halaman drm #22
Pesan Ozon III: Mimpi modern
Dwi R. Muhtaman
“Dikota itu, kata orang gerimis telah jadi logam
–Goenawan Mohamad–
Di ujung abad duapuluh ini, ada satu hal yang sangat sulit dihalau manusia: mimpi! Semua orang berlomba-lomba merebutnya. Segala manusia berkejaran menabur mimpi. Beranjak dari tempat peraduan. Kamar mandi. Ruang makan. Beranda rumah depan. Dari pekarangan, di jalan-jalan desa becek atau perkotaan. Di rumah reyot atau mewah, di hotel-hotel mewah atau cuma di warung kopi murahan. Di semua itu bercucuran mimpi-mimpi yang semuanya berharap untuk dapat menangkapnya. Setidaknya bisa menyentuh langit yang digantungnya itu.
Ada dua jenis mimpi. Rosie March-Smith, dalam buku Dreams: Unlock inner wisdom, discover meaning, and refocus your life mengatakan bahwa perihal mimpi ini. Ilmuwan berusaha sebaik mungkin menjawab pertanyaan apa itu mimpi, tetapi faktanya tidak ada yang benar-benar tahu. Mereka telah menemukan bahwa kita bermimpi antara empat hingga enam kali setiap malam, dengan durasi antara lima hingga 20 menit setiap kali, dan bahwa semua orang bermimpi karena mimpi diperlukan untuk kesehatan emosional, mental, dan fisik kita.
Dalam rentang hidup normal, kita menghabiskan setidaknya enam tahun untuk bermimpi. Tetapi, apa tujuan dari mimpi? Para peneliti berbicara tentang konsolidasi memori, juga tentang membuang “sampah” sehari-hari yang menyumbat otak kita. Mereka mengklaim bahwa kita bermimpi untuk membersihkan koneksi saraf yang tidak diperlukan, menciptakan ruang bagi kreativitas.
Mereka bahkan dapat memberi tahu kita bagaimana dan kurang lebih apa yang kita mimpikan, berkat hadirnya mesin pencitraan otak. Namun, mereka masih belum menemukan alasan mengapa kita bermimpi.
Tetapi dalam tulisan ini mimpi yang dimaksud adalah visi. “Kita manusia telah lama memimpikan hari di mana kita tidak lagi perlu bekerja, dan segalanya tersedia secara gratis. Dreaming of Plenitude menggambarkan masa depan tahun 2041 di mana revolusi energi, revolusi material, AI, dan otomatisasi membawa kita setengah jalan menuju mimpi tersebut,” tulis Kai-Fu Lee pada buku AI 2041: Ten Visions for Our Future. Artificial Intelligent (AI) 2041 adalah visinya tentang bagaimana AI berperan dalam hidup manusia. AI mungkin bisa memudahkan banyak hal. Tetapi bisa jadi juga tidak. Sebab “… dalam Dreaming of Plenitude, sebuah masyarakat yang pada awalnya tampak memiliki semua elemen untuk menjadi surga utopia—di mana kebutuhan dasar semua orang terpenuhi (sehingga mereka bebas mengejar tujuan yang lebih tinggi dalam hidup)—ternyata memunculkan sebanyak mungkin masalah seperti yang diselesaikan. Secara khusus, cerita ini mengungkapkan potensi bahaya bagaimana generasi muda mungkin bereaksi di dunia di mana mereka kehilangan jangkar tradisional berupa karier yang menopang hidup dan menjadi fondasi untuk membangun kehidupan yang sejahtera. Alasan mengapa jalan menuju utopia penuh dengan rintangan adalah karena model ekonomi dirancang untuk kelangkaan, bukan kelimpahan. Ketika hampir segalanya gratis, apa tujuan uang? Tanpa uang, apa yang terjadi pada orang-orang yang terbiasa bekerja untuk menghasilkan uang sebagai makna hidup mereka? Apa yang terjadi pada institusi ekonomi dan korporasi?”
Kai-Fu Lee adalah seorang pakar kecerdasan buatan (AI), penulis, dan pengusaha asal Tiongkok-Amerika yang dikenal luas atas kontribusinya dalam pengembangan AI dan teknologi masa depan. Ia memiliki karier panjang di berbagai perusahaan teknologi terkemuka seperti Apple, Microsoft, dan Google, di mana ia menjabat sebagai presiden Google China.
Kai-Fu Lee adalah pendiri Sinovation Ventures, sebuah perusahaan investasi yang fokus pada inovasi teknologi di Tiongkok. Ia juga dikenal sebagai salah satu pemikir terkemuka dalam AI dan dampaknya terhadap masyarakat, ekonomi, dan masa depan pekerjaan.
Buku AI 2041: Ten Visions for Our Future, yang ia tulis bersama novelis Chen Qiufan, mengeksplorasi bagaimana AI akan membentuk dunia pada tahun 2041 melalui kombinasi cerita fiksi dan analisis mendalam, menghubungkan prediksi ilmiah dengan tantangan dan peluang yang akan dihadapi umat manusia.
Kai-Fu Lee mempunyai visi itu. Visi adalah pandangan atau gambaran tentang masa depan yang diinginkan, biasanya mencerminkan tujuan jangka panjang dan aspirasi yang ingin dicapai. Visi sering kali menjadi pedoman bagi individu, organisasi, atau komunitas dalam mengambil keputusan dan mengarahkan tindakan mereka ke arah yang konsisten dengan nilai-nilai dan tujuan tersebut.
Dan kita mimpi modern. Membayangkan segala apapun dari negara-negara seberang yang kita kagumi. Modern. Sebuah periode yang menggambarkan perubahan budaya, dan cara berpikir yang muncul sejak akhir abad ke-17, terutama setelah Pencerahan. Istilah modern erat kaitannya dengan perkembangan dalam ilmu pengetahuan, filsafat, seni, politik, dan masyarakat yang menandai transisi dari sistem tradisional, agraris, dan feodal masa lalu ke sistem industri, kapitalis, dan globalisasi masa kini.
Modernitas adalah kondisi atau kualitas dari menjadi modern, sering kali merujuk pada periode yang ditandai dengan perubahan radikal dalam masyarakat, politik, budaya, dan pemikiran. Ini melibatkan pergeseran dari cara hidup pra-modern (misalnya, masyarakat agraris, religius, atau feodal) ke masyarakat yang didorong oleh alasan, pengetahuan ilmiah, sekularisme, individualisme, dan industrialisasi. Modernitas sering dikaitkan dengan peristiwa sejarah besar seperti Revolusi Industri, kebangkitan kapitalisme, perkembangan demokrasi, dan pertumbuhan urbanisasi.
Kata “modern” berasal dari kata Latin “modernus”, yang berasal dari “modo”, yang berarti “baru saja” atau “baru-baru ini”. Istilah ini digunakan dalam bahasa Latin pada Abad Pertengahan untuk membedakan waktu sekarang dari masa lalu yang kuno atau klasik. Seiring waktu, istilah ini mulai merujuk pada periode tertentu yang menekankan perubahan dan kemajuan dibandingkan dengan era sebelumnya, menandai transisi dari masa feodal ke masa kini.
Dibanding nenek moyang yang jauh, kita hidup sangat berbeda. Perubahan yang luar biasa dalam segala aspek kehidupan. Robert B. Marks (The Origins of the Modern World: A Global and Environmental Narrative from the Fifteenth to the Twenty-First Century, 2024) mencatat manusia telah bermigrasi dari satu bagian dunia ke bagian lain sejak pertama kali berevolusi sebagai spesies sekitar 200.000 tahun yang lalu di Afrika Timur. Dari sana, dalam kata-kata sejarawan Patrick Manning, yang dikutip Marks, nenek moyang kita menyebar secara progresif saat mereka menjajah benua Afrika, kemudian seluruh Eurasia, Australasia, Amerika, dan akhirnya setiap bagian daratan di bumi. Lebih lanjut disebutkan hampir semua orang di Bumi merupakan keturunan dari kerabat yang pernah pindah dari satu tempat ke tempat lain. Orang-orang bermigrasi karena berbagai alasan, termasuk untuk meningkatkan status ekonomi, sosial, atau politik mereka atau keluarga mereka; menyebarkan gagasan agama; melarikan diri dari bencana lingkungan atau iklim; atau sekadar ingin melihat dunia. Kadang-kadang keputusan untuk bermigrasi diambil secara sukarela oleh individu atau kepala keluarga, tetapi di waktu lain, keputusan tersebut dipaksakan oleh pihak lain, seperti dalam kasus perbudakan atau ketika perang memaksa orang untuk melarikan diri. Ketika orang bermigrasi ke bagian dunia lain yang sudah dihuni oleh orang lain, sering kali diperlukan pembelajaran bahasa dan budaya baru.
Di dunia modern awal, masih tulis Marks, sebagian besar migrasi adalah jenis yang disebut Manning sebagai “migrasi antar-komunitas.” Pergerakan manusia ini difasilitasi oleh teknologi maritim baru dan yang lebih baik, yang memungkinkan perjalanan penjelajah seperti Zheng He, Columbus, dan da Gama. Ekspansi kekaisaran Mongol, Tiongkok, Rusia, Ottoman, Portugis, dan dunia Atlantik menyebabkan pergerakan orang di dalam perbatasan kekaisaran tersebut, dan kadang-kadang mendorong mereka untuk melarikan diri.
Menurut Marks, penyatuan dunia global oleh penjelajah, penakluk, dan pedagang mengubah dunia secara permanen, karena semua bagian dunia berpenghuni mulai berhubungan secara teratur dan berkelanjutan satu sama lain. Migrasi dan globalisasi berjalan seiring. Para migran mendirikan koloni pemukim di berbagai tempat seperti Amerika, Tanjung Harapan Afrika Selatan, Melaka, Singapura, dan Manila, serta pelabuhan dan pos lainnya. Sebagian besar migran ini adalah pria bebas (seperti di Amerika Spanyol dan Portugis) yang memiliki anak dengan perempuan setempat, menciptakan budaya mestizo dan komunitas yang melibatkan pertukaran bahasa, agama, alat, dan bahan makanan, di antara hal-hal lainnya.
Komunitas-komunitas ini merupakan hasil dari tindakan penjajah terhadap yang dijajah dan diperbudak, serta pembentukannya diiringi dengan banyak kekerasan, trauma, dan penindasan. Di Amerika Latin, budaya asli tidak sepenuhnya dihancurkan oleh penaklukan dan imigrasi paksa budak Afrika, melainkan melalui proses dua arah “transkulturasi” yang menciptakan budaya baru. Migrasi pemukim Inggris ke New England di Amerika Utara berbeda karena sebagian besar migran adalah unit keluarga yang sudah ada. Di seluruh dunia, di mana pun kapal layar dapat mencapai, masyarakat kreol—kombinasi migrasi dan kekuasaan kolonial di Amerika, Afrika, dan Asia—berkembang. Karena sebagian besar kapal yang berlayar di bawah bendera Eropa dipimpin oleh raja atau ratu Kristen, misionaris dan kegiatan penyebaran agama sering menyertai pedagang dan perdagangan.
Pada bab awal buku edisi lima terbaru ini kita membaca bagaimana perjalanan melintasi samudra menghasilkan perdagangan baru dalam jumlah besar antara berbagai bagian dunia, tetapi juga penaklukan Amerika, The Great Dying (Kematian Besar) yang menyebabkan penderitaan manusia yang luar biasa, Pertukaran Kolumbus, dan perbudakan orang Afrika. Di dunia modern awal, migrasi terbesar adalah yang disebabkan oleh perbudakan. Selama tiga abad, hingga 100.000 orang Afrika yang diperbudak setiap tahun dikirim ke Amerika untuk bekerja di perkebunan dan tambang.
Perdagangan budak bersifat rasial dan berbasis gender, dengan dua pertiga di antaranya adalah laki-laki Afrika muda, yang memengaruhi komunitas Afrika baik di Amerika maupun Afrika sendiri. Meskipun diperbudak, orang Afrika membawa bahasa, praktik agama, dan keterampilan mereka, serta menciptakan budaya mereka sendiri meskipun menghadapi represi dan praktik dehumanisasi oleh pemilik budak. Pandangan tentang pengalaman hidup budak Amerika yang kebanyakan mengerikan ini berasal dari narasi budak; dua memoar terkenal adalah karya Olaudah Equiano, yang membeli kebebasannya, dan Solomon Northup, seorang pria kulit hitam bebas di Massachusetts yang diculik dan dijual sebagai budak. Film berdasarkan memoar Northup, 12 Years a Slave, memenangkan tiga penghargaan Academy pada tahun 2014. Perbudakan Amerika berakhir setelah Perang Saudara (1860–1865) dan memunculkan migrasi massal lain dari mantan budak keluar dari negara bagian selatan.
Lalu dari kondisi kelam itu dunia kini menikmati kemajuan demi kemajuan. Sekaligus kecemasan demi kecemasan. Kota-kota penuh sesak. Bahkan gerimis telah jadi logam. Keindahan kota tertelan beragam modernisasi. Sementara desa makin terpinggirkan dan dilupakan. Teknologi? Misalnya, bila teknologi berbasis Al telah menjadi komoditas, maka tidak lagi diperlukan tenaga manusia di belakang sistem contact centre, telemarketing, customer service, prompter stasiun, bandara, dan tempat publik lainnya. Al juga dapat mengotomasi pekerjaan yang membutuhkan analisa algoritma matematika kompleks seperti perdagangan saham.
Bahkan saat buku Kai-Fu Lee ditulis pada akhir 2019, AI merupakan tulang punggung perdagangan saham di Wall Street. Kai-Fu Lee, seorang pakar AI, mem-perkirakan pada 2034 Al akan menggantikan 40% pekerjaan manusia. Kita sejak jaman modern mengalami perubahan capaian yang luar biasa. Bahkan perubahan di era Industri 5.0 sangatlah cepat. Bila era Industri o.o dicapai dalam waktu ratusan ribu tahun, Industri 1.0 ribuan tahun, Industri 2.0 ratusan tahun, dan Industri 4.0 puluhan tahun, maka Industri 5.0 dapat terjadi dalam waktu belasan tahun. Setiap hari selalu ada inovasi di sektor industri teknologi informasi, keuangan, layanan, dan seba-gainya. Organisasi-organisasi berusia ratusan tahun bertumbangan, organisasi-organisasi berusia pu-luhan tahun mulai kebingungan kehilangan pangsa pasar, dan organisasi belia berusia kurang dari se-
puluh tahun telah mengalahkan kapitalisasi pasar pemain lama.
Kita bermimpi semua serbamodern. Melakukan segala sesuatu dengan cara yang paling mudah. Pencet ini pencet itu. Sebab makin tua zaman makin lupa pula akan pesan-pesannya. Dan cara atau proses makin tidak penting. Hasil jadi seperti tuhan yang mesti disembah-sembah, dicari-cari, lalu dari bumi tumbuh berlipat-lipat ganda mimpi. Seperti hembusan angin yang kita nikmati keasriannya menari-nari diangkasa. Dan kita terus mengipas-ngipasnya agar bertiup lebih kencang. Mengalir lebih maju agar membagikan nikmat yang lebih baik. Minimal menjanjikan yang mendecakkan mimpi: impian. Kita tak akan pernah menghembuskan itu untuk hari penghabisan dalam hidup ini. Ia sudah seperti nafas yang sakit dan hindari kecuali kalau tak mampu lagi bernafas. Tak kuasalah menebar mimpi lebih jauh.
Begitukah impian perilaku di ujung abad ini? Mengagumkan. Rasanya mustahil hidup tanpa mimpi. Waktu demi waktu yang kita jalani hingga sisi tebing curam zaman ini, adalah juga berkat impian-impian nenek moyang kita berabad-abad lamanya. Mimpi yang kreatif dan produktif. Barangkali impian yang penuh penjiwaan, renungan dan pengendapan yang berabad-abad pula, hingga lebih tepat dibilang berpikir ketimbang bermimpi.
Memang, ada juga yang sekedar mimpi tapi terbukti sekedar mimpi tak banyak punya arti. Cuma semacam pelarian belaka. Bukan pembebasan.
Mimpi modern berbeda lagi. Ia lewat begitu kencang. Kita kadang malah tak sempat menikmatinya, tapi tiba-tiba kilapan bergerak melebihi pesawat ulang alik sekejab saja kita menangkapnya. Sekelebatan itu justru malah kita sukai kita ikuti dengan segala upaya kita kejar tuntas menoba merangkuhnya lebih tepat seperti ingin memetik bulan atau memunguti bintan-bintang ingin segera itu jadi milik kita. Pematang becek atau tebing curam seperti apapun tak perduli. Kita ingin memiliki itu ketika sekelebatan ia melintir.
Mimpi modern ditawarkan lewat aneka jalan. Petanya seperti benang kusut diimingkan dijalan raya, di dinding-dinding rumah, pertokoan, warung, hotel, perkantoran, mobil, becak, bemo, tubuh-tubuh mulus manusia, bibir, dan seterusnya. Dan? Dalam pikiran kita. Tidak ada setitik bagianpun dari yang kita punya dari hidup tersisa yang kita miliki, terlepas dari rekatan mimpi-mimpi yang ditawarkan. Tatapan mata kita juga tak sekejap pun mampu menghindari dari tawaran-tawaran itu. Hidup kita padat terisi dengan iklan-iklan itu. Kita hidup dalam sebuah etalase raksasa. Dimana kita sendiri adalah salah satu bagian dari etalase yang mempesona itu. Kita tertawa terkekeh-kekeh. Lalu menawarkan diri jadi barang dagangan yang laris diperjualbelikan. Kita adalah etalase. Kita adalah iklan. Kita adalah uang. Kita adalah penawaran nafsu menguasai, memiliki dan menikmati. Kita, kemungkinan adalah budak dari majikan yang kita buat sendiri. Kita adalah alat dari sebuah sistem yang kita reka sendiri. Kita adalah boneka mainan yang ditimang, dibeli, ditawar, dijual, dilempar, dipabrikan, didaurulangkan, dicoba-coba, dan pada akhirnya …. dibuang. Kita adalah sebuah cita-cita bagi kita sendiri.
Kalau begitu berapakah harganya? Sulit memastikan atau malu untuk menyebutkan? Mungkin bagiku katakanlah seperti dalam ayat suci bahwa sebaik-baiknya manusia adalah yang beriman kepada Allah, “Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.” QS. Al-Hujurat (49): 13. Allah menilai manusia bukan berdasarkan status atau kedudukan, tetapi berdasarkan ketakwaannya, yang berlandaskan keimanan.
Seburuk-buruknya manusia lebih buruk daripada binatang…“Dan sesungguhnya Kami jadikan untuk isi neraka Jahanam banyak dari jin dan manusia. Mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengar (ayat-ayat Allah). Mereka itu seperti binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lalai.” QS. Al-A’raf (7): 179. Orang-orang yang tidak menggunakan potensi yang Allah berikan untuk kebenaran dipandang lebih sesat daripada binatang, karena binatang bertindak sesuai fitrahnya, sedangkan manusia memiliki akal dan hati yang seharusnya membimbingnya pada kebenaran.
Mana yang kita pilih. Malu menyebutkan. Tapi hati kita akan mengatakan dengan lantang, jelas dan jujur. Hati adalah kita. Apapun yang dibisiknya dan penawaran untuk mimpi apapun akan terus menggoda. Tinggal bagaimana bersahabat dengan mimpi itu. Bagaimana menggauli dan merekayasanya jadi sebuah citacita yang bukan sekedarnya. Namun merupakan cita-cita hakiki manusia di bumi. Sebagai khalifah di bumi. Kita bersyukur Tuhan menciptakan mimpi bagi kita. Tak akan kita sia-siakan. Sebab lihatlah lubang ozon itu karbon mimpi-mimpi yang berhamburan. Tawaran yang dihambur-hamburkan. Hingga merebut satu unsur milik ozon. Mimpi kita di atmosfir begitu melimpah. Atmosfir seperti terlengkapi. Ia merasa tersaingi maka jadilah mimpi kita itu polusi dan ozon. Tergeletak diatas sana. Tenaganya terkuras mulai lunglai dan getar menghadang sang ultra violet–tugas yang diemban dari Allah menjaga ketakberdayaan ummat manusia.
Modernisasi yang revolusioner telah membawa kita pada kecemasan pemanasan global. 1,5° Celsius, atau sedikit kurang dari 3° Fahrenheit di atas tingkat pra-industri. Itulah jumlah pemanasan global yang, menurut para ilmuwan, masih dapat ditoleransi dunia tanpa memasuki wilayah baru yang berbahaya bagi stabilitas masyarakat manusia seperti ditulis Marks. Dalam catatannya, selama dua dekade terakhir, suhu global terus meningkat (dua puluh tahun terpanas dalam catatan sejarah terjadi dalam dua puluh dua tahun terakhir), dengan dampak yang dapat dirasakan pada pola cuaca—musim panas yang lebih panas dan lebih kering di beberapa tempat, serta musim hujan yang lebih basah dan lebih liar di tempat lain. Selain itu, kenaikan permukaan laut sudah menjadi kekhawatiran bagi para pemimpin dan warga negara-negara kepulauan. Badai dan topan yang lebih kuat, serta kekeringan yang lebih panjang dan lebih intens, semakin mungkin terjadi, yang berujung pada hilangnya ketahanan pangan bagi masyarakat terdampak, serta gangguan sosial dan politik yang menyertainya.
Kita tahu bahwa pemanasan global disebabkan oleh aktivitas manusia, terutama pembakaran bahan bakar fosil yang melepaskan karbon dioksida (CO2) ke atmosfer, tetapi juga oleh metana (CH4) yang dilepaskan dari sawah dan sistem pencernaan sapi perah dan sapi potong. Saat ini, jumlah karbon dioksida di atmosfer telah melampaui tingkat aman, yaitu 350 bagian per juta (ppm), dan kini (pada tahun 2023) sudah melebihi 420 ppm dan terus meningkat. Suhu rata-rata global sudah 1,1°C lebih tinggi dibandingkan tahun 1870.
Karena karbon dioksida adalah gas rumah kaca, proyeksi menunjukkan bahwa Bumi sedang menuju suhu global yang lebih panas dan menghadapi tantangan serius lebih cepat dari yang diperkirakan sebelumnya. Menurut pandangan James Hansen, mantan kepala Institut Studi Antariksa Goddard NASA, yang dikutip Marks, hingga 2013, hal ini mengkhawatirkan karena sebagian besar peradaban manusia berkembang dalam iklim global yang bersuhu sedang, dengan kadar karbon dioksida di atmosfer sekitar 280 ppm. Lebih jauh lagi, Hansen dan klimatolog lainnya telah menyimpulkan bahwa penyebab peningkatan karbon dioksida di atmosfer adalah tindakan manusia akibat industrialisasi selama dua abad terakhir, terutama dalam enam puluh tahun terakhir sejak pertengahan abad ke-20.
COP29 yang tengah berlangsung di Baku, Azerbaijan akan menjadi ujian penting atas berbagai komitmen. Pada COP28 di Dubai tahun 2023, Para Pihak sepakat pada Konsensus UEA. Prestasi utama ini mencatat kesepakatan 198 negara dalam perjanjian bersejarah untuk memulai “transisi dari bahan bakar fosil,” pertama kalinya bahan bakar fosil secara eksplisit disebutkan dalam keputusan COP UNFCCC. Selain itu, negara-negara sepakat untuk mendanai dan mengoperasionalkan Dana Kerugian dan Kerusakan (Loss and Damage Fund), yang dirancang untuk mendukung negara-negara yang menghadapi kerusakan iklim yang tak terhindarkan, sebagaimana awalnya disepakati pada COP27 di Mesir. Sebagai tanggapan atas Global Stocktake (GST) pertama, sebuah proses untuk menilai kemajuan negara-negara terhadap komitmen mereka berdasarkan Perjanjian Paris, negara-negara membuat berbagai komitmen termasuk menyepakati untuk melipatgandakan penggunaan energi terbarukan dan menggandakan efisiensi energi pada 2030 serta merencanakan penghentian deforestasi pada 2030.
Sementara isu utama yang dibahas di COP29 antara lain adalah soal kesepakatan tujuan baru yang kuat untuk pembiayaan iklim yang merespons kebutuhan negara-negara berkembang.
Pembiayaan iklim adalah pendorong utama aksi iklim dan menjadi tema utama di COP29. Hal ini disebabkan karena tujuan pembiayaan pasca-2025, yang dikenal sebagai ‘tujuan kuantitatif kolektif baru’ (the ‘new collective quantified goal,’ NCQG), akan disepakati. Negara-negara yang menandatangani Perjanjian Paris memutuskan bahwa tujuan ini harus ditetapkan “dengan dasar minimal $100 miliar per tahun, dengan mempertimbangkan kebutuhan dan prioritas negara-negara berkembang.” Angka $100 miliar ini merujuk pada janji yang disepakati pada 2009 yang seharusnya dimobilisasi pada 2020, tetapi baru-baru ini tercapai dan dianggap oleh banyak pihak sebagai terlalu sedikit dan terlambat.
Sejarah kegagalan dalam memenuhi target ini membuat tugas Presidensi Azerbaijan untuk membangun kepercayaan antara negara maju dan berkembang, serta mengamankan NCQG dengan kualitas dan kuantitas yang lebih tinggi, menjadi lebih sulit. Meski menghadapi tantangan ini, analisis baru dari Organisasi Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD) memberikan sedikit dorongan semangat karena menemukan total $115,9 miliar telah dimobilisasi oleh negara maju pada 2022, meningkat signifikan sebesar $26,3 miliar atau 30 persen dibandingkan 2021.
Diskusi difokuskan pada mobilisasi dana untuk mendukung negara-negara berkembang, khususnya yang paling rentan, agar dapat mempercepat aksi iklim. Konsorsium pemimpin pemikiran Allied for Climate Transformation by 2025 (ACT2025), yang bertujuan mengangkat suara negara-negara rentan terhadap perubahan iklim dalam negosiasi iklim PBB, telah mengembangkan COP29 Call to Action yang menekankan bahwa pembiayaan masih kurang di semua lini, dan hasil yang sukses pada 2025 dan seterusnya sangat bergantung pada keputusan pembiayaan yang dibuat di COP29.
NCQG memiliki potensi menjadi faktor penentu untuk mengamankan NDCs yang lebih ambisius pada awal 2025, serta untuk memenuhi semua komitmen sebelumnya dalam meningkatkan ambisi. Namun, negara-negara masih berselisih mengenai aspek-aspek fundamental dari tujuan ini, termasuk seberapa besar jumlahnya, apa yang harus dicakup, berapa tahun durasinya, mekanisme transparansi, dan tentunya isu yang sensitif—siapa yang harus membayar.
Kaum muda di seluruh dunia sangat memahami tantangan yang ditimbulkan oleh pemanasan global terhadap keselamatan dan keamanan dunia yang akan mereka tempati bersama anak-anak mereka di masa depan. Mereka telah berdemo dan mendesak generasi yang lebih tua untuk “bertindak sekarang!”
Tapi kita lupa seakan tak menghargai tugas berat dan mulia ozon. Sehingga atmosfir diatas kita yang lalu lalang adalah seperti sebuah bait puisi:
Dikota Itu
Kata orang gerimis telah jadi logam
Di bawah cahaya hari pun bercadar
Tapi aku tahu kita akan sampai kesana.
Dan kita bercinta tanpa batuk yang tersimpan,
Membiarkan gumpal darah di gelas itu menghijau.
Dan engkau bertanya,
Mengapa udara berserbuk di antara kita?
Lalu pagi selesai,
Burung lerai dan sisa bukan tertinggal di luar,
Di atas cakrawala aspal.
Jika sesuatu pun berdebu, kekasihku
Juga pelupukmu. Tapi tutupkan matamu,
Dan bayangkan aku.
—
Jakarta, 5 Oktober 1989
diperbarui November 2024
Dwi Rahmad Muhtaman
- Robert B. Marks, The Origins of the Modern World: A Global and Environmental Narrative from the Fifteenth to the Twenty-First Century (Lanham, Boulder, New York, London: Rowman & Littlefield, 2024).
- https://www.cisl.cam.ac.uk/cop29-what-expect
- Di Kota Itu, Kata Orang, Gerimis Telah Jadi Logam. Karya: Goenawan Mohamad