Logo-Remark-Asia-WhiteLogo – Re-Mark AsiaLogo-Remark-Asia-WhiteLogo-Remark-Asia-White
  • Home
  • Who we are
    • Brief history
    • Career with us
    • Clients
    • Legalities
    • Networking and partnership
    • Purpose and vision
    • Management
    • Our experience
    • Our Team
  • What we offer
    • Consultancy Services
      • Carbon Stock Assessment
      • Free Prior and Informed Consent
      • High Carbon Stock
      • High Conservation Value
      • Land Use Change Analysis
      • Participatory Mapping
      • Social Impact Assessment
    • Sustainability Audit
    • HCVN ALS Report
  • AiKnow
    • About AiKnow
    • Meet the Trainers
    • Our Team
    • Courses
      • Top Courses
        • HCV ALS Lead Assessor Training
        • High Carbon Stock Training
        • Social Impact Assessment Training (SIAT)
      • HCV Concept Learning
      • HCV + HCS Integrated Lead Assessor Training Course
      • FPIC Concept Learning
      • Facilitator Training
      • In-house Training
    • Training & Activity
      • Training Calendar
      • Training Activity
      • Fieldtrip Activity
      • In-House Training
    • Quarterly Discussion
    • Program Mitra-AiKnow
      • Tokopedia
        • Prakerja
          • Sertifikat
    • Register
    • Contact Us
  • Knowledge
    • Juru Buku
    • Bincang Buku
    • Halaman DRM
    • Membumi Lestari
    • Sustainability 17A
  • Media & news
    • News
    • Galeri
    • Downloads
✕

Halaman DRM #31 – Menghentikan Sang Fasis

  • Home
  • Media & news
  • News
  • Halaman DRM
  • Halaman DRM #31 – Menghentikan Sang Fasis
Published by remarker at Monday June 23rd, 2025
Categories
  • Halaman DRM
Tags
  • carbon accounting
  • carbon assessment
  • ISCC assessment
  • ISCC technical assistant
  • ISPO
  • ISPO technical assistant
  • konsultan ISPO
  • konsultan SEIA/SIA
  • remark asia
  • remarkasia

halaman drm #31

Menghentikan Sang Fasis

Dwi R. Muhtaman

“Perlawanan bukan fase—
ia adalah cara bernapas.”

–Arundhati Roy

Daftar Isi

  • Surat dari Seatlle
  • Pesan dari Bogor
  • Akhir Kata
  • Hanya di Gaza

Surat dari Seatlle

Pada pagi yang tenang, seperti biasa, saya membuka kotak surat elektronik.  Secara cepat memeriksa surat yang masuk dari berbagai pihak.  Ada yang penting.  Banyak juga yang tidak menarik perhatian.  Lalu ada nama yang sangat kenal: LeRoy Duvall.  LeRoy adalah kawan lama. Lama juga tidak berjumpa.  Pernah suatu waktu saya berkunjung ke rumahnya yang asri dikelilingi oleh pohon-pohon maple, di tepi pantai di Vermont.  Ketika saya di Seattle, pada kesempatan lainnya, Ia mengundang saya untuk mampir ke rumahnya di tepi danau di pinggiran Seattle.  Bermalam beberapa hari.  Kami berkunjung ke beberapa area menarik di diSeatlle termasuk ke pusat riset salmon.  Setia menemani istrinya Paula, mereka menjadi konsultan untuk proyek-proyek Bank Dunia dan lembaga-lembaga internasional.  Pernah juga saya mengunjungi mereka ketika mereka bertugas beberapa tahun di Ho Chi Minh City, saya berkunjung tempat tinggal mereka.  Mereka kini menikmati masa pensiunnya di Seattle.  Sekali dua kali kami bertukar kabar lewat email.

Pagi itu ia berkirim kabar yang berbeda. Ia hanya kirim pesan dalam satu paragraf:  “Perkiraan terbaru menunjukkan bahwa lebih dari 11 juta orang berpartisipasi dalam 2.000+ protes “No Kings” kemarin di seluruh AS (14 Juni 2025). Ini adalah pertama kalinya protes serentak terjadi di semua negara bagian AS dalam satu hari.”  Saya sertamerta berselancar ke internet untuk mendapatkan informasi yang lebih lengkap dan mendalam.  Media-media mainstream dan lainnya menulis tentang protes itu yang dinilai sebagai protes terbesar dalam sejarah Amerika yang pernah terjadi dalam satu hari.  

Menurut G. Elliott Morris, seorang jurnalis data yang menjalankan newsletter Strength in Numbers di Substack jumlah peserta protes mencapai 4 hingga 6 juta orang, atau sekitar 1,2-1,8% dari populasi AS. Angka ini mungkin melampaui rekor sebelumnya dalam sejarah terkini, yaitu ketika 3,3 hingga 5,6 juta orang hadir dalam Women’s March 2017 untuk menentang retorika misoginis Trump.  The Guardian mengulas dari beberapa sumber yang memberi penilaian berbeda dan berdebat soal jumlah protes ini.  Faktanya tercatata 820 lokasi protes yang tersebar di seluruh Amerika Serikat.  

March on Washington tahun 1963, tempat Dr. Martin Luther King Jr. menyampaikan pidato terkenalnya “I Have a Dream”, pada masanya merupakan salah satu protes terbesar dalam sejarah, dengan jumlah peserta mencapai setengah juta orang. Namun, besarnya protes ini tertutupi oleh aksi Earth Daypertama tahun 1970, di mana 20 juta orang turun ke jalan—memicu terbentuknya Environmental Protection Agency (Badan Perlindungan Lingkungan AS).

“Pada masa itu, angka ini setara dengan 10% populasi AS—mungkin yang terbesar yang pernah kita lihat secara realistis.”

Sementara itu The New York Times meliput dan menuliskan antara lain dengan menyajikan foto-foto dan video No Kings’ Protests seluruh Amerika.

Bagaimanapun para jurnalis itu melaporkan jauh lebih penting membaca apa yang dilaporkan langsung oleh kawan saya itu: LeRoy dan Paula.  Mereka menghadiri salah satu aksi ini di Seattle, kota mereka tinggal. Diperkirakan 70.000+ orang hadir. Polisi melaporkan bahwa kerumunan massa membentang sepanjang 2,2 km saat mereka berjalan dari titik awal, Cal Anderson Park—di mana mereka mendengarkan beberapa pembicara selama satu jam—menuju Seattle Center (lokasi Space Needle dan taman besar lainnya). Polisi menyatakan tidak ada vandalisme atau kerusakan selama protes.

Ada juga protes-protes kecil lainnya yang tersebar di sekitar Seattle.

Tak lupa mereka juga menyertakan laporan tentang parade militer dari conficted felon DJT (narapidana bersalah yang merujuk pada Presiden Trump) di Washington, DC.

Sementara kamera televisi sebagian besar menyoroti prajurit, tank, pesawat, dan kendaraan militer lainnya yang melintas di Constitution Avenue, rekaman di media sosial justru menunjukkan: Tribun kosong, kerumunan yang jarang, hampir tanpa suara karena tidak ada pengeras suara di sepanjang rute parade—sesuatu yang menunjukkan tidak ketertarikan apapun pada acara parade militer itu yang juga jatuh hari yang sama dengan tanggal kelahiran Trump, 14 Juni.

Seorang reporter The New York Times yang hadir menyatakan: “Suasana di parade militer ini cukup lesu. Kerumunannya tenang dan sepi, seperti kehabisan energi setelah menunggu berjam-jam di bawah kelembapan DC yang menyengat.”

File ini juga disertai satu foto dari udara yang menunjukkan masifnya orang-orang yang memenuhi jalan-jalan utama di Seattle.

Saya membalas segera emailnya yang kemudian dibalas lagi dengan pesan ini: Kami baik-baik saja. Hal yang benar-benar luar biasa dari tingginya partisipasi dalam “Hari Tanpa Raja” adalah betapa besarnya jumlah massa. Paula dan saya sudah menghadiri belasan protes sejauh ini, dan “Hari Tanpa Raja” jauh lebih besar daripada semua protes yang pernah kami ikuti.

Perlawanan semakin menguat!

Tetap aman, sehat, dan sampai jumpa di lain waktu!

Kau dan Paula pasti paham: jiwa ‘No Kings Day’ itu abadi—ia hidup di setiap langkah kaki yang menolak tunduk. Karena pohon pun tahu: mereka yang berdiri tegak akan selalu memiliki akar yang kuat.  Kita adalah warga dunia yang percaya pada fajar—tapi sejarah justru mencatat dunia mengalami senja yang panjang.  Tapi inilah yang saya yakini: Di tengah badai, yang kita butuhkan hanyalah segelintir orang yang berani menyalakan lilin. Saya berdoa untukmu, Paula, dan jutaan orang yang berdiri di sisi sejarah yang benar—sisi yang ditulis oleh mereka yang menolak diam.

Lanjutkan perlawanan. Lanjutkan perjalanan. Seperti hutan Kalimantan yang bertahan meski ditebang—kita akan tumbuh kembali, lebih kuat, lebih banyak.

Pesan dari Bogor

“Langit Bogor pagi ini menangis,” tulis Pramoedya Ananta Toer dalam Rumah Kaca, dan airmatanya membasahi jalanan yang kulalui setelah subuh. Hujan turun di Bogor pagi ini—seperti doa yang membasahi bumi sebelum perjalanan dimulai.  Saya dalam perjalanan menuju Bandar Udara di Soekarno Hatta untuk melanjutkan ke Tarakan, kemudian tujuan akhir di Tanjung Selor, Kalimantan Utara.  Perjalanan pagi ini dalam kabut yang pekat dan rintik hujan, seperti dunia kita sekarang—”di mana kebenaran sering tersembunyi di balik kabut kekuasaan,” kata Noam Chomsky.

Saat saya memulai menulis ini, di Bandara Soekarno-Hatta, menunggu penerbang-an ke tepian Kalimantan, aku teringat kata-kata Arundhati Roy: “Perjalanan pulang adalah perjalanan terberat, terutama ketika rumahmu dijajah oleh ketakutan.”  Meski saya tidak dalam perjalanan pulang, tetapi membayangkan bagaimana hilir mudik rakyat Palestina di Gaza dan Tepi Barat yang selalu harus melalui pos-pos penjagaan yang menyiksa.  Apalagi saat ini ketika melakukan perjalanan kemanapun di Gaza taruhannya adalah nyawa.  

Mereka bukan lagi dijajah oleh ketakutan, tetapi oleh monster yang menakutkan.  Monster yang berabad-abad menghisap kemanusiaan, menyebarkan ketakutan, menebarkan kebohongan dan menggunakan segala kekuasaan untuk terus menerus menumpahkan ketamakan dan anyir darah.  Mereka lupa, kaum penjajah dan pendudukan tidak akan pernah merasa aman meski dengan peralatan militer tercanggih di sekujur badannya untuk melindungi. Setiapkali mereka berbohong, dan setiap mereka membunuh, rasa bersalah dan ketakutan itu menyusup diam-diam di dalam sel-sel tubuh mereka. Membungkam syaraf-syarat kebaikan dan menjadi monster aneh. Karena itu rasa takut para serdadu dilampiaskan dengan membunuh siapapun. Dengan alasan apapun.  Membunuh mungkin membuat mereka merasa aman, tetapi tidak pernah akan merasa nyaman.

“Di tahun 80-an, kampusku adalah jalanan,” seperti yang diungkapkan Wiji Thukul, penyair buruh yang dihilangkan. Tempat memungut ilmu yang tak pernah diajarkan. “Kuliahku adalah rapat-rapat di bawah pohon, di antara kepalan tangan dan mimpi-mimpi yang tak mau mati,” tulisnya. Setelah lulus, bersama kawan-kawan, kami mendirikan LSM untuk membela hak-hak masyarakat dalam mengelola sumberdaya hutan.  Hutan yang menjadi tumpuan hidup jutaan masyarakat waktu itu dibawah bayang-bayang kapitalisme yang menguasai hingga hak-hak hidup sekalipun.  Tak ada lagi kebebasan untuk mengelola hutan sebagai hajat hidup dan masa depan mereka.  Kami dengan enerji muda yang penuh bara api bertekad merebut kebebasan dari kekuasaan dan para penyokongnya—”..karena,” seperti kata Nelson Mandela, ‘Kebebasan tak pernah diberikan dengan sukarela oleh penindas—ia harus dituntut oleh yang tertindas.”

Demikian pula yang saya bayangkan tentang rakyat Amerika yang turun ke jalan dan menyuarakan perlawanan.  Demikian pula betapa keras dan sulitnya rakyat Palestina merebut kemerdekaan kembali atas tanah air mereka yang dirampas dan diduduki dengan brutal dan keji. Rakyat di nusantara berjuang dari satu generasi ke generasi berikutnya selama 350 tahun untuk merebut kemerdekaan dan mewujudkan negeri di bawah Republik Indonesia.  

Mereka yang turun ke jalan itu tidak hanya sadar akan bahaya raja mereka yang semena-mena, tetapi juga mewujudkan perlawanan atas kebijakan brutal pada negara berdaulat lain di luar batas pagar kedautan sendiri.

Auburn University di Negara Bagian Alabama, tempat diskriminasi warga kulit hitam hingga 1964, perlawanan kaum African American untuk mendapatkan hak pendidikan yang sama dengan kulit putih, mengajariku teori politik.  Dan di kampus yang pernah menjadi sekolahan ‘hanya untuk kaum putih’ itu  kami membaca Howard Zinn: “Kamu tak bisa netral dalam kereta api yang bergerak menuju jurang.”  Berdiri netral pada penguasa tiran sama dengan mendukung tiran itu sendiri.  Aku melihat Amerika dari kejauhan—negeri di mana jutaan orang turun ke jalan pada ‘No Kings Day’,” seperti lautan manusia yang mengguncang jantung demokrasi. “Mereka berbaris dengan spanduk ‘Not My President’, seperti puisi hidup yang ditulis Maya Angelou: ‘Dan masih aku bangkit.’  Tetapi Sang Presiden adalah seorang tiran.  Ia baru saja, pada tanggal 21 Juni, ketika langit gelap, suara sunyi, diam-diam menjatuhkan bom seberat 3.000 ton.  Langit menyala.  Udara begitu sesak.  Kejahatan tiran terburuk dalam peradaban manusia.  

Sekarang, kita, bukan lagi hanya Amerika Serikat dan sekutunya, berada di “di bawah bayang-bayang rezim yang membungkam demokrasi,” seperti yang dikhawatirkan James Baldwin, “kekuasaan tak lagi bersembunyi di balik senyum—ia mengepalkan tangan besi.” Polisi berkuda menghalau demonstran, gas air mata mencekik nyanyian kebebasan, mereka yang melilitkan kafiyeh di leher diseret-seret, bahkan kata-kata disensor, frasa from the river to the sea ilegal, berbicara tentang Palestina dipenjarakan, dan “presiden yang brutal itu tersenyum di belakang kaca anti peluru,” seperti gambaran George Orwell dalam “1984.”  

Levitsky dan Ziblatt salah besar ketika dia menuliskan dalam buku pentingnya, “How Democracies Die” (2018): membunuh demokrasi tidak selalu dengan senjata.  Rupanya senjata dan sejumlah kekerasan yang absolut masih menjadi alat utama untuk membunuh demokrasi. Membungkam suara dan perlawanan. Trump melakukan seperti bermain video game.

“Di Timur Tengah, tanah itu menjerit,” tulis Mahmoud Darwish. Gaza, Yaman, Suriah—”di mana anak-anak bermain dengan pecahan peluru, dan langit tak lagi biru, hanya abu yang menari.”  Reruntuhan adalah rumahnya yang baru.  Tanpa atap.  Tanpa penerang.  Tanpa air.  Tanpa penopang kehidupan.  Semuanya hancur lebur.  Kecuali perlawanan mereka atas tirani. Perlawanan mereka pada penjajahan. Mereka bisa dengan mudah menghancurkan rumah, kafe, sekolah, rumah sakit, tempat bermain, toko buku, kebun zaitun, taman, masjid dan gereja.  Apapun.  Tetapi tak akan mampu menghancur-kan perjuangan untuk pembebasan.  Tak akan mampu menaklukkan perlawanan atas penjajahan.  “Ketika mereka merusak, kita harus memperbaiki. Ketika mereka membungkam, kita harus bernyanyi lebih keras.” — Joan Baez

Seperti kata Eduardo Galeano: “Kami kalah. Kami selalu kalah. Tapi di suatu tempat, suatu hari, seseorang akan melihat jejak darah kami dan belajar berjalan lagi.” Akan menerkam lagi.  Melawan lagi.  Bangkit lagi. Sampai mereka mati.  Dan tanpa arti.

“LeRoy, kita adalah jejak-jejak darah itu,” coretan pena dalam buku sejarah yang belum selesai.

“Maka teruslah melawan,” seperti pesan Pablo Neruda: “Mereka bisa memotong semua bunganya, tapi mereka tak akan pernah bisa menghentikan musim semi.”

Dan musim semi itu—adalah kita.  Dalam solidaritas yang tak terbungkam,

Adam Przeworski dalam bukunya Crises of Democracy, menulis begini:  Ketika kita memikirkan demokrasi, yang kita khawatirkan adalah kemungkinan bahwa beberapa kekuatan politik  akan berhasil mengklaim bahwa satu-satunya cara untuk mengatasi bencana yang sudah terjadi

– krisis ekonomi, perpecahan mendalam dalam masyarakat, keruntuhan ketertiban umum –

adalah dengan meninggalkan kebebasan politik, bersatu di bawah pemimpin kuat, dan menekan pluralisme pendapat, singkatnya otokrasi, otoritarianisme, atau kediktatoran, apa pun istilah yang ingin digunakan. 

Inilah yang terjadi.  Di tanah rampasan dari suku-suku Indian benua itu: Amerika Serikat.  Di bawah Trump, Amerika Serikat telah menjelma menjadi rezim fasis dengan politik fasisnya.  Ini digambarkan oleh Jason Stanley, How Fascism Works: The Politics of Us and Them: “Politik fasis punya banyak senjata: membangun mitos kejayaan masa lalu, membanjiri publik dengan propaganda, membenci kaum terdidik, menciptakan dunia palsu, mengukuhkan kelas penguasa, mengaku sebagai korban, menjual rasa takut lewat jargon ‘hukum dan ketertiban’, panik moral soal gender, merayu warga pedesaan, dan menghancurkan program sosial pemersatu.”

Jalanan panjang yang bakal kau lalui adalah jalan untuk Menghentikan Sang Fasis.  Yang mengerahkan senjata pemusnah masal seperti video game.  Yang memutar kata kebohongan menjadi menu harian media.  Yang menikmati kerusakan dan pertumpahan darah untuk meraup keuntungan.  Yang menghianati perjanjian.  Yang menggunakan kekuasaan untuk menghisap mineral, minyak dan segalanya.  Yang mempertontonkan jiwa kriminal.  Yang melanggar segala kesepakatan Internasional.  Yang mengenyahkan siapapun yang memperjuangkan kebenaran.  

Menurut Stanley, isu pengungsi jadi bahan bakar gerakan fasis modern yang menganggap mereka ‘ancaman’. Tapi sebenarnya, ini cuma taktik mengalihkan perhatian dari masalah dalam negeri.  Karena fasisme selalu butuh musuh: pengungsi, feminis, buruh, minoritas. Bahkan intelektual, wartawan.  Tapi sebenarnya, Stanley mengingatkan, kita semua adalah korbannya. Mereka yang tidak masuk kategori ‘manusia sempurna’ akan dijebak jadi kambing hitam. Kita harus menolak logika gila ini – tak ada manusia iblis, yang ada hanya manusia biasa yang berbeda.  

Tetapi pemimpin fasis dan para gerombolannya yang bisa disebut iblis.  Dan saat ini mereka beraksi di Palestina, Yaman, Lebanon, Syria, Iran.

Akhir Kata

Baiklah. Aku akhiri  catatan ini dengan mengutip sebuah puisi. Sebab “Di dunia yang sedang terbakar, puisi adalah air—dan kita adalah penyairnya.” — Mahmoud Darwish.  Meski kita tahu banyak penyair di Palestina menjadi martir.  Mereka memadamkan kebakaran kemanusiaan dan peradaban.  Penjajah bukan hanya tidak beradab dengan melakukan ethnic cleansing dan genosida, tetapi juga memusnahkan sastrawan (penyair, novelis, esais), intelektual, dan apapun yang menjadi akar peradaban manusia.

Ini juga sebagai penghormatan dan pengingat pada ratusan penyair Palestina yang menjadi martir sejak pendudukan 1948. Beberapa yang dibunuh sejak Oktober 2023: Refaat Alareer (1979–6 Des 2023).  Penyair, profesor sastra, dan aktivis di Gaza ditembak dalam serangan udara Israel di Shuja’iyya, bersama keluarganya. Puisinya “If I Must Die” tersebar luas pasca kematian. Hiba Abu Nada (1991–20 Okt 2023). Penyair dan novelis; karyanya Oxygen Is Not for the Dead mendapat penghargaan. Tewas dalam serangan udara di Khan Yunis.  Omar Fares Abu Shawish (1987–7 Okt 2023). Penyair, novelis, dan aktivis di kamp pengungsi Nuseirat ditembak saat serangan udara di kampnya. Rashad Abu Sakhila (2001–2 Sep 2024). Aktor dan penyair muda yang menerbitkan antologi puisi Letters of Soil. Tewas dalam serangan udara saat di sekolah Al-Fakhoora, Jabalia. Saleem AlNaffar (tahun lahir tidak detail–7 Des 2023). Penyair terkenal, dan keponakan dari Tamer Nafar. Tewas bersama keluarga karena rudal Israel di Gaza.  Selain itu ada beberapa penyair/penulis lain yang gugur seperti Nour alDin Hajjaj, Inas alSaqa, dan Shahadah alBuhbahan.

Hanya di Gaza

Hanya di Gaza;
Kau tidur menghitung roket,
bukan bintang.

Kau terbangun—jika kau terbangun—
oleh dentuman bom,
bukan kicau burung.

Hanya di Gaza;
Kau tidur tanpa tahu,
akan bangun atau tidak,
dan dalam keadaan apa.

Di Gaza,
Kau tidur di rumahmu,
lalu bangun di bawah puing.

Di Gaza,
Kau tidur dengan tubuh utuh,
lalu bangun tanpa tangan atau kaki.

Di Gaza,
Kau tidur dikelilingi keluarga dan sahabat,
esok hari kau sendiri.

Hanya di Gaza;
Orang merayakan ulang tahun
dengan gema perang di belakang,
lalu menyambutmu di tenda
dengan secangkir teh hangat
dan genggaman yang hangat pula.

Hanya di Gaza;
Di tengah nestapa,
mereka bertahan.
Bukan sekadar yang selamat,
tapi pejuang.

Mata Gaza
—Plestia Alaqad


Jakarta-Tanjung Selor-Tarakan-Bogor,

22 Juni 2025

1 No Kings Day (juga dikenal sebagai “Hari Tanpa Raja”) adalah peringatan simbolis yang merayakan penolakan terhadap kekuasaan monarki absolut dan penegasan prinsip demokrasi, kesetaraan, atau kemerdekaan. Hari ini sering dikaitkan dengan gerakan anti-monarki, perlawanan terhadap tirani, atau perayaan revolusi rakyat.
Asal-Usul Sejarah
1. Inspirasi dari Revolusi

  • No Kings Day terinspirasi oleh peristiwa sejarah seperti:
    • Revolusi Prancis (1789): Runtuhnya monarki absolut Louis XVI.
    • Revolusi Amerika (1776): Penolakan terhadap Raja George III.
    • Gerakan Anti-Monarki Modern: Protes terhadap sistem kerajaan yang dianggap tidak relevan di era demokrasi.

2. Budaya Populer & Aktivisme

  • Di beberapa negara, No Kings Day dirayakan sebagai bentuk satire atau protes terhadap elitisme politik.
  • Contoh: Di AS, hari ini kadang dikaitkan dengan “Twelfth Night” (5 Januari), tradisi Kristen yang menandai berakhirnya kekuasaan simbolis “Raja” selama perayaan Natal.

2 https://www.theguardian.com/us-news/2025/jun/19/no-kings-how-many-protesters-attended
3 https://www.nytimes.com/2025/06/14/us/protests-cities-no-kings.html
4 https://www.npr.org/2024/05/30/g-s1-1848/trump-hush-money-trial-34-counts. Berita ini mengulas bahwa majelis juri dalam persidangan pidana terhadap mantan Presiden Donald Trump di New York telah menghukumnya bersalah atas 34 dakwaan kejahatan terkait pemalsuan catatan bisnis. Empat hal penting dari vonis bersalah bersejarah terhadap Donald Trump.  Para ahli hukum mengatakan vonis bersalah Trump kecil kemungkinan akan berujung pada hukuman penjara. Ini merupakan kali pertama dalam sejarah Amerika Serikat seorang mantan atau presiden petahana divonis bersalah atas dakwaan pidana. Para juri menyatakan mereka sepakat bulat bahwa Trump memalsukan catatan bisnis untuk menyembunyikan pembayaran diam-diam sebesar $130.000 kepada bintang film dewasa Stormy Daniels guna mempengaruhi hasil pemilu 2016.  Baca juga tautan ini: https://apnews.com/article/trump-trial-deliberations-jury-testimony-verdict-85558c6d08efb434d05b694364470aa0
5 Howard Zinn, You Can’t Be Neutral on a Moving Train: A Personal History of Our Times. Beacon Press, 1994.  Dalam You Can’t Be Neutral on a Moving Train, Zinn menulis: “To be neutral in a situation where injustice is the norm is to collaborate with that injustice.” (Bersikap netral dalam situasi di mana ketidakadilan adalah norma berarti berkolaborasi dengan ketidakadilan itu).
6 Adam Przeworski, Crises of Democracy. (Cambridge: Cambridge University Press, 2019), 14. When we think about democracy what we fear is the prospect that some political forces would successfully claim that the only way to remedy some already occurring disasters – economic crises, deep-rooted divisions in society, breakdown of

public order – is to abandon political liberty, unite under a strong leader, and repress pluralism of opinions, in short autocracy, authoritarianism, or dictatorship, whatever one wants to call it.
7 Jason Stanley, How Fascism Works: The Politics of Us and Them (New York: Random House, 2018), XIV.
8 https://en.wikipedia.org/wiki/Refaat_Alareer
9 https://www.theguardian.com/books/2024/dec/10/refaat-alareer-book-gaza-palestine-poet?
10 https://en.wikipedia.org/wiki/Hiba_Abu_Nada
11 https://en.wikipedia.org/wiki/Omar_Abu_Shawish
12 https://en.wikipedia.org/wiki/Rashad_Abu_Sakhila
13 https://www.theguardian.com/commentisfree/2024/jan/24/poetry-israel-bomb-palestine
14 https://tribune.com.pk/story/2451338/not-a-number-palestinian-writers-we-lost-to-israeli-brutality-in-2023


Share
0

Related posts

Wednesday July 9th, 2025

Halaman DRM #35 – Catatan-catatan Para Penjelajah Borneo: Bock


Read more
Monday July 7th, 2025

Halaman DRM #34 – Catatan-catatan Para Penjelajah Borneo: Wallace


Read more
Thursday July 3rd, 2025

Halaman DRM #33 – Catatan-catatan Para Penjelajah Borneo: St. John


Read more
Wednesday July 2nd, 2025

Halaman DRM #32 – Catatan- catatan Para Penjajah Borneo: Dampier


Read more
© Copyright 2023 - Re-Mark Asia | All Rights Reserved
      Next July 2, 2025
      Halaman DRM #32 - Catatan- catatan Para Penjajah Borneo: Dampier

      halaman drm #32 Catatan-catatan Para Penjelajah Borneo: Dampier 1 Bajak Laut yang Jadi Penjelajah Pengetahuan (1679–1686) Dwi R. Muhtaman "Di…

      Previous June 23, 2025
      Halaman DRM #30 - Kekhalifahan Islam: 1.112 Tahun dalam Damai

      halaman drm #30 Kekhalifahan Islam: 1.112 Tahun dalam Damai Dwi R. Muhtaman “...when the US does it, Terror is Peace-seeking; Domination…

      Random December 11, 2020
      Juru Buku #1 - Green Swans, John Elkington, 2020

      Green Swans, John Elkington, 2020 “John Elkington is one of the true pioneers in the sustainability movement and has made…