Sustainability 17A #26
Di Bawah Telapak Perempuan,
Keberlanjutan Bumi Ada Harapan
Dwi R. Muhtaman,
sustainability learner
Pada tahun 1976 ia kehilangan orang tercinta yang meninggal: suami. Sejak saat itu ia menjadi orangtua tunggal bagi 5 orang anaknya. Sang suami tercinta mewariskan harta yang amat berharga baginya dan anak-anaknya: sebuah lahan seluas 5 hektar di lereng perbukitan Malimada, Sumba, Nusa Tenggara Timur. Tetapi tanah itu berupa hamparan lahan yang kering kerontang.
Pulau Sumba, yang konon terbentuk dari karang yang timbul dan menjadi daratan ini, sebagian permukaannya adalah hamparan batu karang. Kering dan gersang. Demikian juga 5 hektare tanah yang dimilikinya itu. Seperti Katrina yang memiliki tanah yang luas, juga warga kampung lainnya di lereng perbukitan itu. Karena gersang, lahan-lahan yang ada samasekali tidak ada artinya. Tak ada yang bisa diharapkan. Lahan perbukitan yang tandus tidak mungkin bisa ditanami. Jika musim kemarau datang, hanya singkong yang ada.
Namun Ia tidak menyerah. Kerasnya alam mengajarkan untuk tangguh dan ulet. Saat ia mengambil keputusan untuk mulai menanam pohon, ia tahu akan butuh waktu lama dan kesabaran. Dan ia tahu harus melakukan sesuatu untuk mengubahnya. Ia mulai dengan areal seluas 5 hektar di lereng perbukitan Malimada itu.
Pada Senin 6 Juni 2005 Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menganugerahkan penghargaan Kalpataru kepada perempuan tangguh itu yang dinilai telah berjuang menjaga kelestarian lingkungan dan mengelola lingkungan dengan baik. Namanya Katrina Koni Kii. Ia satu-satunya wanita penerima Kalpataru tahun 2005 dalam kategori Perintis Lingkungan. Katrina berhasil mengolah lahan kering, tandus dan berbatu menjadi daerah hijau dengan menanaminya pohon Cemara dan Cendana, di Desa Malimada, Kecamatan Wewewa Utara, Sumba Barat, Nusa Tenggara Timur (NTT).
Perempuan sederhana yang sehari-hari tinggal di sebuah rumah kayu di lereng perbukitan sebuah kampung Pulau Sumba, NTT, datang ke Istana Bogor untuk menerima Penghargaan Kalpataru 2005 atas jasanya kepada kelestarian lingkungan. Katrina Koni Kii, yang berusia 60an tahun, tidak pernah membayangkan bahwa kesenangannya bercocok-tanam akan mengangkatnya setinggi ini.
Dusun Pokapaka, Desa Malimada, Kecamatan Wewewa Utara, Kabupaten Sumba Barat, Nusa Tenggara Timur, didiami sekitar 100 kepala keluarga. Namun kondisi geografis yang berbukit-bukit, menyebabkan jarak satu rumah dengan rumah lainnya agak berjauhan. Udara segar alami yang ditemani semilir angin menyejukkan membuat tak sedikit pun pengunjung menduga, bahwa daerah di sekeliling kampung halaman Katrina itu dulunya adalah perbukitan kapur yang kering gersang. Di bawah telapak kaki, di keteguhan hati dan kejernihan pikiran Katrina ribuan pohon tumbuh di daearah itu, rimbun dan menyegarkan.
Mulai dari Cendana, Kini Jambu Mete
Pohon pertama yang ditanam adalah bibit cendana. Lima bibit pohon cendana itu diperolehnya dari proyek penghijauan nasional pada tahun 1976. Dari induk pohon cendana inilah ia mendapatkan bibit-bibit cendana baru yang kemudian ditanamnya di sekitar rumahnya. Kini pohon elo, mahoni, johar, kemiri, jambu mete, sirih, pisang, nanas dan kelapa, menghijaukan areal perbukitan yang dimilikinya. Katrina memanfaatkan tanah di antara pepohonan ini dengan tanaman ladang seperti ubi, keladi dan jagung.
Keberhasilan Katrina dalam mengelola tanah gersang menjadi lahan subur, telah menginspirasi warga lain di dusunnya untuk merintis ketekunan yang sama pada lahan mereka masing-masing. Ketuk-tular ini dalam waktu lebih dari 20 tahun secara berangsur-angsur bagai menggelar permadani hijau pada permukaan bukit-bukit yang dulunya gundul.
Sebagian besar waktu Mama Koni, demikian panggilan sehari-harinya, dihabiskan untuk berkebun dan menanam bibit pepohonan.
Katrina Koni Kii, kini tak hanya pengayom bagi anak-cucunya. Kecintaannya kepada alam telah menjadikannya pengayom ribuan pohon yang menghijaukan perbukitan cadas di Sumba Barat. Siapa yang menyangka bahwa dari lima bibit pohon itu telah menginspirasi Katrina dan mengubah tanah gersang menjadi tanah hijau yang subur dan memberi kehidupan, tidak saja bagi dia dan keluarganya tetapi bagi desa-desa sekitar.
Jauh di seberang pulau kita bertemu dengan seorang perempuan tangguh lainnya.
Ketika dia berusia enam tahun ia melihat kebakaran hutan pertamanya. Saat itu tahun 2002. Ia lahir dan tumbuh di desa Adat Dayak di Kampuri di Kalimantan, Indonesia. Lingkungan sekitarnya adalah hutan gambut, sebuah lanskap yang sangat mudah terbakar. Gambut merupakan ekosistem alam yang terbentuk dari puing-puing alam yang membusuk. Kawasan gambut di desanya juga dikenal mudah terbakar. Seperti kejadian kebakaran besar yang disaksikan di sekitar rumahnya.
Kakeknya menggali parit di sekitar rumah mereka untuk mencegah api. Sementara ibu dan saudara-saudaranya menggunakan ember kecil mereka untuk membuang air ke api. Di bagian pedesaan Kalimantan Indonesia ini, bantuan sangat jauh. Seringkali tak terjangkau. Mau tidak mau setiap keluarga yang mempunyai lahan harus mengelola kebakaran dengan kemampuan masing-masing. Api di lahan gambut bisa tetap menyala jauh di bawah tanah.
Kalimantan telah menjadi terkenal selama bertahun-tahun sejak musim kebakarannya, yang telah tumbuh lebih lama dan lebih mematikan karena lanskap hutan tropis, yang secara alami menjadi rumah bagi orangutan liar dan burung langka yang indah, semakin banyak ditebangi untuk perkebunan komoditas, yaitu kelapa sawit. Sungai Kahayan, yang mengalir hitam dari kandungan gambutnya melewati desa tempat hidupnya di tepiannya, semakin banyak dan dengan susah payah dikeruk untuk mendapatkan emas.
“Saya masih ingat saya sering pergi ke hutan bersama saudara perempuan dan teman-teman saya untuk mencari buah-buahan atau menangkap ikan dengan tangan. Kami menyebutnya Malutu, ”kenangnya tentang masa mudanya. “Suara hutan sangat hidup. Kami bisa mendengar nyanyian kelahiran, atau nyanyian Uwa-Uwa.” Demikian kata Sumarni Laman, perempuan hebat yang menebarkan kebaikan untuk merawat bumi, seperti yang ditulis oleh Global Lanscape Forum (GLF). Laman adalah salah satu yang dipilih GLF dari 16 perempuan tokoh dunia yang menyelamatkan bumi.
Laman menyaksikan lanskap asalnya kehilangan hutan lebatnya. Inilah yang membuat Laman bertekad dan mengambil langkah untuk menggerakkan komunitas untuk Youth Act Indonesia, sebuah gerakan pemuda Adat Kalimantan untuk mengambil tindakan melawan kebakaran hutan di kawasan itu. Dia memimpin subprogram The Heartland Project, yang meningkatkan kesadaran tentang deforestasi di seluruh nusantara dan menggunakan segala upaya dan pengaruhnya melalui penanaman pohon. Tidak saja di desa tempat tinggalnya tetapi ke seluruh pelosok nusantara Indonesia. Sejak dimulai pada tahun 2019, Proyek itu telah membantu lebih dari 3.500 anak muda menanam lebih dari 8.000 pohon di seluruh pulau Mentawai, Bali, Lombok dan Papua, serta di daerah Kalimantan yang sebelumnya terbakar. Baru-baru ini Laman dipilih sebagai salah satu the Global Landscapes Forum’s Restoration Stewards. Laman sekarang menerima dukungan tehnis, pelatihan, dan pendanaan untuk mendukung pertumbuhan pekerjaan restorasi hutannya.
“Kami memiliki pepatah ini ‘Penyang Hinje Simpei,’” katanya tentang motivasinya untuk pekerjaannya. “Berasal dari bahasa Sangiang, bahasa yang biasa digunakan saat melaksanakan ritual berkomunikasi dengan roh leluhur dan berarti ‘persatuan dan kesatuan’. Menurut saya dalam konteks pemulihan, ungkapan ini mendorong kita semua untuk selalu bekerja dengan bergandengan tangan. Bergandengan tangan untuk melindungi Ibu Pertiwi kita dan berjalan ke arah yang sama.”
Di belahan bumi lainnya peran perempuan dalam merawat dan memperjuangan kebaikan dan keberlanjutan bumi juga tumbuh. Dengan keahlian dan passionnya masing-masing. Termasuk mereka yang berbakat musik. Seperti Erica Armah Bra-Bulu Tandoh dari Ghana.
Setelah tampil bersama Wyclef Jean di New York City, di depan Emmanuel Macron di pesta Bill and Melinda Gates Foundation, dan disorot oleh label Roc Nation Jay-Z untuk merayakan Black History Month, DJ Switch, julukan yang disematkan pada Erica Armah Bra-Bulu Tandoh, pada usia 13, telah berkembang pesat di panggung dunia melalui pembuatan musik yang digerakkan oleh etos daripada yang biasa dilakukan oleh sebagian besar calon pemimpin sepanjang hidupnya.
Dia mulai sebagai penyair yang membacakan sajak-sajak pada usia 9 tahun tetapi dengan cepat belajar menjadi DJ (Disc Jockey musik) atas dorongan orang tuanya untuk memanfaatkan bakat menyanyi dan menari yang mudah ditiru. Keterampilan menari yang meliuk-liuk telah membawanya memenangkan tempat pertamanya dalam kompetisi TV populer di negara asalnya, Ghana. Kemudian penggemarnya menjamur. Baginya itulah sebuah kesempatan untuk mengggunakan musiknya untuk menyampaikan pesan-pesan inspirasi dan perubahan positif.
“Setiap lagu memiliki tarian,” katanya pada acara GLF di Accra pada tahun 2019, yang saya kutip dari laman GLF. “Bayangkan jika lagu tentang menanam pohon menjadi viral dengan tarian tertentu, di mana setiap orang akan bernyanyi dan menari dengan pohon untuk ditanam.”
Erica Armah Bra-Bulu Tandoh menggunakan julukan DJ “DJ Switch” karena dia suka menggunakan musiknya untuk mengubah suasana hati orang menjadi positif. Tetapi dia memiliki ambisi yang jauh melebihi ini. Dia telah mendirikan DJ Switch Foundation untuk mendukung orang-orang yang kurang mampu di Uganda, dan pada akhirnya dia berharap menjadi seorang ginekolog. Dan mungkin itulah alasan kesuksesannya – mimpinya untuk masa depan sama sekali tidak menghalangi keinginannya untuk membuat perubahan di masa sekarang.
“Tidakkah menurutmu kita harus membuat lagu sekarang? Aku punya pohon untuk ditanam. Gali, gali dan tanam,”dia mulai membuat lirik dari panggung di Accra. “Satu pohon tidak bisa membuat hutan, tapi banyak pohon bisa membuatnya. Satu suara, satu lagu untuk memulihkan tanah kita.” “A tree cannot make a forest, but many trees. One voice, one song to restore our land.”
Persoalan Bumi adalah persoalan yang dihadapi semua manusia. Persoalan bersama. Manfaat Bumi yang sehat adalah manfaat bersama untuk kelangsungan hidup bersama kini dan pada masa mendatang yang jauh, yang amat jauh. Tanpa kebersamaan akan makin sulit Bumi diselamatkan. Partisipasi semua orang, semua lapisan masyarakat, semua usia, semua jenis apapun kategori manusia. Termasuk juga semua kalangan profesional. Fotografer misalnya.
“Ada sejumlah kecil gambar sepanjang sejarah yang lebih dari sekadar menunjukkan sesuatu kepada orang-orang untuk mengubah cara mereka melihatnya,” tulis GLF dalam 16 Perempuan Dunia Penyelamat Bumi. Dalam perjalanan ke Kutub Utara Kanada bersama suaminya dan sesama fotografer Paul Nicklen, fotografer National Geographic Cristina Mittermeier membantu menangkap salah satu gambar kerangka beruang kutub, yang tidak dapat menghidupi dirinya sendiri karena menghilangnya es laut. Video beruang itu menjangkau sekitar 2,5 miliar orang yang melihatnya — sekitar sepertiga dari populasi dunia pada saat itu.
Berasal dari Meksiko dan dilatih sebagai ahli biologi kelautan, Mittermeier dianggap sebagai pelopor dalam fotografi konservasi, mempraktikkan foto jurnalistik lingkungan sedemikian rupa sehingga mampu memengaruhi kecerdasan dan mencapai hati. Dia membidik segala sesuatu mulai dari hiu martil jauh di laut hingga anak-anak Kayapo yang berenang di Amazon, dan dari gletser kutub hingga jalur pohon baobab yang berusia berabad-abad – dan dalam prosesnya, dia bertualang ke bagian yang paling sulit dijangkau di planet ini. Hanya sedikit orang yang pernah pergi dan sebagian besar tidak akan berani pergi.
“Bagi saya, seni dan sains sangat sejalan,” katanya seperti dituliskan GLF. “Saya bekerja keras untuk memastikan gambar saya artistik dan indah, dan saya menggunakan pengetahuan ilmiah saya untuk menginformasikan bagaimana gambar tersebut ditampilkan kepada audiens saya.”
Karyanya telah diterbitkan tidak hanya oleh sejumlah surat kabar dan majalah terkemuka di dunia, tetapi juga sebagai cetakan seni rupa dan dikumpulkan bersama dengan tulisan deskriptifnya di buku besar (coffee-table books). Jelas, secara keseluruhan, bahwa cara dia mengoperasikan kamera juga memberikan gambaran sekilas tentang cara dia menjalankan hidupnya sendiri – empati dan keajaiban yang ditunjukkan untuk hewan, pemandangan, dan budaya yang dia foto tercermin dalam nilai-nilai intinya yaitu keingintahuan, rasa syukur, dan ” cukup, ”yang dia definisikan sebagai“ rasa kepuasan yang datang dari dalam dan melalui lingkungan alam kita, bukan melalui hal-hal materi; rasa keterhubungan dengan teman dan keluarga kita, dengan spiritualitas kita, dengan tradisi kita dan dengan budaya kita.”
Pada tahun 2014, Mittermeier dan Nicklen mendirikan SeaLegacy, sebuah organisasi amal untuk konservasi laut. Pendekatan SeaLegacy terhadap tujuannya adalah tunggal: membawa pendongeng visual terbaik dunia ke wilayah samudra yang terpengaruh oleh perubahan iklim, menyebarkan hasil mereka melalui media global dan sosial untuk menjangkau masyarakat umum, serta mendanai dan berkampanye untuk proyek lain yang berusaha mencapai tujuan serupa. Saat ini, ia juga menjabat sebagai presiden Only One Collective, produk teknologi digital yang memperkuat cerita, kampanye, dan solusi yang berada di persimpangan antara kesehatan laut dan keadilan sosial.
“Saya ingin menjadi bagian dari generasi yang menciptakan perubahan paradigma yang sudah lama saya impikan. Di akhir hidup saya, saya ingin tahu bahwa kontribusi saya membantu menggerakkan umat manusia menuju pemahaman yang lebih baik tentang bagaimana hidup dalam batas-batas alam planet kita.”
Mempertimbangkan perkiraan bahwa hanya 5 persen lautan di bumi yang telah dipetakan atau dijelajahi, siapa yang lebih berani, ingin tahu, dan mampu membantu menyelamat-kannya daripada Mittermeier?
Menyelamatkan Bumi tidak ubahnya seperti berperang melawan orang-orang yang justru ingin menghancurkannya. Menghancurkan Bumi bukan karena Buminya tetapi karena ketamakan yang tak pernah mampu dihentikan. Bumi pada dasarnya mampu menampung dan menyediakan segala kebutuhan para penghuninya. Jika, dan hanya jika, penghuni Bumi ini memanfaatkan sumberdaya alam dengan secukupnya. Melawan ketamakan seringkali berarti mempertaruhkan hidup. Inilah yang terjadi di hutan-hutan Amazon, Brasil. Juga di tempat-tempat lainnya.
“Pada 2019, hampir 90 persen kematian pendukung lingkungan di Brasil terjadi di Amazon. Dalam waktu kurang dari setahun, orang-orang saya sendiri, orang-orang Guajajara di sini di Maranhão, kehilangan lima penjaga hutan – semuanya dibunuh.” Ini adalah kata-kata tegas dari pemimpin Pribumi (masyarakat adat) Brasil Sônia Guajajara, yang diucapkan setelah menerima Penghargaan Hak Asasi Manusia Letelier-Moffitt pada tahun 2020 atas nama Asosiasi Masyarakat Adat Brasil (APIB), yang dipimpinnya. APIB, yang dianggap sebagai organisasi payung terbesar yang mewakili suku-suku Pribumi Brasil dan 900.000 penduduknya, menerima penghargaan atas aktivismenya melawan perusahaan yang tamak dan rezim pemerintahan Bolsonaro yang menindas yang menyebabkan kematian ekosistem yang sangat penting di Brasil dan penjaga asli mereka.
“Wilayah adat adalah wilayah yang paling terpelihara, dan tidak dilestarikan karena ada investasi publik,” katanya pada acara GLF pada tahun 2019. “Mereka dilestarikan karena kita melakukannya dengan cara hidup kita sendiri, secara alami. Dan kami membayar mahal untuk itu. Kami membayar dengan nyawa para pemimpin kami. Mereka terus dikriminalisasi, dipenjara dan dibunuh. ”
Sônia sendiri sering menjadi sasaran pelanggaran semacam itu. Pada akhir Januari tahun ini, ketika dia menjadi salah satu perempuan Pribumi pertama yang menerima vaksinasi COVID-19, dia menjadi sasaran langsung media sosial yang secara keliru menggambarkan dirinya dalam kesakitan dalam upaya untuk menghalangi masyarakat adat lainnya menerima vaksin itu sendiri. Dia, sebagai gantinya, meluncurkan kampanye untuk mendesak setiap orang Pribumi untuk menerima vaksin.
Penentangannya tiada henti, tetapi begitu pula tekadnya untuk bangkit di atas mereka dan membawa suara masyarakat adat ke puncak agenda global. Dia secara teratur mengadvokasi hak-hak Pribumi di konvensi PBB, dan pada 2018, menjadi orang Pribumi pertama yang mencalonkan diri untuk kantor eksekutif federal di Brasil ketika dia menjadi pasangan wakil presiden bersama Partido Socialismo e Liberdade, Partai Sosialisme dan Kebebasan Brasil, calon Guilherme Boulos.
Seringkali muncul dengan wajah yang dilukis dengan indah dan dengan hiasan kepala dekoratif yang semarak, Sônia lebih dari sekadar mewakili sebuah lambang, sebuah manifestasi dari banyak budaya, kepercayaan, dan garis keturunan yang dia dukung. Karyanya berasal dari jiwanya, dan jiwanya adalah salah satu pejuang.
“Orang-orang selalu mengubah diri mereka sendiri. Namun dengan setiap kebijakan yang diadopsi oleh pemerintah [Bolsonaro], kami juga menemukan kembali strategi kami untuk bertarung… Perjuangan untuk Ibu Pertiwi adalah induk dari semua pertarungan.” “People have always reinvented themselves. But with every policy adopted by the [Bolsonaro] government, we also reinvent our strategies to fight…The fight for Mother Earth is the mother of all fights.”
Perempuan-perempuan yang dikisahkan di atas adalah teladan abadi yang memberi inspirasi untuk merawat bumi. Betapa penting kita mengambil peran dalam upaya membawa kehidupan menjadi lebih baik. Mengambil langkah-langkah nyata yang berkontribusi pada gerakan penyelamatan bumi. Meskipun dalam keadaan yang amat sulit tidak ada alasan untuk berkelit. Di pelosok bumi dengan fasilitas pendidikan yang amat terbatas pun bisa lahir Laman atau Sônia Guajajara. Pendidikan dengan segala bentuknya tentu amat penting. Terutama pendidikan yang membebaskan manusia. Bukan pendidikan yang justru menjerumuskan manusia pada hidup yang tidak harmoni dengan alam dengan segala isinya.
Soal pendidikan kita ingat teladan tokoh perempuan yang punya peran sangat penting tetapi dilupakan, bahkan mungkin sengaja dihapuskan dari sejarah perjalanan konsep perguruan tinggi/universitas modern di dunia: Fatima Al Fihri.
Darimanakah konsep pertama universitas modern berasal? Bagaimana periode agama abad pertengahan yang lesu di Eropa dibangunkan, melangkah ke zaman baru?
Wanita muda itulah peletak dasar dan penggagas konsep universitas pertama di dunia. Ia pendiri perpustakaan besar Universitas Al Fihri, Universitas Al Karaouine, Universitas di Afrika pada tahun 859 M, menetapkan kurikulum, gelar, diploma, gaun dan jumbai, dan mengirimkan volume besar pertama buku-buku terjemahan, penemuan ilmiah, dan wawasan untuk pendirian universitas awal di Eropa. Buku-buku di Sorbonne, Bologna, Padua dari Tunisia, Maroko, Afrika, berasal dari perpustakaan besar Universitas Al Fihri tersebut.
Ia lahir pada abad kesembilan, pada 841, dan mendirikan kompleks ‘Al-Karaouine’ pada tahun 859. Di antara mata kuliah yang diajarkan di universitasnya adalah studi astronomi yang sangat diperlukan, ilmu Alquran, teologi, hukum, retorika, menulis, logika, aritmatika, geografi, kedokteran, geografi, tata bahasa, sejarah Islam, sejarah umum, kimia, matematika. Fatima al Fihri adalah seorang wanita Muslim yang lahir dari keluarga pedagang, yang menghargai pendidikan wanita.
Teks tentang universitas pertama yang menjadi cikal bakal banyak universitas dunia saat ini baru-baru ini muncul kembali di portal nasional dan regional. Fahira Fejzić-Čengić dalam artikel yang berjudul Fatima Al-Fihri Founder of the First World University dan dimuat pada jurnal Studies in Media and Communication Vol. 8, No. 2; December 2020 mengupas peran kontribusi pribadi, memperluas paradigma tradisional lembaga pendidikan untuk mencakup kegiatan pendirian lembaga pendidikan, universitas pertama di dunia.
Ia melacak sebuah kisah luar biasa tentang setting Universitas pertama, orang dapat mengetahui fakta dasar model pendidikan tinggi, seperti yang kita anggap hari ini, adalah jasa Fatima al Fihri seorang wanita Arab, yang mendirikan Universitas dari Al Karaouine di Fez (Maroko). Guinness World Records dan UNESCO mengakui Universitas ini sebagai institusi tertua yang ada dengan pendidikan berkelanjutan di dunia. Menurut Fejzić-Čengić yang sangat menarik dari catatan sejarah ini adalah fakta bahwa pendiri universitas ini merupakan seorang wanita muda, Fatima, dan bahwa informasi ini hampir tidak diketahui dalam ensiklopedia besar pengetahuan tentang pendidikan, tentang universitas. Juga tampaknya sama sekali tidak dikenal di kurikulum universitas paling top di Eropa saat ini dan di dunia. Padahal Universitas Eropa sebenarnya dibuat berdasarkan pengetahuan, kurikulum, pengalaman mengajar, buku, dan bentuk universitas di Universitas Fatima tersebut.
Dalam studi Fejzić-Čengić disebutkan perpustakaannya menyimpan ratusan tibu koleksi buku dari sumber-sumber pengetahuan saat itu yang mencakup antara lain Roma, dan Yunani. Pusat penelitiannya adalah kota Toledo dengan bagian ‘pengetahuan penerjemahan’ yang sangat kuat. Sementara pada saat itu, pendidikan Eropa sebagian besar terkait dengan studi pengetahuan alkitabiah, di lingkungan gereja dan hanya terkait dengan kebutuhan organisasi gereja. Pengetahuan lain, seperti rasional, eksperimental dan ilmiah pada masa itu, dianggap bid’ah. Oleh karena itu penting bahwa mediasi Arab antara peradaban Yunani dan Roma yang telah hilang, dari periode kuno pada umumnya dan dari apa yang akan berkembang di tanah Eropa di kemudian hari, adalah nilai dan kekayaan yang tak tergantikan.
Terjemahan bahasa Arab secara de facto memunculkan ‘skolastisisme rasional’ di Eropa, humanisme dan kebangkitan yang akan datang, eksperimen, pembedahan, mikroskop dan alfabet ilmiah, yang merupakan lapisan dasar yang sangat diperlukan dari rumah pengetahuan modern. Di sinilah pencarian dan magang paling penting dari Ibnu Sina atau Ibn Rusyd atau bahasa Eropa menyebutnya Avicena dan Averroes yang akan berada di ujung jalan panjang dan penyebaran ilmu pengetahuan di Barat, dianggap sebagai kelanjutan dari Aristoteles dan Plato. Dan Neoplatonisme, pertama di universitas awal Paris, Padua dan Bologna. Cikal bakal universitas di tiga kota ini dan sisanya adalah apa yang disebut ‘sekolah katedral’ dan biara-biara yang dibentuk pada akhir abad ke-12 dan mereka akan menyerap sebagian besar ilmu pengetahuan, penelitian, buku-buku yang dibawa kepada mereka oleh peneliti dan penerjemah Arab. Sejarawan terkenal Philip Hitty dalam ‘History of the Arabs’ berkata: ‘Tidak ada orang di Abad Pertengahan yang berkontribusi sebesar itu bagi kemajuan manusia seperti halnya negara-negara berbahasa Arab dan Arab’.
Pendirian Universitas Pertama
Didorong oleh kebutuhan untuk pendidikan lebih lanjut, pada 859 M, Fatima al-Fihri mendirikan masjid dan Universitas ‘Al-Karaouine’, dinamai sesuai dengan kota asalnya. Bangunan itu panjangnya 30 meter, memiliki halaman dalam, halaman, masjid, perpustakaan yang sangat luas, dan gedung sekolah, dan Fatima mengatur semua detail konstruksi. Selama dua tahun membangun gedung unggulan ini, dalam semangat tradisi Ramadhan, Al-Fihri berpuasa hingga selesainya proyek dan pendirian pusat pendidikan.
Konsep perguruan tinggi seperti yang kita kenal sekarang, adalah hasil karya Fatima Al-Fihri. Institusi Eropa tertua, seperti Universitas Bologna (didirikan pada 1088) dan Universitas Oxford (didirikan sekitar 1096), terinspirasi oleh gagasan pendidikan tinggi Al-Fihri. Universitas Al-Karaouine adalah pelopor dalam pemberian berbagai gelar, mengenakan topi kaku dan seragam akademik, presentasi pertahanan lisan dan banyak praktik terkait pendidikan tinggi lainnya. Kursus agama dan Alquran pertama kali diadakan di universitas. Semacam mekteb khusus. Kemudian, kurikulum diperluas dengan pengenalan tata bahasa Arab, matematika, musik, kedokteran dan astronomi dan segera mulai memberikan gelar kepada lulusan dan senior mereka.
Selama abad pertengahan, universitas dianggap sebagai pusat intelektual yang hebat. Al-Karaouine menjadi pusat spiritual dan pendidikan terkenal yang dikunjungi oleh para intelektual dan cendekiawan dari seluruh dunia. Di aula yang didekorasi dengan mosaik ini, aljabar awal ditemukan. Paus Sylvester II untuk pertama kalinya mempelajari angka Arab dan membawanya ke Eropa. Banyak sarjana telah menyebarkan pengetahuan yang diperoleh di Al-Karaouine ke seluruh dunia Barat, membuka jalan bagi periode Renaisans Eropa.
Pendidikan revolusioner yang memungkinkan banyak orang tidak ingin melewatkan Al-Fihri sendiri, yang juga menjadi murid sekolah dan mengikuti berbagai kelas hingga akhir tahun. Ijazahnya, yang diukir di panel kayu, masih dipajang di Perpustakaan Universitas hingga saat ini. Perpustakaan Universitas adalah salah satu perpustakaan tertua di dunia dan berisi lebih dari 4000 manuskrip yang berbeda. Diantaranya adalah salinan Alquran dari abad kesembilan yang ditulis dalam aksara Kufah pada kulit unta, serta Injil versi Arab dari abad ke-12. Perpustakaan baru-baru ini direnovasi di bawah arahan arsitek Aziza Chaouni.
Penting untuk diingat bahwa sejumlah besar buku terjemahan, penemuan ilmiah Sorbonne awal, serta Bologna dan Padua, didapat melalui Tunisia, Maroko, Afrika, dari perpustakaan besar Universitas Al-Fihri, Universitas ‘Al-Karaouine ‘. Buku-buku ini adalah buku harta karun hidup dari bahasa Latin dan Yunani, kedokteran, astronomi, retorika, kimia dan matematika.
Tepat saat Fez menjadi pusat kebudayaan, pendidikan dan ilmu pengetahuan Fatima Al Fihri akan membangun Universitasnya. Selain Universitas, masjid besar ‘Karaouine’ dibangun di sana, dengan nama yang sama dengan universitas. Masjid ini masih menjadi salah satu yang terbesar di dunia karena kapasitasnya menampung sekitar 10.000 jemaah. Fondasi-vakuf masjid tersebut diduga telah disiapkan dan ditinggal oleh adiknya Mariam. ‘Pada awal abad kesembilan, bersama dengan banyak orang Arab lainnya, selama periode migrasi yang sulit, keluarga Al-Fihri meninggalkan Tunisia dan beremigrasi ke Fez untuk mencari peluang yang lebih baik. Fes dianggap sebagai kota metropolis kosmopolitan yang sibuk pada saat itu. Itu juga disebut “Muslim Barat”, di mana seni dan sains berkembang seiring dengan tradisi religius.
Meskipun tahun-tahun pertama di kota baru itu sulit, ayah Fatima, Muhammad, menjadi pedagang yang sukses dan meninggalkan warisan besar untuk putri-putrinya setelah kematiannya. Memperhatikan semakin berkurangnya ruang di masjid karena kedatangan seorang pengungsi dari Islam Spanyol, Al-Fihri dan saudara perempuannya memutuskan untuk menginvestasikan uang warisan pada sesuatu yang berguna bagi komunitas lokal mereka. Para suster mulai membangun ruang yang dapat menampung semua orang, baik pendatang maupun penduduk setempat. Mariam mengabdikan dirinya untuk pembangunan masjid Andalusia, sementara Fatima Al-Fihri merencanakan sesuatu yang lebih besar.
Setelah Al-Fihri wafat, Universitas terus beroperasi. Masjid tersebut menjadi yang terbesar di Afrika dengan kapasitas menampung 22.000 orang. Universitas Al-Karaouine secara resmi dimasukkan ke dalam sistem universitas pendidikan tinggi di Maroko, baru-baru ini, pada tahun 1963 dan masih kuat hingga saat ini. Pintu Universitas tetap terbuka untuk umum dengan menawarkan pendidikan bagi wanita dan pria dari seluruh penjuru dunia. Salah satu mantan muridnya adalah Fatima al-Kabbaj, yang kemudian menjadi satu-satunya anggota perempuan dari Dewan Tertinggi Pengetahuan Keagamaan Maroko (the Moroccan Supreme Council of Religious Knowledge).
Sustainable Development Goal 4 menetapkan Pendidikan Berkualitas. Pada Target 4.1. dinyatakan pada tahun 2030, memastikan bahwa semua anak perempuan dan laki-laki menyelesaikan pendidikan dasar dan menengah gratis, adil dan berkualitas yang mengarah pada hasil pembelajaran yang relevan dan efektif. Kemudian pada Target 4.4. disebutkan pada tahun 2030, secara substansial meningkatkan jumlah pemuda dan orang dewasa yang memiliki keterampilan yang relevan, termasuk keterampilan teknis dan kejuruan, untuk mendapatkan pekerjaan, pekerjaan yang layak, dan kewirausahaan. Sedangkan Target 4.7. adalah pada tahun 2030, memastikan bahwa semua peserta didik memperoleh pengetahuan dan keterampilan yang dibutuhkan untuk mempromosikan pembangunan berkelanjutan, termasuk antara lain melalui pendidikan untuk pembangunan berkelanjutan dan gaya hidup berkelanjutan, hak asasi manusia, kesetaraan gender, promosi budaya damai dan non-kekerasan, global kewarganegaraan dan apresiasi keanekaragaman budaya dan kontribusi budaya untuk pembangunan berkelanjutan.
Betapa penting sebuah pendidikan untuk semua warga dunia. Ini menjadi tantangan dan komitmen untuk mencapainya pada 2030.
Melalui gagasan, pemikiran dan tindakan Fatima kita mengenal universitas–arena manusia untuk mengembangkan kemanusiaannya, yang sebagian mampu menjadi makhluk-makhluk di bumi yang bermanfaat untuk menjaga, merawat dan melanjutkan kemanfaatannya bagi generasi-generasi berikutnya. Melanjutkan perjalanan manusia di Bumi.
Namun lebih dari pendidikan adalah kesungguhan, keteguhan, kekonsistenan dan ketekunan untuk berjalan pada jalan yang ditempuh dalam kebaikan itu meski pelan dan sulit. Itulah yang ditunjukan sebagai teladan pada perempuan-perempuan tangguh yang dikisahkan di atas.
i https://nasional.tempo.co/read/62088/katrina-koni-kii-wanita-peraih-kalpataru
ii Ini adalah data pada tahun 2005. Hingga tahun 2017 berdasarkan data Statistik jumlah penduduk Mali Mada 1.389 jiwa. Dengan luas daerah 5.65 maka kepadatannya mencapai 246 jiwa/km. Selengkapnya bisa dirujuk pada tautan ini: http://sbdkab.go.id/sbdku/Kecamatan%20Wewewa%20Utara%20Dalam%20Angka%202019%20-%20Kominfo.pdf
iii https://www.langitperempuan.net/katrina-koni-kii-30-tahun-hijaukan-perbukitan-gersang-sumba/
vi https://news.globallandscapesforum.org/collection/sumarni-laman/
v https://news.globallandscapesforum.org/collection/erica-tandoh/
vi https://cristinamittermeier.com
vii https://www.nationalgeographic.com/magazine/article/explore-through-the-lens-starving-polar-bear-photo
viii https://news.globallandscapesforum.org/collection/cristina-mittermeier/
ix https://news.globallandscapesforum.org/collection/sonia-guajajara/
x URL: https://doi.org/10.11114/smc.v8i2.4903