halaman drm #16
Mengapa Kita Ada di Bumi?
Dwi R. Muhtaman
“It is not self-evident that humanity has
a past, known or unknown.
—Paul Veyne,
Did the Greeks Believe in Their Myths?
Rodin begitu terkesan dengan prosa puisi panjang yang ditulis Dante: The Divine Comedy. Puisi epik Dante Alighieri terdiri dari tiga bagian yang dipublikasikan pada 1320 itu berjumlah 14.233 baris. Baris-baris itulah yang memberi inspirasi Auguste Rodin (1840-1917) untuk memahat patung yang diberi judul The Poet, Sang Penyair—yang pada kemudian hari diubah menjadi The Thinker, Sang Pemikir.
Memang awalnya, Rodin menciptakan patung yang sekarang dikenal sebagai The Thinker (Le Penseur) sebagai bagian dari proyek besar yang ia kerjakan, yaitu The Gates of Hell (La Porte de l’Enfer), yang merupakan pintu besar yang menggambarkan adegan-adegan dari Divine Comedy karya Dante tersebut. Patung tersebut awalnya diberi nama The Poet (Le Poète), dan Rodin bermaksud menggambarkan sosok Dante sendiri yang sedang merenungkan visi neraka yang ia ciptakan dalam puisinya. Namun, seiring perkembangan karyanya, Rodin menyadari bahwa patung tersebut tidak hanya merepresentasikan Dante sebagai penyair, tetapi juga sebagai lambang dari kekuatan intelektual dan kontemplasi yang lebih universal. Patung ini menggambarkan sosok yang duduk dengan tubuh yang kuat, kepala menunduk, dan tangan menopang dagu, mencerminkan seseorang yang tenggelam dalam pemikiran mendalam.
Oleh karena itu, Rodin memutuskan untuk mengubah nama patung itu menjadi The Thinker (Sang Pemikir) untuk mencerminkan makna yang lebih luas. Nama baru ini menegaskan bahwa patung tersebut tidak hanya representasi fisik seorang penyair, tetapi juga personifikasi dari proses berpikir dan kontemplasi, sebuah simbol dari intelektualisme dan refleksi manusia.
The Thinker (bahasa Prancis: Le Penseur) adalah patung perunggu yang diletakkan di atas alas batu. Karya itu memperlihatkan sosok lelaki telanjang dengan ukuran tinggi 180 cm, lebar 98 cm dan tebal mencapai 145 cm duduk di atas batu dengan dagunya bersandar di satu tangan seolah tenggelam dalam pikiran—sebuah komposisi yang sering digunakan sebagai manifestasi filosofis. Seorang sosok manusia yang sedang melamun—juga berpikir— dengan tubuhnya yang kekar menunjukkan kapasitas besar untuk bertindak, dan mungkin mengubah dunia.
Dengan perubahan nama ini, Rodin ingin menekankan bahwa karya tersebut merujuk pada kualitas berpikir yang mendalam dan esensial, melampaui batasan sosok individu seperti Dante, dan mewakili aspek fundamental dari pengalaman manusia secara umum.
Orang-orang yang lalulalang mengamati The Thinker, ataupun mengabaikannya, di taman Musée Rodin, Kota Paris, mungkin akan bertanya: Mengapa Kita Ada di Bumi?
Sebuah pertanyaan filosofi dan religius, yang bagi ilmuwan merupakan pertanyaan besar yang memerlukan bukti-bukti empirik untuk menjawabnya. Stuart Clark pada artikel yang berbeda, “Under a Cold Sun” yang dimuat the Scientist Vol 3 / Issue 2 (2015): Life on Earth: Origins, Evolution, Extinction, mempertanyakan bagaimana kehidupan di Bumi dimulai ketika planet kita masih muda, beku dan sama sekali tidak cocok? Nampaknya keberadaan kehidupan di Bumi ada karena banyak keberuntungan. Misalnya saja sejarah awal matahari, kata Clark mengawali laporannya. Menurut semua yang kita tahu tentang bagaimana bintang berkembang mestinya berawal dari cahaya redup yang lemah, kemudian sedikit demi sedikit hangat ke tingkat saat ini.
Bumi, lahir dengan matahari 4,5 miliar tahun yang lalu, yang seharusnya telah menghabis-kan 2 miliar tahun pertamanya atau lebih hanya berbentuk seperti bola es beku, tanpa kehidupan. Namun di bebatuan yang selama ini ditemukan sedimen yang tersimpan dengan jelas di lingkungan perairan, dan banyak bukti fosil tentang bakteri yang mengindikasikan planet kita sudah ada berbentuk sesuatu yang hangat, dunia yang dihuni, mungkin dalam satu miliar tahun atau lebih sejak awal. Ketidakcocokan ini, dikenal sebagai paradoks matahari muda yang redup, memiliki banyak solusi potensial untuk menemukan jawaban bagaimana bumi bisa menyediakan diri sebagai tempat hidup makhluk yang sekarang menghuninya. Meskipun tidak ada yang bisa memastikan kebenarannya. Tetapi, menurut Clark, apapun hasil temuan-temuan soal asal muasal bumi ini satu kesimpulan yang pernah ada mungkin diabaikan: kita bahkan lebih beruntung berada di sini dari yang kita duga.
Pada tahun 1859, ketika Charles Darwin menerbitkan “On the Origin of Species,” ia mendedikasikan seluruh bab yang ditulis dari perjalanan panjang itu untuk menjawab sebuah masalah “Intermediate link” yang hilang—sebuah bentuk transisi yang menjembatani kesenjangan evolusi antara spesies yang mempunyai hubungan kekerabatan yang erat. Jika teorinya benar, maka catatan fosil yang selama ini telah berhasil dihimpun seharusnya penuh dengan jejak “Intermediate link” tersebut. Dimanakah itu? Pada saat ketika “Intermediate link” menjadi masalah sebenarnya, karena sedikitnya ditemukan fosil yang menjadi bukti itu, maka datang penemuan spektakuler. Pada tahun 1861 ditemukan fosil dari Archaeopteryx, dengan sayap dan bulu dari burung dan gigi serta ekor dinosaurus.
Sejak itu, tulis Michael LePage dalam artikel “Meet Your Maker” yang dimuat the Scientist Vol 3 / Issue 2 (2015): telah ditemukan banyak tautan perantara itu: ikan yang bisa merangkak, kadal dengan rahang seperti mamalia, paus dengan kaki, jerapah dengan leher pendek dan banyak yang lain. Meskipun penemuan itu sangat menjanjikan, satu hal yang tidak pernah ditemukan: hubungan antara kehidupan proto-awal dan kehidupan sebagaimana yang kita tahu, atau yang juga dikenal sebagai the last universal common ancestor, or LUCA.
LUCA hidup sekitar 4 miliar tahun yang lalu—bentuk kehidupan kecil yang rapuh yang merupakan leluhur langsung setiap makhluk hidup, dari aardvarks ke zebra. Menurut catatan LePage, itu bukan kehidupan pertama: ribuan, jika bukan jutaan, tahun ada eksperimen evolusi yang mendahuluinya. Tetapi memahami LUCA akan memberi kita pandangan terbaik tentang asal usul kehidupan. Kita sudah tahu sejumlah hal yang mengejutkan. Meskipun ada jejak LUCA yang tersisa di batu mungkin beberapa tahun yang lalu lenyap, sesuatu yang jauh lebih banyak pengungkapan yang mampu bertahan dalam kehidupan sel saat ini: sistem operasi biologis yang umum untuk semua kehidupan dan mengadung LUCA juga.
Keingintahuan manusia soal asal usul ini sudah berlangsung berabad-abad, bahkan barangkali sejak manusia menginjakkan kakinya di bumi. Dan hingga kini dan mendatang tidak akan berhenti. Menemukan bagaimana asal muasal hidup dan apakah ada makhluk serupa manusia di belahan pojok-pojok ruang angkasa yang jauh diujung tanpa tepi itu. Teori demi teori tentang asal usul manusia bermunculan seriring dengan kemajuan pengetahuan dan teknologi dan penemuan-penemuan bukti-bukti baru dari jejak lama peradaban sebelum kehadiran manusia.
Michael Marshall dalam tulisannya “Dawn of the living” dalam the Scientist bertanya-tanya, hidup mestinya berawal dari suatu replikator yang sederhana, tetapi apakah itu? Bagaimana bekerjanya?
Empat MILIAR tahun sebelum sekarang: permukaan planet yang baru terbentuk di sekitar
sebuah bintang berukuran sedang mulai mendingin. Itu adalah tempat yang paling tidak bersahabat, dibombardir oleh meteorit dan terbelah oleh letusan gunung berapi, dengan atmosfer penuh gas beracun. Namun sesuatu yang luar biasa terjadi. Sebuah molekul yang mampu mereplikasi dirinya muncul. Inilah awal evolusi. Setelah itu entitas mereplikasi diri pertama kali muncul, seleksi alam dimulai, mendukung apa pun keturunan dengan variasi yang membuat mereka lebih baik dalam mereplikasi diri mereka sendiri. Segera yang pertama sel-sel sederhana muncul. Sisanya adalah prasejarah.
Miliaran tahun kemudian, beberapa keturunan sel-sel pertama berkembang menjadi organisme cukup cerdas yang bertanya-tanya seperti apa leluhur mereka yang paling awal.
Pertanyaannya adalah molekul apa yang memulai semuanya?
Pada 1960-an, beberapa dari intelligent organism itu mulai curiga bahwa replikasi diri pertama merupakan molekul yang terbuat dari RNA (Ribonucleic acid, RNA berfungsi sebagai transmisi kode genetik yang diperlukan untuk pembuatan protein dari nukleus ke ribosom), sepupu dekat DNA (Deoxyribonucleic acid, DNA berfungsi sebagai transmisi informasi genetik. Ini terbentuk sebagai media untuk penyimpanan jangka panjang). Pandangan ini dianggap bermasalah. Karena tidak ada cara yang diketahui oleh siapapun dimana molekul RNA bisa terbentuk pada jaman Bumi Purba. Dan jika molekul RNA tidak bisa terbentuk secara spontan, bagaimana bisa muncul molekul RNA yang mereplikasi diri? Melakukan beberapa replikator lain yang lebih dulu? Jika demikian, apakah itu? Marshall mengungkapkan beberapa pandangan yang menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut. Belum ada jawaban yang pasti. Diperlukan sejumlah eksperimen untuk terus menghimpun jawaban atas asal usul hidup ini.
Mempelajari dan mengetahui asal usul makhluk hidup bisa jadi diperlukan. Bukan untuk memberi kemampuan kita agar bisa menciptakan makhluk yang serupa. Tetapi lebih pada gagasan meningkatkan kemampuan kita menjaga agar sumber-sumber yang menjadi elemen dasar kehidupan dan kondisi pemungkin terciptanya hidup itu. Kemampuan merawat lingkungan yang menjamin keberlangsung hidup manusia dan segala ekosistem yang melingkupinya. Kondisi alam dan segala sumberdaya yang ada pada milyaran tahun yang lalu sangat jauh berbeda dengan kondisi saat ini. Meskipun secara alamiah ada kemiripan purba yang tersisa: letusan gunung berapi, gempa bumi yang dahsyat, atmosfer yang mulai penuh gas beracun akibat ulah manusia. Pengetahuan kita tentang asa usul hidup ini juga penting untuk bisa memperkirakan apakah ada kehidupan makhluk lain serupa manusia di planet-planet yang jauh dari jangkauan manusia kini.
Dalam bukunya, The unstoppable human species: the emergence of homo sapiens in prehistory, John J. Shea (2023) menuliskan bahwa kita adalah spesies yang tidak dapat dihentikan di bumi. Saat ini manusia hidup dalam diaspora global yang membuat kita dapat bergerak dengan mudah. Dengan jumlah lebih dari delapan miliar individu, jumlah kita melebihi gabungan semua primata lainnya. Jika suatu bencana mengurangi populasi di seluruh benua, maka cukup banyak manusia yang dapat bertahan hidup di tempat lain untuk akhirnya mengisi kembali “benua yang hilang” tersebut. Selama biosfer masih ada, kita pun demikian. Diaspora global memberi kita “kekebalan terhadap kepunahan” yang belum pernah terjadi sebelumnya pada makhluk yang lebih besar dari mikroorganisme.
Kekebalan kita terhadap kepunahan sangat berbeda dengan primata lain, dulu dan sekarang. Kera Afrika (gorila, simpanse, dan bonobo), kerabat terdekat primata kita, menghuni habitat tropis yang terbatas. Di tengah meroketnya populasi manusia, kepunahan mengintai kera seperti halnya bayangan mereka sendiri. Manusia (Homo sapiens) adalah kebalikan dari terancam punah. Bagi kera dan banyak spesies lainnya, kita adalah bahayanya.
“Mengapa kita?” tanya Profesor Antropologi di Stony Brook University, New York ini.
Mungkinkah trilobita, cephalopoda, dan makhluk lain yang sisa-sisanya memenuhi sedimen dari masa awal bumi menganggap diri mereka tidak dapat dihentikan? Kita tidak akan pernah tahu. Hanya kita saja, di antara semua kehidupan dalam sejarah bumi, yang mampu menjawab tantangan yang Carolus Linnaeus (1707-1778) mendefinisikan Homo sapiens sebagai berikut: “Homo, nosce te ipsum” (bahasa Latin untuk “Manusia, kenali dirimu sendiri ”). Mengapa manusia, dibandingkan hewan lainnya, menjadi spesies yang tak terhentikan adalah “pertanyaan besar” antropologi yang paling utama dan paling penting, karena bagaimana kita memilih untuk menjawabnya dan apa yang kita lakukan terhadap jawaban tersebut akan mempengaruhi kelangsungan hidup umat manusia dalam jangka panjang. Demikianlah Prof Shea yang juga merupakan paleoanthropologist, archaeologist, yang menulis buku Stone Tools in the Paleolithic and Neolithic Near East: A Guide dan Stone Tools in Human Evolution: Behavioral Differences among Technological Primates.
Manusia pada akhirnya adalah makhluk yang mempunyai masa lalu, masa kini yang kita ketahui dan masa yang akan datang yang tidak begitu kita ketahui dengan baik.
Mengetahui asal usul kita sebagai salah satu makhluk hidup barangkali menjadi cara kita mengetahui: Mengapa Kita Ada di Bumi?
Bogor, 14 Maret 2020,
diperbarui 5 September 2024.