halaman drm #21
Pesan Ozon II: Hari depan Indonesia
Dwi R. Muhtaman
“ Hari depan Indonesia adalah
dua ratus juta mulut yang menganga ….”,
Kembalikan Indonesia padaku,
–Taufik Ismail–
Ini adalah monolog. Sebuah renungan. Sebuah rekaan. Namun ….
Di sebuah negeri yang dilaporkan mengalami kemajuan pesat dalam pembangunannya di segala bidang, inilah yang dicatat. Di sebuah negeri yang penerimaan domestik non migas menjulang dari Rp. 4.9 triliyun akhir Repelita III menjadi Rp 13,5 triliyun akhir repelita IV nilai ekspor direngkuh lebih dari 12 triliyun US$ (60%), 5.500 buah proyek pembangunan dan 1.200 proyek industri modal asing, sektor industrinya yang tambah melaju dengan kecepatan 13,2 % setiap tahun. Antara 1983-88, pertumbuhan ekonomi bertengger pada 5,1% tiap tahun dan …
Pada tahun 2023, Indonesia terus menunjukkan peningkatan yang signifikan dalam penerimaan domestik dan ekspor non-migas. Sebagai gambaran, penerimaan negara bukan dari sektor minyak dan gas mencapai angka sekitar Rp2.307,7 triliun hingga September 2023, seiring dengan pertumbuhan ekonomi dan penguatan sektor manufaktur yang berperan besar dalam struktur PDB (Produk Domestik Bruto) nasional. PDB Indonesia sendiri diperkirakan mengalami pertumbuhan sebesar 5,03% pada kuartal pertama 2023, didukung oleh kontribusi sektor manufaktur yang mencapai 16,77%, terutama di subsektor logam dasar dan transportasi yang mencatatkan pertumbuhan tinggi karena meningkatnya permintaan untuk kendaraan listrik dan komponen kendaraan menjelang Hari Raya Idul Fitri.
Ekspor non-migas Indonesia pada tahun 2023 diperkirakan melebihi angka USD289,76 miliar, yang sebagian besar ditopang oleh komoditas seperti nikel dan batu bara, sejalan dengan kebijakan hilirisasi industri yang meningkatkan nilai tambah bahan baku dalam negeri. Dalam 31 bulan berturut-turut, Indonesia juga berhasil mencatatkan surplus neraca perdagangan, sebuah pencapaian yang mencerminkan keunggulan performa ekspor terhadap impor di tengah tantangan ekonomi global.
Dengan adanya data ini, kemajuan di sektor penerimaan domestik dan ekspor non-migas memperlihatkan dampak positif dari kebijakan pemerintah dalam memperkuat sektor manufaktur serta mendiversifikasi pasar ekspor melalui penetrasi ke pasar-pasar non-tradisional seperti Afrika, Asia Selatan, dan Timur Tengah.
Di sebuah negeri dengan penduduk yang hidup di bawah garis kemiskinan turun dari 54 juta jadi sekitar 30 juta orang saja. Itu 35 tahun yang lalu.
Berdasarkan data terkini BPS per Maret 2024, berikut adalah rincian mengenai tingkat kemiskinan dan jumlah penduduk miskin di Indonesia:
Persentase penduduk miskin pada Maret 2024 adalah 9,03% dari total populasi Indonesia. Dengan populasi Indonesia sekitar 280 juta jiwa pada tahun 2024, ini berarti sekitar 25,22 juta orang termasuk dalam kategori penduduk miskin. Tingkat kemiskinan ini menunjukkan penurunan sebesar 0,33 poin persentase dibandingkan Maret 2023 dan 0,54 poin persentase dibandingkan September 2022.
Jumlah penduduk miskin pada Maret 2024 mencapai 25,22 juta orang, mengalami penurunan sebesar 0,68 juta orang dari Maret 2023 (25,9 juta orang) dan turun 1,14 juta orang dari September 2022 (26,36 juta orang).
Sementara itu di perkotaan, persentase penduduk miskin Maret 2024 tercatat sebesar 7,09% (dari 7,29% pada Maret 2023), atau sekitar 11,64 juta orang. Sedangkan di perdesaan, persentase kemiskinan mencapai 11,79% (dari 12,22% pada Maret 2023), setara dengan 13,58 juta orang.
Garis Kemiskinan pada Maret 2024 ditetapkan pada Rp582.932 per kapita per bulan, dengan alokasi Rp433.906 untuk kebutuhan makanan (74,44%) dan Rp149.026 untuk kebutuhan non-makanan (25,56%). Rumah tangga miskin rata-rata memiliki 4,78 anggota, sehingga Garis Kemiskinan per rumah tangga miskin secara rata-rata adalah Rp2.786.415 per bulan.
Angka-angka ini mencerminkan tidak banyak perubahan terjadi dibanding situasi 35 tahun yang lalu. Ada penurunan sekitar 5 juta orang miskin selama 35 tahun.
Sebuah sejarah ini terjadi, 35 tahun yang lalu. Puluhan petani miskin – sebagian dari 30 juta itu kehilangan lahan garapannya atau diganti Cuma dengan 30 rupiah per m2. Di situ akan dibangun sebuah industri pariwisata lapangan golf yang istimewa. Udara segar, panorama yang mempesona. Pastilah hari-hari menyenangkan. Liburan yang menggairahkan tuan-tuan. Dan di pinggir situ, kelak petani sia-sia panenannya. Air liurnya jatuh. Keringatnya bergulir ke langit. Anak-anak hanya memandangi bagaimana tuan-tuan itu memukul bola kecil putih dengan tongkat anehnya. Anak-anak di luar pagar. Karcis masuk mahal. Mungkin jadi jongos, babu atau budak–satu kekuatan yang tak mampu dilawan.
Sebelumnya ada rakyat yang akan ditenggelamkan. Dipermainkan seperti sebuah maket pemukiman yang disiram. Tapi mereka berani melawan. Setidaknya bertahan dikeyakinan haknya. Air merambat. Semangat meluap air meninggi. Mereka tetap tak mau pergi. Hidup memang seperti satu permainan dan manusia seringkali amat suka dan menikmati permainan itu. Ada kepuasan. Ada kebahagiaan manakala kita telah mencoba bermain sebaik mungkin. Kalah atau menang, sukses atau gagal bukanlah tujuan utama. Yang lebih penting dan berharga adalah bagaimana kita berjuang untuk itu. Yang dinilai atau yang mengambil pemuasan adalah proses pencapaian hasil itu. Prosesnya.
Dan mereka berjuang di Kedungombo itu adalah proses bermain dalam hidup. Mereka kalah, memang adalah karena tergilas kekuatan-kekuatan dahsyat. Mereka tak punya apa-apa untuk melawan. Selain nilai, semangat dan sifat-sifat unggul sebagai manusia. Dengan itu mereka mencoba menerjang, menendang dan berteriak.
Di Jakarta, kota yang angkuh tapi menawan, hidup bagai di lautan. Sebuah badik kecil akan terombang-ambing dan akhirnya terjengkang. Bilamana sebuah kapal besar lewat di sampingnya. Ini, barangkali ketidakadilan. Anak-anak, ratusan jumlahnya belia usianya, berkeliaran sepanjang hari di dengaran Jakarta, di sorot tajam mata Jakarta. Di sudut –sudut Jakarta. Di balik-balik mimpi-mimpi Jakarta. Di bilik-bilik dinding dan gubuk Jakarta. Di udara, asap, panas dan pengap Jakarta. Di lembar-lembar yang ditawarkan Jakarta, di tetesan embun, rezeki Jakarta. Di suara desing dentam Jakarta. Di gemerisik Jakarta, di pesonanya Jakarta. Di tiap detak jantung Jakarta …
Derap langkah anak-anak itu tak pernah berhenti. Menganga mulutnya. Menanti dan berburu nasi. Dan ternyata itu masih bukan urusan negara. Sebab negara tak mengurusi anak semacam itu. Konstitusi yang menyebutkan soal itu belum ada yang menggugat. Bahkan ketika saat ini, 35 tahun yang lalu, negara cuma “mengurusi” (membuat kurus) anak-anak dan orang miskin. Tak ada yang protes ketika mereka itu diancam untuk tidak berjualan di traffic light, pasar potensial mereka. Jualannya dihalau dan digertak-gertak persis seperti ketika pejabat itu menggiring atau menghalau binatang yang masuk kehalamannya. Dan lebih buruk dari itu…
Pedagang asongan, apalagi , disapu bersih, ditendang, diseret-seret dicampakkan, diburu-buru, ditangkap dan diambil jualannya. Persis ketika mau menyeret binatang untuk di potong dan disate.
Serba tidak menyenangkan menjadi orang miskin. Ia hanya sampah yang tidak bisa didaur ulang sekalipun. Tapi begitukah kita memperlakukan sesama manusia? Nasib memang berbeda. Namun penghormatan sebagai manusia di mana-mana, siapa saja, kapan saja adalah sama. Manusia diciptakan untuk saling kenal dan menjalin persaudaraan.
Dan 35 tahun kemudian, saat ini 2024, adakah yang berubah? Kemiskinan itu? Anak-anak itu? Orang-orang yang tanah-tanahnya dihargai murah?
Amartya Sen, dalam bukunya Development as Freedom, menegaskan bahwa “pembangunan seharusnya tidak hanya dilihat dari segi pertumbuhan ekonomi semata tetapi juga dari peningkatan kebebasan individu.” Menurut Sen, kemiskinan adalah kekurangan kebebasan, dan upaya pengentasan kemiskinan harus mencakup peningkatan kesehatan, pendidikan, dan kesempatan ekonomi bagi semua individu. Bagi Sen, pembangunan adalah proses memperluas kebebasan substantif yang memungkinkan orang menjalani hidup dengan cara yang mereka hargai. Tetapi Tuan dan Puan itu yang bercokol dalam tampuk kekuasaan malah memberi jalan bagi tembok-tembok pemisah yang menjulang antara Si Miskin dan Si Kaya. Padahal menurut Jeffrey Sachs dalam bukunya The End of Poverty, kemiskinan ekstrem dapat dihapuskan dalam generasi ini melalui kerjasama internasional dan komitmen global. Sachs menyatakan bahwa “tantangan pembangunan yang sebenarnya bukanlah kurangnya sumber daya global, tetapi kurangnya niat politik untuk menciptakan solusi yang berkelanjutan.” Bagi Sachs, pengentasan kemiskinan membutuhkan kebijakan yang holistik, mencakup investasi dalam infrastruktur, pendidikan, kesehatan, dan teknologi, terutama di negara-negara berkembang.
Mahbub ul Haq, seorang ekonom Pakistan yang juga pencipta Indeks Pembangunan Manusia (HDI), menekankan bahwa “tujuan akhir dari pembangunan adalah memperbesar pilihan bagi manusia, bukan sekadar meningkatkan pendapatan nasional.” Haq menekankan pentingnya indikator kemajuan manusia yang mencakup akses terhadap pendidikan, kesehatan, dan standar hidup yang layak, yang merupakan cerminan dari kesejahteraan manusia secara keseluruhan, bukan hanya dari sisi ekonomi. Sejalan dengan para koleganya, Syed Hussein Alatas, seorang sosiolog dan intelektual asal Malaysia, terkenal dengan pandangan kritisnya tentang kemiskinan dan persepsi “malas” yang sering disematkan pada bangsa Melayu. Dalam bukunya The Myth of the Lazy Native, Alatas membahas bagaimana stereotip kemalasan di Asia Tenggara—khususnya terhadap orang Melayu, Filipina, dan Jawa—merupakan konstruksi kolonial yang digunakan untuk membenarkan eksploitasi dan penindasan ekonomi oleh kekuatan kolonial. Ia berpendapat bahwa anggapan ini merupakan “mitos” yang sengaja diciptakan oleh kolonialis untuk memposisikan diri mereka sebagai pembawa peradaban dan kemajuan, sehingga memperkuat dominasi mereka.
Alatas menekankan bahwa kemiskinan dan kondisi sosial-ekonomi yang tertinggal bukanlah hasil dari sifat malas, melainkan akibat dari struktur sosial dan ekonomi yang tidak adil serta eksploitasi oleh kolonialis. Menurutnya, “kemiskinan bukan karena kurangnya moralitas atau etos kerja, tetapi hasil dari ketidakadilan struktural.” Ia percaya bahwa perubahan harus berfokus pada sistem ekonomi, sosial, dan politik yang menciptakan kesenjangan tersebut, daripada menyalahkan sifat atau karakter pribadi masyarakat lokal.
Tapi ….
Sekali lagi kaum miskin yang bernasib sial itu tak mampu berhadapan dengan kekuatan itu. Mereka rapuh tak ada yang membela dengan perkasa.
Dan itu adalah sebuah malapetaka bagi negeri yang dilaporkan kini tinggal 25 juta jiwa yang tersisa dalam lembah kemisikinan.
Dan duapuluh lima juta itu adalah bencana. Sebab kemiskinannya adalah derita yang berkepanjangan. Lebih karena ketidakadilan, ketidakmerataan pemanfaatan sumber-sumberdaya. Kekuatan yang timpang.
Pada 2023, jumlah miliarder di Indonesia tercatat sebanyak 27 orang, dengan nilai kekayaan mereka yang sangat tinggi—masing-masing bernilai lebih dari 1 miliar USD Ada kelompok ultra-high-net-worth individuals (UHNWIs) atau individu dengan kekayaan bersih sangat tinggi, yaitu mereka yang memiliki kekayaan bersih lebih dari 30 juta USD. Pada 2023, jumlah UHNWIs di Indonesia diperkirakan mencapai sekitar 462 orang. High-net-worth individuals (HNWI), yaitu orang-orang dengan kekayaan lebih dari 1 juta USD, diperkirakan mencapai sekitar 160.000 orang .
Bagaimana dengan Kelas Menengah? Berdasarkan data Bank Dunia, Indonesia memiliki sekitar 52 juta orang dalam kelas menengah (sekitar 19-20% dari populasi). Kelas menengah ini dianggap memiliki pengeluaran harian antara 2 hingga 20 USD per kapita, yang menunjukkan standar hidup yang cukup baik, namun mereka tetap rentan terhadap ketidakstabilan ekonomi dan perubahan harga komoditas.
Distribusi ini menunjukkan kesenjangan yang masih besar di Indonesia, dengan sebagian kecil penduduk menguasai sebagian besar kekayaan, sementara sebagian besar berada dalam kategori kelas menengah dan rendah.
Duapuluh lima juta itu adalah jarak antara 27 orang yang hidup berkelebihan: rumah mewah, villa dan mobil mewah, jabatan mewah, usaha mewah, gaji mewah dan di sinilah kekuatan itu menumpuk, menindih Si 25 juta dengan kemiskinannya: gubuk-gubuk reot, keringat yang percuma, nafas tersengal-sengal, tanah yang hilang, singkong dan ikan asin, dan selebihnya masa depan yang suram.
“Kejomplangan sosial” itu dijelaskan lagi dengan pembangunan rumah mewah di tengah-tengah kampung yang miskin dan rendah. Pagarnya garang. Tinggi menjulang. Pintu mewahnya dijaga satpam. Dibangun pula sebuah kompleks khusus kalangan atas dari tanah-tanah yang petani dibeli tuntas.
Juga panenan pak tani dikulak habis dengan harga amat murah. Jarak-jarak itu terus diciptakan sadar atau tidak. Batas-batas dibuat mencolok. Pemuasan nafsu manusia. Namun selamanya tak akan pernah puas. Ketika kepuasan satu terpenuhi maka muncul ketidakpuasan baru …. begitu seterusnya .
Aku kadang tersenyum memandang itu semua. Kekuatan yang merebut jiwa manusia kekuatan yang menjebloskan manusia ke ajang yang makin sulit dihentikan. Sebuah kekuatan yang justru makin memperlemah eksistensi manusia. Merendahkan martabat manusia dibumi sebagai khalifah Allah SWT. Berlomba-lomba menumpuk harta karun. Berpacu dalam menggalang kebahagiaan dunia. Berbondong-bondong menebar keserakahan, kesombongan, kekuasaan, kemudharatan dan seterusnya… dengan segala cara.
Kerap seperti katak berenang di air danau: ke atas menyembah-nyembah, menjilat-jilat agar disukai atasan, ke samping menyingkirkan teman dan lawannya, ke bawah ia menginjak-injak.
Sebuah perilaku yang aneh, tapi jadi biasa … dan semua suka. Semua mencoba. Semua terbiasa. Kita telah kehilangan solidaritas, integritas, hakekat dan tanggung jawab sebagai manusia. Ah, barangkalai kita masih belum kehilangan itu seluruhnya. Sebab kita masih punya kesempatan satu kali saja: kita masih hidup.
Barangkali kita cuma lupa menyimpannya. Rasa solidaritas, integritas, hakekat dan tanggung jawab itu mungkin cuma terselip dalam lembaran catatan harian kita. Terselip di hari-hari kita yang sibuk. Atau terselip dalam satu pojok di hati kita.
Oleh karena itu dari atas langit sana ada yang mengingatkan untuk mendapatkan kembali yang terselip itu. Setidaknya kita mencoba mencarinya di sela-sela deru dan denyut nafas kita.
Kita mencoba menguruk, menimbun kembali lubang ozon – lubang bopeng jiwa dan muka kita dengan menemukan kembali diri kita. Mencoba mencegah penipisan lapisan ozon dengan membersihkan diri kita dari polutan-polutan yang mengikis sifat-sifat unggul manusia.
Ini sebuah cerita rekaan.
Renungan belaka, namun ……
Duapuluh lima juta dan lubang ozon sosial itu bagai duri ikan di tenggorokan negeri ini. Masa depan Indonesia berada di tenggorokan itu.
Bogor, 29 September 1989
Diperbarui November 2024
Dwi Rahmad Muhtaman