Mengeja Diri Sendiri: Beberapa Sajak
—Dwi R. Muhtaman— Bogor, 07112018
#BincangBuku #13
…..
Pada ujung samudra
Di depan rumahmu
Sambil ku ketuk pintumu
Sedang apa engkau?
Barak Sukamantri, Ciapus
13 April 2004
(Pada Bening Sungai)
Intrusi Tiba-tiba kau diam saja. Tidak lagi bertanya jam berapa kita bertemu.Matahari makin jatuh. Baju terasa koyak. Sedikit luka di telapak kaki.Aku lupa berapa baris surat yang telah kau tulis. Terkirim tanpaperangko pada musim kemarau. Pada hari-hari penuh peluh silau.Aku lupa isi suratmu. Seperti do’a melepas pergi. Yang kau sisipkanpada ranselku. Membantu menatap matahari. Kompas para pencari.Dan kau lambaikan tangan. Dan kau membisu. Dengan tanganmengepal meninju langit biru. Terlalu banyak yang ingin didapatkan. Terlalu banyak yang ingindilupakan. Keinginan-keinginan. Kegalauan merambat mencengkeram.Tantangan-tantangan. Panggilan mengapung-apung membayang.Penantian-penantian. Sebuah tanya yang dimainkan ombak samudra.Pencarian-pencarian. Menjadi debu yang berarti. Kapan kita berlabuh. Pelabuhan-pelabuhan telah penuh sejak subuh.Hanya sauh berharap sudah. Tapi kau tak juga bertanya darimanaaku datang. Burung camar beterbangan. Angin laut mengibas layar.Matahari sebentar lagi pergi… Hutan? Ah, sudahlah. Kita jelang pagi. Tiba-tiba kau diam saja. Seperti do’a melepas pergi. Pada ranting-rantingyang bersemi. Daun-daun yang melayang-layang penuh arti.Dan kau saksikan aku melangkah lagi. Dan kau lambaikan tangan.Terlalu banyak yang ingin dilupakan. Jam berapa kita bertemu.
Bogor, 5 Oktober 2003
———
Tiga langkah ke surga Tiga langkah ke kiri ia pasti mati, pikirnyaia tetap di situ, di balik sebuah pohon jati usia satu abadTapi sebongkah batu Membelokkan peluru,
menemuinya tepat behenti di ujung tiga jari dari dahi Ia pun tak bisa berharap apa-apa lagiDipandangi langit buram Memerah. Daun daun jati bergugurandengan derai delima danberhenti tepat di dahiMengubur dia yang terbujur Orang-orang kampung menyebut namanyaberulang kali dalam doa yang tak terdengar siapa-siapaHanya disimpan dalam bingkisan yang berderik
untuk mengantarkannya ke surga.
September 2011
———
Sepotong cerita dari Serengkah Kami senang hidup di desa inidegup selalu membahagiakanSetiap pagi, dari teduh subuh, kami ke ladang
: keropok, takik, parangKami menoreh secukupnyaMenyuburkan tanah dengan keringat kamiSepuluh hingga lima belas kilogram getah karet setiap haricukuplah sudah untuk waktu yang setia menunggu Pada musimnya tibakelampai, kumpang, limat janta’ dan kekalikseperti bernyanyi lewat daun-daun,
Gesekan ranting-ranting dan tiupan angin pada kelompak-kelopak bungasemua dimulai dari memorum doun memangkah dohanpada kuntum bunga-bunga agar mekardan beranjak buah lewat merimbang bunga’ ketika bunga-bunga menjadi dewasakami merayakannya dengan memandikan pansaiberharap buah-buah tumbuh mekartanda panen tiba,masa ketika kami kan menyandau durian
dan ma-alap senggayung berbunyi
memainkan irama para dewa dari bambu
kumpulan para penemu waktu
pesta pun dimulai
Kami tenang hidup di desa inisebelum tengah hari kami kembalimenanak nasimerebahkan badan pada bumimenghirup udara segar sepanjang harisungai-sungai jernihsuara-suara lirihmengalir riang dari hulu dan hilir musimmembiarkan jejak tumbuh lagidari kumpulan embun pagi,
deras hujan, panggang mentari,
bintang-bintang
dan malam yang sejati
Kami bahagia
Inilah desa kami
Inilah hidup kami.
Desa Serengkah, Tumbang Titi, Ketapang
Oktober 2010
——-
Luka 1: Hunus Pisau Kita berjalan berjejalan seperti tak ada ruang tersisawaktu mengalir kau tuangkan perlahandari sudut matamujari-jari dedaunan pagi yang menawanmencengkram tanganku: aku menjemput sebuah luka yang pernah terbayangkantapak tanganmu seperti padang rumputdengan embun dan percik cahayatempat ternak-ternak memulai segala waktunya Pagi itu kau sediakan sebilah pisaudari pengasahan malamkilau sinar matahari terpantul mengiris hatikukita timang-timang di atas telapaksebuah guratan peta dalam rimba dan savana: kapan akan menikamkupada hamparan mana kau lakukan? Lalu kau bergegas tinggalkan rintik hujanmelangkah perlahan bau bunga sinar bulantajam bilah pisau kau hunus diantara dua bulan sabitmenyayat perlahan bergerak dari ujung kiri
hingga melampau langit malam
luka darah bintang malam
menunduk deru waktu
menggilasku pergi
dengan segenap luka dalam menganga
Oktober 2009
———
Lalu hujan menari Di bawah tudung perkasa kau merenggut tanganku.Nadimu berperang. Kau memandangku dengan mendung di kepala.
Sore tiba? Atau pertanda musim telah di depanpintu? Aku tertegun. Menjelma arca. Tak mampu melihat tajam matamu.
Sebuah matahari pagi di sela langit kelabu.Angin menyela. Membawa kata-kata. Tak mampu jugaterucap. Beranda tergeletak begitu saja. Terbungkus sejutasunyi dari rupamu terurai. Batu-batu taman, bunga-bungahanya mimpi yang tercekat. Dan kau memberanikan melewati kesunyian.
Dari sebuah jarak, aku menatapmu pergi. Tanpa lambai.
Hanya angin gemulai. Langkah lunglai. Kau beranjak.
Punggungmu mengabut. Tertancap pada layar mataku.
Dengan helai demi helai langkah. Sambil berpegangan pada semilirangin, aku menjauh dari punggungmu: kita pasti bertemu lagi besok.
Sebab kau adalah mentari. Datang tiap pagi.Lalu hujan menari. Dari balik kelopak matamu. Oktober 2009
Homo Deus: Manusia 500, 1000 Tahun