halaman drm #27
Madleen: Perlawanan dari Lautan
Dwi R. Muhtaman
“They might stop the ship.
But they cannot stop
the meaning of its name.”
– Noura Erakat,
aktivis hukum Palestina-Amerika
Daftar Isi
Simbol Keteguhan dari Gaza
Fajar mulai menyapu langit Gaza. Cahaya keemasan menyentuh ombak Laut Tengah. Bayang-bayang seorang perempuan yang berdiri di tepi dermaga berdansa mengikuti ombak dari seberang. Perempuan itu menatap horison dengan tenang tapi penuh tekad. “Saya tahu risikonya. Tapi saya juga tahu, jika saya menyerah, kami tidak akan makan malam hari itu.”
Ia adalah seorang nelayan. Tetapi bukan nelayan biasa yang hanya berani mengarungi ombak. Ia adalah nelayan yang berani menembus ancaman peluru dari senjata para penjajah pendusta, perampas tanah air Palestina. Ia seorang pejuang. Simbol perlawanan yang hidup dari sebuah kota yang terkepung, tapi tidak pernah tunduk.
Namanya Madleen.
Madleen Kullab, nama lengkap perempuan yang tegar seperti batu karang itu, tumbuh di Gaza, menghadapi tantangan sejak usia muda. Sejak usia 6 tahun, ia sering ikut menemani ayahnya melaut. Ketika ayahnya mengalami kelumpuhan akibat penyakit, Madleen mengambil alih peran sebagai pencari nafkah utama keluarga dengan menjadi nelayan. Saat itu baru berusia 13 tahun. Keputusannya untuk melaut tidak hanya menantang norma sosial, tetapi juga menghadapi risiko nyata dari patroli laut Israel yang sering kali menembaki kapal nelayan yang melampaui batas yang ditentukan.
“Setiap hari saya pergi ke laut, saya tidak tahu apakah saya akan kembali,” kata Madleen. “Tapi saya melakukannya karena saya harus.”
Madleen bukan nelayan biasa. Di tanah yang dihimpit blokade, di mana peluru dan meriam bisa lebih dekat dari ikan, ia memilih mengarungi lautan.
Lahir di Jalur Gaza, Madleen tumbuh di antara cerita-cerita keberanian dan kekurangan. Ia lelap dari gemuruh kisah-kisah perjuangan dan perlawanan yang terus tumbuh bagai ombak Laut Mediterania yang setia pada panggilan tanah air. Ia tekun belajar dan membakar jiwanya dengan perjuangan hidup dan pembebasan bagai aliran Sungai Jordan yang tak pernah kering. Mungkin sejak dilahirkan Ia begitu terbiasa dengan suara desing peluru, dentuman bom, dengung drone dan derap biadab serdadu di depan pintu rumahnya. Tetapi Ia juga sangat dekat dengan suara alam: deru ombak, cericit burung dan deru angin dalam badai pasir.
Di usia belasan, ketika laut menjadi lebih sepi karena kapal-kapal nelayan takut ditembak, Madleen memilih hal yang berbeda. Ia turun ke laut. Membentangkan layar. Menarik tali temali menghadapkan layar pada badai angin agar melaju kencang. Ia bentangkan jaring-jaring ikan ke angkasa hingga runtuh menembus kedalaman lautan.
Satu-satunya perempuan di antara para nelayan laki-laki, ia belajar membaca angin, mengenali pergerakan ikan, dan yang paling penting: menghitung seberapa jauh ia bisa berlayar tanpa terkena tembakan dari kapal perang Israel, negeri penguasa segala teror.
“Dulu saya pikir nelayan hanya butuh jaring dan kapal. Di sini, kami juga butuh doa,” katanya lirih seperti angin laut Gaza yang membelai.
Setiap hari, Madleen akan berlayar sejauh yang bisa ia capai — kadang 6 mil, kadang hanya 3 — tergantung pada intensitas patroli. Laut yang semestinya memberi kehidupan, telah diubah menjadi ruang penuh ketakutan. Tapi Madleen terus melaut. Keberanian dan keteguhannya telah menghapus segala risiko apapun. Madleen ingin menunjukkan bahwa setiap jejak kehidupan diperlukan keberanian untuk melangkah, dalam situasi apapun. Dalam perang, dalam damai. Nelayan perempuan ini memang pemberani. Pilihan yang sulit bagaimanapun membutuhkan keberanian untuk mengambil sikap. Madleen melakukannya.
Ia pun harus menghadapi bahaya laut dan blokade Israel yang membatasi wilayah tangkap nelayan Palestina.
Meski menghadapi diskriminasi dan ancaman dari patroli laut Israel, seperti penembakan, penyitaan jaring, dan perampasan perahu, Madleen, ibu 4 anak itu, tetap teguh. Ia bahkan mendirikan klub nelayan perempuan untuk memberdayakan perempuan Gaza lainnya.
“Seperti nelayan Palestina lainnya di Gaza, kehidupan dan rutinitas harian saya terbatas pada laut dan rumah, dan saya memperhatikan dengan saksama kecepatan dan kekuatan gelombang dan angin untuk menentukan kapan ikan ada atau tidak. Ini adalah sesuatu yang biasa saya lakukan sejak saya masih kecil,” ujarnya. Tuntutan fisik dalam menangkap ikan bukanlah tantangan terbesar bagi Madleen Kullab, warga Palestina, melainkan kurangnya peralatan dan sumber daya.
Ia menjelaskan bahwa perang menyebabkan dirinya, seperti nelayan lainnya, kehilangan segalanya. “Perahu hancur, jaring robek, dan semua yang saya bangun bersama ayah dan suami, hilang oleh perang,” imbuhnya.
Nama yang Menjadi Simbol
Di tengah lautan biru yang membentang luas, sebuah kapal layar kecil bernama Madleen berlayar dengan anggun, membawa misi kemanusiaan yang mendalam. Di dalamnya ada 12 aktifis kemanusiaan dari berbagai negara. Mereka bertekad menjejakkan kaki di Gaza, Tanah Air Palestina. Kapal layar ini dinamai Madleen, nelayan perempuan pertama dan satu-satunya di Gaza, kapal ini menjadi simbol perlawanan damai terhadap blokade yang telah lama mengekang wilayah tersebut.
Tahun 2025, ketika kapal aktivis internasional dibangun untuk menembus blokade Gaza, mereka menamainya “Madleen” — bukan hanya sebagai penghormatan, tapi sebagai deklarasi bahwa perlawanan tidak selalu membawa senjata. Kadang, ia membawa jaring ikan.
Freedom Flotilla (Armada Kebebasan) menghubungi Madleen sebelum menamai kapalnya dengan namanya “Madleen.” Madleen, ibu dari empat anak dan saat ini sedang mengandung anak kelima.
Tentu Bukanlah suatu kebetulan bahwa aktivis internasional memilih nama Madleen untuk kapal bantuan kemanusiaan Freedom Flotilla yang menuju Jalur Gaza. Sebuah upaya untuk menghentikan blokade. Hal itu merupakan isyarat kemanusiaan terhadap Jalur Gaza, yang telah menderita akibat perang selama lebih dari 613 hari atau dua puluh bulan.
Apa yang kemudian diharapkan oleh Madleen Kullab dari Freedom Flotilla?
Ia menerima tawaran tersebut dan meminta kru solidaritas untuk tidak mengambil risiko apa pun. Mereka mengatakan kepadanya bahwa mereka membawa perbekalan seperti beras, tepung, dan obat-obatan, dan bahwa mereka bersikap damai dan akan mematuhi instruksi tanpa mengambil risiko atau bahaya apa pun.
Madleen pun hanya berharap kapal tersebut dapat memasuki pelabuhan Gaza, mengingat simbolismenya yang signifikan dalam mengakhiri blokade dan perang, dan kebutuhan mendesak penduduk Jalur Gaza akan makanan dan obat-obatan, yang telah dicegah masuk oleh rezim pendudukan sejak 2 Maret.
Ia berharap kedatangan kapal tersebut akan menandai berakhirnya perang dan konsekuensi bencana yang diderita penduduk Gaza yang terblokade.
Begitulah, maka penamaan Madleen Fredom Flotilla itu merupakan penghormatan hidup bagi nelayan Gaza, yang telah kehilangan segalanya selama agresi Israel yang sedang berlangsung sejak 7 Oktober 2023.
“Ketika saya mendengar nama saya dipakai untuk kapal, saya menangis. Bukan karena bangga, tapi karena saya sadar, saya tidak sendiri,” seru Madleen yang berharap perjuangan banyak orang itu akan membuahkan hasil pada saatnya nanti. Besok, lusa, tahun depan, sepuluh tahun lagi, 20 tahun atau bahkan 1.000 tahun lagi. Menegakkan kebenaran dan merebut kembali kemerdekaan atas tanah air adalah perjalanan dan perjuangan panjang. Generasi demi generasi.
Kapal “Madleen” dirancang untuk membawa pasokan medis, makanan, dan harapan ke Gaza. Namun, seperti yang sudah sering terjadi, Israel mengancam akan menghentikannya.
Noura Erakat, aktivis hukum Palestina-Amerika, dengan lantang mengatakan mungkin saja mereka, penjajah bengis Israel itu, akan menghentikan Kapal Madleen, seperti halnya Mavi Marmara (2010), Rachel Corrie (2010), Estelle (2012), Freedom Flotilla (2011 dan 2015), dan Zaytouna-Oliva (2016), Al-Awda & Freedom (2018), Flotilla “Break the Siege” (2020), “Handala” (2023) dan kini Madleen. Tetapi mereka tak akan mampu menghentikan arti dari nama-nama yang disematkan. “They might stop the ship. But they cannot stop the meaning of its name.”
Kapal “Madleen” bukan kapal pertama yang mencoba menembus blokade — sebelumnya ada “Mavi Marmara” (2010), yang diserang brutal. Tapi kali ini, mereka ingin mengirim pesan yang lebih dalam: bahwa nama seorang perempuan nelayan dari Gaza bisa menjadi lebih kuat dari armada tempur.
“Kami menamai kapal ini bukan karena dia tokoh besar. Tapi justru karena dia kecil — dan tetap berdiri.”
– Anna Johansson, aktivis Swedia
Kini Madleen berusia 30 tahun. Ia tidak lagi melaut setiap hari seperti dulu — kondisi keamanan makin buruk, dan akses ke laut makin sempit. Tapi ia masih menjadi mentor bagi generasi muda nelayan, terutama perempuan.
“Saya ingin ada perempuan Gaza lain yang berani ke laut. Jika kita tidak punya tanah, setidaknya kita punya air.”
Di matanya, laut adalah satu-satunya ruang yang belum sepenuhnya ditaklukkan — tempat di mana orang Gaza bisa merasa bebas. Walau hanya sebentar.
Madleen bukanlah pahlawan dalam pengertian biasa. Ia tidak membawa senjata, tidak berpidato, tidak memimpin massa. Tapi ia membawa jaring, menghadapi kapal perang, dan melawan dengan cara paling murni: bertahan hidup.
Namanya kini terukir di lambung kapal, mengarungi Laut Tengah, membawa harapan, dan menantang ketidakadilan. Jika Gaza adalah luka, maka Madleen adalah darah yang terus mengalir — menolak mati.
“Selama masih ada laut, akan ada Madleen lain. Kita tidak bisa memblokade keberanian.”
Misi Kemanusiaan Menembus Blokade
Pada bulan Juni 2025, kapal Madleen berlayar dari Catania, Italia, menuju Gaza sebagai bagian dari misi kemanusiaan yang dipimpin oleh Freedom Flotilla Coalition. Di atas kapal tersebut, terdapat 12 aktivis internasional, termasuk aktivis iklim Greta Thunberg, aktor Liam Cunningham, dan anggota parlemen Prancis Rima Hassan. Mereka membawa bantuan medis dan makanan, serta pesan solidaritas untuk rakyat Gaza yang terisolasi.
“Kami di sini untuk menyoroti penderitaan yang terjadi di Gaza dan menuntut diakhirinya blokade yang tidak manusiawi ini,” ujar Greta Thunberg sebelum keberangkatan kapal.
Meskipun misi ini damai, kapal Madleen menghadapi ancaman nyata. Israel telah menyatakan niatnya untuk mencegah kapal tersebut mencapai Gaza, dengan alasan keamanan. Namun, para aktivis tetap teguh pada komitmen mereka untuk menyampaikan bantuan dan menyuarakan ketidakadilan yang dialami oleh rakyat Palestina.
“Kami tahu risikonya, tetapi diam bukanlah pilihan ketika ketidakadilan terjadi,” kata Rima Hassan.
Bagi Madleen Kullab, melihat namanya digunakan untuk kapal misi kemanusiaan adalah kehormatan besar. Ia merasa perjuangannya sebagai nelayan perempuan di Gaza kini mendapatkan pengakuan dan menjadi inspirasi bagi banyak orang.
“Saya merasa terharu dan bangga. Ini bukan hanya tentang saya, tetapi tentang semua perempuan dan rakyat Gaza yang terus berjuang,” ungkap Madleen.
Kisah Madleen dan kapal yang dinamai sesuai namanya mengingatkan kita bahwa di tengah keterbatasan dan penindasan, semangat manusia untuk berjuang demi keadilan dan kemanusiaan tidak pernah padam.
Pada saat perasaan kecewa dan ditinggalkan semakin meningkat, dan tangisan rakyat Gaza meningkat tanpa tanggapan, kapal Madleen berlayar, sebagai ikon perlawanan, tidak membawa senjata, melainkan cinta dan kesetiaan kepada umat manusia yang terluka, sarat dengan persediaan makanan yang telah dicegah masuk oleh pendudukan Israel selama tiga bulan.
Oleh karena itu, Madleen tidak dapat dianggap hanya sebagai kapal yang berlayar melintasi ombak. Sebaliknya, itu adalah sarana untuk meluncurkan seruan lintas batas, seruan terhadap dibukanya blokade dan mesin penghancur dan kematian yang tidak membedakan antara bayi dan orang tua, petugas medis dan jurnalis, dan mengirimkan pesan bahwa Gaza tidak akan ditinggalkan sendirian meskipun dikelilingi oleh besi dan api.
Gaza Tidak Sendirian
Madleen juga meyakini, kapal kemanusiaan tersebut membawa dimensi tambahan, memberi isyarat kepada penduduk Gaza bahwa mereka tidak sendirian. Dimensi lainnya adalah bahwa ada orang-orang bebas di seluruh dunia yang mendukung mereka.
Pada tengah malam angin membawa Madleen terus melaju. Langit gelap dengan sedikit berbintang. Suara ombak dan riuh angin malam tenggelam di bawah deru serdadu kapal militer Israel. Madleen harus menghentikan perjalanannya sebelum memasuki perairan Gaza, Senin, 9 Juni 2025.
Menurut LSM Koalisi Freedom Flotilla, militer Israel “mencegat paksa” kapal Madleen di perairan internasional semalam sekitar 100 mil laut (185 km) dari Gaza, seperti dikutip Al Jazeera. Dua belas aktivis yang ada di dalamnya, termasuk pegiat iklim Swedia Greta Thunberg, tidak dapat mencapai wilayah Palestina yang diblokade. Selain Thunberg, mereka yang ditahan oleh Israel adalah Anggota Parlemen Eropa asal Prancis asal Palestina, Rima Hassan; Baptiste Andre, Pascal Maurieras, Yanis Mhamdi, dan Reva Viard dari Prancis; Thiago Avila dari Brasil; Suayb Ordu dari Turki; Sergio Toribio dari Spanyol; Marco van Rennes dari Belanda; Yasemin Acar dari Jerman; serta Omar Faiad, seorang jurnalis dari Al Jazeera Mubasher, yang juga berasal dari Prancis.
Mereka kini dilaporkan ditahan oleh otoritas Israel. Sejumlah organisasi internasional dan pemerintah mengecam pencegatan dan penahanan aktifis kemanusiaan itu di perairan Internasional. LSM kemanusiaan mengecam tindakan ini sebagai pelanggaran hukum internasional, mengingat kapal berada di perairan bebas saat dicegat.
Untuk sementara ini Madleen terhenti. Tetapi perlawanan tak pernah mati. Dari Lautan sekalipun.
“Inilah harapanku. Doaku,” tulis Chris Hedges dalam buku barunya, A Genocide Foretold (2025), pada Bab XI: “letter to the children of gaza.” Kami telah mengecewakanmu. Dosa berat ini kami pikul di pundak. Kami berusaha—tapi tak cukup keras, tak cukup gigih. Kini, kami akan menuju Rafah. Banyak dari kami: jurnalis, saksi, manusia yang tak mau diam. Kami akan berdiri di perbatasan Gaza, menjadi benteng protes yang bisu. Kami akan menulis. Mengabadikan segalanya dalam lensa. Inilah yang bisa kami lakukan. Sedikit. Tapi setidaknya, ini sesuatu.
Kami akan terus bercerita tentangmu. Mungkin, suatu saat nanti, kami layak memohon ampunanmu.”
Kami berusaha—tapi tak cukup keras, tak cukup gigih.
Maafkan kami, Gaza,
Maafkan kami, Palestina.
Lumajang, 10 Juni 2025