Sustainability 17A #21
Anthropocene: Dari Domestikasi Hingga Pandemi
Dwi R. Muhtaman,
sustainability learner
Helen Pilcher bersama suaminya suatu saat tertarik dengan seekor binatang mungil yang nampak lucu. Mereka membelinya dari seorang penangkar binatang yang tertera di internet. Lalu dibawalah ke rumah mereka di Inggris selatan. Lima tahun kemudian Helen makin menyenanginya, makin akrab dan terjalin saling percaya antara binatang itu dengan Helen dan keluarga. Binatang piaraan itu menjadi bagian penting keluarga. Ia terbiasa keliaran di dalam rumah. Kadang juga tidur di ranjang yang sama dan bermain dengan anak-anaknya dengan gembira. Bayangkan, jika saja binatang itu dilepas bebas di alam liar sebagaimana asalnya dia pasti tidak akan mampu bertahan hidup. Karena selama hidupnya dia tidak pernah berburu binatang sebagai predator seperti moyang aslinya. Tidak pernah menerkam karibau di alam bebas. Barangkali dia hanya akan berkeliaran di belakang rumah dan menanti untuk masuk ke dalam rumah lagi bersama mereka. Dan menikmati makan yang dihidangkan setiap saat. Makanan istimewa yang berbeda dengan yang tersedia di alam liar aslinya.
Helen dan keluarganya memanggil binatang kesayangannya itu Higgs. Ia adalah serigala yang tampak aneh. DNA-nya telah diubah sehingga ia kurang dari setengah ukuran leluhurnya yang bebas berkeliaran. Tengkoraknya lebih kecil, moncongnya kurang tajam dan telinganya lebih rendah, tidak berdiri tegak sebagaimana serigala umumnya. Bulu kuat dan lurus telah berubah menjadi bulu ikal lembut dan berantakan. Bagi kawanan serigala bulu yang demikian tentu aneh dan memalukan. Kulitnya hitam, kecuali hidung, perut, ekor dan kakinya, yang berwarna putih. Ekornya mengibas secara ritmis ketika dia mendengar kata ‘keju’. Secara perilaku, semua jejak kelicikan serigala telah dilenyapkan. Hasilnya adalah seekor hewan yang dihilangkan dari bentuk aslinya yang liar sehingga ia menggonggong di kantong sampah dan sering menolak untuk keluar di tengah hujan. Binatang ini makin manja dengan manusia.
Dan Helen, seperti dipaparkan dalam bukunya Life Changing: How Human Altering Life on Earth (2020), bukan satu-satunya yang memiliki serigala yang dimodifikasi secara genetis. Jutaan orang, di seluruh dunia, memelihara binatang yang serupa tetapi mengenal mereka dengan nama yang berbeda.
Mereka memanggilnya anjing. Karena anjing adalah serigala yang dimodifikasi secara genetis.
Menurut Helen Pilcher ketika orang berpikir tentang modifikasi genetik (GM), mereka cenderung berpikir tentang hewan dan tumbuhan yang DNA-nya telah dipahat, direkayasa menggunakan alat genetika modern. Tetapi spesies yang dijinakkan juga pada dasarnya telah dimanipulasi secara genetika. Dari anjing jenis Dachshund kecil ke Saint Bernard besar, semua anjing diturunkan dari serigala abu-abu Eropa. Pada suatu titik di masa lalu, manusia dan serigala bertemu dan menyeberang jalan bersama, dan entah bagaimana, entah di mana, serigala mulai berubah.
Penampilannya berubah. Serigala mulai menyusut. Mantel kulitnya yang anggun dan berwibawa berubah warna dan wajahnya berubah bentuk. Perbedaan fisiologis muncul, seperti kemampuan mencerna pati dan melahirkan lebih sering. Perilakunya berubah. Pemangsa puncak yang menakutkan di alam bebas berubah dari seekor hewan yang secara aktif menjauhkan diri dari manusia menjadi satu dan begitu akrab dengan manusia, seperti Higgs, yang menjadi bagian keluarga manusia. Semua perbedaan ini didukung oleh perubahan pada kode genetik serigala. Sekarang, meskipun serigala dan anjing masih berbagi sekitar 99,5 persen dari DNA mereka, sebagian kecil yang berbeda sudah cukup untuk menginformasikan asal usul mereka yang sangat berbeda.”
Meskipun ada beberapa pandangan soal asal usul anjing, pertanyaannya mereka dari serigala yang mana?
“Serigala purba tampak memiliki hubungan yang sama dengan anjing domestik modern dan serigala modern,” demikian tulis Pilcher dalam bukunya yang mengupas sejumlah ragam evolusi binatang itu. Tetapi Pilcher tak habis pikir bagaimana ini bisa terjadi jika anjing sendiri belum berevolusi? Tim peneliti menyimpulkan bahwa serigala purba pasti hidup tepat setelah pemisahan antara nenek moyang anjing hari ini dan nenek moyang serigala modern. Ini berarti waktu terjadinya domestikasi yang lebih awal, sekitar 35.000 tahun yang lalu, dan tampaknya semakin mungkin. Pada tahun 2017, sekelompok peneliti yang berbeda menyimpulkan hal yang sama, menggunakan fosil anjing Neolitik.
Semakin banyak penelitian dilakukan, terbukti waktu terjadinya metamorfosis serigala menjadi anjing ini tampak semakin mungkin, lebih awal dari yang diperkirakan sebelumnya. Analisis genetik dan bukti fosil mengisyaratkan adanya hubungan yang dalam antara manusia dan anjing yang merentang jauh lebih lama dari yang diperkirakan sebelumnya. Ini sebelum munculnya pertanian dan masyarakat yang menetap.
Perubahan genetik tentu terjadi dalam kurun waktu yang lama.
Dengan menjinakkan dari generasi ke generasi, domestikasi pun membutuhkan waktu. Dalam kondisi laboratorium, domestikasi dapat terjadi relatif cepat. Tetapi bagi Darwin proses itu biasanya memakan waktu lebih lama. Sama seperti kita tidak dapat melihat satu spesies berevolusi menjadi spesies lain, kita juga tidak dapat menyaksikan momen ketika satwa liar berubah menjadi peliharaan. Tidak ada waktu ketika serigala tiba-tiba berhenti menjadi serigala dan mulai menjadi seekor anjing. Sebaliknya perubahan akan terjadi begitu lambat sehingga nenek moyang kita pun tidak menyadari apa yang terjadi. Tidak menyadari ada perubahan itu.
Domestikasi adalah sebuah proses dari sebuah peristiwa. Domestikasi hewan adalah sebuah jalur pada kontinum yang tidak pernah berakhir. Sebuah perjalanan, bukan tujuan. Demikianlah perjalanan manusia yang juga merupakan sebuah proses, dan kita semua tidak ada yang tahu akan berapa lama lagi manusia ini bertahan hidup. Atau akan melakukan evolusi menjadi jenis Homo yang berbeda. Homo deus?
Kita membayangkan bahwa anjing, sapi, dan ayam yang kita lihat di sekitar kita hari ini adalah puncak domestikasi. Kenyataannya, mereka masih dalam masa transisi. Makhluk hidup tidak berhenti merespons lingkungan mereka dan evolusi tidak pernah berhenti. Domestikasi hanyalah bentuk evolusi yang dipengaruhi manusia.
“Ketika bentuk-bentuk baru hewan dan tanaman mulai muncul, domestikasi mengubah dunia kita. Ini menyebabkan munculnya pertanian, perdagangan, dan kehidupan perkotaan yang tenang. Proses mengarahkan hewan dan tumbuhan menjauh dari satu lintasan evolusi, menuju lintasan lainnya. Domestikasi memiliki pengaruh besar pada jalannya sejarah manusia, namun menarik untuk berpikir bahwa proses itu tidak pernah benar-benar direncanakan atau direncanakan sebelumnya.”
Saat ini, anjing telah menjadi bagian normal dari kehidupan kita. Tetapi kemunculannya menandai momen yang menentukan dalam sejarah alam dunia kita. Anjing adalah hewan domestikasi, peliharaan pertama yang dibuat dalam sejarah perjalanan manusia. Itu adalah pertama kalinya manusia mengambil spesies dan kemudian membuatnya menjadi sesuatu yang disukai dan diinginkan sifat-sifatnya. Bagi Helen ini adalah pertama kalinya manusia merebut kendali evolusi dan mulai mengarahkan biologi makhluk hidup ke arah post-natural yang berbeda. Munculnya anjing membuka jalan bagi spesies jinak lainnya untuk mengikuti, memicu sebuah rantai sebab dan akibat yang akan mengubah dunia kita selamanya.
Menurut perkiraan terbaru, manusia modern berevolusi di Afrika sekitar 350.000 dan 260.000 tahun yang lalu, kemudian sebagian besar waktu berikutnya, kita hidup berkelana di atas bumi. Kami hidup sebagai pemburu-pengumpul, dan sepenuhnya bergantung pada hewan liar dan tanaman untuk kelangsungan hidup kami. Domestikasi mengubah semua itu. Sekitar 10.000 tahun yang lalu, setelah memelihara anjing, kami mulai menjinakkan organisme liar lainnya. Panen telah dilakukan berulang. Menabur benih biji-bijian liar, disilang-silang baik sengaja maupun tidak sengaja untuk penciptaan galur tanaman domestik yang lebih berlimpah dan lebih mudah tumbuh. Kami memelihara hewan-hewan lain, seperti domba, sapi, dan kambing, dan ketika mulai memelihara mereka, dan merawat tanaman, kami semakin terikat dengan tanah. Tanah menjadi bagian yang penting dalam proses kehidupan selanjutnya.
Cara hidup pemburu-pengumpul nomaden mulai ditinggalkan dan membuka jalan bagi kehidupan yang lebih mapan: mendirikan pemukiman, membentuk desa-desa. Karena binatang dan tanaman dapat dibiakkan, hewan peliharaan menyediakan sumber daging dan susu yang dapat diperbarui untuk makanan, dan wol serta kulit untuk pakaian. Makanan menjadi lebih berlimpah dan populasi mulai tumbuh. Pada waktunya, karena mereka dapat dimiliki dan mudah diangkut, hewan dan tumbuhan domestik kemudian menjadi sumber modal dan kekayaan, sehingga domestikasi memicu peningkatan perdagangan. Ini mendorong pengembangan teknologi baru, seperti bajak, yang semakin mempercepat kebangkitan pertanian dan seiring waktu mengarah pada perkembangan masyarakat perkotaan. Ketika kita berpikir tentang inovasi-inovasi kunci, penemuan-penemuan baru seperti Internet dan antibiotik, tidak berarti kita mengecilkan peran domestikan. Tetapi sebaliknya tidak berlebihan kalau dikatakan bahwa justru domestikasi itulah yang membantu mendorong kebangkitan peradaban, dan mengubah arah sejarah manusia.
“The world is populated mainly by humans and their domesticated animals,” tulis Yuval Noah Harari dalam buku terkenalnya “Homo Deus: A Brief History of Tomorrow” (2017). Ini tidak berlebihan. Memang di bumi ini masih ada kelompok manusia yang masih hidup dari mengumpul dan berburu. Masyarakat adat terpencil di Afrika, di Amerika Latin, di Papua Indonesia atau Mentawai, sebagian komunitas Dayak di Kalimantan tetapi hidup dengan cara alami yang mereka kuasai dengan baik. Namun sebagian besar manusia sudah beralih pada domestikasi.
“Berapa banyak serigala yang hidup hari ini di Jerman, tanah kelahiran the Grimm brothers, Little Red Riding Hood and the Big Bad Wolf? Kurang dari seratus. (Dan bahkan ini sebagian besar adalah serigala Polandia yang melintasi perbatasan dalam beberapa tahun terakhir). Sebaliknya, Jerman adalah rumah bagi 5 juta anjing peliharaan. Secara keseluruhan sekitar 200.000 serigala liar masih berkeliaran di bumi, tetapi ada lebih dari 400 juta anjing peliharaan. Dunia masih menjadi habitat bagi 40.000 singa tetapi mempunyai 600 juta kucing rumahan; 900.000 kerbau Afrika versus 1,5 miliar sapi peliharaan; 50 juta penguin dan 20 miliar ayam. Sejak 1970, meskipun kesadaran ekologis tumbuh, populasi satwa liar telah berkurang setengahnya (bukan karena kemakmuran pada 1970 sehingga lebih banyak hewan peliharaan). Pada 1980 ada 2 miliar burung liar di Eropa. Pada tahun 2009 hanya 1,6 miliar yang tersisa. Pada tahun yang sama, orang Eropa memelihara 1,9 miliar ayam untuk daging dan telur. Saat ini, lebih dari 90 persen hewan besar dunia (misalnya yang berbobot lebih dari beberapa kilogram) adalah kalau tidak manusia, ya hewan peliharaan.”
Beragam referensi menyebutkan, termasuk yang dikutip dalam Harari, para ilmuwan membagi sejarah planet kita menjadi zaman seperti Pleistosen, Pliosen, dan Miosen. Secara resmi, kita hidup di zaman Holocene. Namun mungkin lebih baik menyebut 70.000 tahun terakhir sebagai zaman Anthropocene: zaman manusia. Karena selama ribuan tahun ini, Homo sapiens menjadi agen perubahan terpenting dalam ekologi global. Ini adalah fenomena yang belum pernah terjadi sebelumnya. Sejak penampakan kehidupan, sekitar 4 miliar tahun yang lalu, tidak pernah satu spesies pun mengubah ekologi global dengan sendirinya. Meskipun tidak ada kekurangan revolusi ekologis dan peristiwa kepunahan massal, tetapi perubahan ekologi ini bukan disebabkan oleh tindakan kadal, kelelawar atau jamur tertentu. Sebaliknya, mereka disebabkan oleh kerja kekuatan alam yang kuat seperti perubahan iklim, pergerakan lempeng tektonik, letusan gunung berapi dan tabrakan asteroid.
“It’s not the end of the world, but it is the end of pre-history,” tulis Mckenzie Wark: “Molecular Red.” (2015) mengomentari dan sekaligus mengritik soal istilah anthropocene. Anthropocene adalah nama yang diberikan oleh Paul Crutzen dan yang lainnya untuk periode waktu geologis tempat planet ini muncul. Mengutip Crutzen: Sekitar 30–50 persen permukaan tanah planet ini dieksploitasi oleh manusia … Lebih dari separuh dari semua air bersih yang dapat diakses digunakan oleh umat manusia. Perikanan menghilangkan lebih dari 25 persen dari produksi utama di daerah samudera yang naik … Penggunaan energi telah meningkat enam belas kali lipat selama abad kedua puluh … Lebih banyak pupuk nitrogen diterapkan di pertanian daripada diperbaiki secara alami di semua ekosistem darat.” Wark mengritik habis teori anthropocene ini yang lebih menitikberatkan pada ide-ide geologis, ketimbang pada kenyataannya antropocene bergerak drastis justru ketika kapitalisme berjaya, buruh menjadi faktor produksi untuk merebut alam demi kepuasan nafsu produksi dan mimpi kapitalisme.
Wark mempunyai pandangan yang berbeda dan lebih politik ketimbang geologis. “Masih ada beberapa pekerjaan teori yang harus dilakukan, untuk mengubah metafora Anthropocene. Daripada “menginterogasi” Antroposen Crutzen — dan dari mana asal metafora itu? —Mungkin lebih baik melihatnya sebagai apa adanya: peretasan yang brilian. Anthropocene memperkenalkan sudut pandang industialisasi — dalam arti seluas mungkin — ke dalam geologi. Bagi Wark tantangannya adalah menemukan cara analog yang berbeda dengan pengetahuan yang lain.
Metafora baru itu misalnya #misanthropocene. Atau Jason Moore yang lebih suka dengan istilah Capitalocene, Jussi Parikka the Anthrobscene. Kate Raworth menyarankan Manthropocene. Donna Haraway menawarkan untuk menamakannya Chthulucene, versi yang lebih chthonic dari Cthulhu, monster gurita dari kisah aneh H. P. Lovecraft. “Chthulucene tidak mendekati dirinya sendiri; zona kontaknya ada di mana-mana dan terus-menerus menghasilkan sulur-sulur yang bundar.” Atau dengan slogan Cyborg International sebagai alternatif dari cara kerja Anthropocene. Wark mengakui, pada akhirnya, mungkin dengan keputusasaan yang menjengkelkan, bahwa kita tidak memiliki apa-apa selain membangun dunia hidup baru di atas reruntuhan yang lama ini. “We all know this civilization can’t last. Let’s make another.”
“Tapi Anthropocene bukan fenomena baru beberapa abad terakhir,” tulis Harari. “Sudah puluhan ribu tahun yang lalu, ketika nenek moyang Zaman Batu kita menyebar dari Afrika Timur ke empat penjuru bumi. Mereka mengubah flora dan fauna dari setiap benua dan pulau tempat mereka tinggal. Mereka membuat kepunahan semua spesies manusia lain di dunia, 90 persen dari hewan besar Australia, 75 persen dari mamalia besar Amerika dan sekitar 50 persen dari semua mamalia darat besar di planet ini – dan bahkan sebelumnya mereka menanam ladang gandum pertama, menciptakan alat logam pertama, menulis teks pertama atau membuat koin pertama.”
Namun bagi Wark beberapa orang mulai cemas bahwa hari ini kita sedang dalam bahaya besar letusan gunung berapi besar atau bertabrakan asteroid. Produser Hollywood menghasilkan miliaran dolar dari kecemasan ini. Namun dalam kenyataannya, bahayanya tipis sekali disebabkan itu. Kepunahan massal terjadi sekali setiap jutaan tahun. Ya, asteroid besar mungkin akan menghantam planet kita sekitar 100 juta tahun ke depan, tetapi itu sangat tidak mungkin terjadi Selasa depan atau tahun depan. “Alih-alih takut asteroid, kita harus takut pada diri sendiri,” cetus Wark. Manusialah dengan segala tingkah polahnya yang berlebihan telah menyiapkan kuburan masal bagi kehancurannya sendiri.
Ambil contoh terjadinya virus endemik hingga pandemik. Munculnya flu babi 2009 dan wabah SARS 2003 telah mencemaskan dunia atau penyakit menular itu. Kemudian diikuti munculnya epidemi Ebola 2014-2016. Dan kini dengan merebaknya Coronavirus, Covid-19 dengan dahsyat dalam waktu singkat dan telah menyebar pada lebih dari 170 negara dari 195 negara di dunia menyebabkan kekalutan yang luar biasa. Kota-kota dan beberapa negara harus melakukan lockdown untuk mencegak penyebaran yang masif. Mengapakah kini makin mudah muncul dan berkembang penyakit epidemik bahkan pandemik? Di beberapa negara Afrika Barat muncul jutaan belalang yang muncul tidak biasa dan menghabiskan ladang-ladang pertanian.
Apa yang terjadi dengan alam kita? Apakah virus-virus itu bagian dari proses keseimbangan alam? Apakah gangguan ekosistem global yang masif memaksa alam menciptakan caranya sendiri untuk mengatur?
Adnan I Qureshi dalam bukunya Ebola Virus Disease From Origin to Outbreak (2016) memberi pandangannya berdasarkan pengalaman dengan pandemik Ebola.
Infeksi virus Ebola sudah mulai timbull sebagai penyakit pada primata yang bukan manusia. Awalnya disebut sebagai “demam monyet hijau,” (green monkey fever) untuk menjaga keseimbangan yang baik antara jumlah primata bukan manusia dan sumber daya yang tersedia. Persaingan untuk bertahan hidup di antara primata bukan manusia ini sangat sengit dalam ekosistem hutan hujan Afrika sebagai habitat yang terus menerus rusak karena meningkatnya serbuan manusia. Maka alam melakukan eksperimen. “Alam Eksperimen” (Nature’s experiment) adalah istilah yang digunakan untuk mendefinisikan eksperimen di mana manusia tidak merencanakan penambahan/intervensi, penghapusan, atau proses modifikasi apapun. Eksperimen alam ini terjadi misalnya dari evolusi anjing peliharaan dari serigala leluhur hingga musnahnya dinosaurus.
Dalam “eksperimen” ini, bentuk agen infeksi yang kurang mematikan cenderung bertahan karena penularan membutuhkan primata yang sakit untuk bertahan cukup lama pada primata sebagai inang agen penyakit itu. Bentuk agen infeksi paling ganas adalah musuh paling berbahaya mereka sendiri dengan memusnahkan sumber kehidupan diperlukan untuk bertahan hidup.
Qureshi tak habis pikir, bertanya-tanya. Mengapa eksperimen untuk melestarikan habitat hutan hujan Afrika berlangsung sangat salah? Mengapa virus Ebola memulai pandemi di dunia yang sudah dinyatakan bebas dari virus setelah pembasmian virus cacar dan polio? Mengapa tidak ada yang bisa membuat vaksin melawan virus, berabad-abad setelah Afrika Barat mengembangkan dan mempraktikkan inokulasi cacar dan jauh sebelum masa aturan kolonial dengan menggunakan variolation? Waktu adalah satu-satunya cara untuk mengurangi kerugian besar sambil menunggu penyembuhan. Di zaman sekarang, dunia mungkin akan terus menghadapi kebangkitan virus-virus baru yang tidak bisa menghentikan perkembangannya. Kecuali melihat kembali bagaimana “Nature’s experiment” bekerja dan bagaimana pula kita bisa mengambil hikmah dari eksperimen itu untuk tetap melanjutkan perjalanan manusia pada titik batas—yang tidak ada yang tahu.
“Selama hampir 3 miliar tahun terakhir, kehidupan di Bumi dibentuk oleh kekuatan non-manusia. Evolusi cenderung terjadi secara perlahan, dengan spesies berkembang selama ribuan tahun. Kemudian datanglah seorang bolshie, primata berkaki dua yang memutuskan untuk menyebut dirinya ‘manusia’. Sejarah alam Bumi berakhir. Sebagai gantinya muncul era post-natural di mana nasib semua makhluk hidup menjadi terjalin dengan kita sendiri. Demikianlah catatan Pilcher.
Ia juga tak lupa menguraikan dengan seksama soal perjalanan manusia untuk mempelajari darimana kita berasal, bagaimana kita tengah mengubah lingkungan dan seisinya dan kemana nanti kita akan menuju, atau mungkin berlabuh untuk terakhir kalinya. Sekitar 750.000 tahun yang lalu, nenek moyang kita mulai membantai hewan besar secara sistematis. Sekitar 500.000 tahun yang lalu, mereka mencari cara untuk menempelkan titik batu yang tajam pada tongkat, dalam proses yang dikenal sebagai hafting. Dengan senjata baru tombak, kecakapan berburu mereka meningkat secara signifikan dan mangsa mereka lebih lebih mudah ditangkap. Sekitar 300.000 tahun yang lalu, spesies kita, Homo sapiens, muncul di Afrika, dan kemudian mulai menyebar ke seluruh dunia. Lima puluh ribu tahun yang lalu, kami mulai bermain dengan api. Studi dari catatan batubara dan serbuk sari menunjukkan bahwa ketika manusia purba tiba di Kalimantan dan New Guinea, mereka menggunakan api untuk membantu membersihkan tanah tersebut. Semua intervensi ini mengubah lingkungan, tetapi tidak ada yang berdampak pada apa yang akan terjadi selanjutnya.
Empat puluh ribu tahun yang lalu, ketika kita membuat serigala berubah bentuk, hubungan kita dengan lingkungan bergerak ke fase baru ketika kita mulai dengan sengaja mengubah spesies yang kita tinggali bersama. Domestikasi serigala adalah momen yang sangat penting karena ini adalah pertama kalinya manusia dengan sengaja mengubah satu jenis hewan menjadi jenis lain. Setelah serigala, spesies lain mengikuti. Kami memelihara tanaman dan membuat hewan ternak. Beberapa ratus tahun yang lalu, para petani mulai membiakkan hewan-hewan mereka secara selektif, menghasilkan benih khusus yang kami miliki saat ini. Tujuh puluh tahun yang lalu, para peternak mulai menggunakan inseminasi buatan sebagai cara untuk menyebarkan gen yang diinginkan melalui populasi hewan ternak, dan hari ini prosesnya telah menjadi lebih bernuansa oleh munculnya pengujian genetik dan kloning. Kemudian, ketika alat molekuler muncul, kami mulai merekayasa genom dengan tingkat kecanggihan yang semakin meningkat. Susunan genetik makhluk hidup sekarang dapat diubah dengan presisi, memungkinkan kita untuk lebih menyempurnakan organisme yang kita buat.
“Domestikasi adalah landasan yang memungkinkan peradaban berkembang. Spesies domestik memicu pertumbuhan kota, perdagangan, dan kehidupan menetap yang sekarang kita nikmati. Hewan dan tumbuhan yang didomestikasi memberi makan dunia. Mereka bekerja untuk kita, mereka tinggal bersama kita dan mereka memberi kita produk seperti kulit, wol, dan kapas. Kami telah menciptakan marmot berambut panjang, kelinci raksasa, dan anjing yang sangat kecil sehingga bisa muat di dalam tas tangan. Kami telah membuat ikan mas dengan sirip mewah dan burung domestik di setiap warna pelangi. Kami telah mengkloning kuda polo. Kami telah bermain-main dengan hibrida, spesies yang sengaja kawin campur untuk menghasilkan hal yang baru. Hewan telah digunakan kembali sebagai bioreaktor. Para ilmuwan telah memainkan DNA mamalia, ikan, dan lalat buah untuk membuat model penyakit hewan, meningkatkan harapan untuk pengembangan terapi baru atas suatu gangguan yang buruk.
Kami saat ini menemukan diri kami di tengah-tengah hubungan yang rumit dengan organisme yang telah kami buat. Segala sesuatunya menjadi sangat berat sebelah. Kita memiliki kecenderungan untuk memodifikasi hewan dan tumbuhan untuk keuntungan kita, alih-alih milik mereka, dan menutup mata terhadap penderitaan yang kadang bisa terjadi.”
“Ayam broiler modern mungkin gemuk, tetapi mereka berjuang untuk berdiri. Sapi perah dapat memasok kita dengan susu dalam jumlah besar, tetapi sering berakhir lumpuh. Beberapa jenis-jenis domestik sekarang sangat besar sehingga mereka tidak dapat melahirkan secara alami. Sementara itu, di rumah, kita dengan suka cita menyambut binatang peliharaan dengan masalah kesehatan bawaan yang disebabkan oleh pembiakan selektif.”
Ketika Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mengeluarkan peringatan global pada 12 Maret 2003, pneumonia atipikal yang sangat ganas dan tidak dapat dijelaskan'(unexplained atypical pneumonia) dan kemudian dikenal sebagai Severe Acute Respiratory Syndrome (SARS) dengan cepat telah melintasi lebih dari selusin perbatasan nasional. Penyakit ini awalnya muncul di Provinsi Guangdong China November tahun sebelumnya dimana ternak dan manusia hidup begitu dekat secara berdampingan (Newsweek, 5 May 2003, 28–29; Ward, 2008). Dunia melakukan sejumlah penelitian dan mengidentifikasi SARS ini sebagai ‘‘epidemi penyakit menular baru yang pertama abad ke-21, yang disebabkan oleh coronavirus baru. Virus global ini merupakan kelanjutan dari kasus-kasus baru setelah munculnya human immunodeficiency virus (HIV) pada pertengahan 1980-an, dan menjadi topik bahasan dengan frekuensi yang meningkat dalam publikasi ilmiah dan media arus utama di seluruh dunia.
Itulah yang lalu berkembang dalam wacana global sebagai apa yang disebut Princilla Ward sebagai ‘‘the outbreak narrative,’’ (Contagios: Culture, Carriers, and the Outbreak Narrative (2008). The outbreak narrative (Narasi Wabah)—dalam inkarnasi ilmiah, jurnalistik, dan fiksi— mengikuti plot formula yang dimulai dengan identifikasi suatu infeksi yang muncul, termasuk diskusi tentang jaringan global dimana wabah ini melakukan perjalanan, dan mencatat karya epidemiologis yang berakhir dengan pembatasan suatu wilayah.
Seperti dikhawatirkan oleh Qureshi, virus itu bangkit kembali dengan sosoknya yang baru. Kita sedang berhadapan dengan pandemik Covid-2019, yang asal muasalnya dari kelelawar yang juga akrab sebagai hidangan di meja makan bagi masyarakat Wuhan, Propinsi Hubei, China. Kita sejauh ini belum bisa menghentikan perkembangannya.
Binatang yang kita domestikasi dan menjadi bagian yang makin akrab dengan kita ternyata membawa segala konsekwensi yang harus kita hadapi.
Kita nampaknya makin menjauhkan diri dari dunia alami. Padahal pada kenyataannya semua makhluk hidup hanyalah ranting di pohon evolusi kusut yang sama. Kita menghirup udara yang sama dan berbagi planet yang sama. Dunia alami sangat penting bagi keberadaan kita, namun, karena tindakan kita, ia menemukan dirinya dalam bahaya. Spesies domestik telah menjadi fokus perhatian kita sejak lama, tetapi sekarang spesies domestik dan liar membutuhkan bantuan kita. Suka atau tidak, kita telah menjadi kurator planet yang kita kuasai. Ini planet kita dan tanggung jawab kita. Hidup selalu berubah, tetapi dengan manusia sebagai manusia yang berpengetahuan luas, dibimbing oleh sains, didorong oleh bukti empiris, termotivasi oleh keinginan untuk melindungi satu-satunya planet yang dapat kita tinggali – kita dapat membantu kehidupan berubah menjadi lebih baik.
Domestikasi adalah awal manusia menaklukkan bumi, dimulainya era Anthropocene. Sampai kapan?