Sustainability 17A #58
Sekelumit Kisah Berselancar di Atas Plastik
Dwi R. Muhtaman,
Sustainability Partner
“Perjuangan melawan polusi plastik adalah
pertempuran dimana kita tidak boleh menyerah
sebagai umat manusia.
Pada Hari Lingkungan Hidup Sedunia ini,
marilah kita berkomitmen untuk
mengambil tindakan tegas
guna mengatasi polusi plastik
– demi manusia, dan demi planet kita.”
—António Guterres
#BeatPlasticPollution
Peringatan keras Sekjen PBB, António Guterres, seharusnya menjadi perhatian yang serius. Plastik saat ini bukan hanya menjadi bagian kenyamanan tetapi telah juga berubah menjadi horor yang menghantui siapapun dimanapun dan kapanpun. Ketika saya melakukan perjalanan di pelosok kampung-kampung nusantara dari Aceh hingga Merauke limbah plastik menjadi pemandangan yang sangat mudah dijumpai. Jauh lebih mudah berjumpa plastik daripada anak-anak yang bermain. Plastik telah menjelma menjadi barang yang memabukkan bahkan membuat kita ketagihan. Plastik terbuat dari bahan bakar fosil. Semakin banyak plastik yang kita produksi, semakin banyak bahan bakar fosil yang kita bakar. […] Kita harus bersatu padu — pemerintah, perusahaan, hingga konsumen — untuk mengatasi kecanduan kita terhadap plastik.”
“Plastic is made from fossil fuels. The more plastic we produce, the more fossil fuel we burn. […] We must work as one – governments, companies, and consumers alike – to break our addiction to plastic.”
Barangkali untuk menegaskan pentingnya mengatasi plastik ini, the World Environment Day 2025 kembali mengambil tema Plastik seperti halnya perayaan Hari Lingkungan Sedunia pada tahun 2023. Namun sejak tahun 2018, kampanye #AtasiPolusiPlastik yang dipimpin oleh UNEP telah mengadvokasi transisi yang adil, kolektif, dan global menuju dunia yang bebas dari polusi plastik. UNEP dalam Laporannya menyebutkan kita memproduksi lebih dari 400 juta ton limbah plastik pada tahun 2024. Rata-rata limbah plastik sejumlah itu setiap tahun, sebagian besarnya berakhir di lingkungan. Menjadi polutan. Mencemari banyak hal. Menurut Organisasi untuk Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD) angka ini diperkirakan hampir tiga kali lipat dalam 25 tahun ke depan, dengan peningkatan terbesar terjadi di negara-negara berkembang, khususnya di kawasan Afrika dan Asia-Pasifik. Jika produksi plastik global terus meningkat dengan laju saat ini, dunia akan telah memproduksi 34 miliar ton plastik pada tahun 2050, catat Michiel Roscam Abbing, Plastic Soup.
Jika tren saat ini terus berlanjut, sebagian besar plastik tersebut akan berakhir di sungai, danau, dan lautan.
Pejabat di Lagos, Nigeria, menghadapi sebuah dilema. Pada awal tahun 2020-an, kota berpenduduk 22 juta jiwa itu kewalahan oleh polusi plastik. Kantong air minum dan wadah makanan sekali pakai menyumbat kanal, mengotori jalanan, dan meluap dari tempat pembuangan akhir–sesuatu yang nampaknya tidak asing sekali bagi kita di Indonesia.
Namun, meskipun masalahnya terlihat jelas, para pejabat kota perlu mengetahui secara pasti seberapa banyak polusi plastik yang dihasilkan Lagos. Data ini sangat penting untuk merumuskan kebijakan yang efektif. Maka, kota tersebut bekerja sama dengan Program Lingkungan PBB (UNEP) dan Program Permukiman PBB (UN-Habitat) untuk melakukan audit sampah pertama yang pernah dilakukan di sana.
Hasilnya mengejutkan. Sekitar 34 kg limbah plastik per orang per tahun bocor ke sistem perairan Lagos. Itu setara dengan setiap warga Lagos membuang 10 botol plastik ke perairan setiap hari.
Temuan tersebut, kata para pejabat Lagos, mendorong pemerintah Negara Bagian Lagos pada tahun 2024 untuk melarang semua wadah makanan sekali pakai yang terbuat dari busa polistirena, yang juga dikenal sebagai styrofoam. “Data itu meyakinkan kami untuk mengambil sikap dengan kemauan politik yang kuat,” kata Tokunbo Wahab, Komisaris Lingkungan dan Sumber Daya Air di Pemerintah Negara Bagian Lagos.
Lagos adalah salah satu dari semakin banyak kota yang mencoba menggunakan data—seringkali dikumpulkan dengan susah payah melalui kunjungan ke tempat pembuangan dan survei rumah tangga—untuk mengendalikan limbah plastik dan mengakhiri polusi plastik. Penelitian ini telah mendorong pelarangan plastik sekali pakai dan investasi baru dalam infrastruktur pengelolaan sampah. Para ahli mengatakan langkah-langkah seperti ini sangat penting untuk menekan polusi plastik, yang mereka sebut sebagai ancaman yang terus meningkat terhadap lingkungan.
Bagaimana dengan Indonesia?
Pada tahun 2024, Indonesia menghasilkan sekitar 56,63 juta ton sampah, dengan 19,64% di antaranya berupa sampah plastik. Ini berarti sekitar 11,12 juta ton sampah plastik dihasilkan dalam setahun. Sebanyak 350.000 ton sampah plastik masuk ke laut Indonesia selama 2024, menempatkan Indonesia di antara 10 besar negara penyumbang sampah plastik ke lautan dunia.
Namun serbuan plastik itu tidak cukup hingga di situ. Indonesia mengimpor 262.903 ton sampah plastik pada tahun 2024, meningkat dari 252.473 ton pada tahun sebelumnya. “Indonesia adalah tong sampah dunia.” Begitu kata rapper asal Amerika Serikat, Azelia Banks dalam cuitannya di platform X belum lama ini. Cuitan ini jadi viral dan mendapat banyak respons, terutama dari warganet asal Indonesia, seperti ditulis Mongabay.
Banks mengatakan, suka tak suka, Indonesia adalah tanah tercemar, sama dengan India. Negara-negara di dunia, katanya, mengirim sampah ke Indonesia.
Data Badan Pusat Statistika (BPS), seperti dikutip Mongabay, Indonesia masih menerima impor sampah 262.903 ton. Belanda menjadi pemasok utama dengan 107,5 ton sampah plastik ke Indonesia pada 2024, berkontribusi 41% terhadap total impor. Kedua terbanyak adalah Jerman, mengirim 59,1 ton sampah. Kemudian Belgia, mengirim 28,8 ton dan Amerika Serikat 19,6 ton.
Berdasarkan data UN Comtrade, Indonesia mengimpor 22.333 ton sampah plastik dari Australia periode 2023-2024, naik 27,9% dari sebelumnya, sebesar 16.100 ton sampah yang masuk saat itu.
Inilah bentuk penjajahan baru (neo colonialism) oleh negara-negara maju (global north) terhadap negara-negara berkembang (global south), seperti Indonesia dan Thailand. Pada 2022, Indonesia menjadi negara dengan penerima sampah impor terbanyak ketiga di dunia versi UN Comtrade.
Negara-negara global north membuang sampah ke negara-negara global south sebagai jalan pintas. Biaya mengelola sampah lebih mahal, maka lebih mudah membuang begitu saja ke negara lain. Sementara dengan alasan kekurangan bahan daur-ulang maka importir sangat bersemangat impor barang-barang jorok itu. Catatan Asosiasi Pulp & Kertas Indonesia (APKI), Indonesia masih kekurangan 3,2-3,5 juta ton per tahun untuk kertas daur ulang. Karena itu, perusahaan masih harus impor.
Padahal Indonesia mempunyai aturan cukup ketat terkait impor sampah lewat surat keputusan bersama (SKB) Menteri Perdagangan, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Menteri Perindustrian. Ada juga SK Kapolri Nomor 482 /2020 tentang pelaksanaan impor Limbah Non-B3. SKB itu mengatur batas impuritas sampah plastik 2%.
Sayangnya, Ecoton (Ecological Observation and Wetland Conservations) masih menemukan impuritas lebih 2%, meskipun sudah ada aturan itu. Impuritas ini biasa banyak dibawa oleh perusahaan-perusahaan kertas. Impor sampah untuk industri daur ulang memang legal. Namun, katanya, kerap kali impuritas melebihi ketentuan dan sampah plastik pun menggunung di Indonesia.
Masalahnya, Indonesia tidak mampu untuk mengelola sampah-sampah yang masuk itu. Tak ada alat dan tata kelola yang mumpuni hingga bermunculan tempat pembuangan sampah terbuka (open dumpsite).
Sedikitnya ada enam open dumpsite di Pulau Jawa. Salah satu berada di Kragilan Serang, Banten. Ada juga di Desa Gampingan, Kecamatan Pagak, Malang dan di Gedangrowo, Sidoarjo, Jawa Timur. Kemudian di Desa Sumberame, Gresik dan Desa Tinjangrono, Jawa Timur dan Gunung Putri, Bogor.
Secara keseluruhan sekitar 11,3 juta ton sampah di Indonesia tidak terkelola dengan baik, setara dengan 36,7% dari total produksi sampah nasional hingga Juli 2024. Sialnya, sebanyak 39,41% sampah terbuang ke lingkungan seperti sungai, yang berkontribusi terhadap peristiwa banjir di beberapa wilayah, seperti di Bekasi.
Begitu mudah kita menemukan plastik. Baik pada saat digunakan atau juga pada saat tidak lagi dimanfaatkan. Saat ini, hampir tidak ada tempat di Bumi yang tidak tersentuh oleh plastik. Menurut Trisia Farrelly dalam buku Plastic Legacies: Pollution, Persistence, and Politics, plastik ditemukan di Samudra Arktik, pada 83 persen sampel air keran di seluruh dunia, di udara, madu, bir, tanah, dan garam laut. Seratus persen hewan yang diuji di dasar Palung Mariana yang kedalamannya sepuluh kilometer — salah satu tempat paling terpencil di planet ini — telah menelan plastik.
Dalam urainnya, Farrelly menegaskan karena sifat kimianya, bakteri dan organisme hidup lain dalam biosfer tidak dapat dengan mudah menguraikan plastik, sehingga plastik tetap bertahan di lingkungan. Setelah dibuang, plastik dihantam dan dihancurkan oleh lingkungan fisik dan juga diuraikan oleh fauna laut seperti krill Antarktika. Proses-proses ini akhirnya menyebabkan terbentuknya mikroplastik dan nanoplastik yang cukup kecil untuk menembus membran sel. Plastik memenuhi lambung hewan ketika dikira sebagai makanan, membuat mereka merasa kenyang padahal tidak memberikan nilai gizi dan justru merusak saluran pencernaan mereka. “Beberapa monomer yang digunakan untuk memproduksi plastik, seperti bisfenol A (BPA) dan stirena, bersifat racun, begitu pula dengan banyak plastisiser, pewarna, bahan penahan api, dan penstabil UV yang ditambahkan ke dalam monomer tersebut. Di lingkungan perairan laut dan tawar, plastik cenderung menyerap (menarik) polutan organik persisten (POP) seperti pestisida dan zat beracun lainnya. Ketika tertelan, plastik melepaskan zat-zat beracun ini ke dalam jaringan dan organ tubuh, di mana zat-zat ini terakumulasi secara biologis. Ketika makhluk hidup tersebut dimakan oleh predator, seperti ikan yang lebih besar, paus, atau manusia, zat beracun tersebut mengalami biomagnifikasi — artinya konsentrasinya meningkat semakin tinggi dalam rantai makanan. Singkatnya, plastik menghancurkan sistem ekologis dan biologis.
“Jadi, setelah dipikirkan lebih dalam, mungkin plastik tidak sebaik yang kita kira sebelumnya.”
Farrelly juga menulis bahwa plastik telah merevolusi kehidupan kita. Plastik telah memungkinkan terciptanya benda-benda seperti ponsel pintar, mobil modern, dan layar LCD yang bergantung pada sifat plastik yang ringan, kuat, serta memiliki isolasi listrik dan termal yang tinggi. Plastik juga memungkinkan produksi peralatan bedah sekali pakai yang menjamin kesterilan, sehingga meminimalkan penularan penyakit antar pasien. Tak terhitung jumlah nyawa yang telah diselamatkan, dan penggunaan antibiotik pun berkurang berkat menurunnya tingkat infeksi pasca-operasi. Plastik membantu meminimalkan kontaminasi makanan oleh bakteri berbahaya dan mengurangi penyakit bawaan makanan.
Selama pandemi COVID-19, tenaga kesehatan, pekerja garis depan, dan populasi rentan sangat bergantung pada Alat Pelindung Diri (APD) yang terbuat dari plastik. Sekilas, plastik tampak begitu bermanfaat … .”
“Namun,” Farrelly melanjutkan, “terlepas dari kemajuan luar biasa yang memungkinkan berkat plastik, ribuan penggunaan yang tidak perlu telah berkembang hanya karena plastik murah dan sekali pakai. Wadah minuman, kantong plastik, sedotan, alat makan, dan plastik sekali pakai lainnya memberikan sedikit manfaat nyata bagi sebagian besar orang yang menggunakannya hanya demi kenyamanan. Banyak APD sekali pakai akhirnya berakhir di lingkungan. Padahal, hal ini dapat dihindari jika penggunaan plastik tersebut diganti dengan yang dapat digunakan ulang, terutama bagi mereka yang tidak bekerja di garis depan dan bagi mereka yang “…yang tidak bekerja di garis depan dan bagi mereka yang tidak rentan. Dengan demikian, penggunaan plastik sekali pakai dapat diminimalkan, mengurangi dampaknya terhadap lingkungan.”
“Plastik mendominasi hidup kita,” Michiel Roscam Abbing dalam bukunya: Plastic Soup. Plastik adalah material sintetis yang berasal dari petrokimia. Plastik hadir dalam berbagai bentuk dan ukuran, mulai dari yang lembut dan tipis hingga yang keras seperti batu dan tebal. Selama tujuh puluh tahun terakhir, plastik menjadi sangat populer berkat sifat khasnya dan biaya produksinya yang sangat rendah.
Kita menikmati manfaat dari sifat-sifat tersebut setiap hari. Namun, sifat yang sama justru terbukti merusak bagi ekosistem. Plastik tidak larut dalam air dan tidak dapat terurai secara alami. Semua plastik yang pernah berakhir di lingkungan masih ada hingga kini dalam satu bentuk atau bentuk lainnya. Yang dilakukan plastik di lingkungan adalah terpecah menjadi fragmen yang semakin kecil. Ini termasuk mikroplastik, yang sebagian besar ukurannya begitu kecil hingga tidak lagi terlihat oleh mata telanjang dan mudah masuk ke dalam rantai makanan.
“United Nations Environment menganggap sampah plastik dan mikroplastik sebagai salah satu masalah lingkungan terbesar yang dihadapi dunia saat ini. Masalah ini bahkan telah memiliki nama: plastic soup (sup plastik).”
Pemerintah Indonesia menetapkan target pengurangan sampah sebesar 30% dan penanganan sampah sebesar 70% pada tahun 2025, sesuai dengan Peraturan Presiden No. 97 Tahun 2017. Sementara itu target pengurangan sampah plastik yang bocor ke laut sebesar 70% pada 2025, sesuai amanat Peraturan Presiden No. 83/2018 tentang Penanganan Sampah Laut. Bagaimana hasil evaluasi pada tahun berjalan 2025 ini? Nampaknya tak ada kabar gembira yang bisa diharapkan. Kecuali kebijakan-kebijakan pemerintah daerah di sebagian daerah seperti Pekanbaru, Bogor, telah menerapkan kebijakan pembatasan penggunaan kantong plastik melalui peraturan wali kota.
Meskipun ada upaya untuk mengurangi impor sampah plastik, Indonesia masih menerima volume besar dari negara-negara maju, menunjukkan ketergantungan pada bahan baku daur ulang impor. Kurangnya infrastruktur pengelolaan sampah yang memadai menyebabkan tingginya volume sampah yang tidak terkelola, memperparah dampak lingkungan dan kesehatan masyarakat.
Implementasi kebijakan pengurangan sampah plastik masih menghadapi tantangan dalam hal kepatuhan dan penegakan hukum di tingkat daerah.
Indonesia menghadapi tantangan besar dalam mengelola produksi dan limbah plastik. Meskipun telah ada kebijakan dan target nasional yang ambisius, implementasi dan penegakan di lapangan masih perlu diperkuat. Kolaborasi antara pemerintah, industri, dan masyarakat sangat penting untuk mencapai tujuan pengurangan sampah plastik dan melindungi lingkungan.
Polusi plastik meresap hingga ke setiap sudut planet ini—bahkan ke dalam tubuh kita dalam bentuk mikroplastik. Hari Lingkungan Hidup Sedunia 2025 menyerukan aksi kolektif untuk mengatasi polusi plastik. Dengan mengambil inspirasi dari alam dan menampilkan solusi nyata dari dunia nyata, kampanye ini akan mendorong individu, organisasi, industri, dan pemerintah untuk mengadopsi praktik berkelanjutan yang mendorong perubahan sistemik.
Hari Lingkungan Hidup tahun ini berlangsung tepat dua bulan sebelum negara-negara kembali berkumpul untuk melanjutkan perundingan perjanjian global guna mengakhiri polusi plastik.
Karena itu sepanjang tahun 2024, UNEP memimpin gerakan global untuk mengakhiri polusi plastik ini, yang menjadi ancaman semakin besar bagi kesehatan manusia dan planet. UNEP memberikan dukungan teknis kepada lebih dari 30 negara dalam menyusun regulasi guna mengurangi polusi plastik dari sumbernya, meningkatkan desain produk, memperluas sistem guna ulang dan isi ulang, serta memperkuat praktik pengelolaan limbah.”
Pertanyaannya adalah apakah produksi bisa dikurangi hingga dihentikan?
Korporasi adalah sumber utama plastik. Rumah tangga adalah konsumen. Jika ingin mengatasi plastik maka sumber yang memproduksi itulah yang harus mendapatkan tekanan. Korporasi yang memproduksi aneka benda yang berakhir di ruang-ruang publik sebagai limbah. Nic Stacey membuktikan itu. Sebuah film dokumenter berjudul “Buy Now! The Shopping Conspiracy” ditayangkan Netflix pada 20 November 2024. Film ini disutradarai oleh Nic Stacey dan diproduksi oleh Flora Bagenal. Dengan durasi 84 menit, dokumenter ini mengupas tuntas strategi manipulatif yang digunakan oleh perusahaan-perusahaan besar untuk mendorong konsumerisme berlebihan. Melalui wawancara dengan mantan eksekutif dari perusahaan seperti Amazon, Adidas, dan Apple, serta para ahli di bidangnya, film ini mengungkap praktik seperti planned obsolescence, di mana produk sengaja dirancang untuk cepat usang guna mendorong pembelian berulang. Selain itu, film ini menyoroti dampak lingkungan dari limbah produk yang dibuang.
Salah satu contoh nyata yang diangkat adalah bagaimana lebih dari 15 juta pakaian bekas tiba di Ghana setiap minggunya, dan 13 juta ponsel dibuang secara global setiap harinya, menunjukkan besarnya limbah yang dihasilkan dari budaya konsumsi berlebihan.
Menurut Jonathan Romney di Time, dokumenter karya Nic Stacey ini sebagian membahas seni gelap pemasaran yang memanipulasi kita untuk terus membeli lebih banyak produk. “Kamu sedang 100 persen dimanipulasi, dan ini adalah ilmu pengetahuan,” kata Maren Costa, mantan “desainer pengalaman pengguna” di Amazon, yang turut mengembangkan teknologi persuasi bawah sadar situs tersebut (bahkan warna tombol “klik untuk membeli” pun diteliti secara mendalam).
Costa adalah salah satu dari beberapa orang dalam industri yang menjadi pelapor (whistleblower), mengungkapkan penyesalan pribadi dan rahasia dagang — termasuk mantan CEO Unilever dan mantan eksekutif Adidas. Namun Buy Now! bukan hanya soal mekanisme tipu daya modern. Film ini juga menelusuri akibat dari konsumsi adiktif dan produksi berlebihan yang saling memperkuat dalam lingkaran setan yang menghancurkan ekologi.
Film ini menampilkan gambar CGI (Computer-Generated Images) yang mengerikan dan sugestif — kota-kota yang ditelan oleh gunung sampah yang terus membesar — namun yang lebih menyentuh justru adalah cuplikan nyata dari sebuah pantai di Ghana yang dibanjiri oleh gelombang pakaian bekas.
Saksi lainnya termasuk seorang pakar perbaikan yang menjelaskan bagaimana perusahaan sengaja membuat produk yang tidak bisa diperbaiki, serta “penjelajah sampah” Anna Sacks, seorang detektif ulung limbah konsumen.
Meskipun tidak banyak pengungkapan yang benar-benar baru, film ini menjadi pengantar yang berguna atas topik-topik yang sudah dikenal seperti keusangan yang direncanakan (planned obsolescence) dan pencitraan hijau palsu (greenwashing), disampaikan dengan gaya cepat dan bersemangat.
Bagaimanapun, korporasi, berkonspirasi atau tidak, adalah pihak yang paling bertanggungjawab atas meluapnya limbah tanpa henti, termasuk limbah plastik.
The World Environment Day 2025 ini mengajak produsen plastik untuk terlibat mendalam dan berarti mengatasi limbah plastik, limbah yang diciptakannya sendiri.
Teladan ini bisa menjadi inspirasi. Tiga dekade lalu, Prancis kewalahan menghadapi limbah kemasan — mulai dari botol plastik hingga kotak kardus — ketika para pemimpin dari sektor publik dan swasta muncul dengan sebuah gagasan radikal: Bagaimana jika perusahaan yang memproduksi dan memasarkan produk rumah tangga juga bertanggung jawab atas nasib kemasan produknya setelah digunakan? Dari sinilah lahir salah satu program tanggung jawab produsen yang diperluas (Extended Producer Responsibility/EPR) pertama di dunia.
Hampir 35 tahun kemudian, inisiatif ini diakui telah membantu Prancis mencapai tingkat daur ulang yang tinggi dan mendanai berbagai solusi lain terhadap polusi plastik.
Kini, semakin banyak negara yang mempertimbangkan penerapan program EPR sebagai cara untuk menghadapi lonjakan polusi plastik — yang akan menjadi fokus peringatan Hari Lingkungan Hidup Sedunia tahun ini, pada 5 Juni.
Meskipun demikian kondisi yang kita hadapi saat ini adalah karya besar dari Homo sapiens. Yang baik, dan yang buruk. “Kamu tidak bisa mencegah terjadinya bencana, kamu harus berselancar di atasnya!” —Paul Virilio. Berselancar di atas limbah plastik. Limbah yang kita ciptakan sendiri dari benda-benda yang digunakan dengan menyenangkan, dan berakhir pada bencana. Sebuah banjir besar dari bencana-bencana yang sudah dan mungkin terjadi mengancam kita di era Antroposen—Zaman Manusia. Dalam zaman geologi baru ini, manusialah yang membentuk ulang planet ini, memengaruhi geologi dan ekosistem sekaligus. Jumlah skenario kiamat buatan manusia terus bertambah setiap hari, menghadapkan kita pada rantai tak berujung dari kehancuran dunia. Tak heran jika akhir umat manusia terasa semakin dekat. Atau benarkah demikian? Era yang akan datang ini juga bisa dilihat sebagai peluang untuk perubahan, gagasan-gagasan baru, dan masa depan yang konstruktif.
1“The battle against plastic pollution is one humanity simply cannot afford to lose. This World Environment Day, let us commit to decisive action to beat plastic pollution – for our people, and for our planet.”—António Guterres #BeatPlasticPollution
2 Berikut ini diberikan penjelasan lengkap materi-materi plastik dengan Contoh Benda Sehari-hari:
Polietilena (Polyethylene):
Jika ada kontes popularitas untuk jenis polimer, polietilena akan menjadi juaranya. Lebih dari sepertiga dari semua plastik yang diproduksi dan dijual di seluruh dunia adalah bagian dari keluarga plastik ini. Polietilena dikenal tangguh, fleksibel, tahan kelembapan, dan sangat mudah diproses, sehingga sangat populer untuk kemasan.
Jenis-jenis polietilena dan contoh penggunaannya:
Low-density polyethylene (LDPE) – Polietilena berdensitas rendah:
Digunakan untuk membuat:
- Plastik kemasan fleksibel
- Plastik pembungkus yang bisa direnggangkan
- Tutup makanan
- Lapisan karton susu
- Gelas minuman panas dan dingin
Linear-low-density polyethylene (LLDPE) – Versi lebih elastis dari LDPE:
Digunakan untuk membuat:
- Plastik kemasan fleksibel
- Plastik pembungkus yang bisa direnggangkan
- Tutup makanan
- Mainan anak-anak
- Selang plastik lentur
High-density polyethylene (HDPE) – Polietilena berdensitas tinggi, lebih kuat:
Digunakan untuk:
- Kantong belanja plastik
- Isolasi rumah (seperti Tyvek)
- Botol susu, jus, deterjen, dan pembersih rumah
- Lapisan plastik dalam kotak sereal
Polipropilena (Polypropylene):
Meskipun terkait dengan polietilena, polipropilena tahan terhadap suhu tinggi dan perlakuan kasar. Ini membuatnya sangat cocok untuk:
- Tutup botol yang dapat diputar dan ditutup kembali
- Wadah makanan tahan panas (misalnya tupperware untuk sisa makanan atau makanan panas seperti sup dan sirup panas)
- Inkubator yogurt
- Kemasan makanan siap saji (takeaway)
Contoh lainnya:
- Komponen mobil (bumper, karpet, bagian interior)
- Popok sekali pakai
- Rompi thermal
- Bahan pakaian luar angkasa (seperti baju astronot)
Polivinil klorida (PVC/Vinyl):
Salah satu plastik paling serbaguna (dan juga paling kontroversial). PVC dapat bersifat:
- Kaku
- Tipis seperti film
- Lentur
- Seperti kulit sintetis
Contoh benda berbahan PVC:
- Siding rumah (pelapis luar rumah)
- Lantai vinyl, plafon, dan penutup dinding
- Isolasi kabel listrik
- Pakaian “pleather” dan pelapis kursi Naugahyde
- Pipa dan sambungannya
- Peralatan medis lentur seperti selang infus
Polistirena (Polystyrene):
Paling dikenal saat diperluas dengan udara menjadi Styrofoam (merk dagang) – bentuk ringan seperti meringue sintetis.
Kegunaannya:
- Isolator panas untuk kopi, makanan bungkus (seperti mi goreng atau nasi kotak)
- Busa pelindung barang elektronik atau barang pecah belah
- Helm sepeda
Dalam bentuk keras:
- Kotak CD
- Kaset video
- Pisau cukur sekali pakai
- Sendok/garpu plastik
- Gantungan baju
- Cangkang detektor asap
- Botol aspirin
- Tabung reaksi, cawan petri, dan kit model miniatur
Poliuretan (Polyurethane):
Diperkenalkan tahun 1954, poliuretan punya banyak bentuk, dari yang lunak hingga keras:
- Lunak dan fleksibel:
- Bantalan sofa
- Jok mobil
- Sol sepatu lari
- Keras dan kokoh:
- Lapisan insulasi bangunan
- Isolasi lemari es
- Setengah kaku:
- Dashboard mobil
Bentuk lain:
- Serat elastis: Spandex atau Lycra untuk pakaian olahraga dan dalam
- Film tipis: kondom bebas lateks
Kesimpulan:
Polimer seperti polietilena, polipropilena, PVC, polistirena, dan poliuretan telah menjadi tulang punggung kehidupan modern—dari tas belanja, botol susu, hingga jaket luar angkasa. Namun kenyamanan ini datang dengan konsekuensi lingkungan yang besar. Memahami bahan-bahan ini adalah langkah awal untuk berpikir ulang: apakah semua ini benar-benar kita butuhkan, dan bagaimana kita bisa beralih ke alternatif yang lebih berkelanjutan?
Polyethylene Terephthalate (PET):
Anggota paling terkenal dari keluarga poliester ini pertama kali muncul setelah Perang Dunia II sebagai serat bebas kusut—dan hingga kini tekstil masih menjadi tujuan akhir utama dari sebagian besar poliester.
Namun PET segera meluas penggunaannya ke:
- Film fotografi dan sinar-X
- Kaset audio dan video
Namun, kejayaan terbesar PET terletak pada manfaatnya di bidang kemasan:
- Transparansi seperti kaca
- Kemampuan kedap udara yang luar biasa – menjaga oksigen perusak makanan di luar dan karbon dioksida pembuat soda tetap di dalam
Contoh benda berbahan PET:
- Botol air mineral dan soda
- Botol jus, teh kemasan, bahkan kini botol anggur
- Wadah makanan take-away bening
- Kemasan salad siap santap
Diciptakan pada 1940-an oleh ilmuwan yang mencoba menciptakan karet sintetis, hasilnya adalah bahan keras, mengkilap, tahan benturan, yang justru sama sekali tidak seperti karet.
Contoh benda dari ABS:
- Lego—bahan utama mainan balok legendaris ini
- Alat musik plastik (rekorder, klarinet)
- Kepala stik golf
- Casing ponsel dan peralatan dapur
- Panel eksterior mobil
- Produk cetakan ringan dan kaku lainnya
Fenolik (Phenolics):
Keluarga plastik ini merupakan keturunan dari plastik sintetis pertama di dunia: Bakelite. Tidak seperti kebanyakan plastik modern, fenolik tidak bisa dilelehkan dan dicetak ulang.
Karakteristiknya:
- Kuat
- Keras
- Isolator listrik yang sangat baik
Contoh penggunaannya:
- Peralatan listrik (saklar, soket)
- Gagang sendok dan pisau
- Permukaan Formica (meja dapur)
Nylon:
Nama dagang dari DuPont yang mencakup berbagai jenis plastik serat. Dikenal luas sejak merevolusi stoking wanitakarena kekuatan, daya tahan, dan elastisitasnya.
Contoh pemakaian serat nylon:
- Kain dan pakaian
- Kerudung pengantin
- Tali dan benang musik
- · Permadani
- Velcro
Nylon dalam bentuk padat digunakan untuk:
- Sekrup mesin
- Gigi roda (gear)
- Baling-baling kapal
- ·Sisir
- Roda skateboard
- Sikat gigi dan sisir rambut
- Tangki dan saluran bahan bakar kendaraan
Polikarbonat (Polycarbonate):
Plastik teknik ini awalnya dikembangkan untuk menyaingi logam die-cast. Ia merupakan plastik yang sangat kuat sekaligus transparan.
Kombinasi unik ini membuatnya ideal untuk:
- Gigi roda
- CD, DVD, dan Blu-ray
- Lensa kacamata
- Peralatan laboratorium
- Casing alat-alat listrik (bor, obeng elektrik)
- Botol bayi dan botol olahraga *(*kini ditinggalkan karena isu BPA)
Catatan: Bisphenol A (BPA) dalam polikarbonat telah dikaitkan dengan gangguan hormonal, sehingga produk ini kini mulai dihindari dalam wadah makanan dan minuman.
Akrilik (Acrylic):
Sebening kaca, tapi jauh lebih kuat. Akrilik mampu menahan cuaca ekstrem dan bahkan menghentikan peluru—karakteristik yang membuatnya sangat penting bagi militer selama Perang Dunia II.
Kini, akrilik digunakan untuk:
- Kaca anti peluru: mobil presiden, Popemobile
- Jendela bank drive-through
- Jendela pesawat terbang dan kapal selam
- Lampu belakang mobil
- Akuarium besar (rumah dan komersial)
- Lensa pengganti untuk penderita katarak
- Pintu shower sebagai pengganti kaca
Dari botol air yang kita minum, mainan anak-anak, hingga kaca mobil presiden, semua berasal dari bahan-bahan plastik yang disebut di atas. Kita hidup di zaman plastik menyusup ke hampir semua aspek kehidupan. Namun, kenyamanan ini membawa risiko serius terhadap lingkungan dan kesehatan.
Seperti kata Susan Freinkel dalam Plastic: A Toxic Love Story (2011), “We are the first people to try to live in a world made of plastic—and we are failing.”
Kini, tugas kita bukan hanya mengenal bahan-bahan ini, tapi juga memikirkan ulang bagaimana kita menggunakannya, mendaur ulangnya, atau meninggalkannya sama sekali.
3 UN Secretary-General’s Message for World Environment Day 2023
4 https://www.liputan6.com/bisnis/read/5969350/indonesia-darurat-sampah-capai-56-juta-ton-di-2024
5 https://lestari.kompas.com/read/2025/02/14/175817386/350-ribu-ton-sampah-plastik-masuk-ke-laut-indonesia-pada-2024
6 https://mongabay.co.id/2025/04/19/sasaran-limbah-impor-indonesia-tong-sampah-dunia/
7 https://lestari.kompas.com/read/2024/07/28/130000286/113-juta-ton-sampah-indonesia-tidak-terkelola-dengan-baik
8 https://www.liputan6.com/bisnis/read/5969350/indonesia-darurat-sampah-capai-56-juta-ton-di-2024
9 Plastic Legacies: Pollution, Persistence, and Politics adalah kumpulan tulisan dari para ahli di berbagai bidang seperti biologi kelautan, psikologi, antropologi, studi lingkungan, studi masyarakat adat, dan studi media. Buku ini mengeksplorasi tantangan sosial-ekologis yang mendesak akibat penggunaan plastik.
- Pencemaran (Pollution): Membahas dampak limbah plastik terhadap ekosistem laut dan kesehatan manusia, serta solusi seperti penggunaan material sirkular dan pengurangan produksi plastik baru.
- Ketahanan (Persistence): Menyoroti keberadaan plastik dalam kehidupan sehari-hari, seperti pakaian polyester, dan bagaimana plastik menjadi bagian dari geologi melalui pembentukan plastiglomerat.
- Politik (Politics): Mengkritisi pendekatan neoliberal dalam menangani krisis plastik dan menekankan pentingnya aksi politik dan komunikasi dalam mendorong perubahan sosial dan budaya.
Buku ini menekankan bahwa solusi terhadap krisis plastik memerlukan pendekatan lintas disiplin dan pengakuan terhadap pengetahuan lokal dan masyarakat adat. Dengan demikian, diharapkan tercipta perubahan yang berkelanjutan dan adil dalam menghadapi tantangan yang ditimbulkan oleh plastik.
10 https://www.worldenvironmentday.global
11 https://wedocs.unep.org/handle/20.500.11822/47082
12 https://www.ft.com/content/137aa861-f2b1-4fec-a963-1eb7a38fddbf
13 https://time.com/7198791/buy-now-netflix-interview-black-friday/?utm_source=chatgpt.com
14 https://www.unep.org/news-and-stories/story/making-producers-part-solution-france-aims-rein-plastic-pollution
15 “Paul Virilio, “Surfing the Accident,” interview by Andreas Ruby, in The Art of the Accident: Merging of Art, Architecture and Media Technology, ed. Bart Lootsma, Joke Brouwer, and Arjen Mulder (Rotterdam: NAI Publishers and V2_Organization, 1998), 40.” Dikutip dari The Anthropocene Cookbook: Recipes and Opportunities for Future Catastrophes, Zane Cerpina (MIT, 2022).
16 The Anthropocene Cookbook: Recipes and Opportunities for Future Catastrophes, Zane Cerpina (MIT, 2022).