Sustainability 17A #6
Saatnya Kota Memimpin Dunia
Dwi R. Muhtaman,
sustainability learner
Gubernur Tokyo, Yuriko Koike dan Gubernur Jakarta, Anies Baswedan terpilih sebagai Wakil Ketua Komite Pengarah C40 Cities. Komite Pengarah bertugas memberikan arahan strategis bagi C40 Cities–sebuah jaringan global 97 kota yang berkomitmen untuk mengatasi krisis iklim.
Gubernur Koike sebelumnya menjabat sebagai Wakil Ketua Komite Pengarah sejak 2016. Dia adalah gubernur wanita pertama di kota itu dan telah menjadi pendukung yang konsisten dalam masalah lingkungan di Tokyo dan di seluruh Jepang.
Pemilihan Gubernur Anies Baswedan untuk pertama kalinya menegaskan kepercayaan para pemimpin kota dunia pada kepemimpinannya yang membawa Jakarta lebih baik, bagi Indonesia dan dunia. Awal tahun ini, seperti dinyatakan dalam media release C40 Cities, dia berperan penting dalam mendukung kota Jakarta untuk meluncurkan Kemitraan Udara Bersih yang ambisius yang menangani polusi udara dan meningkatkan kesadaran akan dampak kesehatannya.
C40 mewakili 700 juta warga dunia dan seperempat dari ekonomi dunia. Melalui kolaborasi dan inovasi, para pemimpin kota C40 Cities bertekad untuk mewujudkan ambisi tertinggi Perjanjian Paris pada aras lokal dan menjaga kenaikan suhu global di bawah 1,5 derajat, dan melakukannya dengan cara yang adil. Pada akhir tahun 2020, 53 kota anggota C40 diperkirakan mencapai puncak emisi tertinggi dan akan diikuti dengan penurunan emisi hingga menuju Zero Emission pada periode masing-masing. Eropa akan menjadi benua Carbon Neutral pada tahun 2050. Dampak perubahan iklim sudah dirasakan oleh lebih dari 97% kota-kota. Saat ini 80 kota C40 ditambah 34 kota non-C40 telah berkomitmen menuju 1.5o perubahan iklim. Mereka membuat Rencana Tindak Iklim yang inklusif, lenting dan memadai. Bahkan 12 kota telah menyelesaikan Rencana Tindak itu dan siap untuk eksekusi.
Dari Inggris (tempat C-40 Cities), Jakarta dan Tokyo, kita melancong sejenak ke Afrika. Hanya sedikit orang dari negara maju di Barat sudah mengunjungi Kumasi, kota kecil yang terletak sekitar 260 km sebelah barat laut ibu kota Ghana, Accra, meskipun pada tahun 2015 jauh lebih mudah daripada beberapa tahun sebelumnya. Bandara Kumasi memiliki tiga belas penerbangan setiap hari ke Accra, dilayani oleh maskapai penerbangan seperti Antrak Air, Fly540 Ghana, Africa World Airlines, dan Starbow, dengan tarif sekali jalan mulai dari US$ 20.1 Dengan populasi sekitar tiga juta (2020), Kumasi, kampung halaman mantan Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa, Kofi Annan, kira-kira seukuran lebih kecil dari Medan. Meskipun kepadatan populasinya yang 14.000 per km persegi hampir mendekati Jakarta (16.000).
Sebagai Ibukota Propinsi Ashanti yang juga disebut Garden City, Kumasi sudah lama menjadi sentra produksi kayu dan emas. Penduduk Kumasi adalah konsumen aktif barang-barang kebutuhan pokok dan murah. Mereka belum menjadi bagian dari audiens global yang sangat besar untuk merek kelas menengah dan premium. Pusat aktivitas belanja di pasar terbuka terbesar Afrika Barat, Kejetia, hanya sebuah kumpulan kumuh dari sebelas ribu kios beratap seng. Tentu perusahaan multinasional langka di sini. Hotel terkemuka yang dibangun dengan standar internasional adalah Golden Tulip, yang dimiliki oleh perusahaan Prancis Groupe du Louvre. Kumasi memiliki cabang Standard Chartered Bank Ghana dan delapan cabang Fidelity Bank Nigeria. Hanya beberapa perusahaan dari negara maju yang hadir di Kumasi. Starbucks menjual kopi merek Kumasi di Amerika Serikat, tetapi tidak ada Starbucks di kota Kumasi. “Dan mengapa harus demikian?” tulis Richard Dobbs, James Manyika dan Jonathan Woetzel dalam buku mereka: “No Ordinary Disruption: The Four Global Forces Breaking All the Trends” (2015). Kumasi adalah daerah terpencil yang miskin di negara miskin. Pendapatan per kapita Ghana tahun 2014 sekitar US$3.880—peringkat 163 di dunia. Diperkirakan meningkat menjadi $4.750 pada akhir 2020.
Tapi Kumasi — dan ribuan kota berkembang di pasar negara berkembang seperti ini — adalah tempat masa depan banyak perusahaan berada. Kebanyakan dari mereka belum mengetahuinya. Seperti halnya dengan banyak kota dunia berkembang, kota ini di ambang menuai buah dari siklus transformasi ekonomi yang sangat padat. Demikian Dobbs, Manyika dan Woetzel menjelaskan dengan optimisme yang menganga tentang perkembangan kota-kota di dunia. Dan itu bukan tanpa alasan. Buku yang ditulisnya melacak sejarah pertumbuhan kota-kota sejak tahun pertama Masehi.
Industrialisasi besar-besaran di negara-negara berkembang, demikian diuraikan dengan sejumlah data yang menarik, telah menggeser pusat gravitasi ekonomi dunia ke timur dan selatan. Migrasi internal di negara-negara tersebut, dari pertanian dan desa ke kota, memicu pertumbuhan yang menakjubkan. Dan itu terjadi dengan kecepatan yang belum pernah terlihat dalam sejarah. Perkembangan ini mendorong pertumbuhan permintaan yang eksplosif, yang memaksa kita untuk mengatur ulang intuisi kita. Kota-kota besar di negara-negara berkembang ini — seperti Shanghai, São Paulo, dan Mumbai — sudah berada dalam radar perusahaan global. Tetapi pertumbuhan konsumsi yang benar-benar dramatis akan terjadi di kota-kota yang paling sulit ditemukan di peta saat ini, seperti Kumasi.
Menurut Dobbs, Manyika dan Woetzel dari tahun 1 sampai 1500 Masehi, pusat gravitasi ekonomi dunia—suatu ukuran kekuatan ekonomi menurut geografi— berada pada perbatasan antara China dan India, negara dengan populasi terbesar di dunia. Tetapi urbanisasi, dan revolusi industri yang menyertainya, dimulai di Inggris dan kemudian melanda benua Eropa dan Amerika Serikat, menggeser pusat gravitasi bergerak tak terelakkan ke utara dan barat — pertama ke Eropa dan kemudian ke Amerika Utara. Selama Perang Dunia I, pusat kekuatan finansial melompat ke Atlantik dari London ke New York. Pergeseran ini diperkuat oleh dua perang dunia, efek Depresi di Eropa, dan penyebaran Komunisme di Rusia dan Cina. Timur mandek. Sementara Barat, dipimpin oleh Amerika Serikat, terus maju. Pada tahun 1945, Amerika Serikat berdiri sendiri sebagai kekuatan ekonomi global yang dinamis.
Kemudian fondasi yang memutus tren perkembangan itu lebih lanjut terjadi dalam beberapa dekade setelah Perang Dunia II. Pada paruh kedua abad kedua puluh, bandul ekonomi secara bertahap mulai berayun kembali ke Timur. Mulai tahun 1950-an, Eropa pulih. Jepang memulai pemulihan yang luar biasa. Membangun kembali industrinya. Tumbuh menjadi ekonomi terbesar kedua di dunia pada akhir 1980-an. Jepang dengan cepat bergabung dengan Korea Selatan. Prosesnya dipercepat ketika raksasa Asia yang tertidur mulai bergerak. Kemudian, akhirnya, reformasi ekonomi terjadi di dua negara terpadat di dunia ini.
China mulai meliberalisasi ekonominya pada tahun 1978. Telah menikmati periode pertumbuhan tiga dekade yang luar biasa. India mulai berintegrasi ke pasar global dan beralih ke kecepatan yang lebih tinggi pada 1990-an, didorong oleh sektor teknologi informasi yang berkembang pesat. Selama tahun 1990-an, negara maju masih mendominasi lanskap industri global. Amerika Serikat adalah produsen terbesar di dunia. Negara Jepang serta Eropa Barat mendominasi peringkat raksasa manufaktur. Pada tahun 2000, Amerika Serikat, dengan 4 persen populasi dunia, menyumbang sekitar sepertiga dari aktivitas ekonomi dan sekitar 50 persen dari kapitalisasi pasar global dunia.
Namun angka-angka ini, menurut buku yang percaya abad ini adalah abad urbanisasi, memungkiri fakta justru telah terjadi adanya pergeseran kekuatan baru. Antara tahun 1990 dan 2010, pusat gravitasi ekonomi dunia bergerak lebih cepat daripada waktu lainnya dalam catatan sejarah. Pergeseran aktivitas ekonomi ke kawasan berkembang yang didorong oleh krisis keuangan 2008 dan akibat resesi global. Sementara Eropa tetap terperosok dalam resesi, Jepang berjuang untuk keluar dari dasawarsa yang hilang, dan Amerika Serikat berkutat dengan ekspansi pertumbuhan yang rendah, dunia berkembang dengan tegas mengambil jubah kepemimpinan ekonomi. Dari $1,8 triliun aktivitas ekonomi global baru pada tahun 2013, China sendiri menyumbang $1 triliun, atau 60 persen. Negara itu sekarang menjadi produsen terbesar di dunia.
“Bukan hanya China,” tulis mereka. Negara berkembang seperti India, Indonesia, Rusia, dan Brasil sekarang menjadi kekuatan utama dalam manufaktur global. Nilai tambah manufaktur telah berlipat ganda secara riil sejak 1990. Dari $5 triliun menjadi $10 triliun saat ini (2015). Dan bagian dari nilai tambah yang dihasilkan oleh negara-negara berkembang besar juga. Hampir dua kali lipat, dari 21 menjadi 39 persen, selama dekade terakhir. Pangsa investasi langsung asing global yang masuk ke negara berkembang dan negara transisi naik dari 34 persen pada tahun 2007 menjadi 50 persen pada tahun 2010 dan menjadi lebih dari 60 persen pada tahun 2013.
Pertumbuhan ini hanyalah sebuah bayangan awal. Antara 2015 dan 2025, kawasan tersebut bersama-sama akan tumbuh 75 persen lebih cepat daripada negara maju, dan konsumsi tahunan di negara berkembang akan mencapai $30 triliun, terhitung hampir setengah dari total global. Pada 2025, pusat gravitasi ekonomi diperkirakan akan kembali ke Asia Tengah, tepat di utara dari tahun pertama kalender masehi.
Lebih lanjut dipaparkan temuan menarik. Kecepatan dan skala kekuatan pergeseran gravitasi ini sangat mengejutkan. Inggris membutuhkan 154 tahun untuk melipatgandakan hasil ekonomi per orang, dan itu terjadi dengan populasi (pada awalnya) sembilan juta orang. Amerika Serikat mencapai prestasi yang sama dalam lima puluh tiga tahun, dengan populasi (pada awalnya) dari sepuluh juta orang. China dan India telah melakukannya hanya dalam dua belas dan enam belas tahun, masing-masing dengan jumlah penduduk sekitar 100 kali lipat. Dengan kata lain, percepatan ekonomi ini kira-kira 10 kali lebih cepat daripada yang dipicu oleh Revolusi Industri Inggris dan 300 kali lipat skala — kekuatan ekonomi yang 3.000 kali lebih besar.
Pada tahun 2025, hampir 2,5 miliar orang akan tinggal di kota-kota di Asia — itu berarti satu dari setiap dua urbanis di seluruh dunia terjadi di Asia. Dalam waktu kurang dari satu dekade, China bisa memiliki lebih dari tiga kali lipat, dan India menggandakan, jumlah urban Amerika Serikat saat ini — sekitar 250 juta. Sejumlah 46 dari 200 kota teratas dunia akan berada di China pada tahun 2025.
“Lantas apa sih hebatnya kota?” tanya para penulis buku yang penuh dengan rujukan sejarah ini. Sepanjang sejarah, ketika orang pindah dari pertanian ke pekerjaan di kota, hasil mereka biasanya berlipat ganda. Seiring bertambahnya usia generasi berikutnya, penghasilan mereka juga meningkat. Tentu tidak menegasikan soal kemiskinan dan jurang kaya miskin yang juga menganga. Yang pasti, kemiskinan, graviti, kawasan kumuh, dan permukiman kumuh adalah bagian dari lanskap. Kemiskinan perkotaan adalah fenomena nyata dan berpotensi berbahaya. Tetapi sejarawan ekonomi mencatat bahwa selama ratusan tahun, orang yang tinggal di kota telah menikmati standar hidup satu setengah hingga tiga kali lebih baik daripada kerabat mereka yang tetap tinggal di desa.
Ada banyak alasan mengapa kota menjadi mesin pertumbuhan yang kuat. Pusat populasi yang padat menghasilkan keuntungan produktivitas melalui skala ekonomi, spesialisasi tenaga kerja, limpahan pengetahuan, dan perdagangan. Keuntungan dalam produktivitas ini diperkuat melalui efek jaringan. Penelitian terbaru menunjukkan bahwa kepadatan perkotaan mendorong peningkatan produktivitas superlinear karena memberikan peluang untuk interaksi sosial dan ekonomi yang lebih besar. Orang dan keterampilan menarik bisnis, yang pada gilirannya memikat para migran dari daerah pedesaan untuk mencari pekerjaan.
Keberadaan sebuah perusahaan di kota akan memicu daya tarik perusahaan lain yang mungkin ingin berbisnis atau berbagi layanan. Seperti pembangunan jalan raya, pelabuhan, dan universitas yang menawarkan jalur cepat ke dalam kumpulan bakat untuk bekerja. Mereka mengundang pada cerdik pandai dan penciptaan model bisnis baru. Contoh Fan Milk International yang merupakan sebua perusahaan pembuat produk susu beku terbesar di Afrika Barat, tumbuh di kota-kota seperti Accra dan Kumasi. Ini memelopori model penjualan yang berhasil untuk lingkungannya. Penjual susu ini dengan mengayuh sepeda melewati jalan-jalan yang macet dengan membawa kontainer kecil (yang dapat digunakan tanpa harus didinginkan). Lalu perusahaan ini menambahkan gerobak dorong dan sepeda motor dalam operasional logistiknya, dan mendirikan kios yang didukung oleh panel surya (jaringan listrik di banyak tempat tidak dapat diandalkan) untuk menjaga yogurt dan susunya tetap dingin. Setelah berkembang ke tujuh negara di Afrika, Fan mencapai penjualan sekitar $160 juta dan menikmati margin keuntungan yang tinggi. Danone pada tahun 2013 membeli 49 persen saham di perusahaan dengan valuasi $360 juta.
Tetapi meskipun kota menjadi penopang penting pertumbuhan negara dan dunia, selama berabad-abad kota hanya diperalat. Tidak pernah mampu berdiri di depan mengambil alih kepemimpinan yang memberi inspirasi dan bergerak mengubah tatanan dunia. Bagi Benjamin R. Barber dalam buku “If Mayors Ruled the World: Dysfunctional Nations, Rising Cities” kinilah saatnya yang paling tepat.
Dalam sejarah epik kota, manusia mulai bergerak menuju politik dan peradaban di polis — kota. Kota menjadi inkubator asal demokrasi. Tetapi selama ribuan tahun, monarki dan kekaisaran dan kemudian negara-bangsa yang baru diciptakan ‘mengendalikan’ peradaban dan demokrasi. Kini menurut catatan Barber, setelah sejarah panjang kesuksesan regional, negara-bangsa mengecewakan kita dalam skala global. Aneka konvensi global gagal dieksekusi. Kesepakatan perdamaian tak pernah dipatuhi. Perang yang menghinakan peradaban masih terus berlangsung. Penanganan masalah lingkungan global selalu diwarnai oleh perdebatan yang tidak kunjung usai. Kondisi-kondisi ini adalah resep politik yang sempurna untuk kebebasan dan kemerdekaan masyarakat dan bangsa otonom di habitatnya: kota.
Masyarakat tidak bisa lagi mengandalkan negara-bangsa untuk mengatasi masalah yang dihadapi langsung. Kota, yang selalu menjadi habitat manusia sebagai pilihan pertama, di dunia yang mengglobal saat ini, sekali lagi, menjadi harapan terbaik demokrasi. Barber menegaskan urbanitas bisa jadi bukan sifat kita. Tetapi itu adalah sejarah kita. Untuk lebih baik atau lebih buruk, secara kebetulan atau secara desain, itu menentukan bagaimana kita hidup, bekerja, bermain, dan bergaul. Apapun tatanan politik skala besar yang kita buat, politik dimulai di lingkungan sekitar, pada tetangga dan kota. Lebih dari separuh penduduk dunia sekarang tinggal di kota—lebih dari 78 persen negara berkembang. Karena itulah asal muasal kita. Kota sekarang tampaknya menjadi takdir kita. Di sinilah kreativitas bersemi, tumbuh dan berkembang, komunitas tumbuh dan bersatu, dan kewarganegaraan diwujudkan.
“Jika kita ingin selamat, kota, dan bukan negara-bangsa, yang harus menjadi agen perubahan,” demikian tulis Barber yang mendapatkan inspirasi untuk bukunya dari 14 gubernur dan walikota kota dunia dan mewawancarai lebih dari 15 pemimpin kota-kota dunia.
Menurut Barber, di dunia yang penuh dengan terlalu banyak perbedaan dan terlalu sedikit solidaritas, demokrasi berada dalam krisis yang parah. Dan ini bukan hanya pandangan Barber. Banyak ilmuwan dan pengamat politik menyoroti kebangkrutan demokrasi. Levitsky dan Ziblatt (2018) menuliskan dengan gamblang bagaimana demokrasi tamat, “How Democracies Die.” Daron Acemoglu menulis “Why Nations Fail: The Origins of Power, Prosperity, and Poverty” (2012), James Miller mengupas kembali sejarah demokrasi dan prospeknya dalam bukunya “Can Democracy Work? A Short History of Radical Idea, from Ancient Athens to Our World” (2018) atau juga Robert Kuttner yang dengan galau pula mempertanyakan keberlanjutan demokrasi: “Can Democracy Survive Global Capitalism?” (2018). Juga “How Democracy Ends” ditulis oleh David Walter Runciman (2018)—seorang Inggris yang mengajar ilmu politik dan sejarah di Cambridge University, dimana dia adalah Head of the Department of Politics and International Studies, Professor of Politics, dan a fellow of Trinity Hall, Cambridge.
Semua buku itu mencerminkan adanya situasi demokrasi yang mencemaskan. Apakah yang terjadi? Barber melihat bahwa kota adalah solusi untuk mengatasi demokrasi yang sekarat. “If you fix cities, you kind of fix the world,” ucap Tony Hsieh, CEO of Zappos.
Dengan negara-bangsa yang makin memprihatinkan, yang pernah menyelamatkan demokrasi dari masalah skala, sekarang menggagalkan globalisasi demokrasi, maka saatnya untuk bertanya dengan sungguh-sungguh, “Bisakah kota menyelamatkan dunia?,” tanya Barber yang penuh keyakinan percaya kota bisa melakukan itu. Buku “If Mayors Ruled the World” menghimpun teladan sejumlah pemimpin kota yang telah melakukannya. New York, Los Angeles, Lagos, New Delhi, dan tentu saja Jakarta. Para pemimpin kota itu seringkali mengabaikan pemerintah pusat. Bahkan pada akhirnya justru pemerintah pusat yang meminta bantuan sesuatu dari pemerintah daerah/propinsi. Sebagian pemimpin pembangkang ini berlatarbelakang aktifis. Sebut saja misalnya Ayodele Adebowale Adewale walikota megacity Lagos, Afrika.
Lahir pada tahun 1975, Adewale adalah generasi baru walikota Afrika yang berakar pada aktivisme sipil dan protes politik. Bukan dari dinas militer atau politik kesukuan. Baginya, aktivisme hanyalah media untuk mengekspresikan diri. Apalagi jika Anda memiliki pemerintahan yang tidak proaktif atau pemerintahan yang tidak mematuhi aturan hukum. Maka Anda memiliki hak untuk melakukan pembangkangan sipil. Aktivisme tidak berarti bahwa Anda bukan bagian dari masyarakat dan tidak menjadikan Anda seorang malaikat, kata Adewale yang dikutip Barber.
Contoh lain adalah Park Won-Soon, walikota muda Seoul. Ia memiliki asal-usul yang rendah hati, generasi dari petani miskin di desa Jangga Ri dengan populasi kurang dari seratus rumah tangga. Namun pada saat dia berusia tiga puluh tahun, Park telah menyelesaikan gelar hukum di Universitas Nasional Seoul dan studi lanjutan dalam hukum internasional di London School of Economics, Harvard, dan Stanford. Ia menjadi walikota Seoul pada Oktober 2011, mencalonkan diri sebagai calon independen dan menang sebesar 53 persen.
Meski pendidikannya mentereng, Walikota Park lebih suka berbicara bukan tentang akademis dan kredensial hukumnya (dia juga pernah sebagai jaksa) tetapi tentang pengalamannya sebagai advokat hak asasi manusia dan community organizer. Pandangannya tentang politik dan demokrasi perkotaan berakar pada reformasi bottom-up daripada konstitusionalisme atau legalisme.
“Lively, diverse, intense cities contain the seeds of their own regeneration with energy enough to carry over for problems and needs outside themselves,” tulis Jane Jacobs dalam buku yang terbit pertama kali tahun 1961 dan dicetak ulang pada 1992: “The Death and Life of Great American Cities.”
Kembali ditegaskan oleh Barber bahwa tantangan demokrasi di dunia modern adalah bagaimana ikut berpartisipasi, yang bersifat lokal, atau dengan kekuasaan, yang sentralistik. Negara-bangsa pernah melakukan tugas itu. Tetapi belakangan ini menjadi terlalu besar untuk memungkinkan partisipasi yang berarti meskipun masih terlalu kecil untuk mengatasi kekuatan global yang terpusat.
Kosmopolitanisme merespons dengan membayangkan warga — secara harfiah penduduk kota — yang berakar di lingkungan perkotaan di mana partisipasi dan kesatuan komunitas masih dimungkinkan, menjangkau lintas aneka batas untuk menghadapi dan membatasi kekuatan pusat. Membayangkan warga kota bersatupadu untuk mengawasi dan menghadapi globalisasi anarkis dan kekuatan yang tidak mempunyai legitimasi warga. Lebih sembilanpuluh tahun yang lalu, John Dewey memulai sebuah pencarian untuk the great community, komunitas yang hebat–sebuah komunitas yang mengikat orang-orang melalui aktivitas bersama dan simbol-simbol yang kuat menjadi sebuah publik yang luas yang diorganisir seputar komunikasi. Demokrasi bukan sekedar soal pemerintah dan negara. Tetapi ia juga merupakan bentuk asosiasi yang mendalam yang merangkul keluarga, sekolah, industri, dan agama. Dia yakin bahwa ketika itu dianut sebagai kehidupan persekutuan yang bebas dan memperkaya, demokrasi akan datang dengan sendirinya, tetapi hanya ketika ada kebebasan untuk memupuk kapital sosial melalui komunikasi yang interaktif sesama warga dan semua elemen dalam ekosistem kota.
Seperti kata Walikota Calgary, Naheed Nenshi: Jika Anda memperbaiki kota, Anda seperti memperbaiki dunia. Karena itu warga dan para pemimpin kota-kota menggalang kooperasi dan kolaborasi. Jaringan global yang kuat antarkota dibentuk.
Maka lahir UCLG (United Cities and Local Government), ICLEI (International Council for Local Environmental Issues—a.k.a. Local Governments for Sustainability, 1,200-anggota), Metropolis, CityNet, dan City Protocol, dan beragam asosiasi, termasuk di Indonesia dengan LTKL (Lingkar Temu Kabupaten Lestari), APKASI (Asosiasi Pemerintah Kabupaten Seluruh Indonesia). Jaringan seperti itu dan lusinan jaringan lain yang kuat telah berpengaruh secara signifikan, misalnya dalam urusan:
- pengurangan emisi karbon perkotaan,
- kampanye Perserikatan Bangsa-Bangsa melawan proliferasi nuklir,
- berbagi praktik terbaik perkotaan secara global,
- kampanye melawan kekerasan senjata,
- penganggaran partisipatif di lima benua,
- kerjasama seni dan budaya antarkota.
Ketika negara-negara tumbuh namun gagal berfungsi, kota-kota bangkit. Dalam hal demokrasi, mereka menguasai mayoritas. Kota-kota besar dunia adalah kota-kota tempat berlangsungnya arena demokrasi. Dan seperti polis pada jejak sejarah kuno, kota-kota kini condong ke masa depan. Mengembangkan segala inovasi, menyediakan ruang-ruang tempat karya tumbuh dengan subur. Membuka percakapan yang luas untuk pertukaran gagasan. Kreatifitas berkembang dan berkompetisi dengan terbuka dan bebas. Kota menciptakan kultur saling-ketergantungan dan juga kultur kekuatan publik. Dalam planet perbedaan yang majemuk, mereka menganut multikulturalisme. Banyak kota di dunia adalah melting pot aneka kebudayaan dan peradaban. Seperti kata Walikota Calgary, Naheed Nenshi, kita perlu memastikan bahwa kita sedang membangun. . . lingkungan yang beragam, dimana orang-orang dari latar belakang, etnis, dan tingkat pendapatan yang berbeda dapat tinggal di lingkungan yang sama. . . . Inklusi sosial . . . bisa sangat membantu dalam mengurangi ketimpangan.
Kota, lebih-lebih saat zaman dimana inovasi adalah tonggak kehidupan, memancarkan kreativitas dan harapan. Kini saatnya para pemimpin kota-kota bersama warga negara mengambil alih kepemimpinan dunia.