halaman drm #44
Puisi Adalah Senjata dalam Sunyi:
Catatan Kecil dari Peristiwa Besar
Dwi R. Muhtaman
…
hari itu, di Tepi Barat, Ramallah, Yerusalem,
ribuan orang melawan,
ribuan orang akan tetap
melawan pengasingan
“Ini tanah kami!”
…..
Daftar Isi
Kisah dari Shijaiya, Tanah Para Pemberani
Namaku Mohammed Alareer, lahir 31 tahun yang lalu
di tanah air yang amat getir
Lahir dari orang tua pejuang, pemberani yang bangga
pada tanah kelahirannya yang penuh duri dan api
Tapi juga tanah air wakaf yang penuh amanah dan barokah.
Kakakku, Refaat Alareer, memanggilku Hamada dan
memaksa semua orang memanggil Hamada.
Tidak Ayahku. Ia memanggilku Mohammed
Pada penyerangan Israel yang brutal dan biadab,
pada bulan suci Ramadhan, ketika berada di rumah,
aku dibom–suara yang mematikan, gempuran yang mematikan,
api yang mematikan
Serangan itu mengakhiri hidupku.
Mengakhiriku jadi khalifah di muka bumi
Dua anakku kini yatim, Raneem dan Hamza.
Tak ada lagi ayah selamanya.
Rumah tinggal keluarga besar telah hancur.
Tak ada lagi tempat berteduh, bermain dan bertanding 1
Semua telah tiada.
Rumah itu berdiri empat tingkat tetapi
dengan ribuan kenangan
Kini tak ada lagi
Tetapi kisah-kisahnya akan tetap hidup dan abadi.
Jadi saksi pendudukan yang brutal dan buas yang
dikenal dunia dan dikutuk Tuhan.
Aku adalah martir ke 26 dalam keluarga besarku,
lima diantaranya syahid dalam kebrutalan di bulan suci ramadhan ini.
Ibuku begitu tegar, setegar batu-batu intifida,
ayahku tenang, setenang pasir-pasir yang menari-nari di padang luas
Mereka mengisahkan kerusakan yang dilakukan Israel
di Shijaiya 2— “the land of the brave,”
tanah para pemberani
Kaum brutal bisa hancurkan tanah air kami,
tapi tidak akan mampu menaklukkan
semangat perlawanan kami
Kaum penjahat itu bisa hentikan aliran darah kami,
tapi tidak akan mampu hentikan lahirnya darah baru
Kaum penjajah itu bisa hancurkan bangunan-bangunan kami,
tapi tidak akan mampu melawan dan hapuskan perjuangan kami
Meski ribuan syuhada pergi, mereka tetap bersama kami
Mereka tetap bersama kami selamanya hingga
menyaksikan terhapusnya bangsa barbar itu dari peta bumi.
Membebaskan Palestina damai selamanya.
—–
Puisi ini saya tulis pada 30 Juli 2014, lebih sebelas tahun lalu. Puisi ini terinspirasi dari kisah yang ditulis oleh Refaat Alareer (kakak kandung Mohammed Alareer), The story of my brother, martyr Mohammed Alareer. Mohammed Alaveer syahid setelah rumahnya dibombardir pesawat tempur Israel. Ia adalah tokoh muda kreatif di Gaza dan menjadi tokoh dalam serial Karkour, sebuah program televisi film anak-anak populer di Jalur Gaza yang ditayangkan oleh Al Aqsa TV. Refaat Alareer adalah editor dari Gaza Writes Back: Short Stories from Young Writers in Gaza, Palestine.
Tulisan Refaat Alareer tentang kisah adiknya ini dikutip dari sebuah tautan twitter electronic intifada @intifada.
Peristiwa-peristiwa pembunuhan dan kebrutalan serupa ini dan yang lebih biadab lagi terjadi terus menerus sebelum 7 Oktober 2023. Itu semua dilakukan zionis Israel tanpa akuntabilitas karena didukung penung oleh para penjajah Barat yang melakukan pada negara-negara jajahan jauh sebelum 1948. Penderitaan rakyat Palestina telah berlangsung lebih dari 100 tahun sejak diterbitkan Balfour Declaration 1917 yang secara semena-mena ‘memberi’ tanah air Palestina pada gerakan Zionis, tanpa ada perijinan atau konsultasi apapun dengan masyarakat adat penghuni dan pemilik sah Tanah Palestina.
Pada 7 Desember 2023 Refaat Alareer wafat akibat pemboman Israel di rumah tinggalnya di Gaza. Profesor Refaat Alareer adalah salah satu pendiri proyek ‘We Are Not Numbers’ dan profesor di Universitas Islam Gaza, tewas akibat serangan udara Israel. Dia bukanlah seorang intelektual biasa. Beliau adalah seorang pendidik yang telah menginspirasi banyak generasi muda di Gaza untuk mengambil alih narasi mereka sendiri dan menceritakan kisah Gaza serta Palestina berdasarkan pengalaman mereka sendiri. “(Refaat) menulis banyak buku dan menulis puluhan cerita tentang Gaza. Pembunuhan Refaat sungguh tragis, menyakitkan dan keterlaluan. Ini adalah kerugian yang sangat besar,” tulis temannya dan salah satu pendiri We Are Not Numbers, Ahmed Alnaouq, di X pada Kamis (7/12/2023).3
Dalam ‘Gaza Writes Back’, dia menulis, “Saat kegelapan menyelimuti, aku duduk di dekat jendela dan memandangi rumah-rumah yang bebas listrik, mencium aroma manis malam Gaza yang tenang, merasakan udara segar langsung masuk ke hatiku, dan memikirkanmu, tentangku, tentang Palestina, tentang retakan, tentang tembok kosong, tentang kamu, tentang Mama, tentang kamu, tentang kelas sejarahku, tentang kamu, tentang Tuhan, tentang Palestina, tentang kisah kita yang belum lengkap.”
Saya mulai memperhatikan tentang Palestina dan perkembangan di Timur Tengah secara umum mulai tahun 2000-an dan menuliskan satu dua sajak setiap kali ada peristiwa-peristiwa penting. Hingga saat ini puisi yang saya tulis tentang Palestina sudah lebih dari 60 buah. Tidak banyak. Hanya sekitar 2-3 puisi setiap tahun. Buku ini menghimpun semua puisi-puisi saya yang berkaitan dengan peristiwa di Palestina, Gaza atau Timur Tengah umumnya.
Saya juga memulung banyak buku-buku tentang Palestina, Gaza, Tepi Barat, sastra, politik, dan kebudayaan. Puluhan buku yg saya kumpulkan. Tidak semua saya baca. Hanya dibaca jika diperlukan.
Berkaitan dengan Balfour Declaration 1917 ini saya menulis sebuah sajak pada periode 2 November 2017-9 Desember 2017 dengan judul: 67 kata yang berdarah.
2 November 1917
Ia hanya selarik kertas putih
dengan 67 kata digoreskan,
dan sebuah tanda tangan dibubuhkan
menutup ujung sebuah harapan
mencampakkan hak orang-orang
pada tanah
dan kehidupan yang berabad-abad
lebur
remah 4
Ia hanya selembar kertas putih
dan sejumlah kata-kata pedih
membunuh jutaan manusia,
mengasingkan jutaan penghuninya
menjadi arena perang yang tiada sudah
sebuah lembaran yang membuka jalan nakba 5
hidup tanpa negara
membuka goresan menjadi luka yang kelam
menumpahkan segala darah dalam kisah hitam
seabad lewat, seabad lagi merayap
diantara mesiu,
diantara batu-batu,
diantara ayat-ayat mengalun dari
masjid-masjid, rumah-rumah,
dan medan perebutan
Dengan kumis tebal melintang,
Lord James Arthur Balfour seperti menegaskan
jalan biadab penjajahan
menista orang-orang lemah, pemilik rumah
Pada malam yang mewah sebuah pesta
digelar di mansion Lanchaster House
merayakan seabad 67 kata, mimpi buruk dunia
melahap habis penuh tawa
atas derita orang-orang Palestina
membiarkan mulutnya mengunyah segala
yang penuh darah dan luka
mengumbar teguk anggur merah serupa darah
kata-katanya angkuh,
penjajahan yang dibanggakan
hari itu, di Tepi Barat, Ramallah, Yerusalem,
ribuan orang melawan,
ribuan orang akan tetap
melawan pengasingan
“Ini tanah kami!”
Zionis penjajah Palestina dari awal memang nampak ingin menguasai sepenuhnya tanah air Palestina. Ini terlihat dari pendudukan dan penguasaan Palestina sepanjang masa pendudukan. Memang genosida terhadap rakyat Palestina sering kali digambarkan seolah dimulai pada tahun 1947–1948, saat Nakba, ketika milisi-milisi Zionis secara paksa mengusir lebih dari 750.000 orang Palestina, membantai seluruh desa, dan secara sistematis menghancurkan lebih dari 500 komunitas Palestina. Ada pula yang mencoba menempatkan asal-usulnya lebih belakangan, yakni pada Oktober 2023, ketika Israel melancarkan serangan militer paling menghancurkan terhadap Gaza hingga kini.6 Namun, narasi-narasi tersebut — meskipun mengakui momen-momen penting kekerasan massal — justru menghapus sejarah panjang upaya sistematis Zionis untuk melenyapkan rakyat Palestina. Dengan membingkai genosida hanya sebagai produk dari Nakba atau serangan militer terbaru, genosida itu diperlakukan seakan-akan peristiwa terputus, bukan sebagai bagian dari proyek penghancuran yang berkelanjutan dan terus berlangsung sejak jauh sebelum 1948.
Gerakan Zionis, sejak awal kemunculannya pada 1880-an, dibangun di atas logika eliminasi kolonial-settler yang bertujuan menggusur, memecah-belah, dan melenyapkan rakyat pribumi Palestina. Sejak gelombang awal imigrasi Zionis, komunitas-komunitas Palestina telah menghadapi perampasan tanah, pengusiran paksa, represi militer, serta pengucilan dari kehidupan ekonomi dan politik. Pada saat Israel secara resmi didirikan tahun 1948, kerangka genosida itu sudah berjalan dengan mantap, dengan dekade-dekade kekerasan sistematis yang mendahului berdirinya negara tersebut. Para pemimpin dan strategis militer Zionis sejak lama membayangkan sebuah Palestina tanpa orang Palestina, dan Nakba hanyalah salah satu fase paling intens sekaligus paling tampak dari proses yang terus berlangsung itu.
Lebih jauh lagi, genosida ini tidak terbatas hanya pada Gaza, juga tidak terpisah dari Tepi Barat maupun Palestina 1948 (yang kini disebut Israel). Proyek Zionis tidak pernah mengakui Palestina sebagai satu entitas yang utuh dan berdaulat — melainkan selalu berupaya membagi, mengisolasi, dan secara bertahap melenyapkan rakyatnya dengan menerapkan sistem apartheid yang memperlakukan orang Palestina sebagai populasi yang tidak diinginkan dan bisa dibuang. Pendudukan ilegal atas Tepi Barat, pembersihan etnis di Yerusalem, pengepungan terhadap Gaza, serta apartheid yang dilembagakan di wilayah 1948 bukanlah perjuangan-perjuangan yang terpisah, melainkan wajah-wajah berbeda dari satu genosida kolonial-settler yang terpadu.
Untuk memahami genosida ini, tulis Ember leGaïe, kita harus menolak perspektif sejarah yang terpecah-pecah dan secara artifisial memisahkan Gaza dari Tepi Barat, atau Tepi Barat dari Palestina 1948. Palestina adalah satu wilayah yang utuh, dan kolonialisme pemukim Zionis sejak awal selalu memperlakukannya demikian — berupaya melenyapkan rakyat pribumi tanpa memandang batas geografis. Proyek kolonial-settler Zionis, yang dimulai pada akhir abad ke-19, sejak awal memang ditujukan untuk sepenuhnya membongkar keberadaan Palestina, bukan hanya di Gaza, tetapi di seluruh wilayah Palestina historis.
Prof. Jason Hickel, seorang antropolog ekonomi, berpendapat bahwa pembebasan Palestina memiliki implikasi signifikan terhadap sistem kapitalisme global. Menurutnya, pembebasan Palestina akan mengarah pada pembebasan seluruh Timur Tengah, yang pada gilirannya dapat mengancam stabilitas kapitalisme di negara-negara inti. Hal ini disebabkan oleh potensi perubahan dalam kontrol sumber daya dan dinamika ekonomi yang saat ini menopang sistem kapitalis global.7 Hickel juga menekankan bahwa kapitalisme dan krisis ekologis saling terkait, di mana negara-negara di Global North bertanggung jawab atas emisi berlebih dan ekstraksi sumber daya yang mendorong kerusakan iklim. Dalam konteks ini, Palestina berada di pusat perjuangan melawan kolonialisme dan kerusakan lingkungan, sehingga pembebasannya dianggap sebagai ancaman bagi struktur kapitalisme global yang ada.8
Dengan demikian, pembebasan Palestina tidak hanya menjadi isu regional, tetapi juga simbol perlawanan terhadap sistem kapitalisme global yang eksploitatif. Hal ini menyoroti pentingnya solidaritas internasional dalam mendukung perjuangan Palestina sebagai bagian dari upaya lebih luas untuk menciptakan sistem ekonomi yang lebih adil dan berkelanjutan.
Dalam setiap penjajahan oleh kaum kolonialis penguasaan tanah tidaklah pernah cukup. Mereka harus menghapus segala sejarah, pemikiran, ucapan, karya sastra, apapun yang ada di wilayah pendudukan. Karena membunuh para penyair adalah bagian dari misi menghapus jejak-jejak kebudayaan dan peradaban Bangsa Palestina.
Kematian penyair Refaat pada Desember 2023 itu menyisakan duka yang mendalam bagi orang-orang yang mengenalnya. Chris Hedges, wartawan senior yang banyak meliput perang menulis artikel “Letter to Refaat Alareer.”9
“Refaat, saudaraku,” tulisnya membuka surat itu. Aku tahu kau mendengar kami. Aku tahu kau mendengar suara anak-anakmu yang menangis dalam gelap, memanggil nama ayah mereka. Aku tahu kau mendengar suara ibumu, kakak-kakak perempuanmu, dan saudaramu yang tewas dalam pemboman, bersamamu, di rumah keluargamu di Gaza. Aku tahu kau mendengar suara reruntuhan yang bergemuruh, bangunan-bangunan yang hancur menjadi debu, dan teriakan mereka yang terkubur hidup-hidup di bawahnya.
Aku tahu kau mendengar suara bayi yang kelaparan, yang tubuhnya kecil mengerut, mengejang dalam keheningan kematian. Aku tahu kau mendengar suara tercekik dari mereka yang tertimbun puing-puing, dari mereka yang tertatih-tatih mencari air, dari mereka yang menatap langit dengan mata kosong menunggu kematian.
Aku tahu kau mendengar suara doa yang diucapkan oleh mereka yang sekarat. Aku tahu kau mendengar suara desingan peluru dan dentuman rudal yang menghancurkan sekolah, rumah sakit, kamp pengungsi, ambulans, dan masjid.
Aku tahu kau mendengar jeritan ketakutan dan penderitaan. Aku tahu kau mendengar suara ibu-ibu yang mengguncang tubuh anak-anak mereka yang tak lagi bernyawa, yang menciumi wajah mereka yang berlumuran darah, yang menggendong mereka untuk terakhir kalinya.
Aku tahu kau mendengar suara-suara itu, Refaat, karena suara-suara itu adalah bagian darimu. Suara-suara itu adalah puisi-puisimu.
“Jika aku harus mati…” tulismu beberapa waktu lalu,
“maka biarlah aku mati dengan bangga,
tanpa keputusasaan atau air mata.
Biarlah aku mati dengan kemuliaan,
berdiri, bukan berlutut.
Biarlah aku mati dengan keberanian,
menentang kejahatan mereka,
menolak untuk tunduk.
Biarlah aku mati dengan senyum,
tidak hancur oleh kesedihan,
tidak kehilangan keyakinan pada keadilan.
Biarlah aku mati dengan kehangatan di hati,
dalam pelukan cinta,
sebagai syuhada,
bukan korban.
Biarlah aku mati karena aku telah hidup.”
Dan mereka membunuhmu, Refaat. Mereka menghancurkan tubuhmu dengan bom.
Mereka menghapusmu dari dunia ini. Namun, mereka tidak dapat membunuh puisimu. Mereka tidak dapat membunuh suaramu. Mereka tidak dapat membunuh kebenaran yang kau tulis dan ucapkan.
Mereka tidak dapat membunuh cinta yang telah kau berikan kepada dunia, kepada murid-muridmu, kepada anak-anakmu, kepada bangsamu.
Mereka tidak dapat membunuh harapan yang kau tanamkan dalam hati orang-orang yang tertindas. Mereka tidak dapat membunuh cahaya yang kau nyalakan dalam gelap. Puisi-puisimu akan tetap hidup. Kata-katamu akan tetap hidup.
Jiwamu akan tetap hidup.
Kami mendengarmu, Refaat. Kami akan selalu mendengarmu.
Pada bagian lain Chris Hedges juga menuliskan: Kami tidak diam. Kami sedang dibungkam. Para mahasiswa yang pada tahun akademik lalu mendirikan kamp-kamp protes, menduduki aula, melakukan mogok makan, dan berbicara menentang genosida, kini dihadapkan pada serangkaian aturan yang telah mengubah kampus-kampus universitas menjadi gulag akademik.
Di antara segelintir akademisi yang berani berbicara, banyak yang mendapatkan sanksi atau dipecat. Para profesional medis yang mengkritik penghancuran rumah sakit dan klinik oleh Israel, serta pembunuhan yang ditargetkan terhadap para tenaga kesehatan di Gaza, telah ditangguhkan atau dikeluarkan dari fakultas kedokteran. Beberapa bahkan menghadapi ancaman pencabutan izin medis mereka.
Para jurnalis yang melaporkan pembantaian massal dan membongkar propaganda Israel telah ditarik dari siaran atau dipecat dari media mereka. Pekerjaan hilang hanya karena unggahan di media sosial. Para politisi yang mengutuk pembunuhan ini telah menjadi sasaran kampanye jutaan dolar untuk menyingkirkan mereka dari jabatan. Algoritma, shadow-banning, deplatforming, dan demonetisasi—semua hal yang telah saya alami—digunakan untuk meminggirkan atau menghapus suara kami di platform digital. Satu bisikan protes, dan kami menghilang.
Tidak satu pun dari tindakan represif ini akan dicabut setelah genosida berakhir. Genosida hanyalah dalih. Hasil akhirnya adalah langkah besar menuju negara otoriter, terutama dengan naiknya kembali Donald Trump ke panggung politik. Keheningan ini akan meluas, seperti awan gas belerang yang mencekik. Kata-kata yang dilarang membuat kita tercekik.
Mereka membunuhmu. Mereka juga membungkam kami. Tujuan mereka sama: penghapusan.
Kisahmu—kisah semua rakyat Palestina—tidak boleh diceritakan.
Kekuatan Kata-kata
Zionis dan sekutu-sekutunya tidak lagi memiliki apa pun dalam gudang senjata mereka selain kebohongan, sensor, kampanye fitnah, dan kekerasan—senjata tumpul kaum terkutuk.
Israel telah melakukan lebih dari 900 pelanggaran perjanjian sejak gencatan senjata mulai berlaku pada 19 Januari 2024.10 Tetapi pelanggaran-pelanggaran itu selalu tidak pernah mendapatkan kutukan, apalagi hikuman secuilpun. Zionis Israel inilah kelompok satu-satunya yang mengaku dan terpaksa diakui sebagai negara yang dengan seenaknya melanggar hukum internasional tanpa ada sanksi apapun. Negara-negara penjajah yang berkuasa atas suara di Persatuan Bangsa-Bangsa, termasuk Amerika Serikat, Inggris, Perancis, Jerman, dan Kanada selalu berada di balik pembiaran dan bahkan pelindung tanpa syarat. Propaganda yang tak henti dan selalu dimultiplikasi oleh negara-negara Barat membuat seolah-olah yang salah menjadi benar. Kata-kata semacam “self-defend,” “anti-semit,” “the most moral army in the world,” atau “the most democratic state in the middle east,” begitu mudah meluncur dari mulut berlumur darah para pendukung zionis.
Simak gagalnya gencatan senjata ini:
Israel: Berikan sandera kami, dan kami akan tetap menahan banyak sandera kalian. Lalu, setelah beberapa minggu, kami akan mulai membunuh rakyat kalian lagi dengan bom dari AS.
Hamas: Tidak, kami menginginkan perdamaian yang langgeng dan hak asasi manusia dasar kami.
Israel: Tidak.
Media: Hamas kembali menolak kesepakatan gencatan senjata lainnya!
Kemunafikan media dan negara-negara Barat begitu telanjang. Tanpa malu tanpa punya moral apapun.
Para penyair Palestina tentu juga menggunakan kata-kata sebagai senjata. Itulah satu-satunya senjata bagi mereka. Puisi mereka selalu menakutkan pendudukan Zionis. Karena itu mereka diburu dan dibidik untuk disingkirkan. “.. aku memegang senjata yang, pada akhirnya, akan mengalahkan mereka: Bukuku, “If I Must Die: Poetry and Prose.” “Cerita mengajarkan kehidupan,” tulismu, “bahkan jika pahlawannya menderita atau pada akhirnya mati.”
Seperti ditulis Hedges, menulis, kau ajarkan kepada murid-muridmu, adalah kesaksian, ingatan yang melampaui pengalaman manusia mana pun, dan kewajiban untuk berkomunikasi dengan diri kita sendiri dan dunia.
“Kita hidup untuk sebuah alasan—untuk menceritakan kisah kehilangan, bertahan hidup, dan harapan.”
Sudah lebih setahun sejak rudal Israel menargetkan apartemen lantai dua tempatmu berlindung. Kau telah menerima ancaman pembunuhan selama berminggu-minggu, baik secara online maupun lewat telepon, dari akun-akun Israel. Kau sudah berpindah dari satu tempat ke tempat lain berkali-kali. Akhirnya, kau melarikan diri ke rumah saudaramu di Al-Sidra, Kota Gaza.
Namun, kau tidak bisa lolos dari pemburu-pemburumu. Kau dibunuh bersama saudaramu Salah, salah satu anaknya, saudara perempuanmu, dan tiga anaknya.
Warisan Penyair yang Gugur
Kau menulis puisimu “If I Must Die” pada tahun 2011. Sebulan sebelum kematianmu, kau menerbitkannya kembali. Kini, puisi itu telah diterjemahkan ke dalam lusinan bahasa.
Kau menulisnya untuk putrimu, Shymaa.
Pada April 2024, empat bulan setelah kematianmu, Shymaa terbunuh dalam serangan udara Israel, bersama suaminya dan anak mereka yang baru berusia dua bulan, cucumu yang tidak pernah sempat kau temui.
Mereka mencari perlindungan di gedung milik badan amal internasional Global Communities, tetapi tetap tidak selamat.
Kau menulis kepada Shymaa:
“Jika aku harus mati, kau harus hidup.
Untuk menceritakan kisahku,
menjual barang-barangku,
membeli selembar kain dan beberapa helai tali.
(Buatlah putih, dengan ekor panjang),
agar seorang anak di Gaza,
yang sedang menatap langit
menunggu kepulangan ayahnya
yang pergi dalam kobaran api,
melihat layang-layang itu
—layang-layang yang kau buat—
terbang di atas sana,
dan berpikir sejenak bahwa
ada seorang malaikat di sana,
membawa cinta kembali.”
Kau telah bergabung dengan para penyair syahid—Federico García Lorca dari Spanyol, Osip Mandelstam dari Rusia, Miklós Radnóti dari Hongaria, Víctor Jara dari Chili, dan Henry Dumas yang ditembak mati oleh polisi New York.
Mengapa Mereka Takut pada Penyair?
Kau bukan seorang pejuang bersenjata. Kau tidak membawa senjata. Kau hanya menuliskan kata-kata di atas kertas. Namun, seluruh kekuatan tentara dan intelijen Israel dikerahkan untuk memburu dan membunuhmu.
Puisi adalah ratapan pilu bagi kaum tertindas. Ia membuat dunia merasakan penderitaan. Ia bersifat intuitif, menangkap emosi kompleks—kegembiraan, cinta, kehilangan, ketakutan, kematian, trauma, dan duka—saat dunia runtuh.
Puisi menciptakan makna penyelamat di tengah keputusasaan. Ia adalah tindakan harapan yang absurd, tindakan perlawanan yang menantang, mengejek mereka yang mendewakan kebencian dengan kecerdasan dan kepekaan.
Keindahannya yang rapuh, pengudusannya terhadap memori dan pengalaman, musikalitasnya—semuanya mengolok-olok slogan-slogan sederhana dan retorika kosong dari para pembunuh.
Mereka Membunuhmu, Tapi Tidak Suaramu
Eksistensi rakyat Palestina adalah perjuangan untuk menolak kebiadaban penjajah Israel, untuk menolak mencerminkan kebencian mereka atau meniru kebrutalan mereka.
Namun, kau berjuang dengan gigih demi kemanusiaanmu—dan kemanusiaan kami—hingga akhir.
Kau menemukan keselamatan dan harapan dalam kata-kata yang menangkap realitas orang-orang yang menghadapi pemusnahan dan kematian.
Kau meminta kami merasakan kehidupan yang telah hilang, termasuk hidupmu sendiri. Kau tahu akan datang hari—hari yang mungkin takkan pernah kau lihat—di mana kata-katamu akan mengungkap kejahatan mereka yang membunuhmu dan mengangkat nyawa-nyawa yang telah kau hormati dan cintai.
Kau berhasil.
Kematian merenggutmu, tetapi tidak suaramu.
Tidak juga suara mereka yang kau kenang.
Kau, dan mereka, akan terus hidup.
Palestina dan Keberanian
Masalah Palestina adalah perlawanan terhadap kolonialisme terakhir abad ini yang datangnya terlambat. Palestina adalah proyek kolonialisme yang diciptakan untuk menguasai sumberdaya alam yang melimpah di wilayah Afrika Utara (bahasa kolonialismenya: Timur Tengah). Tetapi pada sisi umat Islam Palestina adalah sebuah wilayah yang istimewa.11 Meskipun genosida barangkali tidak akan pernah berhenti dalam waktu dekat. Dan perlawanan juga tidak akan pernah padam hingga akhirnya hanya kemenanganlah yang mengakhirinya.
Seperti dicatat Ember leGaïe genosida terhadap bangsa Palestina tidak berhenti pada tahun 1948—ia justru berevolusi ke dalam bentuk-bentuk baru berupa pendudukan militer, apartheid, pengepungan, dan pembunuhan massal (Jamal, 2017).12 Kebijakan-kebijakan Zionis terus merampas tanah, sejarah, dan hak hidup orang Palestina. Alat-alat genosida mungkin berubah, tetapi tujuannya tetap sama: eliminasi bertahap atas kehidupan bangsa Palestina:
- Di Tepi Barat, pemukim Zionis—dengan dukungan militer Israel—merampas tanah, menghancurkan rumah-rumah Palestina, dan melakukan pembantaian, memaksa semakin banyak keluarga masuk ke dalam pengasingan permanen (Reynolds, 2020)13.
- Di Gaza, rakyat Palestina menghadapi pengepungan total, serangan militer berulang, serta kebijakan kelaparan yang secara sengaja dirancang untuk membuat hidup mustahil dijalani. Dengan lebih dari 85% penduduk Gaza dipaksa mengungsi dan infrastrukturnya dihancurkan secara sistematis, pejabat-pejabat Israel kini secara terbuka menyerukan “migrasi” paksa warga Gaza sebagai solusi final (Masri, 2017 14; Middle East Monitor, 2024 15).
- Di dalam perbatasan Israel 1948, orang Palestina hidup di bawah sistem apartheid yang dilembagakan, yang bertujuan menghapus identitas mereka, membatasi hak-hak mereka, dan mendorong mereka ke kondisi marginalisasi yang ekstrem (Spangler, 2019)16.
Masing-masing mekanisme ini bukanlah kebijakan terpisah—semuanya adalah komponen dari sebuah struktur genosida yang terpadu, dirancang untuk melenyapkan keberadaan bangsa Palestina melalui pengusiran, militerisasi, pencekikan ekonomi, dan kekerasan langsung (Afana, 2023). Satu-satunya perbedaan adalah metode yang digunakan di berbagai wilayah—apakah lewat pengepungan, pendudukan militer, legislasi apartheid, atau migrasi paksa, tujuan akhirnya tetap sama: penghancuran Palestina.
Menyebutnya dengan Nama yang Sebenarnya: Genosida Zionis
Terlalu lama, diskusi tentang kekerasan Zionis dilemahkan dengan eufemisme—istilah seperti “konflik,” “pendudukan,” “pembersihan etnis,” dan “operasi militer” yang mengaburkan kenyataan. Namun kenyataannya jelas: ini adalah genosida (Reynolds, 2020).
- Zionisme tidak pernah tentang koeksistensi—ia sejak awal selalu tentang penggantian, eliminasi, dan penghancuran (Masri, 2017).
- Genosida terhadap bangsa Palestina tidak dimulai pada tahun 1947 atau 2023—ia dimulai sejak pemukim Zionis pertama tiba di Palestina dengan niat eksplisit untuk melenyapkan penduduk aslinya (Dana & Jarbawi, 2017)17.
- Ini bukanlah pertarungan agama kuno—ini adalah proyek kolonial-settler modern, yang didukung kekuatan imperialis global, dengan tujuan sistematis menghapus seluruh bangsa dari tanahnya (Afana, 2023)18.
Menyebutnya dengan istilah lain selain genosida berarti menyangkal sejarah, mengabaikan kenyataan, dan memungkinkan kelanjutannya (Spangler, 2019). Genosida ini harus disebut, dihadapi, dan dibongkar—karena hingga Zionisme dikalahkan, genosida terhadap bangsa Palestina tidak akan pernah berakhir (Jamal, 2017).
Catatan-catatan kecil dari peristiwa besar ini saya himpun dalam sebuah buku puisi yang akan segera terbit secara indie. Himpunan puisi dalam buku ini adalah rekaman kecil atas beberapa peristiwa-peristiwa yang dialami Bangsa Palestina dalam perjuangan hidup mereka, Palestina Merdeka.
Bogor-Tarakan, 2 Oktober 2025
1 Bermain dan bertanding (dalam beberapa jenis permainan anak di Palestina) biasa dilakukan. Tapi kini hampir semua fasilitas publik dan tempat bersahaja pun hancur. Dalam sejarah, di berbagai lokasi yang saling berjauhan, di Mesir, Palestina, dan Mesopotamia, para arkeolog telah menemukan berbagai bentuk papan permainan, dadu, dan benda-benda permainan, beberapa di antaranya berasal dari zaman pra-Abraham. Pada relief sebuah pintu gerbang kuil di Mesir, Ramses III terlihat sedang asyik dengan semacam permainan dam dengan salah seorang gundiknya. Untuk menentukan langkah para pemain, dalam kebanyakan permainan digunakan dadu atau cara lain, yaitu melemparkan tongkat. Pada lukisan-lukisan Mesir digambarkan orang yang menari dan bermain musik, juga gadis-gadis Mesir yang bermain bola, melemparkan beberapa bola sekaligus ke udara. Ada lagi permainan anak-anak, yang dilakukan secara berkelompok, misalnya sejenis permainan tarik tambang. Bermain gundu juga populer.
2 Shijaiya ini adalah nama tempat yang biasa dituliskan sebagai Shujaiya, Jalur Gaza. Secara lokal Shujaiya diucapkan sebagai Shijaiya yang berarti the land of the brave–tanah para pemberani
3 Israel Bunuh Profesor Refaat Alareer di Gaza, Ini Kata-Kata Terakhirnya”. Untuk selengkapnya kunjungi:
https://international.sindonews.com/read/1272181/43/israel-bunuh-profesor-refaat-alareer-di-gaza-ini-kata-kata-terakhirnya-1702062739
4 Ini adalah surat yang ditandatangani Menteri Luar Negeri Britania Raya, Lord James Arthur Balfour. Surat tertanggal 2 November 1917 tersebut berumur tepat seratus tahun pada 2 November 2017. Surat berisi pengakuan perdana oleh pemerintah Britania Raya soal perlunya wangsa Yahudi memiliki negara di wilayah Palestina yang saat itu telah didiami bangsa Arab. Surat itu kemudian memicu perang pendirian negara zionis Israel pada 1935, pembentukan negara Israel pada 1948, dan terusirnya 700 ribu bangsa Arab Palestina. Pada 7 Desember 2017, Presiden Amerika Serikat mengakui Yerusalem sebagai ibu kota Israel, sebuah langkah tragis mengikuti yang dulu dilakukan Balfour, seabad lewat.
5 Nakba dalam bahasa Palestina diartikan sebagai petaka. Warga Palestina memandang Deklarasi Balfour sebagai pembawa “nakba” alias petaka buat bangsa mereka. Penderitaan yang bermula saat ribuan warga Palestina diusir dari rumah-rumah mereka menyusul pembentukan negara Israel pada 1948. Penderitaan yang mengakar dan membuat perdamaian sulit mewujud di Timur Tengah.
6 Lihat misalnya artikel yang ditulis Ember leGaïe pada Marginalia Subversiva: The Zionist Genocide Against Palestinians Began in the 1880s—Not in 1947, and Not in 2023: A Long-Standing Genocide.
7 braveneweurope.com
8 tni.org
9 Chris Hedges adalah seorang jurnalis, penulis, dan aktivis Amerika yang dikenal karena liputannya tentang perang, politik, dan isu-isu sosial. Ia menghabiskan hampir dua dekade sebagai koresponden perang untuk The New York Times, NPR, dan The Christian Science Monitor, meliput konflik di lebih dari 50 negara, termasuk di Timur Tengah, Balkan, dan Amerika Latin. Hedges adalah penulis sejumlah buku terkenal, termasuk War Is a Force That Gives Us Meaning (2002), Empire of Illusion (2009), dan America: The Farewell Tour (2018), yang mengkritik kapitalisme korporat dan dampaknya terhadap masyarakat. Pada 2022 ia mendirikan The Chris Hedges Report.
10 Beberapa ayat dalam Al-Qur’an yang menggambarkan sifat-sifat Bani Israil (kaum Yahudi) yang sering berbohong dan mengingkari perjanjian adalah sebagai berikut:
1. Selalu Mengingkari Perjanjian
Surah Al-Baqarah (2:100):
_”Apakah setiap kali mereka mengikat janji, sekelompok dari mereka pasti melanggarnya? Bahkan, kebanyakan dari mereka tidak beriman.”_
Arab:
أَوَكُلَّمَا عَاهَدُوا عَهْدًا نَّبَذَهُ فَرِيقٌ مِّنْهُم بَلْ أَكْثَرُهُمْ لَا يُؤْمِنُونَ
Ayat ini menegaskan bahwa kaum Yahudi sering melanggar janji mereka, bahkan setelah perjanjian itu dibuat dengan sungguh-sungguh.
2. Suka Berbohong dan Memutarbalikkan Fakta
Surah Al-Baqarah (2:79):
_”Maka celakalah orang-orang yang menulis kitab dengan tangan mereka sendiri, lalu mereka berkata, ‘Ini dari Allah,’ untuk menjualnya dengan harga murah. Maka celakalah mereka karena apa yang mereka tulis, dan celakalah mereka karena apa yang mereka perbuat.”_
Arab:
فَوَيْلٌۭ لِّلَّذِينَ يَكْتُبُونَ ٱلْكِتَٰبَ بِأَيْدِيهِمْ ثُمَّ يَقُولُونَ هَٰذَا مِنْ عِندِ ٱللَّهِ لِيَشْتَرُوا۟ بِهِۦ ثَمَنًۭا قَلِيلًۭا فَوَيْلٌۭ لَّهُم مِّمَّا كَتَبَتْ أَيْدِيهِمْ وَوَيْلٌۭ لَّهُم مِّمَّا يَكْسِبُونَ
Ayat ini menjelaskan bagaimana mereka sering memalsukan wahyu dan mengubah kitab suci mereka sendiri demi kepentingan duniawi.
3. Suka Menyebarkan Fitnah dan Kerusakan di Muka Bumi
Surah Al-Ma’idah (5:64):
_”Orang-orang Yahudi berkata, ‘Tangan Allah terbelenggu.’ Padahal, tangan merekalah yang sebenarnya dibelenggu, dan mereka dilaknat karena perkataan mereka. Sebenarnya, tangan Allah terbuka, Dia memberi rezeki sebagaimana yang Dia kehendaki. Dan apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu pasti akan menambah kedurhakaan dan kekafiran bagi banyak dari mereka. Dan Kami telah menebarkan permusuhan dan kebencian di antara mereka hingga hari Kiamat. Setiap kali mereka menyalakan api peperangan, Allah memadamkannya, dan mereka berusaha menimbulkan kerusakan di bumi, sedangkan Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan.”_
Arab:
وَقَالَتِ ٱلْيَهُودُ يَدُ ٱللَّهِ مَغْلُولَةٌ غُلَّتْ أَيْدِيهِمْ وَلُعِنُوا۟ بِمَا قَالُوا۟ ۘ بَلْ يَدَاهُ مَبْسُوطَتَانِ يُنفِقُ كَيْفَ يَشَآءُ ۚ وَلَيَزِيدَنَّ كَثِيرًۭا مِّنْهُم مَّآ أُنزِلَ إِلَيْكَ مِن رَّبِّكَ طُغْيَٰنًۭا وَكُفْرًۭا ۚ وَأَلْقَيْنَا بَيْنَهُمُ ٱلْعَدَوَةَ وَٱلْبَغْضَآءَ إِلَىٰ يَوْمِ ٱلْقِيَٰمَةِ ۚ كُلَّمَآ أَوْقَدُو نَارًۭا لِّلْحَرْبِ أَطْفَأَهَا ٱللَّهُ وَيَسْعَوْنَ فِى ٱلْأَرْضِ فَسَادًۭا ۚ وَٱللَّهُ لَا يُحِبُّ ٱلْمُفْسِدِينَ
Ayat ini menunjukkan bahwa kaum Yahudi sering menimbulkan kekacauan dan fitnah di dunia, serta Allah telah menanamkan permusuhan dan kebencian di antara mereka sendiri.
Kesimpulan:
Al-Qur’an telah memberikan gambaran tentang sifat-sifat buruk kaum Yahudi, di antaranya:
1. Mengingkari perjanjian yang telah mereka buat dengan Allah dan manusia.
2. Berbohong dan memutarbalikkan kebenaran demi kepentingan duniawi.
3. Menyebarkan fitnah dan melakukan kerusakan di muka bumi.
Sifat-sifat ini masih dapat kita lihat dalam konflik di Palestina, di mana perjanjian yang dibuat oleh Israel sering kali diingkari, propaganda dan kebohongan mereka terhadap dunia terus berlangsung, serta kerusakan dan penderitaan yang mereka timbulkan terhadap rakyat Palestina terus berlanjut. Semoga Allah memberikan pertolongan kepada rakyat Palestina dan membuka mata dunia terhadap kezaliman yang terjadi. Aamiin.
11 Ada beberapa hadits yang berbicara tentang keutamaan Palestina dan penduduknya, serta tentang keberanian mereka dalam menjaga Masjid Al-Aqsha. Salah satu hadits yang sering dikaitkan dengan hal ini adalah sebagai berikut:
Nabi tentang Palestina
1. Hadits tentang Keutamaan Penduduk Syam (Termasuk Palestina) dan Keteguhan Mereka
عَنْ أَبِي أُمَامَةَ الْبَاهِلِيِّ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ: لَا تَزَالُ طَائِفَةٌ مِنْ أُمَّتِي عَلَى الْحَقِّ ظَاهِرِينَ، لِعَدُوِّهِمْ قَاهِرِينَ، لَا يَضُرُّهُمْ مَنْ خَالَفَهُمْ، إِلَّا مَا أَصَابَهُمْ مِنْ لَأْوَاءَ، حَتَّى يَأْتِيَهُمْ أَمْرُ اللَّهِ وَهُمْ كَذَلِكَ. قَالُوا: يَا رَسُولَ اللَّهِ، وَأَيْنَ هُمْ؟ قَالَ: بِبَيْتِ الْمَقْدِسِ وَأَكْنَافِ بَيْتِ الْمَقْدِسِ
Transliterasi:
‘An Abī Umāmah al-Bāhilī, qāla: Qāla Rasūlullāh ﷺ: Lā tazālu ṭāifatun min ummatī ‘alal-ḥaqqi ẓāhirīn, li‘aduwwihim qāhirīn, lā yaḍurruhum man khālafahum, illā mā aṣābahum min la’waā, ḥattā ya’tiyahum amrullāhi wa hum każālik. Qālū: Yā Rasūlallāh, wa ayna hum? Qāla: Bibaytil Maqdis wa aknāfi Baytil Maqdis.
Terjemahan:
Dari Abu Umamah Al-Bahili radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah ﷺ bersabda:
“Akan selalu ada sekelompok dari umatku yang teguh di atas kebenaran, mengalahkan musuh mereka, dan tidak akan membahayakan mereka orang-orang yang menyelisihi mereka, kecuali kesulitan yang menimpa mereka, hingga datang ketetapan Allah sementara mereka tetap seperti itu.” Para sahabat bertanya, “Wahai Rasulullah, di manakah mereka?”
Beliau ﷺ menjawab, “Mereka berada di Baitul Maqdis dan di sekitar Baitul Maqdis.”
(HR. Ahmad No. 22320, Thabrani dalam Al-Mu’jam Al-Kabir No. 7470, Al-Hakim dalam Al-Mustadrak No. 8572, dan disahihkan oleh Al-Albani dalam Silsilah Al-Ahadits Ash-Shahihah No. 1954).
2. Hadits tentang Keberanian Penduduk Syam (Palestina) dalam Mempertahankan Islam
عَنْ مُعَاوِيَةَ بْنِ أَبِي سُفْيَانَ قَالَ: سَمِعْتُ النَّبِيَّ ﷺ يَقُولُ: لَا تَزَالُ طَائِفَةٌ مِنْ أُمَّتِي يُقَاتِلُونَ عَلَى الْحَقِّ ظَاهِرِينَ، مَنْ خَالَفَهُمْ لَا يَضُرُّهُمْ، حَتَّى تَقُومَ السَّاعَةُ
Transliterasi:
‘An Mu‘āwiyah bin Abī Sufyān qāla: Sami‘tu an-Nabiyya ﷺ yaqūlu: Lā tazālu ṭāifatun min ummatī yuqātilūna ‘alal-ḥaqqi ẓāhirīn, man khālafahum lā yaḍurruhum, ḥattā taqūmas-sā‘ah.
Terjemahan:
Dari Mu’awiyah bin Abi Sufyan radhiyallahu ‘anhu, ia berkata: Aku mendengar Nabi ﷺ bersabda: “Akan selalu ada sekelompok dari umatku yang berperang di atas kebenaran dan selalu menang, siapa pun yang menyelisihi mereka tidak akan membahayakan mereka, hingga datangnya hari kiamat.”
(HR. Bukhari No. 7311 dan Muslim No. 1921).
Hadits ini sering dikaitkan dengan penduduk Palestina karena Rasulullah ﷺ dalam hadits lain menyebut bahwa orang-orang yang berada di sekitar Baitul Maqdis (Palestina) adalah bagian dari kelompok ini yang akan terus berjuang hingga akhir zaman. 3. Hadits tentang Keutamaan Beribadah di Baitul Maqdis dan Berpegang Teguh di Tanah Palestina
عَنْ مَيْمُونَةَ مَوْلَاةِ النَّبِيِّ ﷺ، قَالَتْ: يَا نَبِيَّ اللَّهِ، أَفْتِنَا فِي بَيْتِ الْمَقْدِسِ، قَالَ: أَرْضُ الْمَحْشَرِ وَالْمَنْشَرِ، ائْتُوهُ فَصَلُّوا فِيهِ، فَإِنَّ صَلَاةً فِيهِ كَأَلْفِ صَلَاةٍ فِي غَيْرِهِ، قُلْتُ: أَرَأَيْتَ إِنْ لَمْ أَسْتَطِعْ أَنْ أَتَحَمَّلَ إِلَيْهِ؟ قَالَ: فَتُهْدِي لَهُ زَيْتًا يُسْرَجُ فِي قَنَادِيلِهِ، فَمَنْ فَعَلَ فَهُوَ كَمَنْ أَتَاهُ
Transliterasi:
‘An Maymūnah mawlā an-Nabiyyi ﷺ qālat: Yā Nabiyya Allāh, aftinā fī Baytil Maqdis. Qāla: Arḍul-maḥsyari wal-mansyar, i’tūhu faṣallū fīhi, fa inna ṣalātan fīhi ka’alfi ṣalātin fī ghayrihi. Qultu: Ara’ayta in lam astaṭi‘ an ataḥammala ilayh? Qāla: Fatuhdī lahu zaytan yusraju fī qanādīlihi, fa man fa‘ala fahuwa ka man atāhu.
Terjemahan:
Dari Maimunah, mantan budak Nabi ﷺ, ia berkata: “Wahai Nabi Allah, beritahukanlah kepada kami tentang Baitul Maqdis.”
Beliau ﷺ menjawab: “Itu adalah tanah tempat berkumpulnya manusia (di hari kiamat) dan tempat mereka dibangkitkan. Datangilah dan shalatlah di dalamnya, karena satu shalat di dalamnya sama dengan seribu shalat di tempat lain.”
Aku bertanya, “Bagaimana jika aku tidak mampu bepergian ke sana?”
Beliau ﷺ bersabda: “Maka kirimkanlah minyak agar lampu-lampunya dapat menyala. Barang siapa yang melakukannya, maka pahalanya seperti orang yang datang ke sana.”
(HR. Ibnu Majah No. 1407, Ahmad No. 27586, dan Al-Tabarani dalam Al-Mu’jam Al-Kabir No. 1090, disahihkan oleh Al-Albani dalam Shahih At-Targhib No. 1173).
Hadits-hadits di atas menunjukkan bahwa:
1. Penduduk Palestina dan Baitul Maqdis (Al-Aqsha) akan selalu ada dalam perjuangan membela kebenaran hingga akhir zaman.
2. Mereka adalah orang-orang yang berani dan tidak tergoyahkan oleh kesulitan.
3. Baitul Maqdis adalah tanah yang diberkahi dan memiliki keutamaan luar biasa.
4. Bahkan jika seseorang tidak bisa datang ke Palestina, ia tetap bisa mendapatkan pahala dengan memberikan dukungan, seperti dalam bentuk bantuan yang membantu menjaga masjid.
Semoga kita selalu diberikan kesempatan untuk mendukung Palestina, Masjid Al-Aqsha, dan kaum Muslimin yang mempertahankannya. Amin.
Sementara itu terdapat sejumlah Hadits Rasulullah ﷺ dan Relevansinya dengan Kondisi Palestina saat Ini. Hadits-hadits yang telah disebutkan di atas disampaikan oleh Rasulullah ﷺ sekitar 14 abad yang lalu, ketika Islam mulai menyebar di Semenanjung Arab dan wilayah sekitarnya. Keajaiban dari hadits-hadits ini terletak pada relevansinya yang terus bertahan hingga hari ini, khususnya dalam konteks perjuangan rakyat Palestina.
1. Hadits sebagai Nubuwah (Ramalan) tentang Perjuangan Abadi Palestina
Salah satu hadits paling relevan adalah hadits tentang sekelompok umat Islam yang akan selalu berada di atas kebenaran dan mempertahankan wilayah Baitul Maqdis dan sekitarnya:
> “Akan selalu ada sekelompok dari umatku yang teguh di atas kebenaran, mengalahkan musuh mereka, dan tidak akan membahayakan mereka orang-orang yang menyelisihi mereka, kecuali kesulitan yang menimpa mereka, hingga datang ketetapan Allah sementara mereka tetap seperti itu.” > (HR. Ahmad, Thabrani, Al-Hakim, dan disahihkan oleh Al-Albani dalam Silsilah Ash-Shahihah No. 1954). Para sahabat bertanya, “Wahai Rasulullah, di manakah mereka?” Beliau ﷺ menjawab, “Mereka berada di Baitul Maqdis dan di sekitar Baitul Maqdis.”
Hadits ini menggambarkan keteguhan rakyat Palestina dalam menghadapi berbagai bentuk penjajahan dan penindasan. Sejarah membuktikan bahwa selama berabad-abad, Palestina telah mengalami berbagai gelombang kolonialisme, mulai dari Romawi, Tentara Salib, Mongol, Kesultanan Utsmaniyah, Inggris, hingga penjajahan Zionis Israel saat ini.
Namun, seperti yang dinubuatkan dalam hadits, selalu ada kelompok yang tetap berjuang mempertahankan tanah ini, dan mereka tidak pernah menyerah. Hal ini terlihat jelas dari perjuangan rakyat Palestina sejak 1948 (Nakba), 1967 (Perang Enam Hari), Intifada pertama (1987), Intifada kedua (2000), hingga perlawanan berkelanjutan di Gaza, Tepi Barat, dan wilayah lainnya.
2. Bukti Nyata Keteguhan Rakyat Palestina di Era Modern
Berikut adalah beberapa bukti nyata bagaimana hadits Nabi ﷺ tersebut benar-benar terjadi di zaman ini:
a. Perlawanan yang Tidak Pernah Padam
– Meskipun diblokade secara ekonomi dan militer, rakyat Palestina tetap melawan dengan segala daya yang mereka miliki.
– Intifada (pemberontakan rakyat Palestina) sudah terjadi dua kali secara besar-besaran (1987 dan 2000), menunjukkan bahwa generasi demi generasi tidak pernah tunduk pada penjajahan.
b. Ketahanan dan Pengorbanan Tanpa Henti
– Di Gaza, meskipun dibombardir berkali-kali oleh Israel, masyarakat tetap bertahan dan terus membangun kembali kehidupan mereka.
– Anak-anak Palestina tetap pergi ke sekolah meskipun sekolah mereka sering dihancurkan.
– Petani Palestina tetap menanam dan mempertahankan lahan mereka meskipun dirampas oleh pemukim ilegal Israel.
c. Keteguhan dalam Mempertahankan Masjid Al-Aqsha
– Setiap tahun, Masjid Al-Aqsha menjadi pusat bentrokan karena penjajah Zionis terus mencoba menguasainya.
– Warga Palestina tetap mempertahankan masjid ini, bahkan dengan nyawa mereka.
– Saat pasukan Israel melarang mereka shalat, mereka tetap datang dan bertakbir di gerbang masjid.
Semua ini membuktikan betapa relevannya hadits Rasulullah ﷺ dengan kondisi Palestina saat ini. Mereka tidak pernah menyerah, mereka tetap di atas kebenaran, dan mereka terus berjuang dengan segala keterbatasan yang ada.
3. Mengapa Palestina adalah Ujian bagi Umat Islam?
Dalam Islam, Palestina bukan hanya sebuah tempat di peta, tetapi merupakan tanah yang diberkahi dan memiliki peran sentral dalam sejarah umat Islam.
a. Palestina sebagai Tanah yang Diberkahi
Allah berfirman dalam Al-Qur’an:
> سُبْحَانَ ٱلَّذِىٓ أَسْرَىٰ بِعَبْدِهِۦ لَيْلًۭا مِّنَ ٱلْمَسْجِدِ ٱلْحَرَامِ إِلَى ٱلْمَسْجِدِ ٱلْأَقْصَا ٱلَّذِى بَـٰرَكْنَا حَوْلَهُ >
> “Maha Suci Allah yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsha yang telah Kami berkahi sekelilingnya…”
> (QS. Al-Isra: 1)
Ayat ini menunjukkan bahwa Palestina adalah tanah yang diberkahi, bukan hanya dari sisi geografis, tetapi juga dari segi spiritual.
b. Ujian bagi Umat Islam
– Palestina adalah cerminan kondisi umat Islam.
– Jika umat Islam bersatu dan kuat, maka Palestina juga akan terbebas.
– Jika umat Islam dalam keadaan lemah dan terpecah-belah, maka Palestina akan terus dijajah.
Oleh karena itu, perjuangan membela Palestina bukan hanya tanggung jawab rakyat Palestina, tetapi tanggung jawab seluruh umat Islam.
Apa yang Bisa Kita Lakukan?
Meskipun kita berada jauh dari Palestina, ada banyak cara untuk berkontribusi dalam perjuangan mereka:
a. Meningkatkan Kesadaran dan Edukasi
– Mempelajari sejarah Palestina dan mengajarkannya kepada orang lain.
– Menyebarkan informasi yang benar tentang kondisi Palestina di media sosial.
b. Mendukung Secara Ekonomi dan Politik
– Mendukung kampanye Boikot, Divestasi, dan Sanksi (BDS) terhadap Israel.
– Mendonasikan bantuan kepada lembaga kemanusiaan yang benar-benar membantu rakyat Palestina.
– Mendesak pemerintah dan organisasi internasional untuk menekan Israel agar menghentikan agresinya.
c. Memperkuat Doa dan Spiritualitas
Rasulullah ﷺ bersabda:
> الدُّعَاءُ سِلَاحُ الْمُؤْمِنِ
> “Doa adalah senjata orang beriman.”
> (HR. Al-Hakim No. 1816, disahihkan oleh Al-Albani dalam Silsilah Ash-Shahihah No. 1797).
Oleh karena itu, kita harus selalu mendoakan rakyat Palestina dalam setiap sujud dan doa kita.
Hadits-hadits Rasulullah ﷺ tentang Palestina, yang disampaikan 14 abad lalu, kini terbukti kebenarannya di era modern.
– Rakyat Palestina tetap berjuang dan tidak pernah menyerah, seperti yang dikabarkan oleh Nabi ﷺ.
– Masjid Al-Aqsha tetap dijaga dan dipertahankan, meskipun penjajah terus berusaha merebutnya.
– Dunia menyaksikan bahwa perjuangan rakyat Palestina adalah perjuangan kebenaran yang dihadapi dengan kesabaran dan keberanian.
Sebagai umat Islam, kita memiliki tanggung jawab untuk mendukung perjuangan ini, baik melalui doa, edukasi, boikot ekonomi, maupun aksi politik. Sebagaimana Palestina tidak pernah menyerah kepada penjajah, kita pun tidak boleh berhenti mendukung mereka. Semoga Allah selalu memberikan pertolongan kepada rakyat Palestina dan menguatkan mereka dalam perjuangan yang mulia ini. Aamiin.
12 Jamal, Amal. Conflict Theory and the Palestinian Struggle: The Transformation of Palestine. Routledge, 2017.
13 Reynolds, John. Empire, Emergency and International Law. Cambridge University Press, 2020.
14 Masri, Mazen. The Dynamics of Exclusionary Constitutionalism: Israel as a Jewish and Democratic State. Oxford: Hart Publishing, 2017.
15 Middle East Monitor. “Israeli Ministers Call for Forcible Transfer of Gazans as ‘Solution’.” Middle East Monitor, 2024.
16 Spangler, Eve. Understanding Israel/Palestine: Race, Nation, and Human Rights in the Conflict. Brill, 2019.
17 Dana, Tariq, & Jarbawi, Ali. “Palestine: Between National Liberation and Liberal Peacebuilding.” In Mandy Turner & Omar Shweiki (eds.), Decolonizing Palestinian Political Economy. Palgrave Macmillan, 2017.
18 Afana, Ibrahim. “Settler-Colonialism and Genocide in Palestine.” Journal of Genocide Research, vol. 25, no. 2, 2023.