halaman drm #12
Pemikiran dari Kafe
Dwi R. Muhtaman
Ia berjalan dengan percaya diri. Rambutnya gondrong menjuntai. Ia memilih tempat duduk di pojok. Mencampakkan tubuhnya yang kecil dan rapuh. Pojok yang mampu menghapus galau dan bising. Voltaire memulai kegiatan intelektualnya. Voltaire, salah satu pemikir Jaman Pencerahan paling berpengaruh, sering mengunjungi kafe-kafe yang ramai di Paris selama abad ke-18. Kafe-kafe ini bukan sekadar tempat untuk menikmati secangkir kopi; mereka adalah pusat pertukaran intelektual dan kreativitas yang dinamis.
Bayangkan Voltaire berada di sebuah kafe di Paris, mungkin Café Procope yang terkenal, yang merupakan tempat favorit para intelektual pada masanya. Dia akan duduk di meja kayu kecil, pena bulu di satu tangan dan secangkir kopi di tangan lainnya. Suasananya meriah, dipenuhi dengung perbincangan seputar filsafat, politik, dan sastra. Dindingnya dilapisi rak buku, dan udaranya kental dengan aroma kopi yang baru diseduh dan suara diskusi yang bersemangat.
Voltaire, tulis Ian Davidson dalam bukunya: Voltaire: A Life,” menggunakan kafe-kafe ini sebagai platform untuk menyebarkan ide-idenya dan terlibat dalam perdebatan. Kecerdasannya yang tajam dan lidahnya yang tajam akan menarik perhatian rekan-rekan pengunjungnya, yang berkumpul untuk mendengarkan pemikirannya tentang skandal politik terkini, penemuan ilmiah, atau karya sastra. Voltaire dikenal karena cerdas, tajam dalam berpikir. Dan selera humornya membahagiakan kawan-kawannya. Ia memiliki bakat untuk satir dan sering menggunakan humor untuk mengkritik masyarakat, agama, dan politik. Tulisan dan percakapannya dipenuhi dengan komentar cerdas dan pengamatan ironis.
Meskipun tema perbincangan yang liar dan serius ia menggunakan kepiawaian humornya sebagai alat untuk melucuti lawannya dan membuat poin filosofisnya lebih dapat diterima. Kecerdasannya membuatnya menjadi tokoh populer dalam lingkaran sosial, dan ia sering menjadi pusat perhatian dalam pertemuan. Voltaire dengan penuh semangat mendiskusikan pandangannya tentang toleransi beragama, kebebasan berbicara, dan pemisahan antara gereja dan negara. Dia percaya pada kekuatan nalar dan pentingnya mempertanyakan otoritas, tema-tema yang merasuki karyanya.
Patrice Higonnet dalam bukunya, “Café Procope and the French Revolution,” mengeksplorasi peran penting Café Procope dalam sejarah Revolusi Prancis. Bagaimana kafe tertua di Paris ini menjadi pusat intelektual dan politik yang mempengaruhi jalannya revolusi. Kafe yang didirikan pada tahun 1686 oleh Francesco Procopio dei Coltelli ini, menjadi tempat berkumpulnya para intelektual dan tokoh-tokoh penting dari berbagai bidang, seperti filsuf, penulis, dan politisi. Selama Revolusi Prancis, Café Procope berfungsi sebagai pusat diskusi dan debat politik. Banyak tokoh revolusioner seperti Voltaire, Diderot, dan Benjamin Franklin sering mengunjungi kafe ini. Di sinilah pada abad 18 itu, ide-ide revolusioner diseduh dan menyebar ke penjuru Perancis.
Kafe menyediakan lahan subur untuk diskusi-diskusi ini, di mana orang-orang yang berpikiran sama dapat menantang dan menyempurnakan ide-ide mereka.
Imajinasi Voltaire berkembang pesat di lingkungan ini. Dia akan mencoret-coret catatan dan menyusun esai di tengah obrolan yang ramai, menggunakan energi kafe untuk mendorong kreativitasnya. Kafe-kafe ini adalah inkubator bagi banyak karya pentingnya. Tempat pertukaran ide dan persahabatan intelektual berkembang.
Kafe seperti Café Procope lebih dari sekadar tempat minum kopi; mereka adalah pusat Pencerahan. Voltaire, bersama intelektual lain seperti Rousseau dan Diderot, menggunakan ruang ini untuk menyebarkan ide-ide revolusioner yang menantang status quo dan meletakkan dasar bagi pemikiran demokrasi modern. Pertukaran ide secara bebas di kafe-kafe ini memainkan peran penting dalam perkembangan intelektual pada zaman tersebut. Pemikiran eksistensialisme abad 20, yang dipromosikan oleh Jean-Paul Sartre, Albert Camus, dan Simone de Beauvoir, sering kali muncul dari diskusi di kafe-kafe Paris seperti Kafe de Flore dan Les Deux Magots. Mereka mendiskusikan kebebasan, eksistensi manusia, dan makna hidup.
Paris, Itali dan Vina adalah ruang yang membuat kafe-kafe tumbuh subur sebagai area produksi dan reproduksi beragam gagasan kehidupan, the Thinking Space. Leona Rittner dalam “The Thinking Space: The Café as a Cultural Institution in Paris, Italy and Vienna,” menyebutnya kafe menjadi tempat untuk konstelasi bakat luar biasa.
Karena itu pada jamannya Paris melahirkan tokoh-tokoh penting yang perbincangan dan pertukaran pemikiran terjadi di Kafe. Kafe de Flore, Paris selain menjadi tempat pertemuan para eksistensialis seperti Jean-Paul Sartre dan Simone de Beauvoir, kafe ini juga sering dikunjungi oleh penulis dan seniman terkenal seperti Ernest Hemingway. Sedangkan Kafe Les Deux Magots, Paris menjadi tempat berkumpul intelektual dan seniman seperti Albert Camus dan Pablo Picasso. Diskusi di sini mencakup isu-isu budaya dan sastra pada abad ke-20. Kafe Le Select, Paris selama periode antar perang menjadi tempat bertemunya banyak intelektual dan politisi terkenal. Pemikiran politik dan diskusi mengenai perkembangan dunia sering kali menjadi topik perbincangan.
Karl Marx dan Friedrich Engels sering bertemu di kafe di London, termasuk di Kafe The British Museum Reading Room. Diskusi mereka mengenai kapitalisme, ekonomi politik, dan teori kelas akhirnya membentuk dasar bagi pemikiran Marxisme dan munculnya “Manifesto Komunis.”
Sementara itu Gerakan Beat Generation, yang melibatkan tokoh-tokoh seperti Jack Kerouac, Allen Ginsberg, dan Neal Cassady, sering berkumpul di kafe-kafé di San Francisco, seperti Vesuvio Cafe. Mereka membahas ide-ide sastra, kebebasan ekspresi, dan perlawanan terhadap norma-norma sosial. Werner Heisenberg dan Max Born, dua fisikawan terkenal, konon berdiskusi mengenai teori kuantum di Kafe Biergarten di Jerman. Diskusi ini memainkan peran penting dalam pengembangan teori kuantum pada awal abad ke-20. Kafe de la Regence, Paris tempat nongkrongnya para pemain catur terkenal seperti François-André Danican Philidor dan François-André Danican Philidor pada abad ke-18. Tempat ini menjadi pusat pertemuan catur yang mempengaruhi perkembangan permainan ini. Kafe de la Paix, Paris menjadi tempat pertemuan bagi pelukis Impresionis seperti Édouard Manet dan penulis seperti Émile Zola dan Guy de Maupassant. Diskusi mereka memengaruhi perkembangan seni dan sastra pada abad ke-19 di Prancis.
Ingatlah, Barbara/Hujan turun terus-menerus di Brest hari itu/Dan kamu berjalan tersenyum/
Mekar, gembira, bercahaya/Di bawah hujan/… goresan sajak Jacques Prévert, seorang penyair Prancis terkenal. Puisi ini berjudul “Barbara”, yang menggambarkan kenangan indah tentang cinta yang muncul di kafe dan kota.
Beberapa intelektual dan politisi Indonesia pada masa kolonial dan awal kemerdekaan juga menggunakan kafe sebagai tempat untuk berdiskusi tentang politik, kemerdekaan, dan gagasan-gagasan besar mereka. Soekarno, misalnya. Ia sering berdiskusi dengan teman-temannya di kafe-kafe di Bandung dan Eropa, tulis Cindy Adams dalam Sukarno: An Autobiography Sukarno. Berdiskusi tentang politik dan ide-ide kemerdekaan di kafe-kafe saat ia masih mahasiswa di Bandung. Salah satu tempat terkenal adalah Koffiehuis “Toeng-Tjoek” di Bragaweg (sekarang Jalan Braga), Bandung, yang menjadi tempat pertemuan para mahasiswa dan intelektual.
Mohammad Hatta, yang menjadi Wakil Presiden pertama Indonesia, juga sering terlibat dalam diskusi intelektual di kafe-kafe selama masa studinya di Belanda. Di Leiden, Hatta aktif dalam pergerakan mahasiswa Indonesia dan sering berkumpul di kafe untuk membahas strategi perjuangan kemerdekaan. Sutan Sjahrir, seorang pemimpin pergerakan kemerdekaan dan Perdana Menteri pertama Indonesia, juga dikenal sering berdiskusi di kafe-kafe di Eropa. Di Belanda, ia terlibat dalam kelompok diskusi yang sering bertemu di kafe untuk membahas ide-ide sosialisme dan kemerdekaan Indonesia.
Para pemimpin masa kemerdekaan yang kerap berinterkasi dengan komunitas Eropa nampaknya terlibat intim dengan suasana kafe-kafe. Menjadikan kafe sebagai arena pertemuan berbagai kalangan melekat sekembali ke tanah air.
Kafe, Intelektual dan Budaya
Kafe-kafe pada masa itu berfungsi sebagai tempat yang aman untuk berdiskusi dan bertukar pikiran, jauh dari pengawasan ketat pemerintah kolonial. Tempat-tempat ini menyediakan lingkungan di mana ide-ide bisa berkembang dan di mana intelektual muda bisa mengasah dan mempertajam pemikiran mereka. Mereka berdiskusi tentang berbagai topik, mulai dari teori politik, strategi kemerdekaan, hingga konsep-konsep sosial dan budaya yang mereka impikan untuk Indonesia merdeka.
Diskusi di kafe ini sangat penting dalam membentuk pandangan politik dan strategi para pemimpin pergerakan kemerdekaan Indonesia. Tempat-tempat ini menjadi wadah penting untuk pembentukan jaringan, merumuskan ide-ide strategis, dan memperkuat komitmen mereka terhadap perjuangan kemerdekaan.
Di tengah kesibukan kota, kafe berdiri sebagai mercusuar komunitas, budaya, dan kehidupan intelektual. Lebih dari sekadar tempat menikmati secangkir kopi, kafe-kafe ini berfungsi sebagai pusat budaya yang memelihara kreativitas, mendorong keterlibatan komunitas, dan berkontribusi pada struktur intelektual kehidupan perkotaan. Peran mereka dalam membangun peradaban yang lebih baik dan memperkaya kehidupan kota tidak dapat disangkal. Ia menawarkan oase bagi para pemikir, penulis, dan pemimpin untuk bertemu dan bertukar ide. Dari Paris hingga Yogyakarta, kafe-kafe telah meninggalkan jejak tak terhapuskan pada masyarakat. Mempengaruhi sastra, politik, dan budaya.
Kafe lebih dari sekadar tempat untuk menikmati kopi; mereka adalah tempat perlindungan untuk eksplorasi intelektual dan pertukaran budaya. Contohnya, Café de Flore dan Les Deux Magots di Paris. Kafe-kafe ikonik ini adalah pusat pemikiran eksistensialis, sering dikunjungi oleh tokoh-tokoh seperti Jean-Paul Sartre, Simone de Beauvoir, dan Albert Camus. Di sini, di tengah gemerincing cangkir dan gumaman percakapan, lahir ide-ide yang membentuk filsafat dan sastra modern. Tradisi kaya kafe intelektual di Paris menyoroti peran penting ruang-ruang ini dalam memupuk pemikiran dan kreativitas.
Ketika senja merenggut alun-alun kota/Teras kafe berdenyut hidup dan terang/Di bawah langit berbintang, sarang para pecinta/Kami temukan pelipur lara dalam malam yang tenang.
Puisi romantis yang terinspirasi dari suasana kafe ini, ditulis oleh Rainer Maria Rilke, seorang penyair Austria yang terkenal. Puisi “The Café Terrace at Night” menggambarkan keindahan dan keintiman yang dapat ditemukan di sebuah kafe.
Di Wina, budaya kafe telah menjadi bagian integral dari kehidupan intelektual kota selama berabad-abad. Café Central yang terkenal, misalnya, adalah tempat favorit Sigmund Freud, Leon Trotsky, dan penulis seperti Stefan Zweig. Atmosfer kafe yang mendorong dialog dan debat terbuka memelihara banyak ide revolusioner yang mempengaruhi abad ke-20. Bahkan tradisi kafe Wina diakui oleh UNESCO pada 2011 sebagai warisan budaya takbenda, menyoroti pentingnya ruang-ruang ini dalam membangun komunitas intelektual yang hidup. Tradisi budaya kedai kopi Wina bercirikan suasana yang sangat istimewa. Elemen khas kedai kopi Wina adalah meja kecil berlapis marmer tempat kopi disajikan, kursi Thonet, ceruk, meja koran, dan detail desain interior bergaya Historisisme. Kedai kopi adalah tempat “di mana waktu dan ruang dikonsumsi, namun hanya kopi yang tercantum di tagihan,” tulis sebaris pernyataan dalam laman UNESCO Austria.
Kisah kedai kopi Wina dimulai menjelang akhir abad ke-17 dan terkait erat dengan pengepungan kota oleh Turki. Kedai kopi pertama di Wina didirikan oleh mata-mata Armenia Deodato, yang dipercaya untuk menyeduh kopi untuk istana Habsburg di Wina. Pada tahun 1720, Café Kramer, di Graben, adalah kedai kopi pertama yang menawarkan surat kabar untuk dibaca pelanggannya.
Pusat Kreativitas dan Inovasi Modern
Saat ini, kafe terus berfungsi sebagai pusat budaya dan intelektual yang vital di kota-kota di seluruh dunia. Di Tokyo, Tsutaya Books Daikanyama T-Site kafe menggabungkan literatur dan kopi, menciptakan ruang di mana pelanggan dapat membaca buku sambil menikmati secangkir kopi. Konsep inovatif ini telah menjadikannya pusat budaya, menarik penduduk lokal dan turis yang datang untuk merasakan suasananya yang unik.
Di San Francisco, Red Bay Coffee lebih dari sekadar kafe; itu adalah ruang komunitas yang mempromosikan keadilan sosial dan inklusivitas. Didirikan oleh Keba Konte, Red Bay Coffee fokus pada menyediakan peluang bagi orang kulit berwarna dan komunitas yang terpinggirkan. Kafe ini menyelenggarakan acara, pameran seni, dan diskusi yang membahas isu-isu sosial, menjadikannya mercusuar perubahan positif di komunitas.
Pada era teknologi digital nama Silicon Valley ada password yang penting. Beberapa ide dan inovasi besar di dunia teknologi dari ilmuwan komputer dan insinyur muncul dari diskusi dan pertemuan di kafe-kafe di Silicon Valley. Pengusaha dan insinyur sering berkumpul di tempat-tempat santai untuk membahas ide-ide baru yang akhirnya mengarah pada perkembangan teknologi terkini.
Kafe seringkali menjadi ekosistem yang merangsang kreativitas dan pemikiran inovatif. Meskipun tidak selalu memunculkan ide-ide besar, banyak pemikiran revolusioner dan gerakan intelektual lahir dari perjumpaan informal di tempat-tempat seperti kafe. Setiap kafe memiliki sejarahnya sendiri, dan tempat-tempat tersebut sering kali menjadi pusat bagi pemikiran-pemikiran inovatif dan perjumpaan inspiratif.
Kafe juga memainkan peran penting dalam mendukung seni. The Poetry Café di London, misalnya, adalah ruang yang didedikasikan untuk penyair dan penulis untuk menampilkan karya mereka. Kafe ini menyelenggarakan acara open mic, lokakarya, dan pembacaan rutin, menyediakan platform bagi bakat baru dan penulis yang berpengalaman. Komitmen kafe untuk memelihara seni sastra menunjukkan peran penting yang dimainkan ruang-ruang ini dalam mempertahankan kehidupan budaya di perkotaan.
Misalnya puisi “Di Kafe” yang ditulis Roger McGough, salah satu penyair Liverpool, yang sering menulis tentang pengalaman sehari-hari dengan mempesona. “In the café/we sit and sip/ dreams froth in cappuccinos/ conversations swirl like steam.”
Sepanjang sejarah, kafe telah menjadi latar bagi gerakan politik dan sosial yang signifikan. Pada akhir abad ke-18, Café Procope di Paris adalah tempat berkumpul para pemimpin revolusioner seperti Voltaire, Rousseau, dan Danton. Peran kafe dalam Revolusi Prancis menyoroti bagaimana ruang-ruang ini dapat mempengaruhi perubahan politik dengan menyediakan tempat untuk pertukaran ide yang bebas.
Pada abad ke-20, Café Griensteidl di Wina dikenal sebagai tempat berkumpul bagi gerakan Muda Wina, sekelompok penulis dan intelektual yang berusaha menantang norma-norma tradisional dan mempromosikan ide-ide modernis. Peran kafe dalam memelihara pemikiran progresif menyoroti dampak yang dapat dimiliki ruang-ruang ini dalam membentuk lanskap budaya dan politik.
Kafe juga memainkan peran penting dalam mendorong komunitas dan koneksi manusia di lingkungan perkotaan. Di Ho Chi Minh City, Bookworm Café menggabungkan kecintaan pada literatur dan kopi, menawarkan ruang yang nyaman bagi pembaca untuk berkumpul dan berbagi kecintaan mereka pada buku. Klub buku rutin dan acara sastra kafe ini menciptakan rasa komunitas di antara para pelanggannya, menjadikannya tempat yang dicintai bagi penduduk lokal dan ekspatriat.
Di Jakarta, Anomali Coffee telah menjadi tempat pertemuan populer bagi komunitas kreatif kota. Dikenal karena kopi lokalnya dan suasana yang hidup, Anomali Coffee menyelenggarakan acara dan lokakarya yang mempertemukan seniman, penulis, dan pengusaha. Komitmen kafe untuk mempromosikan budaya dan bakat lokal menyoroti peran penting ruang-ruang ini dalam mendukung kehidupan perkotaan.
Kafe di seluruh dunia terus menginspirasi dan mempengaruhi berbagai aspek kehidupan. Di Bali, Seniman Coffee Studio telah mendapatkan pengakuan internasional karena pendekatan inovatifnya terhadap pembuatan kopi dan perannya dalam mempromosikan praktik berkelanjutan. Komitmen kafe terhadap tanggung jawab lingkungan dan dukungannya untuk petani lokal merupakan contoh bagaimana ruang-ruang ini dapat memberikan dampak positif pada komunitas lokal dan tren global.
Globalisasi telah menghubungkan bukan saja orang dan barang, tetapi juga gagasan dan ruang-ruang. Kafe sebagai ruang perbincangan dan pertukaran gagasan dan pemikiran menyebar luas ke seluruh penjuru dunia. Meskipun tradisi menikmati minuman secara bersama bukanlah hal yang baru. Hampir semua budaya masyarakat memiliki tradisi ini.
Di Singapura, Chye Seng Huat Hardware lebih dari sekadar kafe; itu adalah institusi budaya. Berlokasi di bekas toko perangkat keras, kafe ini menggabungkan kecintaan pada kopi dengan hasrat untuk desain dan warisan. Kafe ini secara rutin menyelenggarakan pameran seni, pertunjukan musik, dan lokakarya, menjadikannya pusat budaya yang hidup di jantung kota.
Kafe Kreatif di Jantung Asia dan Timur Tengah
Di Yogyakarta, kota yang terkenal dengan warisan budayanya yang kaya, kafe memainkan peran penting dalam memupuk kreativitas dan komunitas. Kafe seperti Kedai Kopi Mataram dan Klinik Kopi adalah tempat berkumpul bagi seniman, penulis, dan pelajar. Suasana santai dan program acara kafe-kafe ini menciptakan lingkungan yang kondusif untuk pertukaran ide dan kolaborasi kreatif. Mereka sering menjadi tempat lahirnya proyek-proyek seni dan inisiatif budaya yang memperkaya kehidupan kota. Kafe-kafe ini marak tumbuh baik dijantung Ibukota Jakarta, Bogor (misalnya Rumah Kopi Ranin, Nako, Genus, Kebin dan sejumlah daftar yang panjang), hingga ke kota-kota kecil seperti Kabupaten Kuningan, Majalengka, Purwokerto, Lumajang hingga ke Indonesia Timur) dengan segala skala dan karakter masing-masing yang unik dan istimewa. Meskipun umumnya kafe di Indonesia berbaur dengan restoran. Semua menawarkan gelora dan api kreatifitas dan ruang perbincangan.
Kafe lebih dari sekadar tempat menikmati kopi; mereka adalah pusat budaya dan intelektual yang memperkaya kehidupan perkotaan dan berkontribusi pada pembangunan masyarakat yang lebih baik. Dari memupuk ide-ide revolusioner hingga mendukung komunitas lokal dan mempromosikan seni, ruang-ruang ini memainkan peran penting dalam membentuk kain budaya dan intelektual kota. Saat kita menavigasi kompleksitas kehidupan perkotaan modern, kafe yang sederhana tetap menjadi tempat perlindungan yang teguh untuk kreativitas, dialog, dan komunitas. Dengan merayakan dan mendukung kafe, kita berkontribusi untuk membangun dunia yang lebih pemikir, lebih terhubung, dan lebih hidup.
Di kafe ini aku sering/Menunggu secangkir kopi dan kau/Bersama angin yang membawakan/
Kenangan yang tumpah di meja. Karya penyair Indonesia, Sapardi Djoko Damono, sering kali menangkap momen-momen sehari-hari dengan cara yang sangat puitis. Salah satu puisinya yang terinspirasi dari suasana kafe.
Pada tahun 1915, Chen Duxiu, pemimpin Gerakan Empat Mei, mendirikan Kafe Tiongkok di Beijing. Tempat ini menjadi pusat pertemuan intelektual dan budayawan yang mendukung perubahan dan modernisasi di Tiongkok.
Bagaimana dengan kafe-kafe di Timur Tengah, di Mesir, Turki atau kafe negara sekitarnya? Kafe pertama kali muncul di Timur Tengah pada abad ke-15, dengan kafe-kafe di kota-kota seperti Mekah dan Kairo menjadi pusat sosial dan intelektual. Pada abad ke-17, kafe mulai bermunculan di Eropa, dengan yang pertama di Venesia, Italia, pada tahun 1645. Kafe berkembang pesat di Paris pada akhir abad ke-17 dan awal abad ke-18, menjadi tempat berkumpulnya intelektual, seniman, dan penulis.
Kafe-kafe di Timur Tengah, termasuk di Mesir dan Turki, memiliki sejarah dan tradisi sendiri dalam membentuk pemikiran dan budaya. Kafe atau “ahwa” di Mesir bukan hanya tempat untuk minum kopi, tetapi juga tempat untuk bersosialisasi, berdiskusi, dan menikmati hiburan. Banyak ahwa yang menjadi tempat pertemuan bagi kelompok-kelompok intelektual dan seniman, di mana mereka dapat berbicara tentang sastra, politik, dan kehidupan sehari-hari.
Kafe di Turki, dikenal sebagai “kahvehane,” adalah tempat berkumpul bagi para pria untuk minum kopi, bermain catur, dan berdiskusi. Banyak kahvehane menjadi pusat kehidupan sosial dan politik di kota-kota seperti Istanbul, di mana orang-orang berkumpul untuk berbicara tentang berita terkini dan isu-isu penting.
Orang Lebanon menyebut kahwa sebagai kafe. Lebanon memiliki tradisi kafe yang kuat, dan banyak kafe di Beirut menjadi tempat untuk berdiskusi tentang seni, sastra, dan politik. Kafe-kafe ini sering kali menjadi panggung bagi penampilan seniman dan penyair, menciptakan lingkungan yang mempromosikan kebebasan berpendapat. Di Yordania, kafe tradisional sering kali berlokasi di padang pasir dan dikenal sebagai “qahwa bedouin.” Tempat ini adalah tempat untuk minum kopi sambil menikmati pemandangan gurun dan berbicara dengan sesama pengunjung. Sementara itu di Arab Saudi kafe dikenal sebagai Majlis Kafe. Di Arab Saudi, majlis kafe adalah tempat tradisional di mana pria berkumpul untuk minum kopi, merokok shisha, dan berbicara tentang berbagai topik. Kafe ini sering kali menjadi pusat komunitas di berbagai daerah.
Perbincangan di kafe di Timur Tengah sering kali melibatkan budaya minum kopi yang kuat dan menjadi ruang bagi masyarakat untuk berbagi pemikiran, melibatkan diri dalam diskusi, dan mempertahankan tradisi sosial. Meskipun masing-masing negara memiliki ciri khasnya sendiri, kafe di Timur Tengah tetap menjadi tempat yang penting untuk pertemuan dan perbincangan.
Seperti halnya di belahan dunia lainnya, kafe-kafe di Timur Tengah juga melahirkan tokoh-tokoh penting dengan karya-karya kanoniknya. Sebutlah. Naguib Mahfouz (Mesir).
Naguib Mahfouz, seorang penulis Mesir dan pemenang Nobel Sastra, seringkali terinspirasi dari kehidupan sehari-hari Mesir, termasuk suasana kafe yang merupakan tempat bertemunya berbagai lapisan masyarakat. Karyanya mencakup perwakilan mendalam tentang budaya dan kehidupan sosial Mesir.
Atau di Turki ada Orhan Pamuk. Orhan Pamuk, penulis Turki pemenang Nobel Sastra, sering memasukkan elemen-elemen budaya Turki ke dalam karyanya. Kafe di Istanbul, seperti Kafe de Pera, kadang-kadang muncul dalam karyanya sebagai latar untuk perbincangan dan pemikiran karakternya. Gibran Khalil Gibran (Lebanon), seorang penyair dan penulis Lebanon terkenal, populer dengan karyanya yang mendalam tentang kehidupan, cinta, dan spiritualitas. Meskipun ia lahir di Lebanon, pemikirannya juga mencerminkan pengaruh dari budaya dan pemikiran di kafe-kafe. Adonis, seorang penyair dan penulis asal Suriah yang sering dianggap sebagai salah satu penyair Arab terbesar, mungkin mendapat inspirasi dari atmosfer kafe-kafe di kawasan tersebut. Karya-karyanya mencerminkan pertimbangan filosofis dan kehidupan di dunia Arab.
Selama lebih dari sembilan bulan (plus 76 tahun) invasi dan pembantaian Palestina oleh Israel orang akan mengingat kembali Edward Said. Edward Said, seorang intelektual dan teoretikus sastra Palestina-Amerika, yang karyanya mencakup pemikiran postkolonial, sering kali terlibat dalam pertemuan intelektual di kafe-kafe. Pemikirannya sangat mempengaruhi studi studi postkolonial dan kajian Timur Tengah. Dari Turki ada Nazim Hikmet, seorang penyair dan penulis, sering kali berkumpul di kafe-kafe di Ankara dan Istanbul. Karyanya mencakup pemikiran humanis dan idealis serta kritik terhadap ketidaksetaraan sosial. Sementara itu di Mesir ada Taha Hussein. Taha Hussein, seorang cendekiawan dan intelektual Mesir terkemuka, sering berdiskusi tentang pemikiran-pemikirannya di kafe-kafe Kairo. Pemikirannya melibatkan pengembangan pendidikan di Mesir dan transformasi sosial. Pembaca buku yang setia pasti akan mengenal Muhammad Iqbal (Pakistan). Sebagai seorang penyair, filsuf, dan politikus, Muhammad Iqbal sering mengadakan diskusi dan pertemuan di kafe di Lahore, Pakistan. Pemikirannya memengaruhi perkembangan pemikiran politik dan keagamaan di dunia Islam. Juga dari Mesir ada Ahmad Shawqi, penyair dan penulis terkenal, sering menghabiskan waktu di kafe-kafe Kairo. Pemikirannya mencakup sastra dan puisi yang mempengaruhi budaya Mesir pada masanya.
Tentu saja, banyak pemikir dan penulis besar lainnya di Timur Tengah yang mungkin memiliki keterlibatan atau inspirasi dari kafe-kafe dalam membentuk pemikiran dan karya-karya mereka.
Kafe-kafe di Asia juga memiliki sejarah dan tradisi yang kaya sebagai tempat pertemuan intelektual, seni, dan budaya. Beberapa tokoh dan kafe di Asia yang terkenal karena menjadi tempat berkumpul pemikir dan seniman termasuk. Kafe de Flore, Tokyo (Jepang) yang terinspirasi oleh kafe serupa di Paris, telah menjadi tempat bertemunya seniman, penulis, dan intelektual Jepang. Di sini, para pemikir mengobrol tentang seni, sastra, dan isu-isu sosial. Jepang memiliki sejarah panjang kafe sastra di mana para penulis terkenal seperti Yukio Mishima dan Yasunari Kawabata berkumpul.
Indian Coffee House (India) dengan cabang-cabangnya yang tersebar di berbagai kota di India, telah menjadi tempat pertemuan para penulis, penyair, dan pemikir sosial. Beberapa karya sastra terkenal seperti “Midnight’s Children” karya Salman Rushdie dan karya-karya Rabindranath Tagore mungkin menggambarkan suasana dari kafe semacam ini.
Trung Nguyen Coffee di Vietnam adalah warung kopi yang terkenal dan menjadi tempat pertemuan bagi banyak seniman dan penulis. Di Vietnam, di mana warung kopi adalah bagian integral dari budaya, banyak pemikir dan seniman lokal yang berkumpul untuk berdiskusi tentang seni, sastra, dan politik.
Meskipun Café Le Procope terkenal di Paris, ada juga cabangnya di Hanoi, Vietnam. Tempat ini menjadi pusat perjumpaan intelektual di mana para penulis, seniman, dan aktivis sering kali berkumpul untuk membahas isu-isu kehidupan dan kebebasan. Di Tiongkok terdapat Chinese Coffee Houses. Tiongkok memiliki sejarah panjang kafe dan rumah teh di mana pemikir dan seniman berkumpul. Selama Dinasti Qing, tempat-tempat semacam ini sering menjadi pusat diskusi tentang politik dan kebudayaan. Di era modern, kafe-kafe di kota-kota besar Tiongkok menjadi tempat para penulis dan pemikir menggali ide-ide baru.
Ming Tien Coffee Language di Taipei, Taiwan, adalah tempat di mana banyak penulis dan seniman mengadakan pembacaan puisi dan diskusi sastra. Taiwan memiliki tradisi kopi dan teh yang kuat sebagai tempat berkumpul para pemikir. Malaysia juga menjadi magnet penting tumbuhnya kafe. Bagdad Café di George Town, Malaysia, adalah tempat yang terkenal di kalangan seniman dan penulis. Café ini sering menjadi tempat pembacaan puisi dan pertemuan seniman-seniman lokal.
Kafe-kafe di Ubud, Bali, sering kali menjadi tempat pertemuan para seniman, penulis, dan pemikir bebas yang terinspirasi oleh keindahan alam dan budaya Bali. Ubud Writers & Readers Festival, yang sering diadakan di kafe-kafe tersebut, juga menjadi tempat diskusi dan pertemuan pemikir.
Tokoh-tokoh seperti penulis Haruki Murakami (Jepang), penyair Tagore (India), dan banyak penulis, seniman, dan pemikir Asia lainnya mungkin terinspirasi oleh atmosfer dan diskusi di kafe-kafe di kawasan Asia ini.
Kafe yang tumbuh subur luar biasa di hampir setiap sudut Nusantara semoga menjadi isyarat lahirnya karya-karya besar yang akan membawa Indonesia ke jaman yang jauh lebih baik kini dan masa depan.
Kafe selalu memberi inspirasi. “Di kafe ini senja menetes pelan,” tulis Jokpin (Joko Pinurbo) dalam puisi Senja di Kafe. … mengalir di celah-celah meja/menyelam dalam cangkir-cangkir kopi/yang mulai dingin.”
Cihideung Ilir, Bogor, 28 Juli 2024