Sustainability 17A #19
Ketika Ia Berusia Dua Tahun
Dwi R. Muhtaman,
sustainability learner
Tanggal 8 Januari 2021 ia berusia dua tahun. Pada saat lahir, 8 Januari 2019, pada sebuah pagi yang cerah, menjelang tengah hari, dari kaca jendela matahari nampak bercahaya gembira, ia tidak sendiri. Pada waktu yang bersamaan lahir pula lebih dari 395.000 bayi di seluruh dunia. Di Indonesia, tempat dia dilahirkan, lahir pula 13.256 bayi bersamaan pada hari itu, nomor lima terbanyak di dunia bayi yang lahir pada awal 2019.
Dua abad lalu, dalam proses mencapai keteraturan dan efisiensi demografis yang lebih besar, populasi manusia memulai siklus pertumbuhan yang belum pernah terjadi sebelumnya; Meskipun siklus ini telah berakhir di negara-negara kaya, siklus ini masih berlangsung di negara-negara miskin. Populasi dunia mencapai angka 1 miliar ketika mesin uap mulai merevolusi transportasi (1700); miliar kedua tercapai setelah Perang Dunia I (1918), juga karena pesawat terbang menjadi alat transportasi yang semakin umum; miliar ketiga dicapai pada awal era dirgantara (1940). Populasi penduduk bumi mencapai angka keempat dan kelima milyar tidak lagi menunggu zaman revolusioner yang lama dan hanya tercapai pada tahun 1974 dan tigabelas tahun kemudian, 1987; sebelas tahun kemudian angka enam milyar diraih pada tahun 1998, milyar ketujuh pada tahun 2012 (dalam waktu empatbelas tahun). Kemudian kini banyak ahli demografi yang yakin dan berani bertaruh bahwa kedelapan miliar akan direngkuh pada tahun 2023. Itulah yang dicatat Massimo Livi Bacci: “A Concise History of World Population” (2017).
Hingga kini ketika ia berusia dua tahun, ia memahami dunia sebagai apa yang ada di lingkup rumah sederhana orang tuanya; sebuah kamar tidur tempat bercengkerama dari pagi hingga pagi, ruang tamu tempat sejumlah mainan menemaninya belajar banyak hal, dapur dimana ia menyaksikan bunda dan ayahnya mengolah sesuatu untuk dia makan setiap pagi siang dan malam hari dan sekali waktu bermain di teras tempat kucing –binatang besar yang mulai dikenal dan bermain dengannya– hilir mudik kesana kemari. Ia belum mengerti darimana dan bagaimana semua makanan dan minuman yang dinikmati setiap hari itu berasal. Belum tahu ada berapa banyak binatang yang ada di luar sana, dan jenisnya apa saja.
Dari teras halaman depan pula ia mengenal sejumlah bunga-bunga, tanaman, burung dan pesawat terbang yang melintasi di angkasa. Ia mungkin tidak menyadari darimana udara yang dia hirup. Ia juga barangkali belum mengerti bagaimana hujan menari-nari dari langit dan membasahi tanah, jalanan dan teras rumahnya. Betapa senangnya dia menikmati hujan yang turun, laba-laba yang lincah merayap di balik korden dan disepanjang dinding atau cicak yang lincah merayap di dinding dan loteng. “Bacah, bacah,” katanya sambil sedikit menadah air hujan dan basah di tangannya yang mungil. “Kena yambut.” Jika pagi atau sore tiba ia bergembira menikmati ibak atau mandi, berkecipak dalam bak mandi. Berlama-lama bermain air dengan aneka mainan yang mandi bersamanya. Ia mungkin berpikir betapa menyenangkan air ini sehingga tidak mudah mengangkatnya dari bak mandi. Ia belum mengerti bagaimana air itu bisa tiba di situ. Di rumahnya tersedia tempat sampah. Ia mulai mengerti dimana tempat membuang sampah.
Ia mulai senang dengan buku-buku. di tempat ia bermain bertumpuk-tumpuk buku yang disediakan orang tuanya. Buku tentang tumbuhan, binatang, mobil (dia menyebutnya tayo) dan sejumlah benda-benda sehari-hari. Binatang kesayangannya adalah gajah dan hipo. Dia baru melihat gajah dan hipo yang sebenarnya ketika diajak orang tuanya berkunjung ke Taman Safari di Bogor; habitat ‘artifisial’ yang baik untuk anak-anak seperti dia. Di habitat liarnya dua satwa itu mengalami ancaman kepunahan. Rumahnya makin sempit. Makanan makin sulit.
Bagi gadis kecil itu dunia adalah rumah tempat tinggalnya. Sekali waktu keluar mengunjungi pepo dan memo (kakek dan neneknya) yang ada pada 2-3 kilometer jauhnya. Atau pergi ke rumah kinda dan ninda (sebutan pada kakek muda dan nenek muda) yang ada kota lain. Bila keluar rumah ia bergembira karena bertemu dengan banyak tayo (mobil) sambil naik tetet (mobil yang ditumpangi). Beruntung dia hidup di kota yang tidak ada kemacetan. Meski melihat banyak kendaraan dengan sukacita, ia belum menyadari bahwa kendaraan-kendaraan itu bisa menjadi masalah besar ketika dia berusia 26 tahun kemudian. Termasuk makanan dan minuman, dan juga air yang dia nikmati hari ini mungkin akan merupakan sesuatu yang berbeda pada masa mendatang.
Gadis mungil dua tahun itu bernama Rivera Alesha Quiliana, sebuah nama yang disematkan oleh orang tua milenial. Sebuah nama yang menggambarkan luasnya dunia; mengalir seperti sungai (River); anak yang diharapkan selalu beruntung dan yang dilimpahi anugrah dan dilindungi Allah SWT (arti Alesha dari kata bahasa Arab), dan menjadi manusia teguh, memiliki pendapat yang kuat dan kepribadian yang baik, menjadi teladan (makna Quiliana dalam bahasa Spanyol); orang-orang dengan nama Quiliana banyak menjadi penulis dan pembicara yang baik.
Dunianya adalah rumah dan kota tempat dia menikmati sebagian kecilnya. Baru setitik kecil di lautan kehidupan bumi. Sebuah awal yang perlahan-lahan ia akan mengerti keseluruhannya. Seperti halnya ketika ia hadir pertama kali di rumah, orang tuanya mengenalkan banyak hal yang ada di dalam rumah; benda-benda, ruang, fungsi-fungsi dan hal-hal yang yang perlu dipelajari. Di luar rumah, di bumi tempat tinggalnya yang merupakan rumahnya yang sangat luas, ia perlu mengenal banyak hal juga.
Dan ia mulai menikmati kebebasannya selama hampir 12 bulan penuh. Sebelum akhirnya dunia dikejutkan dengan wabah pagebluk, Virus Corona; benda renik yang menyelinap diam-diam menyusup melalui persaudaraan. Sebagian kebebasannya terenggut. Dunia yang kini menjadi rumahnya dan akan menjadi rumahnya selama dia hidup dalam beberapa tahun mendatang tidak sepenuhnya bisa dia nikmati. Mungkin dia tidak menyadari. Yang dia tahu apa yang dia alami dari detik ke detik, hari ke hari adalah sesuatu yang normal belaka. “Inilah dunia. Beginilah cara hidup di bumi ini. Begitulah dunia dengan apa adanya kini,” begitu pikirnya. Maka ia sudah terbiasa menyaksikan ayah bunda, pepo memo, kinda ninda dan seluruh keluarga besar yang sering bertemu, selalu mengenakan masker. Jika akan keluar rumah ia tak lupa berkata dan mengingatkan: “Pake maker, pake maker. Dede juga pake maker.” Baginya inilah cara hidup normal. Bukan lagi new normal. Tetapi itulah hal yang normal: menggunakan masker, cuci tangan dan bahkan ia tak canggung untuk menggunakan hand sanitizer.
Ia memulai hidupnya dengan suasana Covid-19. Ia mau tidak mau harus berdamai dengan itu semua. Ia harus menerima kenyataan bahwa karena kecerobohan–dalam arti apapun–generasi-generasi pendahulunya maka timbullah virus yang mematikan ini. Karena generasi pendahulu yang abai atas implikasi ‘kemajuan’ maka ia hrus menerima kondisi bumi dan lingkungannya yang seperti sekarang ini. Ia dan generasi yang lahir bersamanya tidak ada pilihan lain. Mereka tak mampu menolak.
Ia kini hidup dalam lingkungan yang extremely high risk–sebuah lingkungan hidup dan peradaban yang kita ‘ciptakan’ sejak dua abad lalu. Ini adalah salah satu karya Homo sapiens. Dan ia bersama jutaan generasi-generasi baru tidak mampu memilih. Mereka harus menerima apa yang tersedia. Dan mereka menjalani apapun bentuk, rasa, penampakan kondisi bumi yang ada, yang diwariskan, ya akhirnya memang bumi yang kita wariskan (sebab kita bukan peminjam bumi yang baik dari generasi baru dan generasi masa depan).
Namun meski begitu, kita masih mempunyai kesempatan untuk berbuat baik bagi generasi baru dan generasi mendatang.
Ia dan kawan-kawannya adalah generasi baru yang lahir dari dunia yang kita nikmati sejak bumi ini ada 4,5 milyar tahun yang lalu; kita gantungkan hidup dalam rentang seabad dua abad gegap gempita yang penuh kehebohan. Dan dia memulai hidupnya dari dunia yang kita manfaatkan dengan segala cara, hingga bentuknya seperti apa yang ada sekarang ini. Selama beberapa tahun mendatang ia hanya akan pasrah atas apa yang diterimanya. Apakah ada pilihan? Mungkin sementara ini ia sulit untuk memilih. Bumi yang ia sandarkan seluruh hidupnya kini adalah rumah yang mau tidak mau akan dia tinggali.
Dan kita kini memberikan dia rumah yang campurbaur. Hans Rosling, Ola Rosling dan Anna Rosling Rönnlund (Factfulness: Ten Reasons We’re Wrong About the World – and Why Things Are Better Than You Think” (2018) percaya dunia makin baik. Kita menikmati banyak kemajuan yang membahagiakan. Atau seperti dipercaya oleh Rutger Bregman (Humankind: A Hopeful History, 2019) pada dasarnya manusia itu adalah makhluk terbaik. Saling membantu dan penuh dengan empati. Karena itu rawatlah pikiran yang waras. Tetapi juga realistik. “Jadi realistislah. Berani. Jujurlah pada sifat Anda dan jaga trust Anda. Berbuat baik di siang hari bolong, dan jangan malu dengan kemurahan hati Anda. Anda mungkin akan dianggap mudah tertipu dan naif pada awalnya. Tapi ingat, apa yang naif hari ini mungkin menjadi akal sehat besok. Saatnya untuk realisme baru. Sudah waktunya untuk berpandangan baru tentang umat manusia.” Mari kita tetap merawat optimisme. Dan harapan.
Namun demikian kita tidak bisa pula mengabaikan sains yang mengungkap nasib buruk bumi. Dan itu makin hari makin mengkhawatirkan. Upaya-upaya dari ekosistem individual, lokal, regional hingga global telah dilakukan. Dibutuhkan berkali-kali lipat upaya itu agar mampu mengembalikan bumi menjadi rumah yang sehat dan pantas dikembalikan pada generasi-generasi selanjutnya.
Satu contoh soal keberadaan keanekaragaman spesies yang ada di bumi. Pada 1758 Carl Linnaeus, seorang profesor botani di Universitas Uppsala, Swedia, menerbitkan sistem klasifikasi yang digunakan para ahli biologi hingga saat ini. Tujuan yang dia tetapkan adalah untuk mendeskripsikan semua spesies tumbuhan dan hewan di dunia. Dengan bantuan murid-muridnya, yang melakukan perjalanan sejauh Amerika Selatan dan Jepang, Linnaeus menyumbang sekitar dua puluh ribu spesies. Pada 2009, menurut Australian Biological Resources Study, jumlahnya meningkat menjadi 1,9 juta. Sejak itu, spesies baru telah ditemukan dan diberi nama ganda formal dalam bahasa Latin (misalnya, Canis lupus untuk serigala) dengan kecepatan sekitar delapan belas ribu setahun. Jadi pada 2015 jumlah spesies yang diketahui sains melampaui dua juta.
“Namun, angka itu masih jauh dari jumlah spesies hidup yang sebenarnya. Bumi, semua ahli setuju, tetap merupakan planet yang kurang dikenal,” tulis Edward O. Wilson dalam bukunya “Half-Earth: Our Planet’s Fight for Life” (2016).
Pada 2015, tim peneliti internasional menyelesaikan analisis cermat tingkat laju diversifikasi pra-manusia. Dan ditemukan bahwa tingkat diversifikasi sepuluh kali lebih rendah dalam genera (kelompok spesies yang berkerabat dekat). Data tersebut, jika diterjemahkan menjadi kepunahan spesies, menunjukkan bahwa tingkat kepunahan spesies saat ini mendekati seribu kali lebih tinggi daripada sebelum penyebaran manusia. Perkiraan tersebut lebih konsisten dengan studi independen yang mendeteksi penurunan serupa dalam laju pembentukan spesies pada pra-manusia, serta kerabat terdekat mereka di antara kera besar (the great apes).
Peran kehadiran manusia–tentu dengan segala kegiatan yang mengalir seperti air bah–sangat besar dalam membentuk kondisi bumi seperti yang kita saksikan sekarang.
Johan Rockström, Mattias Klum, and Peter Miller dalam bukunya “Big World, Small Planet: Abundance Within Planetary Boundaries” (2015) menyatakan bahwa tidak butuh waktu lama — hanya sekitar setengah abad — laju pesat industri dan pertanian mengancam dunia seperti yang kita kenal. Sejak percepatan besar dari usaha manusia, dimulai pada pertengahan 1950-an, dampak kemanusiaan yang luas — termasuk perubahan iklim, polusi kimiawi, polusi udara, degradasi tanah dan air, kelebihan nutrisi, dan hilangnya spesies dan habitat secara besar-besaran— telah menempatkan hampir semua ekosistem utama bumi di bawah tekanan. Faktanya, kita manusia, Anthropos dalam bahasa Yunani kuno, telah menjadi sumber perubahan global yang begitu masif sehingga kita sekarang merupakan kekuatan seukuran geologis di planet ini, yang bahkan lebih luas dalam besaran dan kecepatan daripada letusan gunung berapi, lempeng tektonik, atau erosi. Dengan pengabaian yang sembrono, kita telah memperkenalkan zaman geologis kita sendiri, “Anthropocene.”
Kesaksian perjalanan hidup Sir David Attenborough menarik menjadi teladan. Sejak Attenborough masih kecil pada tahun 1937, populasi dunia telah meningkat dari 2,3 menjadi 7,8 miliar orang sementara sisa alam liar di planet ini telah menurun dari 66% menjadi hanya 35% saat ini. Anak-anak yang lahir hari ini akan menghadapi bencana hilangnya spesies pada tahun 2030-an, populasi terumbu karang dan ikan yang sekarat pada tahun 2050-an, dan krisis pertanian pada tahun 2080-an. Dengan planet kita menjadi 4°C lebih hangat pada tahun 2100-an, sebagian besar Bumi akan dihuni, menyebabkan jutaan orang kehilangan tempat tinggal, dan memulai peristiwa kepunahan global massal ke-6.
Padahal sejak abad kedua, tahun 170 Marcus Aurelius, Roman Emperor, dalam bukunya “Meditations,” Book 4, menuliskan “The entire Earth is but a point, and the place of our own habitation but a minute corner of it.” Bumi ini cuma setitik bagian dari sebuah pojok kecil yang kemudian di situlah kita tinggal.
Atau seperti yang diajarkan para astronom yang bersepakat, sirkuit seluruh bumi, yang bagi kita tampaknya tidak ada habisnya, dibandingkan dengan kebesaran alam semesta, cuma memiliki kemiripan dengan titik yang sangat kecil. Itulah yang dicatat oleh Ammianus Marcellinus Sejarawan Romawi Utama Terakhir pada tahun antara 330–395, dalam catatannya, “The Chronicle of Events.”
Apa yang bisa dibanggakan?
Benua dan samudra, dikelilingi oleh atmosfir yang kaya oksigen. Inilah yang memungkinkan bentuk kehidupan. Pernyataan bumi ini konstan adalah ilusi yang dihasilkan oleh pengalaman manusia atas waktu. Bumi dan atmosfernya terus berubah. Lempeng tektonik menggeser benua, mengangkat gunung dan menggerakkan dasar laut. Situasi ini tidak sepenuhnya dipahami punya kemampuan mengubah iklim.
Perubahan konstan seperti itu telah menjadi ciri khas Bumi sejak awal sekitar 4,5 miliar tahun yang lalu. Dari awal, panas dan gravitasi membentuk evolusi planet ini. Kekuatan ini secara bertahap berpadu dengan efek global dari munculnya kehidupan. Menjelajahi masa lalu seperti ini memberi kita satu-satunya kemungkinan untuk memahami asal usul kehidupan dan, mungkin, masa depannya.
Ilmuwan dulu percaya planet-planet berbatu itu, termasuk Bumi, Merkurius, Venus dan Mars, diciptakan karena keruntuhan cepat gravitasi awan debu, yang kemudian terjadi deflasi yang menimbulkan bola padat. Di tahun 1960-an program luar angkasa Apollo mengubah pandangan ini. Studi tentang kawah bulan mengungkapkan bahwa kawah ini disebabkan oleh benturan benda amat besar dalam jumlah besar sekitar 4,5 miliar tahun lalu. Setelah itu, jumlah dampak yang ditimbulkan dengan cepat berkurang. Pengamatan ini ditegaskan lagi kemudian dengan teori yang didalilkan oleh Otto Schmidt. Ahli geofisika Rusia ini berpendapat pada tahun 1944 bahwa planet bertambah besar secara bertahap, selangkah demi selangkah.
Menurut Howard Lee, dalam bukunya, Your Life as Planet Earth: A new way to understand the story of the Earth, its climate and our origins (2014), bumi itu dinamis lintas skala dan kerangka waktu di luar pengalaman kita sehari-hari. Bentang alam dan atmosfir kita saat ini adalah konsekuensi dari perubahan yang sedang berlangsung hingga kini, yang telah diungkapkan oleh berbagai teknik ilmiah, termasuk menggunakan gelombang gempa bumi interior bumi, hingga pengukuran yang sangat sensitif terhadap variasi kimiawinya. Data ini telah menunjukkan kepada kita bahwa tampaknya bumi yang tenang dan diam hanyalah ilusi. Planet kita telah bergerak, berubah dan berkembang sejak kelahirannya, dan terus berlanjut
hingga hari ini dan itu akan berlanjut pada masa depan.
Bahkan bumi pada dasarnya mengandung banyak kekacauan. Apalagi dalam dua abad terakhir ini, dimulai sejak revolusi industri. Kata Keith Scholey dan Alastair Fothergill dalam bukunya Our Planet (2019), ilmuwan menyebut rumah yang kacau ini sebagai Anthropocene. Ini adalah zaman di mana lebih dari 7 miliar dari kita, Homo sapiens, telah menjadi kekuatan pengubah alam. Kita telah mengeringkan sebagian besar lahan basah, menebang sebagian besar hutan, membajak sebagian besar padang rumput, membarikade sebagian besar sungai, menghilangkan ribuan spesies dari planet, menerangi kegelapan, mencairkan gletser, menaikkan permukaan laut, memperkuat badai, mengubah musim.
Selama hampir 200.000 tahun, kita berada pada belas kasihan alam. Memutuskan apakah dan bagaimana kita bertahan. Sekarang, kita akan memutuskan bagaimana alam mampu bertahan. Mempunyai segala kekuatan yang kita anggap baik – bahwa alam hanyalah wilayah yang harus dijinakkan dan dieksploitasi dalam perjalanan kita menuju penguasaan penuh atasnya. Tetapi jika kita terus seperti ini, maka alam akan membalas dendam. Kita telah membangun peradaban berbahaya. Padahal kita tetap bergantung sepenuhnya pada hal-hal yang tampaknya ingin kita buang – iklim yang stabil, tanah subur, udara yang layak untuk bernapas, dan air tersedia di mana dan kapan kita membutuhkannya. Teknologi tidak dapat menggantikan sistem pendukung kehidupan planet. Planet kita adalah rumah kita. Bukan alam yang rapuh. Kitalah yang rentan.
Kabar buruknya, Planet Bumi sekarang adalah planet kita. Dan kita manusia kalap, membunuh satwa liar dan mencemari sistem pendukung kehidupan. Meski ada kabar baiknya. Karena jika kita akhirnya menyadari bahaya yang kita hadapi, maka kita memiliki kesempatan untuk menebus diri kita sendiri – untuk memulai pemulihan besar alam di planet kita. Dan kabar terbaiknya adalah kita masih bisa melakukan itu semua. Jika ada kemauan untuk berubah.
Berdasarkan berbagai bukti ilmiah dan pragmatis, jelas bahwa kita bukanlah penghuni yang baik dari rumah kita. Cadangan pangan tidak dirawat dengan baik. Banyak perabotan rusak. Pipa saluran air tidak lagi berfungsi dengan baik dan terjadi banjir terus menerus tanpa mampu mencegahnya. Atap rumah kita berlubang menganga. Suhu udara dalam rumah tidak stabil dan sulit diperkirakan karena ada yang sembrono dengan pengatur suhu. Dan taman-taman telah dibeton. Itulah gambaran rumah kita yang makin berisiko untuk ambruk. Sementara kita semua masih perlu tumbuh dan hidup. Maka itu kita perlu merawat rumah kita dan bangga dengan rumah yang kita huni. Kita perlu bersih-bersih dengan sungguh-sungguh dan menyelesaikan semua masalah agar rumah kita bisa ditinggali dengan bahagia dan menjadi rumah bagi generasi-generasi baru yang lahir seperti bayi yang lahir Januari 2019 itu.
Dalam perjalanan mengeksplorasi alam semesta Sagan (Pale Blue Dot: A Vision of the Human Future in Space, 1994) telah menemukan keajaiban yang tak terbayangkan oleh nenek moyang kita yang pertama kali berspekulasi tentang sifat cahaya yang berkeliaran di langit malam. Kita telah menyelidiki asal mula planet dan diri kita sendiri. Dengan menemukan yang mungkin, bertatap muka dengan dunia alternatif yang kurang lebih seperti kita sendiri, sehingga mulai lebih memahami Bumi. Setiap orang dari dunia sangat menyenangkan. Tapi, sejauh yang kita tahu, mereka juga, semuanya, sunyi dan tandus. Di luar sana, tidak ada “tempat yang lebih baik.” Setidaknya sejauh ini yang kita tahu.
Selama misi robotik Viking, dimulai pada Juli 1976, Sagan menghabiskan satu tahun di Mars. Ia memeriksa bebatuan dan bukit pasir, langit merah bahkan di siang hari, lembah sungai kuno, pegunungan vulkanik yang menjulang tinggi, erosi angin yang dahsyat, dataran kutub yang berselaput, dan ada dua bulan seperti bentuk dua kentang gelap. Tidak ada tanda-tandan kehidupan. Bahkan tak ada secarik rumput pun, apalagi mikroba. Dunia ini sangat berbeda dengan yang kita miliki, yang hidup. Hidup adalah sesuatu yang jarang. Anda dapat memeriksa dengan seksama lusinan dunia dan akan menemukan bahwa hanya ada satu dunia yang mengandung kehidupan dan tumbuh dan terus bertahan. Inilah bumi tempat kita tinggal bersama.
Karena itu ada baiknya kita meneladani apa yang ditulis dan dipaparkan oleh Roman Krznaric: “The Good Ancestor: How to Think Long Term in a Short–Term World” (2020).
Seperti saran Krznaric kita perlu mengakui dosa yang telah lama kita perbuat: kita telah menjajah masa depan. Di negara-negara kaya, utamanya, memperlakukan masa depan seperti gerbang tempat kita bebas membuang kerusakan ekologis dan risiko teknologi, seolah-olah tidak ada orang di sana.
Tragisnya adalah bahwa generasi masa depan tidak ada di sini untuk menantang perampasan warisan mereka ini. Mereka tidak bisa protes atau melakukan aksi duduk seperti aktivis hak-hak sipil atau pergi ke pusat kekuaasaan atau ke kantor pusat perusahaan multinasional untuk menentang penindas kolonial mereka seperti Mahatma Gandhi. Mereka tidak diberi hak atau perwakilan politik; mereka tidak memiliki pengaruh di pasar. Mayoritas besar generasi masa depan yang diam dan tidak berdaya.
Ini adalah sebuah ketidakadilan. Bayangkanlah: Ada 7,7 miliar orang yang hidup saat ini. Itu hanya sebagian kecil dari perkiraan 100 miliar orang yang telah hidup dan mati selama 50.000 tahun terakhir. Tapi keduanya jauh kalah jumlah dengan hampir tujuh triliun orang yang akan lahir dalam 50.000 tahun mendatang, dengan asumsi tingkat kelahiran saat ini stabil. Dalam dua abad mendatang saja, puluhan miliar orang akan lahir, di antaranya, semua cucu Anda, dan cucu mereka, serta teman dan komunitas yang mereka andalkan. Bagaimana semua generasi mendatang ini akan melihat ke belakang pada kita dan warisan yang kita tinggalkan untuk mereka?
Bagi Krznaric–dan juga saya bersepakat dengannya, mungkin juga sebagian dari Anda kalau tidak sebagian besar– kita jelas mewarisi warisan luar biasa dari nenek moyang yang sama: anugerah revolusi pertanian, penemuan medis, dan kota-kota tempat kita masih tinggal. Tapi kita pasti juga mewarisi warisan yang merusak. Warisan perbudakan dan kolonialisme dan rasisme menciptakan ketidakadilan yang mendalam yang sekarang harus diperbaiki. Warisan ekonomi yang secara struktural kecanduan bahan bakar fosil dan pertumbuhan tanpa akhir yang sekarang harus diubah. Jadi bagaimana kita bisa menjadi nenek moyang yang baik yang layak didapatkan oleh generasi mendatang?
Nah, selama dekade terakhir, menurut Krznaric, seorang social philosopher, gerakan global telah mulai muncul dari orang-orang yang berkomitmen untuk mendekolonisasi masa depan dan memperluas cakrawala waktu ke arah yang lebih lama, jauh ke depan. Gerakan ini masih terfragmentasi dan belum memiliki nama. Krznaric menyebutnya time rebels, pemberontak waktu. Gagasan ini ditemukan dalam visioner Jepang, Future Design Movement (gerakan Desain Masa Depan), yang bertujuan untuk mengatasi siklus jangka pendek yang mendominasi politik dengan mengambil prinsip pengambilan keputusan generasi ketujuh yang dipraktikkan oleh banyak komunitas Pribumi Amerika.
Future Design, menurut Krznaric, mengumpulkan penduduk untuk menyusun dan mendiskusikan rencana kota dan kota tempat mereka tinggal. Separuh dari kelompok tersebut diberi tahu bahwa mereka adalah penduduk dari masa sekarang. Separuh lainnya diberi jubah seremonial untuk dipakai dan disuruh membayangkan diri mereka sebagai penduduk dari tahun 2060. Ternyata, penduduk dari tahun 2060 secara sistematis menganjurkan rencana kota yang jauh lebih transformatif, dari investasi perawatan kesehatan hingga aksi perubahan iklim. Dan bentuk inovatif pertemuan warga masa depan ini sekarang menyebar ke seluruh Jepang dari kota-kota kecil seperti Yahaba hingga kota-kota besar seperti Kyoto. Bagaimana jika Future Design diadopsi oleh kota-kota di seluruh dunia untuk merevitalisasi pengambilan keputusan yang demokratis dan memperluas visi mereka jauh melampaui sekarang? Sebuah gagasa liar yang sangat digandrungi Krznaric.
Sekarang, time rebels juga telah dibawa ke pengadilan untuk menjamin hak-hak orang di masa depan. Organisasi Our Children’s Trust telah mengajukan kasus penting terhadap Pemerintah AS atas nama 21 anak muda yang berkampanye untuk hak hukum atas iklim yang aman dan suasana yang sehat untuk generasi sekarang dan masa depan. Perjuangan David versus Goliath mereka telah menginspirasi tuntutan hukum di seluruh dunia dari Kolombia dan Pakistan hingga Uganda dan Belanda. Dan gelombang aktivisme ini tumbuh seiring dengan gerakan untuk memberikan status hukum kepada alam, dari Sungai Whanganui di Aotearoa, Selandia Baru hingga Sungai Gangga dan Yamuna di India.
Time rebels bahkan melangkah lebih jauh. Mereka menggunakan kotak suara dalam pemilihan umum. Pada 2019, kaum remaja di seluruh Eropa mulai melobi orang tua dan kakek nenek mereka untuk memberikan suara mereka dalam pemilihan parlemen Eropa tahun itu. Tagar #givethekidsyourvote menjadi viral di media sosial dan disebarkan oleh para juru kampanye iklim hingga ke Australia. Para orang tua mendengarkan suara mereka dan mengikuti dengan memilih calon-calon sesuai yang disarankan anak-anak muda itu.
Pemberontakan untuk masa depan telah dimulai. Pemberontak yang bangkit untuk mendekolonisasi masa depan dengan mendirikan gerakan global untuk pemikiran jangka panjang dan keadilan antargenerasi yang mungkin berubah menjadi salah satu gerakan politik paling kuat di abad ini. Mereka menginspirasi kita untuk memperpanjang cakrawala waktu kita dari detik dan menit menjadi beberapa dekade dan lebih jauh lagi.
Katie Paterson adalah seorang seniman yang menginisiasi Future Library Project. Project dibuat seabad (2014-2114). Setiap tahun, seorang penulis terkenal menyumbangkan sebuah buku yang sama sekali belum dibaca sampai tahun 2114 ketika seluruh koleksinya akan dicetak di atas kertas yang terbuat dari hutan pohon yang ditanam untuk tujuan ini. Svalbard Global Seed Vault menetapkan visinya lebih jauh, menampung jutaan benih di bunker batu yang tidak bisa dihancurkan di Lingkaran Arktik yang dirancang untuk bertahan 1.000 tahun. Tapi bagaimana kita bisa benar-benar berpikir dan membuat rencana dalam skala ribuan tahun?
Jawabannya, seperti dipaparkan Krznaric, mungkin adalah rahasia utama untuk menjadi pemberontak waktu, dan itu datang dari perancang biomimikri Janine Benyus, yang menyarankan agar kita belajar dari 3,8 miliar tahun evolusi alam. Bagaimana spesies lain dapat belajar bertahan dan berkembang selama 10.000 generasi atau lebih? Caranya sederhana, yakni dengan menjaga tempat yang akan merawat keturunan mereka, dengan hidup di dalam ekosistem tempat mereka tertanam, dengan mengetahui untuk tidak mencemari sarang, yang telah dilakukan manusia dengan efek yang menghancurkan selamanya–meningkatkan kecepatan dan skala selama abad terakhir.
Jadi titik awal yang sangat dalam bagi pemberontak waktu di mana pun adalah dengan berfokus tidak hanya pada perpanjangan waktu tetapi pada tempat regenerasi. Kita harus memulihkan dan memperbaiki serta merawat rumah planet yang akan merawat keturunan kita. Untuk anak-anak kita, dan anak-anak dari anak-anak kita, dan semua yang akan datang, kita harus jatuh cinta pada sungai dan gunung, dengan lapisan es dan sabana, dan terhubung kembali dengan siklus alam yang panjang dan memberi kehidupan.
Inilah kita di Bumi. Dan kehidupan di Bumi adalah hal yang luar biasa. Bumi terlihat besar, tapi ada banyak manusia di sini. Data terakhir bumi kita telah dihuni oleh sekitar 7.5 miliar orang. Dan setiap hari lahir manusia-manusia baru. Meski begitu, sejauh ini masih cukup untuk semua orang, jika semua berbagi secukupnya. Maka, berbaiklah untuk menggunakan sumberdaya alam yang ada. Gunakan dengan bijak.
Jika Bumi adalah satu-satunya tempat tinggal kita, sebenarnya bumi ini adalah tempat paling sedikit sepinya di alam semesta. Kita ini bumi yang paling berisik. Ada banyak orang untuk dicintai dan banyak orang mencintai. Kita saling membutuhkan. “When you think of it another way, if Earth is the only place where people live, it’s actually the least lonely place in the universe. There are plenty of people to be loved by and plenty of people to love. We need each other. We know that now, more than ever,” kata Oliver Jeffers, seorang seniman, ilustrator, dan penulis dari Irlandia Utara yang sekarang tinggal dan bekerja di Brooklyn.
Rivera dan ribuan hingga jutaan kawan-kawannya akan belajar bagaimana Severn Cullis-Suzuki, seorang gadis cilik yang pada usia 12 tahun telah tampil berbicara selama lima menit pada the UN’s Earth Summit in Rio de Janeiro. Atau Greta Thunberg bersama-sama kawan-kawan memimpin demonstrasi dan menuntut generasi pendahulunya agar mengembalikan hak-hak sumberdaya alam yang terbaik untuk generasinya dan generasi mendatang. Dengan caranya sendiri Rivera akan tampil ke depan dan mengambil peran untuk memastikan bumi miliknya dan milik generasi-generasi mendatang menjadi rumah yang pantas dan membahagiakan. Dan ia tampil juga dengan beban besar di punggung: utang 20,5 juta yang ditanggung tiap warga negara Indonesia.
Let us all become time rebels and be inspired by the beautiful Mohawk blessing spoken when a child is born: “Thank you, Earth. You know the way.”
i Tepat pada tanggal 1 Januari 2019 tercatat lebih dari 395.000 bayi yang lahir di seluruh dunia. Jadi kalau tanggal kelahiran 8 Januari 2019 maka maka sudah jauh dari angka itu. Daftar lengkap jumlah bayi terbanyak yang lahir adalah 1. India — 69,944; 2. China — 44,940; 3. Nigeria — 25,685; 4. Pakistan — 15,112; 5. Indonesia — 13,256; 6. The United States of America — 11,086; 7. The Democratic Republic of Congo — 10,053; 8. Bangladesh — 8,428: https://www.unicef.org/press-releases/new-years-babies-over-395000-children-will-be-born-worldwide-new-years-day-unicef
ii Salah satu sumber yang bisa dibaca misalnya pada tautan ini: https://blogs.ei.columbia.edu/2020/11/24/covid-19-biodiversity-loss-pandemics/
Faktor-faktor seperti peningkatan kontak dengan satwa liar dan perusakan lingkungan menciptakan kondisi yang cukup untuk munculnya dan penyebaran penyakit seperti COVID-19. Pemulihkan kerusakan yang telah terjadi membutuhkan waktu. Namun kita dapat mengambil tindakan untuk mencegah bencana ini berulang. Penting juga untuk mempertimbangkan ketimpangan yang parah mengenai siapa yang paling rentan tertular penyakit yang diakibatkan oleh tekanan manusia pada keanekaragaman hayati. Misalnya, orang yang tinggal atau bekerja di lahan pertanian di Asia Tenggara rata-rata 1,74 kali lebih mungkin untuk terinfeksi patogen seperti cacing tambang, malaria, dan scrub typhus. Peningkatan paparan ini disebabkan oleh penggundulan hutan dan gangguan habitat akibat kelapa sawit, karet, dan peternakan. Individu yang memiliki sedikit sumber daya untuk memerangi penyakit biasanya mereka yang paling rentan, terutama ketika perusahaan besar menjadi aktor dan katalisator kerusakan lingkungan ini.
iii “So be realistic. Be courageous. Be true to your nature and offer your trust. Do good in broad daylight, and don’t be ashamed of your generosity. You may be dismissed as gullible and naive at first. But remember, what’s naive today may be common sense tomorrow. It’s time for a new realism. It’s time for a new view of humankind.” Rutger Bregman: Humankind: A Hopeful History (2019).
iv Soal anthropocene bisa dibaca antara lain buku berjudul “The Anthropocene Disruption” yang ditulis oleh Robert William Sandford (2019).
v https://4thgeneration.energy/biodiversity-and-chernobyl-a-review-of-david-attenboroughs-a-life-on-our-planet/
vi Carl Edward Sagan. “Pale Blue Dot: A Vision of the Human Future in Space.” 1994.
vii idem ditto
viii Our Ever Changing Earth, Special Edition SCIENTIFIC AMERICAN, INC. 2005
ix Claude J. Allègre and Stephen H. Schneider, the Evolution of Earth. Our Ever Changing Earth, Special Edition SCIENTIFIC AMERICAN, INC. 2005
x Di pulau Flores, Indonesia, penduduk desa telah lama menceritakan kisah tentang makhluk berjalan tegak yang mungil makhluk, nafsu makan rakus, dan ucapan lembut bergumam. Mereka menyebutnya ebu gogo, “nenek yang makan apa saja”. Dugaan terbaik para ilmuwan adalah bahwa monyet kera mengilhami cerita rakyat ebu gogo. Namun pada Oktober 2004 menjadi terungkap. Tim peneliti Australia dan Indonesia menggali sebuah gua di Flores mengungkap sisa-sisa manusia lilliput — yang tingginya hampir satu meter — jenis homo yang hidup sekitar 12.000 tahun yang lalu. Hasil penemuan itu mengejutkan komunitas paleoantropologi. Homo sapiens sendiri seharusnya merupakan penghuni planet ini selama 25 milenium terakhir, tidak ada makhluk manusia lain setelah punahnya Neanderthal di Eropa dan Homo erectus di Asia. Namun, hominid yang kecil ini hanya diketahui dari fosil australopithecus (Lucy dan sejenisnya) yang hidup hampir tiga juta tahun yang lalu—jauh sebelum munculnya H. sapiens. Tidak ada yang memprediksikan bahwa spesies kita sendiri memiliki bentuk sekecil mungkin dan terlihat primitif seperti si kecil Flores. Tidak juga ada yang menyangka kalau makhluk dengan tengkorak seukuran jeruk bali mungkin memiliki kemampuan kognitif yang sebanding dengan manusia modern secara anatomis. Spesies baru ini disebut Homo floresiensis. Temuan ini ditulis oleh Kate Wong The Littlest Human, A spectacular find in Indonesia reveals that a strikingly different hominid shared the earth with our kind in the not so distant past. Dimuat pada Scientific American, Special Edition: Becoming Human, 2006.
xi Keith Scholey dan Alastair Fothergill dalam bukunya Our Planet (2019).
xii Carl Edward Sagan. “Pale Blue Dot: A Vision of the Human Future in Space.” Apple Books. 1994.
xiii Pemaparan Roman Krznaric tentang A Good Achestor ini juga bisa disimak pada TEDTalk pada tautan ini https://www.ted.com/talks/roman_krznaric_how_to_be_a_good_ancestor
xiv Bacaan lebih lanjut tentang Future Design Movement bisa dirujuk pada tautan ini: https://www.thealternative.org.uk/dailyalternative/2020/10/25/future-design-japan-time-rebels; Gagasan lebih jauh Roman Krznaric tentang Time Rebellion dan Future Design Movement juga bisa dinikmati pada blog artikel dia di sini: https://www.involve.org.uk/resources/blog/opinion/does-democracy-need-time-rebellion
xv https://www.thealternative.org.uk/dailyalternative/2019/3/24/a-politics-for-future-generations?rq=future%20design%20japan
xvi Future Library Project dibawah Future Library Trust bertujuan untuk memilih dan mengundang penulis, dan dengan passionnya mempertahankan karya seni tersebut untuk disimpan selama seratus tahun lamanya. Para penyantun Future Library Trust termasuk seniman Katie Paterson. Para penulis dipilih atas kontribusinya yang luar biasa pada sastra dan puisi dan atas kemampuan karya mereka untuk menangkap imajinasi generasi saat ini dan yang akan datang. Kata kunci dalam proses seleksi adalah “imajinasi” dan “waktu”. The Trust mengundang seratus penulis terkemuka dari berbagai negara atau usia untuk menyumbangkan karya dalam genre atau bahasa apa pun. Panjang karya sepenuhnya menjadi keputusan penulis.
xvii Seniman di balik Future Library ini adalah Katie Paterson (lahir 1981, Skotlandia) yang secara luas dikenal sebagai salah satu seniman terkemuka di generasinya. Berkolaborasi dengan ilmuwan dan peneliti di seluruh dunia, proyek Future Library ini mempertimbangkan tempat kita di bumi dalam konteks waktu dan perubahan geologis. Karya seninya memanfaatkan teknologi canggih dan keahlian khusus untuk menampilkan interaksi yang intim, puitis, dan filosofis antara manusia dan lingkungan alaminya. Menggabungkan kepekaan romantis dengan pendekatan berbasis penelitian, ketelitian konseptual, dan presentasi minimalis yang keren, karyanya meruntuhkan jarak antara pemirsa dan tepi terjauh waktu dan kosmos.
xviii Katie Paterson telah menyiarkan suara gletser yang mencair secara langsung, memetakan semua bintang mati, menyusun arsip slide kegelapan dari kedalaman Alam Semesta, membuat bola lampu untuk mensimulasikan pengalaman cahaya bulan, dan mengirim meteorit ulang kembali ke luar angkasa. . Lokasi penyimpanan Future Library ini di Nordmarka, sebuah kawasan hutan di utara Oslo. Pohon cemara Norwegia (Picea abies), birch (Betula pubescens) dan pinus (Pinus sylvestris) tumbuh subur di daerah ini, yang dilindungi oleh kota dari ancaman perluasan kota. Dengan bimbingan para rimbawan dari Badan Lingkungan Perkotaan yang telah merawat lahan ini selama lebih dari seratus tahun, Katie Paterson menanam seribu pohon cemara Norwegia pada Mei 2014. Sejumlah pohon cemara, birch dan cemara yang ada tetap berada di hutan, hingga membiarkannya beregenerasi dari bank benihnya sendiri. Pengunjung dapat mengunjungi hutan Future Library, yang terletak 30 menit berjalan kaki dari Stasiun Frognerseteren, Oslo.
xix https://www.futurelibrary.no
xx https://www.ted.com/talks/oliver_jeffers_an_ode_to_living_on_earth
xxii https://ekonomi.bisnis.com/read/20201020/9/1307331/1-tahun-jokowi-maruf-amin-ekonom-tiap-warga-negara-dibebani-utang-rp205-juta
xxiii https://www.ted.com/talks/roman_krznaric_how_to_be_a_good_ancestor