Sustainability 17A #11
Family Dinner dan Pertanian di Era Digital
Dwi R. Muhtaman,
sustainability learner
Namanya Erin Baumgartner. Antara 2014-2017 Erin adalah Asisten Direktur pada MIT Senseable City Lab (SCL) di Cambridge, Massachusetts. Erin bertanggung jawab atas kepemimpinan strategis dan operasional di SCL, sebuah kelompok penelitian multi-disiplin yang terdiri dari 40 orang. Tanggung jawab utamanya berkisar pada pengembangan dan pemeliharaan kemitraan antara SCL dan kota-kota, perusahaan dan yayasan yang mendukung agenda penelitian SCL.
The Senseable City Lab melakukan penelitian bagaimana teknologi digital mengubah cara hidup orang dan implikasinya pada skala perkotaan. Lab ini mengacu pada berbagai bidang seperti perencanaan kota, desain, dan teknik untuk menganalisis kota melalui lensa aplikasi Big Data dan IoT. Diantara mitra Lab adalah sekelompok perusahaan termasuk; Uber, Audi dan Philips, serta kota-kota seperti; Amsterdam, Singapura, Dubai dan Dallas. Entitas-entitas ini, bersama dengan lusinan lainnya, merupakan portofolio penelitian jutaan dolar per tahun.
Penelitian SCL berfokus pada mempelajari dan memprediksi bagaimana teknologi digital mengubah cara kita mendeskripsikan, mendesain, dan menempati kota. Elemen komputasi yang saling berhubungan semakin memenuhi lingkungan binaan (baik perangkat seluler skala kecil, atau mikroprosesor infrastruktur skala besar). Kondisi baru ini memungkinkan kita merancang teknologi yang bisa berfungsi sebagai penghubung antara manusia dan kota. Proyek yang dilakukan di lab dimaksudkan untuk membantu kita mempelajari bagaimana kota digunakan dan dengan demikian memanfaatkan sumberdaya mereka dengan lebih baik dan meningkatkan desainnya.
Peneliti SCL berasal dari berbagai disiplin ilmu seperti fisika, arsitektur, tata kota, seni, teknik kelistrikan, dan ilmu komputer. Hal ini memungkinkan melakukan pengembangan teknologi dengan penekanan pada perilaku serta fungsionalitas dan bentuk, dan mengevaluasi desain dalam hal emosi dan penggunaan.
Keahlian dan interaksi yang mendalam tentang mahadata (big data), IoT dan segala segi komputasi, kesigapannya membangun kemitraan bisnis antara industri dan akademia, itulah yang justru membawa Erin terjun ke dunia makanan. Lho kok bisa?
Erin adalah pecinta makanan. Pada awal tahun 2017 selepas bekerja di SCL itu ia mendirikan ‘dapur’ “Family Dinner.” Misinya menciptakan komunitas seputar makanan lokal dan orang-orang yang menanamnya. Family Dinner dimulai dengan mengantarkan makanan olahannya dengan bahan-bahan yang berasal dari petani-petani kecil di sekitar kepada 5 temannya yang sangat sabar dan suportif. Petani-petani kecil itu bersedia memasok produksi mereka setiap minggu dengan jumlah kecil sesuai pesanan. Family Dinner dikerjakan dari apartemen Erin bersama suaminya. Mereka menjelajahi lahan-lahan pertanian dan pasar lokal untuk menemukan bahan-bahan yang menarik, mengemasnya dan mengirimkannya kepada teman-teman yang bersemangat, mengapresiasi apa yang diantarkan di depan pintu mereka.
Pada Musim Gugur 2017, Family Dinner bergabung dengan Foundation Kitchen, ruang kerja kuliner bersama di Somerville, Massachusetts. Family Dinner sekarang melayani lebih dari 500 keluarga di wilayah Greater Boston dan bekerja dengan lebih dari 30 pertanian lokal, petani dan pemasok.
Bagi Erin, sistem pangan nasional sudah berantakan dan boros. Untuk mendapatkan sebutir telur di meja makan, Anda harus pergi ke grocery store yang lokasinya beberapa kilometer. Telur itu diproduksi di lokasi yang lebih jauh lagi yang dikelola oleh korporasi. Dibutuhkan banyak biaya untuk memproduksi dan mengangkutnya hingga tiba di meja Anda. Hampir semua bahan pangan kita seperti itu.
Untuk mewujudkan bisnis makanan yang sustainable dan melakukan disrupsi terhadap sistem pangan saat ini, ia menggunakan data analitik, otomasi, dan teknologi untuk membangun jaringan pertanian lokal yang terdistribusi dan untuk membuat perbaikan pada sistem pangan. Jadi apa yang dilakukan pada konsep Family Dinner adalah teknik dan misi yang serupa yang dilakukan pada pekerjaan di lab MIT.
Darimana dimulai? Bagi Erin, sistem pangan nasional (Amerika, dan sebetulnya juga mencerminkan hal yang serupa di negara-negara lain di dunia) saat ini dioptimalkan hanya untuk satu hal: keuntungan korporasi. Alasan paling kuat bagi perusahaan makanan untuk berdiri bukanlah untuk memberi makan orang-orang yang lapar, dan membutuhkan. Bukan pula untuk membuat makanan yang rasanya enak. Tetapi yang paling penting adalah untung. Dan itu memiliki efek merugikan di semua tingkat sistem pangan kita. Antibiotik dan pestisida yang dimasukkan ke dalam makanan dan merusak kesehatan kita. Tekanan harga memaksa pertanian kecil gulung tikar. Faktanya, banyak hal yang Anda pikirkan tentang pertanian tidak ada lagi. Peternakan tidak terlihat seperti peternakan, mereka terlihat seperti pabrik. Dan pada akhirnya, kualitas makanan yang kita makan juga sangat terganggu. Tomat dari pabrik-pertanian mungkin terlihat seperti tomat biasa: bagian luarnya berwarna merah cerah … Tetapi ketika Anda menggigitnya, rasa dan teksturnya akan membuat Anda tidak berselera.
Tragedi terbesar dalam sistem pangan global kita adalah antara 30 dan 40 persen makanan ini terbuang begitu saja … dibuang. Atau setara dengan 1,6 miliar ton. Itu berarti 1,2 triliun dolar setahun untuk makanan yang terbuang. FAO memberi kategori Food loss dan food waste yang kini menjadi masalah global serius. Food loss is the decrease in the quantity or quality of food resulting from decisions and actions by food suppliers in the chain, excluding retailers, food service providers and consumers (SOFA, 2019) atau bahan pangan atau produk pangan yang berkurang pada saat setelah panen hingga sebelum masuk ke toko-toko penjualan. Dan food waste refers to the decrease in the quantity or quality of food resulting from decisions and actions by retailers, food service providers and consumers (SOFA, 2019) atau pangan yang berkurang atau terbuang setelah proses penjualan hingga konsumsi. Indonesia salah satu negara dengan food waste tertinggi di dunia. Karena itulah ada Sustainable Development Goals #12. SDG 12 Responsible Production and Consumption memberi target: the Target 12.3: By 2030 halve per capita global food waste at the retail and consumer levels and reduce food losses along production and supply chains, including post-harvest losses–sebuah target yang ambisius dan itu harus dilakukan agar tujuan pembangunan yang berkelanjutan bisa dicapai.
Food losses (limbah produksi pertanian) terjadi ketika Anda tidak mengambil kentang yang bentuknya tidak karuan. Anda hanya memanen kentang yang paling seksi. Itulah standar industri. Mulai dari lahan pertanian di gudang, di toko grosir. Bentuk, tekstur dan warna yang tidak seksi akan dibuang dalam kantong sampah. Termasuk juga di meja dapur kita sendiri. Ketika kita menentukan pisang dengan kulit yang berbintik coklat yang tidak rata maka sertamerta kita nilai tidak lagi enak. Itulah pemborosan yang terjadi. Makanan ditanam, dirawat, dipanen, dikirim, dan kemudian dibuang begitu saja.
Erin bersama tim kecil Family Dinner mencari cara yang lebih baik untuk menyajikan makanan tanpa membuang apapun.
Bagaimana mereka bisa melakukannya? Bagaimana membuat sistem yang lebih baik? Untuk melakukan ini, pertama dengan menghilangkan limbah dalam rantai pasokan makanan. Mereka perlu mendapatkan data dari tangan petani, sehingga mereka dapat membuat prediksi yang lebih baik. Sehingga efisien dan dengan begitu mampu bersaing dengan korporasi. Dan pada akhirnya, tentu, kualitas dan rasa di atas segalanya, sehingga orang benar-benar menghargai makanan lezat di piring mereka. Itulah yang diyakini Erin sebagai sistem yang lebih baik. Cara yang lebih baik. Dan jalan menuju cara yang lebih baik itu adalah dengan data. Inilah jaman pertanian dan penyajian produk pertanian from farm to table di era digital. Disrupsi terhadap kekuatan dan kekuasaan aktor-aktor pertanian korporasi.
Bayangkan kisah tentang dua buah tomat, cerita Erin pada TEDX January 2019. Tomat berisi gambaran yang indah tentang segala hal yang mungkin ingin Anda ketahui tentang siklus hidup buah itu: di mana ia ditanam, diolah dengan apa, apa kandungan gizinya, berapa jauh perjalanan yang ditempuh untuk sampai ke piring Anda, dan berapa emisi CO2 di sepanjang jalan itu. Semua informasi yang melekat dalam satu buah kecil itu sangat mengasyikkan.
Mari kita bandingkan dua tomat yang berbeda. Tomat yang pertama. Ini adalah tomat yang sering ditemukan di toko-toko, supermarket, dan kedai makanan cepat saji di seluruh dunia. Ia memiliki cerita yang sangat panjang dan rumit. Mulai dari produksi benihnya di laboratorium-laboratorium yang steril dengan penjagaan super ketat. Laboratorium itu dengan logo besar Monsanto, DuPont Pioneer atau Syngenta. Dari laboratorium benih ini dikemas cantik dan dikirimkan ke seluruh penjuru dunia. Petani diberi penyuluhan bagaimana menanamnya, bahan kimia apa yang dipakai untuk memelihara. Lusinan pestisida yang digunakan juga telah menempuh perjalanan setidaknya ribuan kilometer untuk sampai ke lahan-lahan petani dan lahan korporasi. Hingga akhirnya tomat yang disortir dan dipilih yang mengkilat dengan bentuk yang mempesona tiba rumah Anda. Tomat itu awalnya berwarna hijau, karena tomat-tomat ini dipetik ketika berwarna hijau dan keras seperti batu, dan kemudian disemprotkan gas di sepanjang perjalanan sehingga ketika tiba di tempat tujuan, terlihat cerah dan berkilau serta merah dan matang. Semua upaya itu, semua itu inovasi dan teknologi pertanian untuk menciptakan produk yang sepenuhnya tanpa rasa.
Sekarang mari kita ke tomat kedua. Ini adalah buah versi lokal. Ceritanya jauh lebih pendek. Tomat ini ditumbuhkan oleh Luke Mahoney dan keluarganya di Brookford Farm di Canterbury, New Hampshire. Atau juga yang ditumbuhkan oleh Pak Dadang di Lembang, Bandung atau Pak Iskandar Woworuntu di Bumi Langit Jogjakarta yang bertanam organik. Tomat itu dari benih petani dari penanaman sebelumnya, ditanam, dirawat dan tinggal di bawah sinar matahari beberapa lama untuk kemudian dipetik. Karena ditanam oleh petani lokal maka perjalanan dari lahan hingga ke piring di meja Anda cuma sepelemparan batu saja. Itu dia. Tapi perbedaannya dramatis. Bentuknya mungkin tidak beraturan. Warnanya juga tidak begitu merata. Tetapi itulah apa adanya. Designed by nature.
Mari kita ingat-ingat. Kapankah kita terakhir makan tomat yang dipetik langsung dari kebun kita atau dari kebun petani yang tanpa menggunakan segala macam bahan kimia dari korporasi? Barangkali kita merasa sangat jarang mendapatkannya. Tomat dan aneka sayuran ayng ditanam dengan cara ini adalah tomat yang hangat karena terik matahari, warnanya sangat merah, mungkin baunya seperti kotoran. Aroma dan rasanya tidak ada bandingannya. Dan tidak perlu melakukan perjalanan terlalu jauh untuk mendapatkannya.
Sayangnya saat ini rantai makanan kita telah berubah, dari buah-buahan dan sayuran yang ada di piring kita hingga hewan dan produk hewani yang kita konsumsi. Dan itu telah mengubah hubungan sosial, persepsi kita tentang petani dan produknya, dan juga apresiasi kita terhadap produk pertanian lokal dan pangan lokal, resep lokal.
Luke Mahoney yang dikutip di atas dan keluarganya memiliki 60 ekor sapi, kata Erin yang menceritakan seluruh kisah Family Dinner ini pada TEDX. Mereka menggunakan metode tradisional. Mereka melakukannya dengan cara lama: dibesarkan di padang rumput, tanpa hormon, tanpa antibiotik. Hanya jerami selama berhari-hari. Dan yang mereka lakukan di sini hanyalah memperlakukan sapi seperti apa adanya sebagai sapi, tidak seperti dalam percobaan sains. Dia memelihara hewan seperti yang dilakukan kakek dan kakeknya kakek. Dan pada akhirnya, itu lebih baik. Itu lebih baik untuk hewan dan lingkungan. Luke tidak mengoptimalkan keuntungan atau harga, tetapi untuk rasa dan kemanusiaan.
Dalam beberapa dekade di Amerika atau Eropa muncul gerakan Farmers’ Market, atau Pasar Tani. Banyak masayarakat lokal yang menikmati dan memanfaatkan. Pasar Tani adalah solusi yang luar biasa, tetapi, dalam banyak hal, kata Erin, solusi ini kurang optimal. Sebagai konsumen, itu hal yang bagus. Kita mendukung pertanian lokal dan mendapatkan pengalaman mencoba sesuatu yang baru dan mencoba berbagai produk.
Tetapi itu tidak memadai. Bagi para petani, ini menimbulkan banyak risiko. Tidak ada jaminan pengangkutan produk berjalan dengan baik. Cuaca, kemacetan dan sejumlah hal yang mungkin tidak bisa diantipasi dengan pasti.
Bagi Erin ada pilihan lain. CSA-Community Support Agriculture, Pertanian yang didukung komunitas. Dalam model ini, pelanggan membayar di muka, menanggung risiko finansial untuk pertanian tersebut. Para petani menanam apa yang mereka bisa dan pelanggan pesan lebih awal, bayar dimuka. Namun ini juga memiliki beberapa masalah. Bagus untuk petani, karena mereka memastikan bahwa mereka akan menjual apa yang pasti dibeli. Tetapi konsumen harus pergi dan mengambil pesanannya.
Kembali ke pertanyaan bagaimana cara memperbaikinya? Apa yang ingin dilakukan dan ingin dibangun hanyalah cara yang lebih baik untuk CSA. Dan ada tiga inovasi inti. Yang pertama adalah platform e-commerce berbasis langganan, yang membantu menciptakan permintaan yang konsisten untuk petani sepanjang tahun. Elemen berlangganan adalah kuncinya. Pesanan diproses setiap minggu dengan asumsi semua yang mendaftar memesan mingguan. Pelanggan hanya memilih untuk tidak memesan jika memang dalam minggu itu tidak pesan. Dengan demikian itu berarti memiliki jumlah pesanan yang sama dari minggu ke minggu. Kedua, ini berarti bahwa jika petani dapat menjual secara online, mereka tidak lagi terbatas pada geografi langsung di sekitar pertanian mereka atau pada jumlah pasar yang dapat mereka jual. Tidak ada lagi batas penghambat.
Kedua: perkiraan permintaan. Family Dinner menggunakan data analitik untuk memungkinkan melihat ke masa depan dan memperkirakan permintaan. Data analitik secara dramatis mengubah kehidupan kita sehari-hari. Tidak hanya online, tidak hanya di masa depan yang jauh, tetapi di dunia fisik, dan dengan cara yang sangat nyata.
Ini memberi tahu petani berapa banyak yang akan dipanen dalam waktu dekat, tetapi juga apa yang akan ditanam ke depannya. Jika 200 pesanan diproses pada hari Senin, maka dibeli untuk memenuhi permintaan itu. Misalnya 200 bungkus brokoli, 200 potong salmon, dan sebagainya. Otomatisasi dalam pemesanan ini berarti bahwa tidak ada yang terbuang dalam sistem makanan yang dihasilkan, karena kami telah dipastikan bahwa pasokan memenuhi permintaan yang tepat. Ini juga memungkinkan untuk melihat ke masa depan bersama para petani dan melakukan perencanaan tanaman. Jadi jika kita dapat mengatakan kepada mereka, pada bulan Juni tahun ini, “Saya akan membutuhkan 400 kg asparagus dan 500 kg buah beri setiap minggu,” mereka dapat menanamnya sebagaimana mestinya, mengetahui dengan keyak bahwa mereka akan menjual semua yang mereka tanam.
Dan terakhir, menggunakan perangkat lunak pengoptimalan rute untuk membantu memecahkan masalah penjualan keliling. Disediakan armada untuk membawa semua pesanan langsung ke pintu Anda. Tanpa ilmu data dan tim yang luar biasa berkemampuan super, semua ini tidak akan mungkin terjadi.
Sistem pangan yang sustainable perlu diwujudkan oleh setiap warga, bukan semata urusan dan menyerahkan pada korporasi yang berorientasi keuntungan semata. Penting mewujudkan sistem pangan yang sustainable bagi semua orang – konsumen, petani, dan pekerja industri makanan.
Karena itu untuk membangun komunitas seputar makanan dan orang-orang yang membuatnya. Bisnis yang mendukung petani kecil dan pemasok makanan lokal akan menumbuhkan kembali solidaritas sosial komunitas untuk mandiri, sehat dan sejahtera bersama. Memproduksi pangan tanpa limbah. Kita semua tidak ingin membuang-buang makanan. Masih banyak yang membutuhkannya. Penting dan mendesak membuat model bisnis pangan yang memungkinkan untuk menyimpan nol inventaris dan menghilangkan limbah dan semua tingkat rantai pasokan dari pertanian ke meja Anda. Dan tentu sebagai penyedia jasa pangan maka rasa dan kualitas adalah taruhan paling penting. Jaminan rasa dan kualitas itu dimulai dari lahan pertanian.
Erin bersama Family Dinner mengoptimalkan ketiga hal tersebut dengan menggunakan data analitik, big data dan IoT untuk membantu menemukan kembali rantai pasokan makanan lokal dan membantu keluarga kecil petani bersaing dengan petani besar.
i https://www.ted.com/talks/erin_baumgartner_big_data_small_farms_and_a_tale_of_two_tomatoes