menciptakan uang.”
Keenam, mencipta untuk regenerasi. Teori ekonomi telah lama menggambarkan lingkungan ‘bersih’ sebagai barang mewah, terjangkau hanya untuk orang kaya. Pandangan ini diperkuat oleh Kurva Kuznets Lingkungan, yang sekali lagi membisikkan bahwa polusi harus menjadi lebih buruk sebelum bisa menjadi lebih baik, dan pertumbuhan akan (pada akhirnya) membersihkannya. Tetapi tidak ada hukum seperti itu: degradasi ekologi hanyalah hasil dari desain industri yang merosot. Abad ini membutuhkan pemikiran ekonomi yang melepaskan desain regeneratif untuk menciptakan ekonomi melingkar – bukan linier, dan untuk memulihkan manusia sebagai peserta penuh dalam proses siklus kehidupan di Bumi.
Ketujuh, agnostik tentang pertumbuhan. Satu diagram dalam teori ekonomi sangat berbahaya sehingga tidak pernah benar-benar digambar: jalur pertumbuhan PDB jangka panjang. Ilmu ekonomi arus utama memandang pertumbuhan ekonomi tanpa akhir sebagai suatu keharusan, tetapi tidak ada yang tumbuh selamanya dan upaya untuk melawan tren tersebut menimbulkan pertanyaan sulit di negara-negara berpenghasilan tinggi tetapi dengan pertumbuhan rendah. Mungkin tidak sulit untuk melepaskan pertumbuhan PDB sebagai tujuan ekonomi, tetapi akan jauh lebih sulit untuk mengatasi kecanduan kita terhadapnya. “Hari ini kita memiliki ekonomi yang perlu tumbuh, apakah itu membuat kita berkembang atau tidak: yang kita butuhkan adalah ekonomi yang membuat kita berkembang, apakah mereka tumbuh atau tidak. Perubahan perspektif yang radikal itu mengundang kita untuk menjadi agnostik tentang pertumbuhan, dan untuk mengeksplorasi bagaimana ekonomi yang saat ini secara finansial, politik dan sosial kecanduan pertumbuhan dapat belajar untuk hidup dengan atau tanpanya.
Diakui oleh Raworth, bahwa ketujuh cara berpikir seperti ekonom abad kedua puluh satu ini tidak menjabarkan resep kebijakan atau perbaikan kelembagaan yang spesifik. Ia tidak menjanjikan jawaban langsung apa yang harus dilakukan selanjutnya. Tetapi pengajar pada Oxford University’s Environmental Change Institute ini yakin bahwa tujuh butir itu adalah fundamental bagi cara berpikir yang sangat berbeda tentang ekonomi yang dituntut abad ini. Prinsip dan pola mereka akan membekali para pemikir ekonomi baru – dan ahli ekonomi dalam diri kita semua – untuk mulai menciptakan ekonomi yang memungkinkan semua orang di rumah untuk sejahtera.
Mengingat kecepatan, skala, dan ketidakpastian perubahan yang kita hadapi di tahun-tahun mendatang, sangatlah bodoh untuk mencoba menentukan sekarang semua kebijakan dan lembaga yang sesuai untuk masa depan: generasi pemikir dan pelaku yang akan datang akan ditempatkan jauh lebih baik. untuk bereksperimen dan menemukan apa yang berhasil karena konteksnya terus berubah. Apa yang bisa kita lakukan sekarang – dan harus dilakukan dengan baik – adalah menyatukan yang terbaik dari ide-ide yang muncul, dan dengan demikian menciptakan pola pikir ekonomi baru yang tidak pernah ditetapkan tetapi selalu berkembang. Tugas para pemikir ekonomi dalam beberapa dekade mendatang adalah menyatukan ketujuh cara berpikir ini dalam praktik, dan menambahkannya lebih banyak lagi.
Bagi Raworth yang juga asosiat senior pada Cambridge Institute for Sustainability Leadership, dan program the Economics for Transition pada Schumacher College ini percaya apa yang dilakukan adalah awal dari petualangan pemikiran ekonomi.
Grafis 4. Tujuh Cara Berpikir Seperti Ekonomi Abada ke 21
Grafis 5: Lima Desain Kunci Sifat-sifat Organisaisi
Grafis 6. Prinsip-prinsip Donat dalam Praktek
Bagi sebagian orang pertumbuhan hijau (green growth) adalah harapan. Tetapi pertumbuhan tak ada habisnya. Pertumbuhan PDB eksponensial dapat berlangsung selamanya sementara penggunaan sumber daya terus menurun. Pertumbuhan yang tidak ada batasnya akan berbahaya bagi kesehatan manusia dan bumi.
Kita membutuhkan inovasi finansial, politik dan sosial yang memungkinkan untuk mengatasi ketergantungan struktural ini pada pertumbuhan, sehingga kita dapat fokus pada perkembangan dan keseimbangan dalam batas-batas sosial dan ekologi donat, tegas Rawroth. Semua ada batasnya. Orang paling cerdik di dunia mampu mengubah batasan menjadi sumber kreativitas. Dari Mozart pada piano lima oktafnya Jimi Hendrix pada gitar enam senar miliknya, Serena Williams di lapangan tenis, batasanlah yang melepaskan potensi kita. Dan batasan donat melepaskan potensi umat manusia untuk berkembang dengan kreativitas, partisipasi, rasa memiliki, dan makna yang tak terbatas.
Indonesia perlu melakukan banyak eksperimen. Ketika kita hanya mengikuti jejak-jejak yang salah dan menjerumuskan keselamatan rakyat, maka ada baiknya untuk berhenti sejenak, menarik napas panjang dan memikirkan ulang bagaimana kita melangkah dalam situasi krisis semacam ini. Jalan yang sama terbukti tidak cukup mujarab untuk mencapai kesejahteraan. Jalan yang sama telah ditinggalkan oleh beberapa negara yang lain. Kita perlu mencari jalan baru. Mungkin Jalan Ekonomi Pancasila yang pernah diucapkan dengan lantang tetapi sesungguhnya tidak pernah diperbincangkan dengan sungguh-sungguh–apalagi menekuni untuk meniti jalan itu. Jalan baru lain telah pula ditunjukkan, ada degrowth movement, ada Circular Economy, dan Ekonomi Donat. Pengetahuan telah tersedia. Adakah niat untuk melakukan perubahan radikal?
Dengan mengutip Milton Friedman— ekonom abad ke-21 pembela utama pasar bebas—yang terkenal mengatakan “when [a] crisis occurs, the actions that are taken depend on the ideas that are lying around.” Dan Raworth adalah ekonom yang tepat untuk menilai bahwa “This is the crisis,” Katanya. “We’ve made sure our ideas are lying around.”
“It’s time for us to rise to the occasion of our own humanity. We are not perfect, by any means. But we are not alone. We are Team Human,” kata Douglas Rushkoff (Team Human, 2020).
Mampukah Donat ini mengganti kapitalisme? Jawabnya barangkali hanya pada warga dunia yang mau terus menerus membincangkannya, dari ruang-ruang tamu keluarga, pelataran-pelataran perdesaan, teras-teras perkotaan, kampus, panggung seni, keagamaan, dan seluruh sisi kehidupan, akan mampu melakukannya.
i https://www.smithsonianmag.com/history/the-history-of-the-doughnut-150405177/
ii Idem ditto
iii Lihat pada tulisan pada Sustainability 17A #8 yang mengupas soal pangan di bawah kekuasaan segelintir perusahaan-perusahaan dunia. Masing-masing diantara mereka melakukan restrukturisasi terus menerus, dan konsolidasi untuk memperkuat dominasi. Lihat tautan ini, https://re-markasia.com/sustainability-17a-8/
iv Buku Adam Buick and John Crump (The Alternative to Capitalism, 2013) banyak membahas State Capitalism and mengeksplorasi sebuah gagasan alternatif dari kapitalisme. Yang dimaksud Buick dan Crump dengan alternatif ini tidak lain adalah sosialisme. ” To talk in terms of capitalism ‘immediately being replaced
by socialism’ is not to suggest that socialism will be free of problems when it is first established. No doubt, the mess which capitalism has made of the world will ensure that there are major problems which a newly emergent socialist society will have to solve. Yet what the phrase ‘immediately being replaced by socialism’ does imply is that the solution of these problems bequeathed by capitalism will have to take place from the outset on a socialist basis (halaman 88). Diskusi lain tentang periodisasi kapitalisme bagi yang berminat, bisa dibaca Periodizing Capitalism and Capitalist Extinction. Palgrave Insights into Apocalypse Economics. Series Editor: Richard Westra (2019).
v https://en.wikipedia.org/wiki/Nancy_Fraser
vi Joseph A. Schumpeter. “Can Capitalism Survive?.” 1940.
vii Richard Wolff. “Capitalism’s Crisis Deepens: Essays on the Global Economic Meltdown” (2016).
viii https://www.mondragon-corporation.com/en/about-us/ Website yang dikunjungi pada tanggal 15 Februari 2021 memberi informasi terbaru tentang MC ini. Disebutkan MONDRAGON adalah hasil dari proyek bisnis koperasi yang diluncurkan pada tahun 1956. Misinya terangkum dalam Nilai-Nilai Perusahaannya: intercooperation, manajemen akar rumput, tanggung jawab sosial perusahaan, inovasi, organisasi demokratis, pendidikan dan transformasi sosial, antara lain. Secara organisasi, MONDRAGON dibagi menjadi empat bidang: Keuangan, Industri, Ritel, dan Pengetahuan. Saat ini terdiri dari 96 koperasi yang terpisah dan mandiri, lebih dari 81.000 orang dan 14 pusat Litbang, membentuk kelompok bisnis terkemuka di Basque Country dan kesepuluh di Spanyol. MONDRAGON adalah grup bisnis terkemuka di Basque Country dan salah satu perusahaan terbesar di Spanyol. Ini beroperasi di seluruh dunia, dengan 141 pabrik produksi di 37 negara, bisnis komersial di 53 negara, dan penjualan di lebih dari 150 negara.
ix https://www.ted.com/talks/the_ted_interview_kate_raworth_argues_that_rethinking_economics_can_save_our_planet. Lihat juga tautan ini
x https://www.kateraworth.com/about/ dan ini https://doughnuteconomics.org/about-doughnut-economics
xi Time, February 2021, Doug City ditulis oleh Ciara Nugent. https://time.com/5930093/amsterdam-doughnut-economics/ COVID-19 has the potential to massively accelerate that transformation, if governments use economic -stimulus packages to favor industries that lead us toward a more sustainable economy, and phase out those that don’t. Raworth cites Milton Friedman—the diehard free-market 20th century economist—who famously said that “when [a] crisis occurs, the actions that are taken depend on the ideas that are lying around.” In July, Raworth’s DEAL group published the methodology it used to produce the “city portrait” that is guiding Amsterdam’s embrace of the doughnut, making it available for any local government to use. “This is the crisis,” she says. “We’ve made sure our ideas are lying around.”
xii https://www.ted.com/talks/kate_raworth_a_healthy_economy_should_be_designed_to_thrive_not_grow?language=en
xiii https://www.kateraworth.com/deal/
xiv https://www.kateraworth.com
xv idem ditto
xvi idem ditto
xvii Time, February 2021, Doug City ditulis oleh Ciara Nugent. https://time.com/5930093/amsterdam-doughnut-economics/