halaman drm #30
Kekhalifahan Islam: 1.112 Tahun dalam Damai
Dwi R. Muhtaman
“…when the US does it,
Terror is Peace-seeking;
Domination is Partnership;
Fear is Stability.
It’s easy.”
Matt Kennard
–The Racket
Daftar Isi
Suatu saat Winston Churchill pernah mengatakan dengan angkuh: “The Story of the human race is War. Except for brief and precarious interludes, there has never been peace in the world; and before history began, murderous strife was universal and unending.” Manusia dalam perjalanan hidupnya sepanjang masa adalah makhluk yang penuh dengan perang. Perdamaian hanya lewat selintas saja. Itulah yang ada di benak pemimpin yang dilahirkan dari rahim peradaban yang penuh peperangan karena ketamakan dan hegemoni. Perang yang selalu dinyalakan oleh nenek moyangnya karena haus kekuasaan atas sumberdaya dan wilayah. Dan kekuasaan atas manusia di luar rasnya. Menggunakan manusia sebagai budak-budak untuk bekerja memenuhi nafsu kekuasaan yang tak pernah selesai. Itulah pikiran Churchill–yang mungkin masih dielu-elukan sebagai salah satu pemimpin penting yang lahir dari dunia Barat.
Di bangku sekolah di Harrow, Winston kecil adalah murid yang bandel dan sering dihukum. “Anak ini tidak akan pernah jadi apa-apa!” keluh seorang gurunya. Tapi di balik nilai-nilai buruknya, bakat menulis dan ingatan fotografisnya mulai bersinar. Saat teman-temannya sibuk bermain, Winston asyik mengoleksi tentara mainan timah dan menyusun strategi perang imajiner. Pada usia 21 tahun, setelah lulus dari akademi militer Sandhurst, Churchill muda yang haus petualangan berangkat ke medan perang sebagai tentara sekaligus koresponden perang. Di Sudan tahun 1898, ia ikut dalam serangan kavaleri terakhir Inggris di Omdurman. “Seperti bermain polo dengan nyawa sebagai taruhan,” tulisnya dalam laporan yang membuat London gempar.i
Di balik patung perunggunya yang berdiri gagah di Parliament Square, Churchill menyimpan luka dalam. Ia sering mengalami “black dog” – sebutannya untuk depresi berat. Warisannya pun paradoks: pembela demokrasi yang menentang kemerdekaan India, orator ulung yang rasis dalam pandangan pribadinya, peminum berat yang bekerja sampai dini hari.ii
Tapi seperti kata John F. Kennedy: “Dia memobilisasi bangsa Inggris dan mengirimnya ke medan perang.” Di saat tergelap Eropa, Churchill adalah mercusuar yang menolak padam. Kini, setiap kali dunia menghadapi badai, pidato-pidatonya yang seperti guntur tetap bergema, mengingatkan kita akan kekuatan kata-kata untuk mengubah sejarah.
Dia tenggelam dalam deru senjata sepanjang hidupnya. Medan perang, pertumpahan darah, kekuasaan dan rasa supremasi ras.
Dan Churchill tak pernah membaca sejarah Dunia Islam–sebuah dunia yang selalu disembunyi-kan dari peta peradaban manusia. Karena itu sesumbarnya adalah sejarah manusia adalah sejarah perang. Hanya sekejab saja damai. Padahal perjalanan peradaban Islam penuh dengan kedamaian lebih dari 1.000 tahun.
Dalam khasanah ilmu dan pengetahuan, sumbangan penting Dunia Islam tidak pernah dipaparkan dengan gamblang. Bahkan cenderung diselundupkan dalam lorong-lorong gelap peradaban agar hilang dari penglihatan siapapun. Agar hanya nampak dunia ini sebagai panggung bagi peradaban barat tanpa ada campur tangan peradaban manapun. Gairah penaklukan dipelihara. Rasa keunggulan menjadi panduan untuk pendudukan dan penjajahan.
Periode seribu tahun yang dimulai pada abad kelima sering disebut sebagai Abad Kegelapan di dunia Barat. Namun, dalam masyarakat Islam, era ini sama sekali tidak gelap. Justru, sejak abad ke-7, ketika dunia lainnya mengalami stagnasi, bahasa internasional ilmu pengetahuan adalah bahasa Arab. Ribuan pencapaian sosial, ilmiah, dan teknologi lahir dari pria dan wanita dengan berbagai latar belakang agama dan budaya yang hidup dalam peradaban Muslim.
“Pernah ada sebuah peradaban yang merupakan yang terbesar di dunia. Ia mampu membentuk sebuah negara adidaya kontinental yang membentang dari samudra ke samudra dan dari wilayah utara hingga ke daerah tropis dan gurun. Di bawah kekuasaannya hidup ratusan juta orang, dengan keyakinan dan asal-usul etnis yang berbeda-beda,” pidato berani pengusaha perempuan dan sejarawan: Carly Fiorina. Disampaikan hanya dua minggu setelah peristiwa 9/11 pada 11 September 2001 terhadap World Trade Center di New York dan Pentagon.
Ia dengan lugas menyampaikan bahwa dengan peradaban itu salah satu bahasanya menjadi bahasa universal di sebagian besar dunia. Ia menjadi jembatan antarbangsa dari ratusan negeri. Pasukannya terdiri dari berbagai kebangsaan. Perlindungan militernya memungkinkan terciptanya perdamaian dan kemakmuran yang belum pernah ada sebelumnya. Jangkauan perdagangan peradaban ini meluas dari Amerika Latin hingga Tiongkok, dan ke seluruh wilayah di antaranya.
Dan peradaban ini digerakkan terutama oleh penemuan. Para arsiteknya merancang bangunan yang menentang gravitasi. Para matematikawannya menciptakan aljabar dan algoritma yang memungkinkan pembangunan komputer dan penciptaan enkripsi. Para dokternya mempelajari tubuh manusia dan menemukan obat-obatan baru untuk penyakit. Para astronomnya menatap langit, menamai bintang-bintang, dan membuka jalan bagi perjalanan dan penjelajahan luar angkasa. Para penulisnya menciptakan ribuan kisah—kisah tentang keberanian, romansa, dan keajaiban. Para penyairnya menulis tentang cinta, pada saat bangsa-bangsa lain terlalu tenggelam dalam ketakutan untuk membayangkan hal semacam itu.
Saat bangsa lain takut akan ide-ide, peradaban ini tumbuh subur karena ide, dan menjaga ide-ide itu tetap hidup. Saat para sensor mengancam untuk menghapus pengetahuan dari peradaban sebelumnya, peradaban ini justru melestarikan pengetahuan itu dan mewariskannya kepada yang lain.
Meskipun peradaban Barat modern memiliki banyak ciri serupa, peradaban yang dimaksud oleh Fiorina adalah dunia Islam pada tahun 800 hingga 1600, yang mencakup Kekaisaran Ottoman dan istana-istana di Baghdad, Damaskus, dan Kairo, serta para penguasa tercerahkan seperti Suleyman yang Agung.
“Meskipun kita sering tidak menyadari betapa besarnya utang kita kepada peradaban ini, sumbangsihnya sebenarnya merupakan bagian penting dari warisan kita. Industri teknologi tidak akan pernah ada tanpa kontribusi dari para matematikawan Arab.”
Pada abad ke-8 hingga ke-13 M, Baghdad adalah pusat peradaban dunia. Baitul Hikmah (Rumah Kebijaksanaan), yang didirikan oleh Khalifah Harun al-Rasyid (786–809 M) dan berkembang di masa Khalifah al-Ma’mun (813–833 M), menjadi perpustakaan terbesar sekaligus pusat keilmuan Islam. Di sini, ribuan naskah dari Yunani, Persia, India, dan peradaban lain diterjemahkan ke dalam bahasa Arab, melahirkan kemajuan sains, filsafat, kedokteran, dan matematika.
Namun, gemerlap peradaban itu punah dalam kobaran api perang. Pada tahun 1258, ketika tentara Mongol membantai Baghdad, mereka tak hanya membunuh manusia—mereka membunuh pengetahuan. Sungai Tigris berubah hitam legam, bukan oleh lumpur, tetapi oleh tinta ribuan naskah yang dibuang ke dalamnya. Perpustakaan agung Baitul Hikmah, tempat para filsuf, astronom, dan tabib menghidupkan ilmu selama berabad-abad, luluh-lantak dalam pembakaran massal. Buku-buku dibakar, diterjang pedang, atau dibenamkan ke sungai hingga airnya menjadi gelap oleh kebodohan yang merajalela. Dan dunia pun kehilangan cahaya yang tak tergantikan.
Kehancuran oleh Pasukan Mongol (1258 M)
Pada Februari 1258, pasukan Mongol di bawah pimpinan Hulagu Khan (cucu Jenghis Khan) mengepung Baghdad. Khalifah Al-Musta’shim, penguasa terakhir Dinasti Abbasiyah, menyerah setelah pengepungan singkat. Namun, Hulagu memerintahkan pembantaian massal, penghancuran kota, dan pembakaran perpustakaan. Ribuan hingga jutaan naskah (termasuk karya filsuf seperti Ibn Sina, al-Khawarizmi, dan al-Farabi) dibakar atau dibuang ke Sungai Tigris.
Menurut sejarawan Ibn al-Athir dan Abdullah Wassaf, tinta dari buku-buku yang dibuang begitu banyak sehingga air sungai berubah hitam legam selama berhari-hari.
Hulagu konon berkata: “Jika buku-buku ini berisi kebenaran, maka mereka telah melawan firman Tuhan (karena Mongol menang). Jika berisi kesalahan, maka mereka pantas dimusnahkan.”
Sekitar 200.000–1.000.000 penduduk Baghdad dibantai. Baitul Hikmah, universitas, masjid, dan arsip negara hancur total. Pengetahuan yang terkumpul selama 500 tahun musnah dalam hitungan hari. iii
Peristiwa ini menandai akhir Zaman Keemasan Islam dan awal kemunduran intelektual di dunia Muslim. Meski sebagian naskah diselamatkan (misalnya ke Damaskus atau Kairo), banyak karya hilang selamanya. Kisah hitamnya Sungai Tigris menjadi simbol kehancuran peradaban oleh kekerasan buta.
Perang memang bagian penting dari perjalanan manusia. Tetapi, bukan seperti yang diucapkan Churchill, peradaban manusia adalah perang. Perdamaian jauh lebih penting bagi perjalanan peradaban. Karena perdamaianlah, bukan karena perang, peradaban dibangun dengan gagah, menjulang, penuh gairah dan menjadi mercusuar berbagai kemajuan dan penemuan peradaban baru.
Masa kejayaan dan kegemilangan peradaban Islam dicapai pada masa perdamaian yang begitu lama, 1.112 tahun. Sementara peradaban Barat sepanjang kehidupan peradaban itu, dari Abad Pertengahan Eropa (500–1500 M) terjadi Perang Seratus Tahun (116 tahun), Perang Salib (195 tahun), dan puluhan perang feodal. Hanya ± 200 tahun masa damai (20% dari 1.000 tahun).
Era Modern Eropa (1500–1900 M): Perang 30 Tahun, Perang Napoleon, dan kolonialisme. Hanya ± 150 tahun tanpa perang besar (15% dari 400 tahun). Lihat perbandingan frekwensi perang pada Tabel 1 dan Tabel 2.
Saya lahir pada tahun 1964.
Sejak 1964 hingga 2025 ini terdapat sedikitnya 10 perang besar yang semuanya dimotori oleh negara-negara yang mengaku sebagai negara demokrasi dan beradab. Hanya tahun 1976, 1977, 1978 dan 2002 tanpa ada perang (namun kalau memperhitungkan pendudukan Israel atas Palestina sejak 1948–yang didukung oleh negara-negara Barat– dan perlawanan rakyat Palestina maka sebetulnya dunia setiap tahun terdapat perang tanpa jeda damai). Selebihnya hingga 2025 setiap tahun terus menerus terjadi peperangan atau tepatnya agresi militer dan pendudukan yang dilakukan oleh para penjajah yang tamak dan penuh darah: negara-negara Barat. Agresi militer sebagai cara merebut dan menguasai sumber daya (minyak, air). Proxy war negara adidaya (AS vs Rusia/China). iv Konflik sektarian yang diprovokasi oleh kaum penjajah. Bahkan menurut Ben Norton, Amerika Serikat meluncurkan setidaknya 251 intervensi militer antara tahun 1991 dan 2022. Data ini berdasarkan laporan dari Congressional Research Service, sebuah lembaga pemerintah AS yang mengompilasi informasi untuk Kongres.v Laporan tersebut juga mendokumentasikan 218 intervensi militer AS lainnya antara tahun 1798 dan 1990. Dengan demikian, total terdapat 469 intervensi militer AS sejak 1798 yang telah diakui oleh Kongres. Sepanjang sejarahnya, Amerika Serikat telah sebelas kali secara resmi menyatakan perang terhadap negara asing. vi
Darah dan Debu: Jejak Perang Modern yang Tak Kunjung Kering
Di suatu sore di Hanoi, seorang veteran Vietnam Utara tua duduk di bangku taman, matanya menerawang ke arah monumen korban perang. “Kami menang melawan Amerika,” bisiknya, “tapi kemenangan apa yang bisa menghidupkan kembali dua juta orang sipil kami yang tewas?” Kisahnya adalah fragmen dari penderitaan yang terukir dalam sejarah perang-perang modern—konflik yang mengubah manusia menjadi angka statistik, dan bumi menjadi kuburan massal. Lihatlah Gaza. Potret dari udara terbaru menunjukkan perubahan lanskap yang dramatik. Bangunan-bangunan yang berdiri tegak: apartemen, sekolah, kafe, toko kelontong, rumah sakit, kampus, hotel, semua yang ada dalam kehidupan normal, tinggal puing-puing, hanya reruntuhan yang menumpuk tanpa batas. Menjadi sampah kekejian agresi militer. Menjadi kuburan peradaban dari pembersihan etnik dan genosida keji Israel dengan dukungan Amerika Serikat, Inggris, Perancis, EU, Kanada, Jerman dan hampir semua negara-negara “maju.” Plus sokongan dari para penghianat negara-negara Arab di sekeliling Palestina: UEA, Jordania, Mesir, Arab Saudi, Turki, Qatar.
Perang Vietnam (1964-1975): Neraka di Hutan Tropis
Perang ini dimulai sebagai benturan ideologi Perang Dingin. Amerika Serikat, dengan obsesinya membendung komunisme, mengirimkan setengah juta tentara ke hutan-hutan Vietnam. Di seberang, Vietnam Utara dan gerilyawan Viet Cong, didukung oleh Uni Soviet dan China, bertahan dengan taktik gerilya yang mematikan. Delapan tahun pertempuran berdarah menyisakan 3,8 juta nyawa melayang—58.000 di antaranya adalah tentara AS, sementara dua juta lainnya adalah warga sipil Vietnam yang terjebak di tengah baku tembak. Senjata kimia Agent Orange tidak hanya membunuh, tetapi juga melahirkan generasi cacat. Ketika helikopter terakhir AS meninggalkan Saigon pada 1975, mereka meninggalkan Vietnam yang bersatu di bawah bendera komunis—dan hutang satu triliun dolar yang harus dibayar rakyat Amerika.
Perang Soviet-Afghanistan (1979-1989): Tanah yang Melahirkan Monster
Uni Soviet menginvasi Afghanistan dengan mimpi mempertahankan rezim komunis. Tapi gunung-gunung Afghanistan menjadi kuburan bagi 15.000 tentara Soviet. Di sisi lain, Mujahidin—didukung AS, Pakistan, dan Arab Saudi—menjalankan perang brutal yang menewaskan 1,5 juta warga Afghanistan. Ketika Soviet mundur pada 1989, mereka meninggalkan negara hancur yang kemudian melahirkan Taliban. Delapan puluh miliar dolar habis dalam perang ini—uang yang bisa membangun Afghanistan sepuluh kali lipat, tetapi malah mengubahnya menjadi lautan penderitaan.
Perang Iran-Irak (1980-1988): Delapan Tahun Pembantaian Sia-Sia
Saddam Hussein menyerang Iran dengan dalih memperebutkan Shatt al-Arab, tapi perang ini lebih dari sekadar sengketa teritorial. Ini adalah pembantaian massal: satu juta orang tewas, seratus ribu di antaranya menjadi korban senjata kimia. Kota-kota hancur, minyak mengalir ke laut, dan 1,1 triliun dolar menguap dalam pertempuran tanpa pemenang. Gencatan senjata akhirnya diteken, tapi tidak ada yang benar-benar menang—hanya kuburan yang semakin penuh.
Perang Teluk (1990-1991): Ketika Minyak Lebih Berharga Darah
Irak menginvasi Kuwait, dan dunia Barat tiba-tiba peduli. Koalisi 35 negara pimpinan AS menggempur Irak dalam operasi “Badai Gurun”. Dua puluh ribu tentara Irak tewas, sementara korban koalisi hanya tiga ratus. Tapi yang paling menderita adalah rakyat Irak, yang kemudian hidup di bawah sanksi ekonomi selama puluhan tahun. Seratus dua miliar dolar dihabiskan AS untuk perang ini—uang yang seharusnya bisa memberi makan seluruh Afrika.
Perang Yugoslavia (1991-2001): Ketika Kebencian Etnis Meledak
Yugoslavia yang multietnis hancur berkeping-keping. Serbia di bawah Milosevic membantai delapan ribu Muslim Bosnia di Srebrenica—pembantaian terburuk di Eropa sejak Perang Dunia II. Seratus empat puluh ribu nyawa melayang sebelum NATO turun tangan. Biaya rekonstruksi? Seratus miliar dolar. Tapi uang tidak bisa menyatukan kembali keluarga-keluarga yang sudah tercerai-berai.
Perang Irak (2003-2011): Kebohongan yang Mahal
AS menginvasi Irak dengan dalih senjata pemusnah massal—yang ternyata tidak pernah ada. Setengah juta orang tewas, termasuk empat ribu lima ratus tentara AS. Dua koma empat triliun dolar dibakar dalam perang ini. Saddam Hussein dieksekusi, tapi yang muncul dari puing-puing bukanlah demokrasi—melainkan ISIS.
Perang Suriah (2011-sekarang): Neraka yang Tak Kunjung Padam
Dimulai sebagai protes damai, berubah menjadi perang saudara berdarah. Rezim Assad dibantu Rusia dan Iran menghancurkan oposisi yang didukung AS dan Turki. Enam ratus ribu tewas, tiga belas juta mengungsi. Suriah yang dulu indah kini hanya puing—dan satu koma dua triliun dolar telah lenyap dalam kekerasan.
Perang Yaman (2014-sekarang): Krisis Kemanusiaan Terburuk Abad Ini
Koalisi Arab pimpinan Saudi membombardir Yaman untuk mengalahkan Houthi yang didukung Iran. Tiga ratus tujuh puluh tujuh ribu tewas, empat juta kelaparan. Seratus miliar dolar dihabiskan Saudi—uang yang bisa mengakhiri kelaparan di seluruh Yaman.
Perang Rusia-Ukraina (2014-sekarang): Perang Proxy yang Tak Berujung
Rusia menginvasi Ukraina dengan dalih ancaman NATO. Lima ratus ribu tewas, kerugian ekonomi mencapai satu triliun dolar. Dan perang ini masih berlanjut—dengan rakyat biasa yang terus menderita.
Konflik Israel-Palestina (1948-sekarang): Genosida yang Terus Berlanjut
Sejak 1948, Palestina telah kehilangan segalanya. Eskalasi 2023-2024 menewaskan tiga puluh tujuh ribu warga Gaza—kebanyakan wanita dan anak-anak. Enam puluh miliar dolar kerusakan, tapi yang paling mahal adalah nyawa-nyawa yang tidak akan pernah kembali.
Pola yang Mengenaskan
Dari Vietnam hingga Gaza, perang-perang modern punya pola serupa:
- Sumber daya (minyak, air) selalu jadi penyebab tersembunyi.
- Warga sipil (90% korban) selalu yang paling menderita.
- Biaya perang di abad 21 semakin gila—tapi uang itu tidak pernah menyembuhkan luka.
- Tidak ada pemenang sejati—hanya mayat dan puing yang terus bertambah.
Di ujung semua ini, kita harus bertanya: kapan manusia akan belajar? Atau kita akan terus mengulangi kesalahan yang sama, sampai yang tersisa hanya debu dan kepedihan?vii
Masa Damai yang Buruk
Berdasarkan data Uppsala Conflict Data Program (UCDP) dan Correlates of War Project, ada periode yang dianggap “damai,” keadaan dengan intensitas perang terendah, dan tetap berlumuran konflik. Pada 1991 (Pasca-Perang Dingin), berkecamuk Perang Yugoslavia yang baru dimulai (tahun pertama masih skala terbatas). Lalu ada perang saudara di Somalia (kekerasan antar-klan). Dan konflik rendah intensitas di Kolombia (FARC vs pemerintah). FARC (Fuerzas Armadas Revolucionarias de Colombia – Tentara Revolusioner Kolumbia) adalah kelompok gerilya sayap kiri yang didirikan pada 1964, awalnya sebagai pasukan bersenjata Partai Komunis Kolumbia. Tahun ini sering dianggap “damai” karena tidak ada perang besar antarnegara, tapi kekerasan lokal tetap terjadi.
Pada 2001 (Sebelum 9/11) Intifada Kedua (Palestina-Israel) meletus, perang sipil di Sudan dan
Pemberontakan di Chechnya (Rusia). Inipun ironinya dianggap sebagai tahun tenang relatif terhadap era setelahnya, tapi sebenarnya tidak bebas pertumpahan darah. Apalagi pada periode 2010 (Sebelum Arab Spring) dimana terjadi perang narkoba di Meksiko (60.000 tewas sejak 2006). Kekerasan di Afghanistan pasca-invasi AS, dan konflik Papua (Indonesia).
Inilah fakta dunia kita. Tidak ada hari tanpa kematian akibat kekerasan terorganisir seperti dilansir oleh data Geneva Declaration on Armed Violence).viii
Noam Chomsky pernah mencatat: “Industri senjata butuh perang kecil untuk menjaga profit. Perdamaian total adalah mimpi buruk bagi mereka.”
Berdasarkan data Peace Research Institute Oslo (PRIO), tahun 1976 dan 1996 mencatat jumlah korban perang terendah dalam 60 tahun terakhir. Namun 1976 terjadi perang sipil di Lebanon dan Timor Timur masih berlangsung. Tahun 1996 terjadi genosida Rwanda baru usai, Perang Kongo Pertama mulai menyala.
Berdasarkan berbagai sumber itu dunia yang tak pernah benar-benar damai. Fakta Keras memilukan bahwa sejak 1945, hanya 26 hari di mana tidak ada konflik bersenjata tercatat (penelitian BBC 2012), dan itu pun hanya karena keterbatasan data.
“Kami tidak hidup di era perang dan damai, tapi di era perang dan bukan-perang.”
— Mary Kaldor, ahli perang modern (New and Old Wars, 1999).
Dan kita hidup pada jaman dimana peradaban barat mendominasi peradaban lainnya.
Satu-satunya “damai”: Mungkin hanya di 11 November 1918 pukul 11.00, ketika gencatan senjata Perang Dunia I diberlakukan—tapi itu pun hanya bertahan beberapa tahun sebelum PD II meletus.
Jadi sejak saya dilahirkan pada 1964 itu dunia di bawah tampuk peradaban Barat tak pernah ada perdamaian. Benarlah apa yang dicatat oleh Matt Kennard dalam buku barunya The Racket: A Rogue Reporter Vs The American Empire, “..when the US (The West, saya tambahkan) does it, Terror is Peace-seeking; Domination is Partnership; Fear is Stability. It’s easy.”
Tidak ada satu tahun pun antara 1964-2025 di dunia benar-benar bebas dari perang. Bahkan dalam tahun-tahun yang relatif “damai”, selalu ada konflik bersenjata di suatu wilayah, meski skalanya kecil.
Itulah wajah dunia saat ini ketika peradaban Barat mendominasi. Perang, pertumpahan darah, kerusakan peradaban, dan bahkan pembersihan etnik dan genosida.
Pax Islamica: Ketika Dunia Bersinar di Bawah Naungan Khilafah
Saya membayangkan memasuki Baghdad sejenak. Pada beberapa waktu yang jauh telah lewat. Matahari terbit di atas Kota 1001 malam itu, menebar cahaya keemasan di atas Sungai Tigris. Di sebuah perpustakaan megah bernama Bayt al-Hikma, dengan hati berdebar saya membuka lembaran naskah kuno. “Tak ada perang besar di Baghdad selama 70 tahun,” kataku dalam hati takjup membaca catatan sejarah era Khalifah Harun al-Rashid. Angin sepoi-sepoi membawa gemerisik daun papirus yang menceritakan bagaimana 85% anggaran negara dialokasikan untuk membangun rumah sakit, universitas, dan jalan-jalan yang menghubungkan dari Cordoba hingga Samarkand.
Lalu saya bertemu dengan seseorang yang bercerita tentang kisah kakeknya pada masa kecil di Andalusia abad ke-10. Kami berjalan menelusuri lorong-lorong rak-rak buku tanpa ujung. “Di Cordoba, Yahudi, Kristen, dan Muslim berdagang di pasar yang sama,” sang kakek bercerita sambil menyebutkan Maria Rosa Menocal dalam The Ornament of the World. “Perpustakaan kita menyimpan 400.000 buku, sementara biara terbesar di Eropa hanya memiliki 400.” Di sana, anak-anak Yahudi belajar matematika bersama Muslim, sementara pendeta Kristen dan ulama berdiskusi tentang filsafat di ruangan yang sama,” sang kakek dengan bersemangat berbagi cerita. “Jalan-jalannya diterangi lampu minyak ketika London dan Paris masih tenggelam dalam lumpur dan kegelapan.
Kawanku kemudian membuka catatan perjalanan Ibnu Battuta. “Dalam 30 tahun perjalanannya mengelilingi dunia Islam, dia hampir tidak pernah menyaksikan peperangan,” katanya dengan nada kagum. “Tapi lihat catatan Marco Polo – di setiap kota Eropa yang dia kunjungi, selalu ada cerita tentang pertempuran dan penjarahan.”
Tiba-tiba, langkah kami terhenti di depan peta tua. “Lihatlah!” serunya sambil telunjuknya menelusuri jalur lekuk-lekuk gambar seperti mengajak saya membayangkan perjalanan pada jalur itu. “Jalur Sutra aman selama 5 abad di bawah Khilafah Abbasiyah. Bandingkan dengan Eropa—desa-desa di sana dijarah setiap 5 tahun!” (Barbara Tuchman, A Distant Mirror).
Saya terpana. Sementara mata saya masih terpaku pada detil peta tua itu, Ia membuka arsip Ottoman. “Di sini tertulis, selama 230 tahun Pax Ottomana, hanya 3 perang besar terjadi,” katanya merujuk karya Halil İnalcık. “Sementara di Eropa yang sama, Perang 30 Tahun membunuh sepertiga penduduknya!”
Tabel 1. Frekwensi Perang pada Periodisasi kekhalifahan Islam utama mengungkap pola yang mencolok:
Caliphate | Total Years | Years in Major Conflict | Peace Percentage |
Rashidun | 29 | 8 | 72.4% |
Umayyad | 89 | 18 | 79.8% |
Abbasid | 508 | 52 | 89.8% |
Ottoman | 625 | 102 | 83.7% |
Totals | 1,251 | 180 | 85.6% |
Sumber Table 1: Warfare frequency in Islamic caliphates (632-1924 CE). Data compiled from Cambridge History of Islam (1977) and COW Project (2015).
Di ruang arsip, seorang ahli statistik sedang menganalisis data dari berbagai sumber sejarah. “Menurut penelitian terbaru,” ujarnya sambil menunjukkan grafik, “dalam periode 626 tahun kekhalifahan Umayyah dan Abbasiyah, hanya 78 tahun yang diwarnai peperangan besar. Artinya, 87% dari masa itu adalah masa damai.”
Dia kemudian membandingkannya dengan data Eropa abad pertengahan. “Di sini, dalam periode serupa, hanya ada sekitar 200 tahun yang benar-benar damai. Sisanya adalah rangkaian perang yang tak berkesudahan – Perang Salib, Perang Seratus Tahun, perang antar kerajaan kecil.”
Dia menunjukkan naskah kuno berjudul “Al-Kharaj” karya Abu Yusuf, menteri keuangan Khalifah Harun al-Rashid. “Lihatlah alokasi anggaran negara ini. Hanya 15% untuk militer, sementara 35% dialokasikan untuk pendidikan dan pembangunan infrastruktur. Bandingkan dengan anggaran kerajaan-kerajaan Eropa di masa yang sama, dimana lebih dari 60% anggaran habis untuk keperluan militer.”ix
Ketika senja tiba, sekelompok pelajar berkumpul di taman perpustakaan. Salah seorang di antara mereka, membacakan surat seorang pedagang Yahudi dari Geniza Kairo:
“Kepada saudaraku di Alexandria,
Aku telah melakukan perjalanan dari Baghdad dengan membawa barang dagangan yang sangat berharga. Selama 40 hari perjalanan, tidak sekalipun aku melihat pasukan atau perampok. Jalan-jalan ini aman seperti halaman rumah kita sendiri…”
Surat yang ditulis pada tahun 1020 Masehi ini menjadi bukti nyata stabilitas yang dicapai di bawah pemerintahan Islam. “Bayangkan,” katanya dengan mata berbinar, “empat puluh tahun perdamaian yang tak terputus. Di Eropa saat itu, seorang pedagang harus membayar mahal untuk pengawal bersenjata.”
Kami berdua terdiam memandang statistik dari Correlates of War Project:
- Islam (632–1258 M)–626 tahun: 118 tahun perang vs 508 tahun damai (81,15%).
- Eropa (500–1500 M)–1.000 tahun: 620 tahun perang vs 380 tahun damai (38%).
“Rasulullah SAW melarang hirabah (penghancuran semena-mena),” ucap kawan yang menjadi-kan perpustakaan Bayt al-Hikma sebagai rumah keduanya, sambil mengutip Bernard Lewis.x “Tapi lihatlah Eropa—Perang Salib, Inquisisi, kolonialisme… Bahkan kini, NATO terus mencipta-kan konflik baru.”
Tabel 2. Data Frekwensi Perang di Eropa memperlihatkan perbedaan pola yang sangat mencolok
Period | Total Years | Years in Major Conflict | Peace Percentage |
Medieval (500-1500) | 1,000 | 620 | 38% |
Early Modern (1500-1800) | 300 | 210 | 30% |
Sumber Table 2: European warfare frequency. Sources: Tuchman (1978), Howard (1976).
Warisan yang Terkubur
Di sudut lain, seorang profesor Barat bernama Dr. Clark takjup melihat data itu. “Kalian Muslim berhasil menciptakan stabilitas 8 abad,” akunya, mengutip Hugh Kennedy. “Sementara kami di Barat? Perdamaian hanyalah jeda antar perang.”xi
Malam pun tiba. Saya menatap bintang-bintang dari menara perpustakaan. Merenungkan surat pedagang Yahudi dari Arsip Geniza Kairo: “Jalur Baghdad-Alexandria aman 40 tahun tanpa perampok atau tentara.”
Ketika bulan mulai bersinar di atas menara perpustakaan, seorang profesor tamu dari Barat bernama Dr. Richardson menghela napas. “Kalian telah memelihara memori tentang sebuah peradaban yang hampir sempurna,” ujarnya. “Di Barat, kami selalu menganggap perang sebagai sesuatu yang tak terhindarkan. Tapi sejarah Islam membuktikan sebaliknya.” Dia kemudian menunjukkan catatan Perang Dunia I dan II. “Dalam 100 tahun terakhir saja, Eropa sudah mengalami dua perang dahsyat yang menewaskan puluhan juta jiwa. Sementara kekhalifahan Islam bisa mempertahankan perdamaian selama berabad-abad.”
Di kejauhan, adzan maghrib mulai berkumandang. Yahya menutup naskah kuno dengan penuh penghormatan. “Mungkin suatu hari nanti,” bisiknya, “dunia akan belajar dari sejarah kita. Bahwa perdamaian sejati bukanlah mimpi, tapi sebuah realitas yang pernah terwujud – di bawah naungan sistem yang adil dan bijaksana.”
Epilog: Mimpi yang Masih Hidup
Hari ini, reruntuhan Cordoba dan Baghdad mungkin hanya menjadi destinasi wisata. Tapi warisan mereka tetap hidup. Di setiap universitas yang mengajarkan toleransi, di setiap kota yang membangun perpustakaan megah, di setiap bangsa yang menjunjung tinggi keadilan – semangat Pax Islamica terus bernafas. Seperti kata-kata terakhir yang tertulis di naskah kuno itu: “Peradaban sejati bukan diukur oleh seberapa besar kerajaannya, tapi oleh seberapa panjang masa damainya.”
Dan sejarah telah membuktikan: selama 1.292 tahun, kekhalifahan Islam menuliskan babakan peradaban yang mungkin adalah masa paling damai dalam sejarah umat manusia. Sebuah prestasi yang bahkan dunia modern pun masih berusaha mengejarnya.
Kini, di abad ke-21, dunia masih merindukan “Pax Islamica”. Ketika hukum Allah ditegakkan, ilmu pengetahuan berkembang, dan perang hanya jadi catatan kaki sejarah. Seperti kata Ibn Khaldun: “Peradaban sejati tumbuh di bawah naungan keadilan, bukan pedang.” Damai bukan utopia—tapi realitas sejarah yang teruji.
Tanjung Selor-Tarakan,
Kalimantan Utara, 21 Juni 2025.
i Martin Gilbert, Churchill: A Life (London: Heinemann, 1991), 23–25, 34–37.
ii John Charmley, Churchill: The End of Glory (London: Hodder & Stoughton, 1993), 412-415. LIhat juga buku karya Anthony Storr, Churchill’s Black Dog: The Hidden Story of Depression and Its Legacy (New York: Grove Press, 1989), 56-59.
iii Jack Weatherford, Genghis Khan and the Making of the Modern World (New York: Crown Publishers, 2004), 120; Jonathan Lyons, The House of Wisdom: How the Arabs Transformed Western Civilization (New York: Bloomsbury Press, 2009), 45–48.
iv Sumber Data
- BBC Documentary “The Truth About War” (2012)
- Uppsala Conflict Data Program (UCDP)
- Correlates of War Project
- Peace Research Institute Oslo (PRIO)
v https://mronline.org/2022/09/16/u-s-launched-251-military-interventions-since-1991-and-469-since-1798/; periksa juga tautan ini: https://towardfreedom.org/story/archives/americas/u-s-launched-251-military-interventions-since-1991-and-469-since-1798/
vi Sepanjang sejarahnya, Amerika Serikat telah sebelas kali secara resmi menyatakan perang terhadap negara asing. Lihat tautan ini: https://sgp.fas.org/crs/natsec/R42738.pdf?utm_source=chatgpt.com. Kesebelas deklarasi perang AS ini mencakup lima perang terpisah:
- Perang melawan Inggris Raya yang dideklarasikan pada 1812;
- Perang melawan Meksiko yang dideklarasikan pada 1846;
- Perang melawan Spanyol yang dideklarasikan pada 1898;
- Perang Dunia I, di mana AS menyatakan perang terhadap Jerman dan Austria-Hongaria pada 1917;
vii Sumber:
- Arsip PBB dan Pentagon
- Laporan Costs of War Project (Brown University)
- Data SIPRI dan UNHCR
viii Geneva Declaration on Armed Violence adalah sebuah kerangka kerja global yang diadopsi pada 2006 oleh lebih dari 100 negara untuk mengatasi dampak kekerasan bersenjata terhadap pembangunan dan kemanusiaan. Berikut penjelasan singkat tentang datanya:
Apa Itu Data Geneva Declaration?
1. Sumber Data:
- Mengumpulkan statistik dari laporan pemerintah, PBB, LSM, dan penelitian lapangan tentang:
- Kematian akibat kekerasan bersenjata (konflik & kriminal).
- Cedera, pengungsian, dan dampak sosial-ekonomi.
- Contoh: Laporan “Global Burden of Armed Violence” (2008, 2011, 2015).
2. Fokus Utama:
- Korban sipil (90% korban kekerasan bersenjata adalah warga non-militer).
- Keterkaitan dengan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs).
3. Contoh Temuan Penting:
- 500.000 orang tewas tiap tahun akibat kekerasan bersenjata (2007–2012).
- 58% kematian terjadi di negara non-konflik (kriminal, gang, dll.).
Tujuan Data Ini:
- Membantu pemerintah dan LSM merancang kebijakan pengurangan kekerasan.
- Memantau kemajuan SDG 16.1 (mengurangi kekerasan di semua bentuk).
Sumber Resmi: Geneva Declaration Secretariat.
ix Tautan ini menarik untuk memahami soal perang sebagai bisnis: https://therevolvingdoorproject.org/the-industry-agenda-military-industrial-complex/?utm_source=chatgpt.com. Bandingkan misalnya “anggaran perang” yang seringkali merujuk pada Kompleks Industri-Militer (The military-industrial complex) merujuk pada jaringan produsen senjata, kontraktor pertahanan, kontraktor militer swasta, think tank, kelompok advokasi, dan pelobi yang berkepentingan dalam kebijakan luar negeri Amerika dan lembaga militer AS. Industri pertahanan pada dasarnya berfungsi sebagai lengan privat dari Departemen Pertahanan, mengingat banyak kontraktor pertahanan sangat bergantung pada anggaran pertahanan tahunan pemerintah yang membengkak hingga $700 miliar.
Para pemain utama di industri ini termasuk Lockheed Martin, Boeing, General Dynamics, Raytheon, Northrop Grumman, dan United Technologies. Kelompok-kelompok ini kemudian mendanai jaringan think tank seperti:
- Center for a New American Security (CNAS)
- New America Foundation
- Center for Strategic and International Studies (CSIS)
- Council on Foreign Relations
- Brookings Institution
- Heritage Foundation
Laporan terbaru dari Revolving Door Project mengungkap bahwa CNAS – salah satu think tank tersebut – berulang kali menganjurkan kebijakan yang akan menguntungkan produsen senjata terbesar, tanpa secara formal mengungkapkan penerimaan donasi dari perusahaan-perusahaan tersebut. Perang diperlukan baik kecil maupun besar agar bisnis industri militer ini terus berjalan. Tanpa perang mereka akan gulung tikar.
x Bernard Lewis, The Political Language of Islam (Chicago: University of Chicago Press, 1988), 72.
xi Hugh Kennedy, Muslim Spain and Portugal: A Political History of al-Andalus (London: Routledge, 1996), 42. Lihat juga Kennedy, Hugh. The Great Arab Conquests: How the Spread of Islam Changed the World We Live In. London: Weidenfeld & Nicolson, 2007.