Sustainability 17A #39
Pesan Masa Depan untuk Inovator Muda
Dwi Rahmad Muhtaman,
Ketua Yayasan Lembaga Alam Tropika Indonesia/LATIN,
Co-Founder/President Director Remark Asia
Dalam kesempatan yang baik ini saya akan berbagai pandangan dan pesan. Pandangan dan pesan ini sebagian menjangkau generasi-generasi-generasi yang amat jauh di depan kita. Sebagian lagi mungkin menjangkau generasi saya dan kemungkinan besar generasi Anda, peserta SESORE dan para inovator.
Saya tidak berbicara tentang sosial forestri dalam pengertian sempit. Saya membincangkan tentang sosial forestri dalam wilayah yang megah, grande, kosmik.
Paparan ini terdiri dari Tiga Bagian.
–Bagian Pertama–
Jika semuanya berjalan dengan baik, sejarah manusia baru saja dimulai. Umat manusia, pesies kita, Homo sapiens, berusia sekitar dua ratus ribu tahun.
Tapi Bumi akan tetap layak huni selama ratusan juta dan satu milyaran tahun lagi—cukup waktu untuk jutaan generasi mendatang; cukup untuk mengakhiri penyakit, kemiskinan dan ketidakadilan selamanya; cukup untuk menciptakan kebahagiaan dan kehormatan manusia yang tak terbayangkan hari ini.
Dan jika kita dapat belajar untuk menjangkau lebih jauh ke dalam kosmos, kita dapat memiliki lebih banyak waktu lagi: triliunan tahun, untuk menjelajahi miliaran dunia.
Kita hidup saat ini hanya pada satu planet bumi diantara milyaran, mungkin trilyunan planet lainnya, yang serupa bumi.
Jangka hidup yang panjang seperti itu menempatkan kita, umat manusia masa kini, pada masa pertumbuhan paling awal. Masa dewasa yang luas dan luar biasa menanti di depan horison.
Pandangan kita tentang potensi ini mudah dikaburkan. Kerusakan hutan, sungai dan lautan menimbulkan kecemasan; alam yang menurun kualitasnya menimbulkan tragedi kemanusiaan yang mendalam. Ketidakadilan, kesenjangan sosial ekonomi ada dimana-mana. Kita prihatin. Ruang dan waktu seperti menyusut. Harapan seringkali tertutup jelaga tebal hitam. Kita lupa skala cerita: di mana kita ambil bagian dari Bumi dan juga kosmos yang maha besar ini.
Ada saat-saat kita ingat—ketika visi kita berubah, dan menetapkan kembali prioritas untuk menatap masa depan. Kita melihat spesies yang sangat dekat dengan penghancuran diri. Juga, kita melihat masa depan yang sangat menjanjikan.
Kita harus mampu menjaga keseimbangan itu dengan baik. Dimana kita bisa berperan. Apakah bisa sebuah masa depan yang sangat menjanjikan bergandengan tangan dengan penghancuran diri, pembinasaan rumah tempat kita tinggal dan menggnatungkan hidup dan kehidupan? Apakah bisa kita menciptakan kebahagiaan dan kesejahteraan dengan membenturkan dua hal yang amat bertentangan? Merawat keseimbangan bukan berarti membiarkan dua hal itu berjalan bersama. Kita ingin masa depan yang menjanjikan bisa dicapai tanpa ada penderitaan yang menghapus harapan masa depan.
Merawat masa depan umat manusia adalah tantangan yang menentukan di zaman kita. Karena kita berdiri pada saat yang penting dalam sejarah spesies kita. Dipicu oleh kemajuan teknologi, kekuatan kita telah tumbuh begitu besar sehingga untuk pertama kalinya dalam sejarah panjang umat manusia, kita memiliki kapasitas untuk menghancurkan diri kita sendiri—memusnahkan seluruh masa depan dan segala sesuatu yang bisa kita wujudkan.
Namun kearifan umat manusia tumbuh dengan gontai, bahkan sangat tertinggal di belakang. Kemanusiaan kurang memiliki kedewasaan, koordinasi, dan pandangan ke depan yang diperlukan untuk menghindari kesalahan yang tidak akan pernah bisa kita pulihkan.
Ketika kesenjangan tumbuh antara kekuatan dan kearifan kita, masa depan kita tunduk pada tingkat risiko yang terus meningkat. Situasi ini tidak berkelanjutan.
Selama beberapa abad mendatang, umat manusia akan diuji: ia akan bertindak tegas untuk melindungi dirinya sendiri dan potensi jangka panjangnya, atau, kemungkinan besar, ini akan hilang selamanya.
Untuk bertahan dari tantangan ini dan mengamankan masa depan, kita harus bertindak sekarang: mengelola risiko hari ini, menghindari risiko di masa depan, dan menjadi jenis masyarakat yang tidak akan pernah menimbulkan risiko seperti itu lagi bagi dirinya sendiri.
Baru di abad terakhir ini kekuatan umat manusia untuk mengancam seluruh masa depannya menjadi nyata.
Kita perlu mengambil langkah tegas untuk mengakhiri periode peningkatan risiko ini dan menjaga masa depan kita.
Untungnya, itu adalah kekuatan kita untuk melakukannya. Risiko terbesar disebabkan oleh tindakan manusia, dan dapat diatasi dengan tindakan manusia pula.
Saya dan kawan-kawan di Lembaga Alam Tropika Indonesia dengan bangga mengapresiasi 29 peserta termasuk 19 inovator Sekolah Sosial Forestri (SESORE) yang mengambil lengkah dan keputusan berani untuk bergabung dengan SESORE. Ini adalah cermin sebuah tindakan masa depan. Kontribusi kaum muda bagi kehidupan yang lebih baik.
Apakah umat manusia bertahan di era ini adalah pilihan yang akan dibuat umat manusia. Kita mempunyai kesempatan untuk terlibat dalam menentukan pilihan ini.
Anda telah mengambil pilihan dan kesempatan itu.
Tapi itu tidak mudah. Itu semua tergantung pada seberapa cepat kita dapat memahami dan menerima tanggungjawab baru yang datang dengan kekuatan kita yang belum pernah terjadi sebelumnya. SESORE bukanlah tempat belajar yang hanya tentang pohon, tentang hutan atau tentang petani hutan dan kelompoknya. SESORE adalah tempat belajar untuk memahami peran kita dalam seluruh ekosistem hutan dan seluruh ekosistem kehidupan. Anda tidak akan cukup belajar selama dua tiga bulan. Anda harus selalu belajar selama hidup di kandung badan. SESORE adalah sekolah kehidupan. Sekolah yang tidak mengenal batas fisik dan bangunan. Sekolah yang memberi inspirasi tanpa batas.
Saat ini kita menciptakan apa yang disebut risiko eksistensial—risiko yang mengancam kehancuran potensi jangka panjang umat manusia.
Kepunahan adalah cara paling jelas untuk menghancurkan seluruh potensi umat manusia, tetapi ada yang lain.
Jika peradaban di seluruh dunia mengalami keruntuhan yang benar-benar tidak dapat dipulihkan, itu juga akan menghancurkan potensi jangka panjang kita. Dan kita akan melihat bahwa ada kemungkinan dystopian juga: cara-cara kita bisa terkunci ke dalam dunia yang gagal tanpa ada jalan kembali.
Carl Sagan, seorang penulis dan astronomist pernah berkata: Ini mungkin perkembangan yang akrab, terjadi di banyak dunia—sebuah planet, yang baru terbentuk, dengan tenang berputar mengelilingi bintangnya; kehidupan perlahan-lahan terbentuk; prosesi kaleidoskopik makhluk berevolusi; kecerdasan muncul yang, setidaknya sampai titik tertentu, memberikan nilai kelangsungan hidup yang sangat besar; dan kemudian teknologi diciptakan. Mereka sadar bahwa ada hal-hal seperti hukum Alam, bahwa hukum-hukum ini dapat diungkapkan melalui eksperimen, dan bahwa pengetahuan tentang hukum-hukum ini dapat dibuat baik untuk menyelamatkan maupun mengambil nyawa, keduanya dalam skala yang belum pernah terjadi sebelumnya. Sains, mereka akui, memberikan kekuatan yang sangat besar. Dalam sekejap, mereka menciptakan penemuan yang mengubah dunia. Beberapa peradaban planet melihat jalan mereka, membatasi apa yang boleh dan apa yang tidak boleh dilakukan, dan melewati masa bahaya dengan aman. Yang lain, yang tidak begitu beruntung atau tidak bijaksana, binasa.
–Bagian Kedua–
Sangat sedikit kisah kemanusiaan yang telah diceritakan; karena sangat sedikit yang bisa diceritakan.
Spesies kita, Homo sapiens, muncul di sabana Afrika 200.000 tahun yang lalu. Untuk waktu yang hampir tak terbayangkan, kita memiliki cinta dan persahabatan yang hebat, menderita kesulitan dan kesedihan, menjelajahi, menciptakan, dan bertanya-tanya tentang tempat kita di alam semesta.
Namun ketika kita memikirkan pencapaian besar umat manusia sepanjang waktu, kita berpikir hampir secara eksklusif tentang perbuatan yang tercatat di tanah liat, papirus, atau kertas—catatan yang hanya berlangsung sekitar 5.000 tahun yang lalu.
Kita jarang memikirkan orang pertama yang menginjakkan kaki di dunia baru Australia yang aneh sekitar 70.000 tahun yang lalu; yang pertama memberi nama dan mempelajari tumbuhan dan hewan di setiap tempat yang kita capai; cerita, lagu, dan puisi kemanusiaan di masa mudanya. Namun pencapaian ini nyata, dan luar biasa.
Kita tahu bahwa bahkan sebelum pertanian atau peradaban, umat manusia adalah kekuatan baru di dunia.
Dengan menggunakan teknologi pelayaran, pakaian, dan api yang sederhana namun revolusioner, kita melakukan perjalanan lebih jauh dari mamalia mana pun.
Kita beradaptasi dengan lingkungan yang lebih luas, dan tersebar di seluruh dunia.
Apa yang membuat umat manusia luar biasa, bahkan pada tahap yang baru lahir ini? Kita bukan yang terbesar, terkuat atau terberat.
Yang membedakan kita bukanlah fisik, tetapi mental — kecerdasan, kreativitas, dan bahasa kita.
Selama belajar di SESORE selama hampir tiga bulan bersama para Coach kita berbagi tiga hal itu: kecerdasan, kreativitas, dan bahasa. Melakukan diskusi dengan segenap kecerdasan dan bahasa yang dicurahkan, menyiapkan presentasi dengan penuh kreatifitas dan merancang inovasi. Kita berkolaborasi.
Namun bahkan dengan kemampuan mental yang unik ini, seorang manusia sendirian di hutan belantara bukanlah hal yang luar biasa. Dia mungkin bisa bertahan—kecerdasan yang menggantikan kekuatan fisik—tetapi tidak akan mendominasi.
Dalam istilah ekologi, bukan manusia yang luar biasa, tetapi kemanusiaan. “..it is not a human that is remarkable, but humanity. Kemampuan setiap manusia untuk bekerja sama dengan lusinan orang lain dalam kelompok mereka adalah unik di antara hewan besar. Itu memungkinkan kita untuk membentuk sesuatu yang lebih besar dari diri kita sendiri. Ketika bahasa kita tumbuh dalam ekspresi dan abstraksi, kita dapat memanfaatkan pengelompokan seperti itu: menyatukan pengetahuan, ide, dan rencana kita.
Pada skala waktu kehidupan individu manusia, sejarah 200.000 tahun kita tampaknya hampir tidak dapat dipahami panjangnya. Tetapi pada skala waktu geologis itu sangat pendek. Dan semakin menghilang pada skala waktu alam semesta secara keseluruhan. Kosmos kita memiliki sejarah 14 miliar tahun. Bahkan itu singkat dalam skala termegah. Triliunan tahun terbentang di depan kita. Masa depan sangat besar.
Nama Inovator | Inovasi | Negara Asal | Usia | |
1 | Adei Wiranda Sembiring | Pusat pembelajaran dan pengembangan ekonomi kreatif melalui produk turunan hasil hutan bukan kayu (HHBK) | INA | 25 |
2 | Adinda Egreina P | Buku Tubo: Buku Saku Tumbuhan Obat | INA | 22 |
3 | Alberta Prabarini | Jungle Tour | INA | 24 |
4 | Anacleto Roberto Carolina Soares | Social Forestry Baucau Especifik Di Wailili | TL | |
5 | Ana Maria De Fátima Alberto Pereira | Hutan kota | TL | 19 |
6 | Annisa Aliviani | Tagata Festival | INA | 23 |
7 | Anzoki Refwendi | Kopi Arempa (Gula Aren dan Rempah) dari Merangin | INA | 24 |
8 | Epifania Assunção Rodriguês Pinto | Sekolah Hutan | TL | 19 |
9 | Firman Dwi Yulianto | PASFI (Podcast Asa Social Forestry Indonesia) | INA | 22 |
10 | Ira Khoerunisa | Platform Pusat Informasi Sosial Forestri | INA | 26 |
11 | Jannisa Vavaza | Sensasi Resep Kopi Rempah Khas Gayo | INA | 22 |
12 | Marcia Angelica Vidigal Loi Pinto | Museum Sosial Forestri | TL | 18 |
13 | M. Rizky Fadlian | Sapu Jagat | INA | 26 |
14 | Nanda Maretama | Pengembangan Komoditas Tanaman Obat Suku Talang Mamak | INA | 26 |
15 | Rafqi Ardiansyah Surya | J-KOPS (Jejaring Koperasi Perhutanan Sosial) | INA | 20 |
16 | Rahayu Lestari | Inovasi Produk Turunan Kayu | INA | 23 |
17 | Siti Zubaidah | Eco Print | INA | 26 |
18 | Yessi Marcellya Nasution | Art Illustration for Social Forestry | INA | 25 |
19 | Yozi Putriani | Menumbuhkembangkan Champion Perempuan untuk Memulihkan Bumi | INA | 27 |
Keterangan: INA: Indonesia TL: Timor Leste |
Berapa banyak masa depan yang bisa kita lihat? Catatan fosil memberikan beberapa panduan yang berguna.
Spesies mamalia biasanya bertahan hidup selama sekitar satu juta tahun sebelum punah; kerabat dekat kita, Homo erectus, bertahan hidup selama hampir dua juta tahun. Jika kita memikirkan satu juta tahun dalam satu skala kehidupan, delapan puluh tahun, maka hari ini umat manusia akan berusia remaja—enam belas tahun;
Manusia bukanlah spesies yang khas. Untuk satu hal, kita baru saja memperoleh kekuatan unik untuk menghancurkan diri sendiri. Tetapi kita juga memiliki kekuatan unik untuk melindungi diri kita sendiri dari kehancuran eksternal, dan dengan demikian berpotensi untuk hidup lebih lama dari spesies yang terkait dengan kita.
Berapa lama kita bisa bertahan di Bumi? Planet kita akan tetap layak huni selama kira-kira satu miliar tahun. Itu waktu yang cukup untuk triliunan kehidupan manusia; cukup waktu untuk menyaksikan pegunungan naik, benua bertabrakan, orbit menyetel kembali; dan waktu, juga, untuk menyembuhkan masyarakat dan planet dari luka yang disebabkan ketidakdewasaan kita.
Dan kita mungkin masih punya lebih banyak waktu. Seperti yang dikatakan oleh salah satu perintis peroketan, “Bumi adalah tempat lahir manusia, tetapi seseorang tidak dapat hidup dalam buaian selamanya.” Kita belum tahu, bagaimana cara mencapai bintang lain dan menempatkan planetnya, tetapi kita tahu tidak ada kendala mendasar.
Hambatan utama tampaknya adalah waktu yang diperlukan untuk mempelajari caranya. Semoga ini membuat kita optimis. Penerbangan pertama yang sukses terjadi pada tahun 1903 dan hanya enam puluh delapan tahun kemudian kita telah meluncurkan pesawat ruang angkasa yang meninggalkan Tata Surya dan akan mencapai bintang-bintang.
Spesies kita belajar dengan cepat, terutama belakangan ini, dan satu miliar tahun adalah pendidikan yang panjang. Kita akan membutuhkan waktu jauh lebih sedikit untuk belajar.
Jika kita bisa mencapai bintang lain, maka seluruh galaksi terbuka untuk dijelajahi. Bima Sakti (The Milky Way) sendiri berisi lebih dari 100 miliar bintang, dan beberapa di antaranya akan bertahan selama triliunan tahun, sangat memperpanjang umur potensial kita.
Lalu ada miliaran galaksi lain di luar galaksi kita. Jika kita mencapai masa depan skala seperti itu, kita mungkin memiliki jumlah keturunan yang benar-benar mengejutkan, dengan waktu, sumber daya, kearifan, dan pengalaman untuk menciptakan keragaman keajaiban yang tak terbayangkan bagi kita hari ini.
Sementara umat manusia telah membuat kemajuan menuju kemakmuran yang lebih besar, kesehatan, pendidikan dan inklusivitas moral, masih banyak yang bisa kita capai. Dunia kita saat ini tetap dirusak oleh malaria dan HIV; depresi dan demensia; rasisme dan seksisme; penyiksaan dan penindasan. Tapi dengan waktu yang cukup, kita bisa mengakhiri kengerian ini—membangun masyarakat yang benar-benar adil dan manusiawi—building a society that is truly just and humane.”
Tantangan baru yang kita hadapi: pandemi. Tetapi ini bukan pertama kali umat manusia mengalaminya. Berkali-kali. Dan kita bisa mengatasinya dengan gemilang.
Memang, baru-baru ini diduga bahwa lukisan gua berusia empat puluh ribu tahun di seluruh Eropa menunjukkan bahwa nenek moyang kita yang jauh telah melacak bintang-bintang.
Dari penyair hingga filsuf, teolog hingga ilmuwan, kita telah menemukan di alam semesta provokasi kekaguman, tindakan, dan kemajuan peradaban. Bidang astronomi adalah ilmu yang baru lahir, yang merupakan dorongan bagi revolusi ilmiah Nicolaus Copernicus, Galileo Galilei, dan Isaac Newton yang memindahkan Bumi dari pusat alam semesta fisik. Para ilmuwan ini bukan yang pertama menganjurkan pandangan yang penuh risiko tentang dunia kita, tetapi tidak seperti para filsuf dan teolog yang mendahului mereka, mereka mengandalkan metode hipotesis yang didukung bukti yang sejak saat itu telah menjadi batu ujian kemajuan peradaban manusia.
Hari ini, planet kita sedang menuju bencana.
Degradasi lingkungan, perubahan iklim, pandemi, dan risiko perang nuklir yang selalu ada merupakan ancaman paling akrab yang kita hadapi. Dengan berbagai cara, kita telah menyiapkan panggung untuk mengakhiri semuanya.
Itu bisa datang dengan ledakan atau rengekan atau keduanya—atau tidak keduanya. Saat ini, semua opsi ada di atas meja.
Jalan mana yang akan kita pilih? Ini adalah pertanyaan etis yang tersirat dalam puisi Eliot.
“Bukan ledakan tetapi bisikan.” Not with a bang but a whimper.
Bagaimana jika metafora tentang akhir ini berlaku untuk permulaan tertentu? Bagaimana jika jawaban untuk “Apakah kita sendirian?” muncul dengan sendirinya, tetapi itu halus, cepat berlalu, ambigu? Bagaimana jika kita perlu menggunakan kekuatan pengamatan dan deduksi kita sepenuhnya untuk membedakannya? Dan bagaimana jika jawaban atas pertanyaan ini memegang kunci pertanyaan lain yang baru saja diajukan, tentang apakah dan bagaimana kehidupan terestrial dan peradaban kolektif kita akan berakhir?
Sementara mengejar jawaban atas pertanyaan sains, dari asal usul kehidupan hingga asal usul segala sesuatu, mungkin tampak sebagai salah satu upaya manusia yang paling arogan, pengejaran itu sendiri adalah sesuatu yang bersahaja.
Diukur oleh semua dimensi, setiap kehidupan manusia sangat kecil; pencapaian individu kita hanya terlihat dalam kumpulan upaya dari banyak generasi. Kita semua berdiri di atas bahu para pendahulu kita—dan bahu kita sendiri harus mendukung upaya mereka yang akan mengikuti. Kita melupakan itu atas risiko kita, dan mereka.
Inilah pentingnya peran dan upaya para Inovator SESORE. Berkarya dengan inovasinya, berjuang mewujudkan dan selalu belajar aktif. Agar menjadi bagian dari tanggungjawab pada generasi mendatang. Menyediakan bidang bahu yang lebih baik tempat sandaran bagi generasi-generasi selanjutnya.
Pada 19 Oktober 2017, astronom Robert Weryk di Observatorium Haleakala, Hawaii, menemukan ‘Oumuamua‘ dalam data yang dikumpulkan oleh teleskop Pan-STARRS, gambar yang menunjukkan obyek sebagai titik cahaya yang melaju di langit, bergerak terlalu cepat untuk diikat oleh gravitasi Matahari. Petunjuk ini dengan cepat membuat komunitas astronomi setuju bahwa Weryk telah menemukan obyek antarbintang (interstellar object) pertama yang pernah terdeteksi di tata surya kita. Namun pada saat kita menemukan nama untuk objek itu (‘Oumuamua’), jaraknya lebih dari dua puluh juta mil dari Bumi, atau kira-kira delapan puluh lima kali lebih jauh dari Bulan, dan dengan cepat bergerak menjauh dari planet kita, bumi.
The future ain’t what it used to be (Yogi Berra). Masa depan selalu merupakan hal yang baru. Sesuatu yang berbeda. Maka kita perlu membuka diri terhadap hal-hal yang mengejutkan, yang baru. Hal-hal yang belum pernah kita saksikan, alami dan rasakan. Termasuk kenyataan bahwa kita tidak sendiri di dalam alam semesta ini.
–Bagian Ketiga–
Langkah pertama untuk membalikkan keadaan sulit kita adalah menyadari bahwa menjadi manusia adalah tim olahraga. Kita tidak bisa menjadi manusia seutuhnya sendirian. Apa pun yang menyatukan kita, menumbuhkan kemanusiaan kita. Demikian juga, apa pun yang memisahkan kita membuat kita kurang manusiawi, dan kurang mampu menjalankan kehendak individu atau kolektif kita.
Kita menggunakan koneksi sosial untuk menentukan arah, untuk memastikan kelangsungan hidup bersama, dan untuk mendapatkan makna dan tujuan. Ini bukan hanya gagasan kuno tetapi warisan biologis kita. Orang-orang yang terputus dari organisasi atau komunitas yang mereka layani sering layu tanpa mereka.
Kita terkadang terhubung satu sama lain untuk mencapai beberapa tujuan bersama, seperti mencari makanan atau menghindari mangsa. Tetapi kita juga berkumpul dan berkomunikasi untuk kepentingan sendiri—karena kita memperoleh kekuatan, kesenangan, dan tujuan saat kita mengembangkan hubungan baik. Apakah ada orang di sana? Ya, aku mendengar-mu. Anda tidak sendiri.
Sudah saatnya kita menegaskan kembali agenda manusia. Dan kita harus melakukannya bersama-sama—bukan sebagai pemain individual yang telah dituntun untuk membayang-kan diri kita, tetapi sebagai tim yang sebenarnya.
Tim Manusia. Team Human.
Alam adalah tindakan kolaboratif. Jika manusia adalah spesies yang paling berevolusi, itu hanya karena kita telah mengembangkan cara paling maju untuk bekerja dan bermain bersama.
Kita telah dikondisikan untuk percaya pada mitos bahwa evolusi adalah tentang persaingan: kelangsungan hidup yang terkuat. Dalam pandangan ini, setiap makhluk berjuang melawan yang lain untuk sumber daya yang langka. Hanya yang terkuat yang bertahan untuk mewariskan gen superior mereka, sedangkan yang lemah pantas kalah dan mati.
Tetapi evolusi sama pentingnya dengan kerja sama dan kompetisi. Inilah yang kemudian Ray Noorda melahirkan istilah Co-opetition, kombinasi antata cooperation and competition, atau war and peace dalam kisah Tolstoy.
Sel kita sendiri adalah hasil aliansi miliaran tahun yang lalu antara mitokondria dan inangnya. Individu dan spesies berbiak dengan cara yang bertumbuh untuk mendukung kelangsungan hidup bersama.
Seekor burung mengembangkan paruh yang memungkinkannya memakan beberapa bagian tanaman yang tidak dapat dijangkau burung lain. Ini memperkenalkan keragaman ke dalam pola makan penduduk, mengurangi ketegangan pada pasokan makanan tertentu dan mengarah ke lebih banyak untuk semua.
Bagaimana dengan tanaman yang malang, Anda mungkin bertanya? Burung-burung, seperti halnya lebah, membantu tanaman dengan menyebarkan bijinya setelah memakan buahnya.
Makhluk biologi yang paling sukses hidup berdampingan dalam ekosistem yang saling menguntungkan. Sulit bagi kita untuk mengenali seluas itu menyebarkan kerjasama. Kita cenderung melihat bentuk kehidupan sebagai sesuatu yang terisolasi satu sama lain: pohon adalah pohon dan sapi adalah sapi.
Tapi pohon bukanlah pohon tunggal sama sekali; itu adalah tepian hutan. Dalam ekosistem keseluruhannya akan terlihat bahwa perjuangan satu pohon untuk bertahan hidup menyatu dengan cerita tentang perannya dalam menopang sistem yang lebih besar. Demikian juga satu dua hektar atau ratusan dan ribuan hektar hutan masyarakat adalah bagian penting dalam sebuah ekosistem yang besar.
Kita juga cenderung melewatkan interkoneksi alam karena terjadi secara halus, di bawah permukaan. Kita tidak dapat dengan mudah melihat atau mendengar cara pohon berkomunikasi.
Misalnya, ada pemandangan tak kasat mata jamur dan jamur lain yang menghubungkan sistem akar pohon di hutan yang sehat. Jaringan bawah tanah memungkinkan pohon untuk berinteraksi satu sama lain dan bahkan bertukar sumber daya.
Di musim panas, pohon cemara yang lebih pendek dinaungi oleh kanopi pohon yang lebih tinggi. Karena tidak mampu mencapai cahaya dan berfotosintesis, mereka memanggil nutrisi yang mereka butuhkan melalui jamur.
Pohon-pohon yang lebih tinggi memiliki banyak cadangan, dan mengirimkannya ke rekan-rekan mereka yang teduh, di bawahnya. Pohon-pohon yang lebih tinggi kehilangan daunnya di musim dingin dan mereka sendiri menjadi tidak mampu berfotosintesis.
Pada saat itu, pepohonan, yang sekarang terpapar cahaya matahari, mengirimkan nutrisi ekstranya pada anggota komunitas pepohonan yang sedikit daun. Untuk peran mereka, jamur bawah tanah akan mengutip upah, mengambil nutrisi yang diperlukan sebagai ganti dari memfasilitasi pertukaran itu.
Jadi cerita yang diajarkan di sekolah tentang bagaimana pohon-pohon di hutan bersaing untuk mendapatkan sinar matahari itu tidak benar. Mereka berkolaborasi untuk mencapai sinar matahari, dengan keragaman strategi dan berbagi hasil kerja mereka.
Pepohonan juga saling melindungi. Ketika daun pohon akasia bersentuhan dengan air liur jerapah, mereka melepaskan bahan kimia peringatan ke udara, memicu akasia di dekatnya untuk melepaskan penolak khusus jerapah. Evolusi telah membesarkan mereka untuk berperilaku seolah-olah mereka adalah bagian dari makhluk yang sama yang mempertahan-kan diri.
Hewan juga bekerja sama. Perilaku mereka yang saling menguntungkan bukan pengecualian untuk seleksi alam, tetapi itulah aturannya.
Darwin mengamati bagaimana ternak liar hanya bisa mentolerir pemisahan singkat dari kawanannya, dan dengan patuh mengikuti pemimpin mereka. “Individualis” yang menantang otoritas pemimpin atau mengembara dari kelompok diterkam oleh singa lapar.
Darwin menggeneralisasi bahwa ikatan sosial adalah “produk seleksi.” Dengan kata lain, kerja tim adalah strategi yang lebih baik untuk kelangsungan hidup semua orang daripada kompetisi.
Contoh lainnya. Ketika orang-orang mulai mengagumi iPod sebuah produk yang diciptakan oleh Apple. iPod bukanlah revolusi teknologi yang luar biasa, melainkan kombinasi cerdas dari banyak bagian yang ada. “Ini adalah produk yang sangat berpengaruh dari teknologi yang sudah kami miliki,” jelas Jon Rubinstein, wakil presiden senior perangkat keras Apple. Hard disk yang menampung semua lagu itu adalah drive kecil berukuran 1,8 inci dari Toshiba; baterai kecil dari Sony; cetak biru perangkat keras disediakan oleh perusahaan kecil Silicon Valley bernama PortalPlayer; konverter digital-ke-analog berasal dari Wolfson Microelectronics; pengontrol antarmuka FireWire dikirimkan oleh Texas Instruments; dan beberapa perangkat lunak berasal dari Pixo.
Manusia, tentu saja, masih suka bersaing. Kita tidak harus benar-benar murah hati sepanjang waktu. Ada tempat untuk agresi dan kewirausahaan, pemenang dan pecundang. Begitulah. Seperti olahraga, dengan aturan dan transparansi.
Peradaban yang manusiawi belajar untuk melakukan kegiatan kompetitifnya dalam konteks yang lebih besar dari kebersamaan. Pengadilan, demokrasi, pasar, dan ilmu pengetahuan kita semuanya ditandai oleh persaingan, tetapi persaingan ini terjadi di lapangan permainan yang diatur secara ketat. Pasar bebas sama sekali bukan gratis untuk semua. Tetapi permainan yang dikelola dengan aturan, bank, token, paten, dan saham.
Ruang kompetitif ini hanya berfungsi untuk kepentingan semua orang jangka panjang ketika cara kerjanya benar-benar transparan. Pengadilan tidak dapat memberikan keadilan jika kita tidak tahu mengapa orang-orang tertentu dipenjara dan yang lainnya tidak.
Pasar tidak berfungsi ketika pemain tertentu mendapatkan informasi yang tidak dimiliki pemain lain. Sains tidak dapat berkembang jika hasilnya tidak dibagikan dan dapat diverifikasi.
Transparansi benar-benar satu-satunya pilihan. Kita tidak bisa bersembunyi dan berbohong satu sama lain lagi. Tidak ada gunanya. Jika seorang pesulap panggung dapat membaca wajah kita dan mendeteksi pernyataan palsu kita, maka kita semua harus tahu pada tingkat tertentu ketika ditipu oleh orang lain. Ketika media dan mesin sama-sama buram dan tidak dapat dipercaya, kita harus belajar untuk bergantung satu sama lain demi kebenaran atas apa yang terjadi.
Anda tidak sendiri. Tak satu pun dari kita yang hidup sendiri.
Manusia tidak ada yang sempurna, dengan cara apapun. Betapapun mungkin dirasakan tidak sempurna, unik dan tidak lengkap tentang kita, inilah saatnya menyatakan diri kita sebagai anggota Tim Manusia. Team Human.
Tetapi kita tidak sendirian. Apalagi dalam alam semesta ini. Maka itu telah menjadi mimpi ribuan tahun manusia untuk menjelajahi alam semesta dan mencari makhluk lainnya.
Kita hidup di tengah-tengah kisah besar yang belum selesai: kisah kemunculan umat manusia sebagai spesies yang mendominasi planet tetapi terikat rumah dan potensi transformasi kita menjadi makhluk luar angkasa, multiplanet.
Kita tahu bagaimana cerita dimulai, saat kita meninggalkan kanopi pohon, menyebar ke seluruh benua, dan mengembangkan bahasa, pertanian, budaya tertulis, dan akhirnya sains.
Kita tahu di mana cerita itu berdiri sekarang.
Di abad ini, kita akan sibuk menghadapi berbagai tantangan eksistensial yang telah kita ciptakan untuk diri kita sendiri. Tetapi jika kita dapat menguasai kekuatan politik skala global dan teknologi skala industri, mengakui tanggung jawab kita untuk mengelola iklim dan ekosistem Bumi, dan mensistematisasikan eksplorasi kita terhadap planet lain—semuanya serbajika, memang—maka tidak banyak hal lain untuk menghentikan kita dari memperluas ke luar galaksi.
Apa yang kita tidak tahu adalah ke arah mana cerita akan menuju setelah itu. Hanya ada dua kemungkinan. Entah kita akan tetap sendirian dalam penjelajahan kita, atau kita akan menemukan bahwa kita memiliki teman.”
Dalam skala mikro peserta belajar SESORE yang lulus hari ini dan mendapatkan apresiasi dari SESORE adalah Team Human dalam lingkup sosial forestri LATIN. Maka para alumni SESORE bukan hanya sosok individual yang sibuk memikirkan dirinya sendiri. Tetapi alumni SESORE adalah sebuah team yang terus membangun kolaborasi sesama alumni dan juga mengembangkan sayap-sayapnya untuk terbang berkolaborasi melewati batas-batas apapun. Ini tercermin dari semua inovasi-inovasi yang dikreasi. Semua menunjukkan semangat untuk menjawab tantangan yang dihadapi publik, yang dihadapi masyarakat.
Usia siswa belajar SESORE rata-rata adalah 23 tahun. Ini adalah generasi yang akan mendominasi populasi dunia dalam beberapa waktu mendatang, baik di Timor Leste maupun di Indonesia. Dan dalam sesi belajar 3 bulan ini kita tahu mereka semua adalah para digital natives.
“Digital natives” saat ini—juga dikenal sebagai generasi millennial atau Generasi Y (dan Z)—membutuhkan tool kit baru ini. Ada lebih banyak anak muda yang hidup hari ini daripada sebelumnya dalam sejarah: Empat puluh persen populasi dunia berusia di bawah dua puluh empat tahun, yang berarti genap di bawah usia dua puluh empat, yang berarti persentase yang lebih besar tidak memiliki ingatan pribadi tentang kolonialisme atau Perang Dingin.
Menurut survei oleh Zogby Analytics, “global pertama” ini mengidentifikasi konektivitas dan keberlanjutan sebagai nilai utama mereka. Mereka tidak secara otomatis setia pada pendirian di dalam negeri atau merasa aman di balik perbatasan yang memisahkan mereka dari “orang lain” di luar negeri. Di Amerika, milenial Latin mendukung normalisasi penuh hubungan dengan Kuba; Milenial Korea Selatan adalah untuk reunifikasi dengan Korea Utara.
Mereka percaya bahwa takdir mereka bukan hanya untuk menjadi bagian dari negara-negara politik tetapi juga untuk terhubung di antara mereka. Pada tahun 2025, seluruh populasi dunia kemungkinan akan terhubung ke ponsel dan Internet. Ketika kehidupan menjadi lebih terhubung, kita harus menyesuaikan peta kita.”
Lebih banyak konektivitas menciptakan dunia di luar negara bagian, masyarakat global yang lebih besar daripada jumlah bagian-bagiannya. Saat dunia berevolusi dari kerajaan yang terintegrasi secara vertikal menjadi negara yang saling bergantung secara horizontal, sekarang dunia sedang berkembang menuju peradaban jaringan global yang peta koridor penghubungnya akan menggantikan peta tradisional perbatasan nasional.
Pada saat yang sama, peta konektivitas juga lebih baik dalam mengungkapkan dinamika geopolitik di antara negara adidaya, negara kota, perusahaan tanpa negara, dan komunitas virtual dari semua jenis saat mereka bersaing untuk menangkap sumber daya, pasar, dan berbagi pikiran.
Kita bergerak ke era di mana kota akan lebih penting daripada negara bagian dan rantai pasokan akan menjadi sumber kekuatan yang lebih penting daripada militer—yang tujuan utamanya adalah melindungi rantai pasokan daripada perbatasan.
Konektivitas kompetitif adalah perlombaan senjata abad kedua puluh satu.
Konektivitas tidak kurang dari jalan kita menuju keselamatan kolektif. Persaingan atas konektivitas pada dasarnya tidak sekeras konflik perbatasan internasional, memberikan jalan keluar dari siklus sejarah konflik kekuatan besar.
Selain itu, konektivitas telah membuat kemajuan yang sebelumnya tidak terbayangkan menjadi mungkin karena sumber daya dan teknologi bergerak jauh lebih mudah ke tempat yang dibutuhkan, sementara orang dapat lebih cepat pindah untuk menghindari bencana alam atau ke kota untuk mendapatkan peluang ekonomi.
Konektivitas yang lebih baik memungkinkan masyarakat untuk mendiversifikasi dari mana impor mereka berasal dan ke mana ekspor mereka pergi. Oleh karena itu, konektivitas adalah cara kita memanfaatkan geografi sebaik-baiknya.
“Kisah besar peradaban manusia lebih dari sekadar siklus tragis perang dan perdamaian atau ledakan dan kehancuran ekonomi. Busur sejarah memang panjang, tetapi mengarah ke konektivitas.”
Revolusi konektivitas global telah dimulai. Kita telah memasang volume yang jauh lebih besar jalur yang menghubungkan orang daripada jalur yang membagi mereka: Matriks infrastruktur kita saat ini mencakup sekitar 64 juta kilometer jalan raya, 2 juta kilometer jaringan pipa, 1,2 juta kilometer rel kereta api, dan 750.000 kilometer kabel Internet bawah laut yang menghubungkan banyak populasi kunci dan pusat ekonomi. Sebaliknya, kita hanya memiliki 250.000 kilometer perbatasan internasional.
Menurut beberapa perkiraan, umat manusia akan membangun lebih banyak infrastruktur dalam empat puluh tahun ke depan saja daripada dalam empat ribu terakhir. Teka-teki antarnegara bagian dengan demikian memberi jalan ke kisi sirkuit infrastruktur. Dunia mulai terlihat sangat mirip dengan Internet.
Dunia membangun lebih banyak ‘jembatan’ daripada ‘tapal batas.’ More bridges than borders.
Mari kita bergerak lebih dekat ke depan: 2084. Seratus tahun kemudian sejak George Orwell menerbitkan novelnya yang futuristik: 1984. Terbit 1949. Kita menyimak tahun 2084 dari John C. Lennox dalam bukunya, 2084: Artificial Intellligence and the Future Humanity (2020). Buku ini memaparkan kecemasan perkembangan AI bagi seorang Lennox yang merupakan tokoh Kristen yang terlibat dalam sejumlah debat umum untuk mempertahankan iman Kristen. Ia sangat tertarik pada etika dan agama.
Lennox membuka ceritanya dengan mengisahkan tentang imajinasi dua penulis novel berpengaruh.
Dua dari skenario futuristik yang paling terkenal adalah novel Brave New World tahun 1931 oleh Aldous Huxley dan novel George Orwell 1984, yang diterbitkan pada tahun 1949.
Keduanya, pada waktu yang berbeda, mendapat peringkat yang sangat tinggi sebagai novel berbahasa Inggris yang berpengaruh. Misalnya, Orwell’s dipilih pada 2005 oleh majalah Time sebagai salah satu dari 100 novel berbahasa Inggris terbaik dari 1923 hingga 2005.
Kedua novel itu distopia: yaitu, menurut Oxford English Dictionary, “mereka menggambarkan tempat atau kondisi imajiner yang seburuk mungkin.”
Namun, tempat yang benar-benar buruk yang mereka gambarkan sangat berbeda, dan perbedaan mereka, yang memberi kita wawasan bermanfaat yang akan berguna untuk kita nanti.
Analisis dua novelis ini, menurut Lennox, dijelaskan secara ringkas oleh sosiolog Neil Postman dalam karyanya yang sangat dihormati Amusing Ourself to Death:
Orwell memperingatkan bahwa kita akan dikalahkan oleh penindasan yang dipaksakan dari luar. Namun dalam visi Huxley, tidak ada Big Brother (ini adalah tokoh otoriter dalam novel 1984) yang diperlukan untuk merampas otonomi, kedewasaan, dan sejarah orang-orang. Menurut pandangannya, orang akan menyukai penindasan mereka, mengagumi teknologi yang merusak kemampuan berpikir mereka.
Yang ditakuti Orwell adalah mereka yang melarang buku. Yang ditakuti Huxley adalah tidak ada alasan untuk melarang sebuah buku, karena tidak akan ada orang yang ingin membacanya.
Orwell takut pada mereka yang akan merampas informasi dari kami. Huxley takut pada mereka yang akan memberi kita begitu banyak informasi sehingga kita akan direduksi menjadi pasif dan egoisme.
Orwell takut kebenaran akan disembunyikan dari kami. Huxley takut kebenaran akan tenggelam di lautan yang tidak relevan.
Orwell takut kita akan menjadi budaya tawanan. Huxley takut kita akan menjadi budaya yang remeh. Singkatnya, Orwell takut bahwa apa yang kita benci akan menghancurkan kita. Huxley takut bahwa apa yang kita cintai akan menghancurkan kita.
Lennox adalah profesor matematika dari Inggris yang mengajar di Oxford University. Ia merupakan seorang “Fellow in Mathematics and Philosophy of Science” di Green Templeton College, Oxford University.
Satu hal yang unik, dan mungkin karena itu, mampu bertahan dari Homo sapiens adalah sifatnya yang selalu ingin tahu. Menurut Lennox kita telah mengajukan pertanyaan sejak awal sejarah. Kita secara khusus telah mengajukan pertanyaan besar tentang asal usul dan takdir: Dari mana saya berasal dan ke mana saya akan pergi? Penting pertanyaan-pertanyaan itu sangat jelas. Jawaban kita untuk yang pertama membentuk konsep kita tentang siapa diri kita, dan jawaban kita untuk yang kedua memberi kita tujuan untuk hidup.
Secara bersama-sama, tanggapan kita terhadap pertanyaan-pertanyaan ini membantu membingkai pandangan dunia kita, narasi yang memberi makna pada hidup kita.
Namun pada sisi lain dari kemajuan manusia karena mobilitas. Tidak ada taruhan yang lebih besar daripada pertanyaan tentang perpindahan dari dunia batas-batas negara ke dunia yang mencair. Kita membutuhkan dunia yang lebih tanpa batas karena kita tidak dapat menanggung konflik teritorial yang merusak.
Karena mengoreksi ketidaksesuaian orang dan sumber daya dapat membuka potensi manusia dan ekonomi yang luar biasa. Karena begitu sedikit negara memberikan kesejahteraan yang cukup bagi warganya, dan karena begitu banyak miliaran yang belum memanfaatkan sepenuhnya globalisasi. Perbatasan bukanlah penangkal risiko dan ketidakpastian; namun lebih banyak koneksi akan mengatasi semua itu.
Jika kita ingin menikmati manfaat dari dunia tanpa batas, kita harus membangunnya terlebih dahulu. Nasib kita tergantung pada keseimbangan.
LATIN meneguhkan untuk mewujudkan keseimbangan itu dengan Sosial Forestri 2045. Akan ada 10 juta anak muda yang mengelola sosial forestri. Produk-produk dengan branding lokal marak di pusat-pusat sosial forestri. Tidak ada lagi kemiskinan. Sejumlah 80 juta orang terlibat dalam kegiatan-kegiatan sosial forestri dengan 30 juta perempuan menjadi bagian pentingnya dan satu juga pemimpin yang handal, kredibel, visioner dan memberi inspirasi. Pada tahun 2045 ketika Republik Indonesia merayakan 100 tahun kemerdekaan Sosial Forestri telah menjadi peradaban baru bagi masyarakat yang mengelolanya.
Selamat pada lulusan SESORE, para inovator. Selamat membangun lebih banyak jembatan untuk membangunan kemanusiaan yang kokoh, dan membahagiakan. Kita mulai dari membangun sosial forestri dan mewujudkan WAKANDA2045. Wana Kanaya Sembada, hutan yang hijau lestari, masyarakat yang bahagia sejahtera dan mandiri.
Bogor, 16 Agustus 2021.
i Tulisan ini dimodifikasi dari tulisan yang disampaikan pada acara Graduasi Sekolah Sosial Forestri (SESORE) pada tanggal 16 Agustus 2021 melalui prosesi virtual. Tulisan sambutan asli bisa dirujuk pada website latin.or.id. Saya mengucapkan terima kasih dan apresiasi yang tinggi pada semua kawan yang terlibat pada SESORE hingga prosesi Graduasi, dan para peserta SESORE. Para peserta Graduasi SESORE dan keluarga, para inovator, yang saya banggakan. Kepala Sekolah SESORE dan tim yang saya apresiasi, Para Coach SESORE yang saya hormati, luar biasa perannya, kawan-kawan Creative Team dari Inspirit yang saya banggakan, Yang saya hormati Bapak Sahat Sitorus, Kedutaan Besar Republik Indonesia di Dili Republik Demokratik Timor-Leste. dan Atase Kependidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia di Dili, Timor Leste, dan para pengurus/pengelola Pusat Budaya Indonesia )PBI) di Dili, Timor Leste. Kawan-kawan kolaborator yang saya cintai: Daemeter Consulting, Remark Asia, Inspirit, KpSHK, BRWA, Kemitraan, MFP4, FSC Indonesia, Sampan Pontianak.
Yang terhormat kawan-kawan moderator dan panelis dalam Pekan Inovasi SESORE, serta kawan-kawan sekalian para Latiners.
ii SESORE adalah program sekolah yang dirancang bisa menjadi tempat belajar yang merdeka, tanpa dibatasi oleh jarak, waktu dan bangunan. SESORE diselenggarakan dalam waktu tiga bulan melalui sekolah virtual. Pertemuan virtual dilakukan dua kali seminggu (Sabtu dan Ahad). SESORE dipandu oleh para Coach yang mempunyai pengetahuan dan pengalaman panjang dan mendalam tentang pengeloaan sumberdaya alam dan khususnya sosial forestri. SESORE diinisiasi oleh Lembaga Alam Tropika Indonesia (LATIN), sebuah LSM yang didirikan pada 5 Oktober 1989 dan mendedikasikan dirinya untuk mendorong berkembang dan tumbuhnya sosial forestri di Indonesia.
iii Toby Ord, 2020. “The Precipice: Existential Risk and the Future of Humanity.” New York: Hachette Books.
iv Idem ditto
v idem ditto
vi Sagan, C., and Ostro, S. J. (1994). “Dangers of Asteroid Deflection.” Nature, 368(6471), 501.” Dikutip dari Toby Ord. “The Precipice.”
vii Avi Loeb, 2021. “Extraterrestrial: the First Sign of Intelligent Life Beyond Earth.” New York: Houghton Mifflin Harcourt Publishing Company.
viii idem ditto
ix idem ditto
x Ray Kurzweil, 2005. “The Singularity Is Near: When Humans Transcend Biology.” New York: Viking.
xi Douglas Rushkoff, 2019. “Team Human.” New York: W. W. Norton & Company, Inc.
xii “Electronic Business Buyer, December 1993. The portmanteau “co-opetition” was coined by Ray Noorda.” “You have to compete and cooperate at the same time.” The combination makes for a more dynamic relationship than the words “competition” and “co operation” suggest individually. ”
xiii “But it’s not Tolstoy—endless cycles of war followed by peace followed by war. It’s simultaneously war and peace.” Dikutip dari Adam M. Brandenburger. “Co-Opetition.”
xiv Morten Hansen, 2009. “Collaboration: How Leaders Avoid Traps, Create Unity, and Reap Results.” Boston: Harvard Business School Publishing.
xv Wade Roush, 2020. “Extraterrestrials.” Cambridge: The MIT Press
xvi Parag Khanna, 2016. “Connectography: Mapping the Future of Global Civilization.” New York: Random House.
xvii idem ditto
xviii idem ditto
xix idem ditto