Sustainability 17A #1
Sustainability 17A
Dwi R. Muhtaman,
sustainability learner
Menjelang KTT Rio + 20 pada bulan Juni 2012, pada musim semi yang penuh harapan, sebuah Panel Tingkat Tinggi tentang Global Sustainability yang dibentuk oleh Sekretaris Jendral PBB, Ban Ki-Moon, mengeluarkan laporan yang merekomendasikan bahwa dunia perlu mengadopsi satu set Sustainable Development Goals (SDGs). Sekretaris Jenderal Ban lalu menunjuk Panel Tingkat Tinggi untuk membuat rincian Goals pasca-2015 yang dimaksud.
High Level Panel ini diketuai tiga pemimpin penting dunia: Perdana Menteri Inggris David Cameron sebagai chair, Presiden Indonesia Susilo Bambang Yudhoyono, dan Presiden Liberia Ellen Johnson Sirleaf sebagai co-chair. Satu skenario adalah bahwa KTT Rio + 20 akan mendukung gagasan SDGs, dan para pemimpin dunia akan mengadopsinya pada sesi khusus Sidang Umum PBB ketika meninjau The Millennium Development Goals (MDGs) pada September 2013.
The Millennium Development Goals adalah sebuah langkah global bersejarah dan efektif memobilisasi global untuk mencapai serangkaian prioritas sosial penting di seluruh dunia. Melalui MDGs masyarakat dunia bersepakat untuk mengatasi isu-isu tentang kemiskinan, kelaparan, penyakit, pendidikan yang tidak terpenuhi, ketidaksetaraan gender, dan degradasi lingkungan.
Keprihatinan global itu dikemas dalam satu set delapan tujuan yang mudah dimengerti, dan
diharapkan mampu diterapkan untuk mencapai tujuan terukur dalam waktu tertentu. Bagi Jeffrey D Sachs, Earth Institute, Columbia University, New York, “The MDGs help to promote global awareness, political accountability, improved metrics, social feedback, and public pressures.” Kata Bill Gates, MDGs telah menjadi semacam rapor global untuk melawan kemiskinan selama 15 tahun dari tahun 2000 hingga 2015.
Menurut catatan Jeffrey D Sachs dalam artikelnya From Millennium Development Goals to Sustainable Development Goals (Viewpoint, Vol 379 June 9, 2012) negara berkembang telah membuat kemajuan substansial menuju pencapaian MDGs, meski pencapaian kemajuan itu sangat bervariasi di seluruh Goals, negara, dan wilayah.
Negara berkembang secara keseluruhan telah menurunkan angka kemiskinan setengahnya antara 1990 dan 2010. Beberapa negara mencapai semua Goals atau sebagian besar MDGs. Sedangkan yang lain mencapai sedikit. Namun yang pasti pada 2015 itu sebagian besar negara telah mengalami kemajuan yang berarti dalam mencapai tujuan besar bersama.
Laporan MDGs (2015) memaparkan kisah keberhasilan global yang mengesankan. Hampir semua delapan tujuan MDGs tercapai. Goal 7 misalnya, Ensure environmental sustainability: 1.9 milyar orang telah mendapatkan akses air bersih untuk minum sejak 1990. Pada tahun 1990 hanya 2.3 milyar, tetapi pada 2015 telah mencapai 4.2 milyar. Meskipun keprihatinan makin tinggi soal hilangnya kenekaragaman hayati dan menurunnya kualitas ekosistem di Bumi. Populasi manusia yang terus meningkat selama beberapa ratus tahun terakhir telah mengubah keanekaragaman kehidupan di semua benua. Ini menyebabkan hilangnya keanekaragaman hayati yang luar biasa. Perubahan negatif terkait keanekaragaman hayati telah menjadi lebih cepat selama 50 tahun terakhir dibandingkan sebelumnya dalam sejarah manusia. Dan hal yang paling mengganggu adalah proyeksi dan masa depan skenario yang menunjuk ke arah yang sama; tren negatif akan berlanjut atau bahkan mempercepat seperti ditulis oleh Kjetil Bevanger, Global Biodiversity Threats and Development Trends dalam buku Global Biodiversity Volume 1, Selected Countries in Asia (2019).
Goal 1: Eradicate extreme poverty and hunger. Kemiskinan ekstrim telah menurun secara signifikan selama dua dekade terakhir. Pada tahun 1990, hampir separuh populasi di negara berkembang hidup dengan kurang dari $1,25 sehari; proporsi itu turun menjadi 14 persen pada 2015. Secara global, jumlah penduduk yang hidup dalam kemiskinan ekstrim telah menurun lebih banyak dari setengahnya, turun dari 1,9 miliar pada 1990 menjadi 836 juta pada 2015. Sebagian besar kemajuan telah terjadi terjadi sejak tahun 2000.
Namun masih ada kesenjangan besar antara rumah tangga yang termiskin dan terkaya, dan antara pedesaan dan perkotaan. Di daerah berkembang, anak-anak dari rumah tangga yang paling miskin 20 persen memiliki kemungkinan lebih dari dua kali lipat menjadi kerdil (stunting) dibanding dengan orang-orang dari 20 persen terkaya.
Jutaan orang miskin masih hidup dalam kemiskinan dan kelaparan, tanpa akses ke layanan dasar. Meskipun ada kemajuan luar biasa, bahkan pada 2015, saat Laporan MDGs diterbitkan, sekitar 800 jutaan orang masih hidup dalam kemiskinan ekstrim dan menderita kelaparan. Lebih dari 160 juta anak di bawah usia lima tahun memiliki tinggi badan yang tidak memadai untuk usia mereka karena makanan kurang bergizi. Saat itu, 57 juta anak sekolah dasar usia tidak bersekolah. Hampir setengah dari pekerja global masih bekerja dalam kondisi rentan, jarang menikmati manfaat yang terkait dengan pekerjaan yang layak.
Bagaimanapun upaya 15 tahun untuk mencapai tujuan aspiratif yang ditetapkan dalam Deklarasi Milenium dan sukses menjadi perhatian orang di seluruh dunia, masih menyisakan pekerjaan besar berikutnya. Masih banyak kekurangan pencapaiannya. Pengalaman MDGs adalah pelajaran berharga. Batu loncatan untuk langkah selanjutnya. Pemimpin dan pemangku kepentingan di setiap bangsa akan bekerjasama, menggandakan upaya untuk mencapai agenda yang benar-benar universal dan transformatif. Ini adalah satu-satunya cara untuk memastikan masa depan yang berkelanjutan dan kehidupan bermartabat untuk semua orang di mana pun.
Dunia sepakat untuk mengmbil langkah berikutnya. Sepakat terus memerangi kemiskinan. Sepakat untuk mengatasi bahaya perubahan iklim dan penyakit lingkungan serius lainnya, yang mungkin melebihi persoalam kemiskinan.
Apa yang bisa dipelajari dari MDGs? Terdapat tiga hal penting menurut Jeffrey D Sachs. Pertama, MDGs dikemas dengan cara yang mudah dipahami publik—delapan tujuan sederhana yang cocok dalam satu poster! Bandingkan, Agenda 21, diadopsi pada konferensi PBB di Rio de Janeiro pada tahun 1992, mencapai 351 halaman. Delapan tujuan utama ini yang melekat di benak publik, bukan 18 target dan 48 indikator. “Simplicity has worked effectively in this case from the point of view of public awareness, mobilisation, advocacy, and continuity.”
Kedua, MDGs bukanlah satu set yang mengikat secara komitmen hukum, melainkan seperangkat komitmen moral dan praktis. Waktu tidak terbuang banyak untuk negosiasi kata per kata MDGs sebagaimana jika komitmen legally binding. Ketiga, MDGs dapat dicapai melalui praktik dan langkah-langkah spesifik yang diadopsi oleh pemerintah, bisnis, dan masyarakat sipil di seluruh dunia. Banyak kemajuan telah dicapai karena kepraktisan dalam mengukur pencapaian.
Karena alasan ini, pemerintah dunia mengadopsi babak baru tujuan global melanjutkan Periode Post-MDGs, the Sustainable Development Goals. SDGs adalah gagasan penting, yang dapat membantu menggerakkan dunia ke lintasan yang berkelanjutan. SDGs merupakan komitmen untuk “Transforming our world: the 2030 Agenda for Sustainable Development” melalui 17 Sustainable Development Goals dan 169 target yang ditetapkan pada Sidang Majelis Umum PBB New York, disepakati 193 negara pada tanggal 25 September 2015.
Komitmen Pembangunan Berkelanjutan ini menunjukkan skala dan ambisi Agenda universal baru untuk menyelesaikan yang tidak tercapai pada MDGs. Pesan pokok dari SDGs ini adalah tersirat dalam 5P: People, Planet, Prosperity, Peace dan Partnership. Inilah spirit yang memandu langkah-langkah untuk mencapai 17 SDGs: Sustainability of 17 Goals of Ambition (Sustainability 17A). Para kepala negara berjanji untuk mengambil langkah berani dan transformatif ini untuk membawa manusia dan planet bumi ke arah yang berkelanjutan, dan memastikan dalam perjalanan kolektif ini tidak ada satu manusiapun yang diabaikan.
Bagaimana situasi kini? Setelah lebih dari lima tahun berjalan, António Guterres Secretary-General of the United Nations melaporkan dalam The Sustainable Development Goal Report (2019) bahwa “… progress is being made in some critical areas, and that some favorable trends are evident.” Negara-negara mengambil tindakan nyata untuk melindungi planet kita: kawasan lindung laut telah berlipat ganda sejak 2010; negara-negara bekerja sama untuk menangani penangkapan ikan ilegal; 186 negara/pemerintahan telah meratifikasi Perjanjian Paris tentang perubahan iklim, dan hampir semuanya telah mengkomunikasikan kontribusi yang ditentukan secara nasional pertama mereka. Sekitar 150 negara telah mengembangkan kebijakan nasional untuk menanggapi tantangan urbanisasi yang cepat, dan 71 negara dan Eropa Union sekarang memiliki lebih dari 300 kebijakan dan instrumen pendukung konsumsi dan produksi yang berkelanjutan. Dan berbagai macam aktor lainnya — organisasi internasional, bisnis, otoritas lokal, komunitas ilmiah dan masyarakat sipil — telah terlibat dengan SDGs yang menghasilkan harapan besar untuk dekade mendatang. Meskipun pencapaian itu tidak merata.
Pada The Sustainable Development Goal Report 2020 datanglah pandemi Covid-19, kondisi krisis kesehatan, ekonomi dan sosial yang belum pernah terjadi sebelumnya telah mengancam kehidupan dan mata pencaharian, membuat pencapaian SDGs menghadapi tantangan amat berat ke depan.
“It is abundantly clear that a much deeper, faster and more ambitious response is needed to unleash the social and economic transformation needed to achieve our 2030 goals. From our advances, we know what works,” pungkas Guterres. Pesan itu makin kencang terdengar ketika pandemi datang dengan hingar bingar.
“At the start of this Decade of Action to deliver the SDGs, I call for renewed ambition, mobilization, leadership and collective action, not just to beat COVID-19 but to recover better, together – winning the race against climate change, decisively tackling poverty and inequality, truly empowering all women and girls and creating more inclusive and equitable societies everywhere,” kata Guterres mengingatkan dan mengajak kita semua untuk bersatu padu menggerakkan segala daya upaya mencapai collective goals.