Sustainability 17A #20
Anthropocene: Nasib Planet Bumi
di Bawah Homo Sapiens
Dwi R. Muhtaman,
sustainability learner
Namanya Halimi. Ia duapuluh tahun menjadi penjual ‘tuak aren’ di area sekeliling Kebun Raya Bogor. Setiap hari, kecuali Hari Jumat. Tuak aren dalam bahasa Sunda disebut “Lahang.” Lahang sama sekali tidak memabukkan. Minuman segar yang dihasilkan dari menyadap bunga Aren (Arenga pinnata/aren) menjadi komoditi penopang hidupnya sehari-hari. Kang Halimi memanen sendiri pohon arennya. Keahlian ini–dan juga memasak lahang setelah dipanen– diperoleh dari orang tuanya. Sejak kecil ia sudah ikut orang tua mulai panen hingga jualan. Bahkan kadang berjualan lahang sendiri.
Setiap sore sejak duapuluh tahun yang lalu dia memanen dan langsung memasaknya. Pagi hari baru dikemas untuk dijual. Lahang Kang Halimi diberi gula merah agar manisnya lebih terasa. Kemudian diberi es batu untuk memberi pengalaman kesegaran. Dari rumahnya di Cigombong, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, ia harus naik angkutan kota sejauh dua kilometer untuk mencapai jalan raya. Lalu dilanjutkan dengan naik minibus (Elf) ke Terminal Baranangsiang, Bogor. Dari situ dia mulai mengangkut lahangnya yang disimpan dalam dua potong bambu betung. Bambu yang menyimpan lahang ini jadilah serupa tumbler raksasa Kang Halimi. Rasa manis lahang dan dingin segarnya tidak hilang diterpa panas. Bambu nampaknya menjadi lemari es tradisional yang mujarab untuk menyimpan lahang itu.
Setiap sepotong “tumbler bambu” terisi sekitar 10 liter air lahang, termasuk es. Sepuluh liter ini sekitar 50 gelas. Kang Halimi menyediakan gelas dan kantong plastik jika ada yang ingin membeli dengan take away. Jadi setiap hari dia memanggul 20 liter lahang atau 100 gelas. Setiap gelas harganya fleksibel. Jika pembeli mau beli dua ribu maka dituangkan secukupnya. Ukuran penuh satu gelas dihargai 4-5 ribu, kadang juga seikhlasnya. Lahang Kang Halimi biasanya habis dari jam 7 pagi hingga jam 3-4 sore. Pada saat itulah dia kembali ke rumah di Cigombong. Berkumpul kembali dengan keluarga. Mungkin dengan riang. Mungkin dengan sedikit cemas. Tetapi dia sudah lebih dua dekade berdamai dengan ketidakpastian. Dan ia tetap menjalani kesehariannya dengan apa adanya, secukupnya.
Kang Halimi mungkin tidak menyadari bahwa suatu saat lahang dari pohon arennya tidak lagi mengalirkan lahang yang dia harapkan. Perubahan iklim telah menghapus harapan panen lahang dari pohon aren di pekarangannya. Menghilangkan sumber pendapatan satu-satunya.
Sementara itu pada sebuah Jumat siang yang cerah pada bulan Maret 2019, sekelompok anak sekolah mengalir seperti gelombang air sungai kecil. Mereka berdesak-desakan dengan kegembiraan dan seperti pembangkangan sipil. Membolos dari sekolah. Mengalir ke jalan-jalan utama dan jalan-jalan raya, lalu bertemu dengan kelompok anak sekolah dari segala sudut kota. Bernyanyi dan berbincang ala anak-anak dan remaja. Mengenakan legging macan tutul dan aneka seragam untuk demonstrasi. Aliran anak-anak dan remaja dari jalan-jalan kecil ini membentuk gelombang yang mengalir deras jumlahnya: 100.000 berhimpun di Milan, 40.000 di Paris, 150.000 di Montreal. Mereka membentangkan karton: TIDAK ADA PLANET B! JANGAN HANGUSKAN MASA DEPAN KAMI. RUMAH KAMI TERBAKAR! Aneka pernyataan protes dalam demonstrasi perubahan iklim itu dituliskan. Termasuk the sixth mass extinction: 45% SERANGGA PUNAH KARENA PERUBAHAN IKLIM. 60% HEWAN TELAH HILANG DALAM 50 TAHUN TERAKHIR.
Itulah suasana yang direkam oleh Naomi Klein dalam bukunya “On Fire: The Burning Case for Green New Deal (2019).” Anak-anak sebagai generasi yang akan menerima warisan bumi ini dan Kang Halimi sebagai bagian dari komunitas pinggiran adalah pemilik masa depan. Mereka mempunyai hak atas bumi yang lebih baik. Bagi mereka sendiri dan juga generasi-generasi berikutnya. “The future,” kata Kim Stanley Robinson, penulis novel Amerika yang banyak memperhatikan isu-isu lingkungan, “…isn’t cast into one inevitable course. On the contrary, we could cause the sixth great mass extinction event in Earth’s history, or we could create a prosperous civilization, sustainable over the long haul. Either is possible starting from now.” Masa depan tidak akan bisa diterima begitu saja tanpa pilihan yang tak terhindarkan. Sebaliknya, kita bisa menyebabkan peristiwa kepunahan massal keenam terbesar dalam sejarah Bumi, atau kita bisa menciptakan peradaban yang makmur, berkelanjutan dalam jangka panjang. Pilihan yang manapun, sebetulnya, sangat memungkinkan mulai dari sekarang. Mau memilih masa depan yang seperti apa?
Pada Mei 2019, the United Nations’ Intergovernmental Science-Policy Platform on Biodiversity and Ecosystem Services menerbitkan laporan tentang punahnya satwa liar yang mengejutkan di seluruh dunia. Memperingatkan bahwa satu juta spesies hewan dan tanaman berisiko terancam punah. “Kesehatan ekosistem tempat kita dan semua spesies lain bergantung, memburuk lebih cepat daripada sebelumnya,” kata Ketua Badan PBB itu, Robert Watson. “Kita mengikis fondasi ekonomi, mata pencaharian, ketahanan pangan, kesehatan, dan kualitas hidup di seluruh dunia. Kita telah kehilangan waktu. Kita harus bertindak sekarang.”
Sayangnya, tindakan yang diambil tidak memberi banyak harapan. Emisi terus berlangsung meningkat dan konsentrasi carbon dioxide (CO2) di atmosfer dengan cepat mendekati angka 400 parts per million (ppm) dari era pra-industri yang sebesar 275 ppm. Padahal laporan the UN Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) yang dikutip Klein mengungkapkan implikasi dari menjaga peningkatan pemanasan planet di bawah 1,5 derajat Celcius (2,7°F). Mengingat bencana yang semakin memburuk yang telah kita saksikan dengan pemanasan sekitar 1°C. Ditemukan bahwa menjaga suhu di bawah ambang 1,5 ° C adalah peluang terbaik manusia untuk menghindari penguraian yang benar-benar bencana.
Tetapi melakukan itu akan sangat sulit. Menurut Organisasi Meteorologi Dunia PBB, kita berada di jalur untuk menghangatkan dunia pada 3–5 ° C pada akhir abad ini. Penulis IPCC menemukan mengubah kapal ekonomi kita pada waktunya untuk menjaga pemanasan di bawah 1,5° C akan membutuhkan pemotongan emisi global sekitar setengah, hanya dalam waktu dua belas tahun — itu sebelas tahun ketika buku Naomi Klein (2019) ini diterbikan — dan sampai ke net-zero emisi karbon pada tahun 2050. Tidak hanya di satu negara tetapi di setiap bagian ekonomi utama. “Dan karena karbon dioksida di atmosfer telah secara dramatis melampaui tingkat yang aman, itu juga akan memerlukan banyak penurunan. Baik melalui teknologi penangkapan karbon yang tidak terbukti dan mahal atau cara-cara kuno: dengan menanam miliaran pohon dan carbon-sequestering vegetation, segala tanaman yang mampu menyimpan karbon.”
Mencabut penghapusan polusi berkecepatan tinggi ini, menurut laporan itu, tidak mungkin dilakukan dengan pendekatan teknokratis tunggal seperti pajak karbon, meskipun alat-alat itu harus berperan. Alih-alih, dibutuhkan dengan sengaja dan segera mengubah cara masyarakat kita menghasilkan energi, bagaimana kita menanam bahan untuk makanan kita, bagaimana kita bergerak, dan bagaimana bangunan kita dibangun. Apa yang dibutuhkan, ringkasan laporan itu menyatakan dalam kalimat pertamanya, adalah “perubahan yang cepat, berjangkauan luas dan belum pernah terjadi sebelumnya dalam semua aspek masyarakat.
“Sejak pertemuan-pertemuan antarpemerintahan membahas tindakan mengurangi pemanasan global yang dimulai pada tahun 1988, emisi CO2 global telah meningkat lebih dari 40 persen, dan terus meningkat. Planet ini telah memanas sekitar 1°C sejak peradaban manusia mulai membakar batubara dalam skala industri dan suhu rata-rata berada di jalur menanjak sebanyak empat kali lipat dari jumlah sebelum abad ini bangkit; terakhir kali terdapat sebanyak empat kali lipat karbon dioksida di atmosfer, manusia belum ada,” tulis Klein.
Manusia modern baru hadir di bumi, menurut catatan Gaia Vince (Adventures in the Anthropocene: A Journey to the Heart of the Planet We Made, 2014), sekitar 200.000 tahun yang lalu. Satu hal yang membuat manusia kini bisa bertahan hidup sekian lama, karena satu hal ini: otak. Lalu kita menguasai bumi. Mengubahnya secara dramatis, entah sampai kapan. Kekuasaan manusia inilah, sejak jaman batu, dengan intensitasnya yang berbeda pada setiap jamannya, menaklukkan segala macam kondisi lingkungan. Melakukan domestikasi terhadap binatang-binatang dan tanaman liar. Mengubah cara hidup subsisten menjadi industri.
Empat setengah miliar tahun yang lalu, diluar dari lingkaran kotor debu kosmik tersisa dari penciptaan matahari kita, gumpalan mineral yang berputar menyaatu. Bumi lahir, batu ketiga dari matahari. Segera setelah itu batu besar menabrak planet kita, membelah potongan besar, membentuk bulan dan membuka dunia kita ke poros miring. Pergerakan poros miring itu lalu memberi kita musim dan arus dan bulan membawa gelombang laut. Ini membantu menyediakan kondisi untuk kehidupan, yang pertama kali muncul beberapa miliar tahun yang lalu. Beberapa miliar tahun berikutnya, planet ini berayun masuk dan keluar dari gletser yang ekstrem. Ketika yang terakhir ini berakhir, terjadi ledakan bentuk kehidupan multiseluler yang kompleks.
Sisanya adalah sejarah. Terpahat di kulit planet ini dalam tiga dimensi potret fosil makhluk-makhluk fantastik, seperti dinosaurus berleher panjang dan burung kadal, serangga besar dan ikan-ikan alien. Kemunculan kehidupan di Bumi secara fundamental mengubah fisika planet. Tanaman mempercepat kerusakan batu dengan akarnya yang lambat, membantu mengikis saluran yang menurunkan hujan deras, menciptakan sungai. Fotosintesis mengubah kimia dari atmosfer dan lautan, mengilhami sistem bumi dengan energi kimia, dan mengubah iklim global. Hewan memakan tanaman, memodifikasi lagi kimiawi bumi.
Kehidupan berevolusi sebagai respon kondisi geologis, fisik, dan kimia. Dalam beberapa jutaan tahun terakhir, telah ada kepunahan massal yang dipicu oleh letusan supervolcanic, dampak asteroid dan peristiwa planet besar lainnya yang secara dramatis mengubah iklim. Namun peristiwa-peristiwa besar dalam planet itulah yang justru juga menjadi kondisi yang subur keragaman tumbuhan, hewan, jamur, bakteri, dan kehidupan lainnya. Bumi lebih kaya sekarang daripada di titik waktu mana pun.
Dan kita? Manusia yang secara anatomis modern tidak datang sampai hampir 200.000 tahun yang lalu dan itu pun masih menimbulkan kegalauan apakah kita akan bertahan hidup. Tapi sesuatu telah terjadi yang menjadikan manusia berbeda dari spesies lain dalam biosfer bersama ini. Dan membuat manusia sangat sukses sehingga sekarang menguasai bumi: otak manusia. Kita lebih cerdas dan menggunakan alat lebih baik daripada binatang lain. Dan manusia dapat membuat dan mengendalikan kembali. Sejak dulu manusia menyalakan percikan api pertama, nasib kita sebagai spesies paling kuat terjamin. Memiliki sumber energi eksternal yang dapat kita pindahkan ke mana pun kita memilih berada, memberi kita kuasa atas bentang alam, perlindungan dari hewan lain, memungkinkan kita untuk memasak makanan kita, tetap hangat dan, pada akhirnya, mengambil alih dunia.
Selama ribuan tahun, manusia berbagi planet dengan Neanderthal dan spesies sepupu kita yang lain. Letusan supervolcanic di Toba, Indonesia, waktu lalu hampir memusnahkan kita semua – populasi manusia menyusut menjadi beberapa ribu. Tetapi, bertahun-tahun yang lalu, manusia yang benar-benar modern, tidak dapat dibedakan dari orang yang hidup hari ini dan mengotori gua dan batu dengan tanda-tanda budaya mereka, telah muncul dan bermigrasi keluar dari Afrika. Kita memulai pendakian heroik manusia. Demikianlah Vince menggambarkan kegagahan manusia yang membangun peradaban dan menguasai bumi.
Welcome to the Anthropocene: The Age of Man. Dan manusia telah kehilangan kontrol, tulis
Yuval Noah Harari pada buku “Homo Deus: A Brief History of Tomorrow” (2017).
“Bahkan jika kita mengesampingkan prospek masa depan dan hanya melihat ke belakang pada 70.000 tahun terakhir, terbukti bahwa Anthropocene telah mengubah dunia dengan cara yang belum pernah terjadi sebelumnya. Asteroid, lempeng tektonik, dan perubahan iklim mungkin telah memengaruhi organisme di seluruh dunia, tetapi pengaruhnya berbeda dari satu area ke area lain. Planet ini tidak pernah membentuk satu ekosistem; sebaliknya, ini adalah kumpulan dari banyak ekosistem yang terhubung secara longgar. Ketika gerakan tektonik bergabung antara Amerika Utara dengan Amerika Selatan, hal itu menyebabkan kepunahan sebagian besar marsupial Amerika Selatan, tetapi tidak memiliki efek merugikan pada kanguru Australia. Ketika zaman es terakhir mencapai puncaknya 20.000 tahun lalu, ubur-ubur di Teluk Persia dan ubur-ubur di Teluk Tokyo harus beradaptasi dengan iklim baru. Namun karena tidak ada hubungan antara dua populasi, masing-masing bereaksi dengan cara yang berbeda, berkembang ke arah yang berbeda,” kata Harari lebih lanjut.
“Sebaliknya, Sapiens mendobrak penghalang yang telah memisahkan dunia menjadi zona ekologi independen. Di masa Anthropocene, untuk pertama kalinya planet ini menjadi satu unit ekologi.”
Kita hidup di zaman monumental. Perubahan yang telah dilakukan manusia dalam beberapa dekade terakhir telah sampai pada skala tak tertandingi. Era yang telah mengubah dunia di luar apa pun yang telah dialami dalam sejarahnya selama miliaran tahun. Planet kita melintasi batas geologis. Dan kita manusia adalah pembuat perubahan, the change maker. Perubahan besar dari masa ke masa dalam antropocene ini bahkan dibutuhkan waktu yang makin cepat.
Klaus Schwab. “The Fourth Industrial Revolution.” (2016) meringkas perjalanan peradaban manusia ini pada ujung kini sebagai Revolusi Industri ke-empat. Pergeseran besar dalam cara hidup kita — transisi dari mencari makan ke pertanian — terjadi sekitar 10.000 tahun yang lalu dan dimungkinkan oleh domestikasi hewan. Kombinasi revolusi agraria dengan upaya manusia untuk domestikasi hewan untuk tujuan produksi, transportasi, dan komunikasi. Sedikit demi sedikit, produksi makanan meningkat, memacu pertumbuhan populasi dan memungkinkan pemukiman manusia yang lebih besar. Inilah yang kemudian memicu urbanisasi dan kebangkitan kota. Revolusi agraria diikuti oleh serangkaian revolusi industri yang dimulai pada paruh kedua abad ke-18. Ini menandai transisi dari kekuatan otot ke kekuatan mekanik, berkembang ke tempat saat ini berada dan hidup, dengan revolusi industri keempat, peningkatan daya kognitif meningkatkan produksi manusia.
Revolusi industri pertama merentang dari sekitar 1760 hingga sekitar 1840. Dipicu oleh pembangunan jalur kereta api dan penemuan mesin uap. Mengantarkan pada mekanisasi produksi. Revolusi industri kedua, yang dimulai pada akhir abad ke-19 dan ke awal abad ke-20, memungkinkan produksi massal, didorong oleh munculnya listrik dan jalur perakitan. Revolusi industri ketiga dimulai pada 1960-an. Biasanya disebut revolusi komputer atau digital karena dikatalisasi oleh pengembangan semikonduktor, komputasi mainframe (1960-an), komputasi pribadi (1970-an dan 80-an) dan internet (1990-an).
Revolusi industri keempat ini, menurut Schwab, bakalan menciptakan dunia di mana sistem manufaktur virtual dan fisik secara global saling bekerja sama dengan cara yang fleksibel. Ini memungkinkan kustomisasi mutlak produk dan penciptaan model operasi baru. Namun perlu dicatat pula, revolusi industri keempat bukan hanya tentang mesin dan sistem yang cerdas dan terhubung.
Cakupannya jauh lebih luas. Yang terjadi secara bersamaan adalah gelombang terobosan lebih lanjut di berbagai bidang mulai dari sekuensing gen hingga nanoteknologi, dari energi terbarukan hingga komputasi kuantum. Adalah perpaduan dari teknologi-teknologi ini dan interaksinya di seluruh ranah fisik, digital, dan biologis yang membuat revolusi industri keempat secara fundamental berbeda dari revolusi-revolusi sebelumnya. Dalam revolusi ini, teknologi yang muncul dan inovasi berbasis luas menyebar jauh lebih cepat dan lebih luas daripada yang sebelumnya, yang terus berkembang di beberapa bagian dunia.
Kemajuan Revolusi Industri ke-4 itulah pula yang menegaskan kehadiran Anthropocene.
Ahli geologi menyebut zaman baru ini sebagai Anthropocene, mengakui bahwa umat manusia telah menjadi kekuatan geofisika setara dengan kehancuran bumi pada masa asteroid dan gunung berapi yang menyelubungi planet yang menentukan masa lalu.
Bumi sekarang adalah planet manusia.
Kita memutuskan apakah hutan itu tegak atau gundul, apakah panda bertahan hidup atau punah, apakah harimau Sumatera, gajah dan orangutan itu akan tetap bersama kita, apakah danau-danau akan tetap selalu menuangi genangan, apakah sungai bawah tanah kering atau melimpahkan airnya, bagaimana dan di mana sungai mengalir, bahkan mengubah suhu atmosfer.
Kita sekarang mampu membuat paling banyak hewan ternak besar di Bumi. Dan giliran berikutnya adalah hewan yang telah kita kembangkan melalui pembibitan untuk memberi makan dan melayani kita. Empat per sepuluh dari permukaan tanah planet ini digunakan untuk menumbuhkan makanan kita. Tiga perempat dari air tawar dunia telah kita kendalikan.
Ini adalah waktu yang luar biasa. Jaman yang penuh kehebatan. Di daerah tropis, terumbu karang menghilang, es mencair di kutub, dan lautan kosong melompong dari ikan karena kita. Seluruh pulau lenyap di bawah lautan yang naik, sama seperti tanah telanjang yang baru muncul di Kutub Utara.
Alam, bisa jadi, mempunyai cara sendiri untuk menjaga keseimbangannya. Misalnya dengan Gaia Theory yang menyebutkan bahwa secara alamiah bumi dan atmosfer mempunyai mekanisme sendiri yang mampu menjaga stabilitasnya. Karena itulah, demikian dalam Teori Gaia yang diusung oleh dua ilmuwan NASA ahli atmosfir, James Lovelock dan Dian Hitchcock, atmosfer planet bumi relatif stabil dalam milyaran tahun. Tetapi Teori Gaia ini dibantah dengan hasil temuan-temuan riset terbaru tentang dinamika atmosfir.
“Tekno-humanisme setuju bahwa Homo sapiens yang kita kenal telah menjalankan jalur historisnya dan tidak akan relevan lagi di masa depan. Dan menyimpulkan bahwa kita harus menggunakan teknologi untuk menciptakan Homo deus – model manusia yang jauh lebih unggul. Homo deus akan mempertahankan beberapa fitur esensial manusia, tetapi juga akan menikmati kemampuan fisik dan mental yang ditingkatkan yang akan memungkinkannya mempertahankan dirinya sendiri bahkan melawan algoritma tanpa-sadar yang paling canggih. Karena kecerdasan terlepas dari kesadaran, dan karena kecerdasan tanpa-sadar berkembang dengan kecepatan sangat tinggi, manusia harus secara aktif meningkatkan pikiran mereka jika mereka ingin tetap berada dalam alam semesta,” tegas Harari.
Itukah jejak sejarah baru yang harus dilalui manusia, Homo deus? Mungkin saja. Tetapi kini adalah saatnya untuk mencegah bencana yang nyata. Bencana dalam jangkauan Homo sapiens.
Dalam anthropocene, sekali lagi, manusia adalah kunci. Manusia sebagai khalifah adalah pemimpin yang mempunyai kompetensi untuk menentukan warna bumi tempat kita tinggal. Ketika para pengambil keputusan yang sedikit itu diberi mandat untuk berperan dan gagal maka warga biasalah yang harus bertindak bersama-sama. Nasib 7 milyar manusia tidak bisa diserahkan pada sosok dan kelompok kecil yang gagal memimpin. Gerakan bersama warga dunia, anak-anak, remaja, tua dan muda saatnya bersatu padu. Tidak ada Planet B. Kita harus bertindak sekarang di sini, di Planet Bumi. Dengan cara kuno sekalipun: menanam pohon. Dan cara kuno inilah yang diprakarsai World Economic Forum di Davos Januari 2020: One Trillion Trees Initiative.
Seperti sebuah Hadits Nabi Muhammad Rasulullah: “Jika terjadi hari kiamat sementara di tangan salah seorang dari kalian ada sebuah tunas, maka jika ia mampu sebelum terjadi hari kiamat untuk menanamnya maka tanamlah.” (HR. Bukhari & Ahmad).
Kemanakah kita akan pergi? Bumi macam apakah yang terbayangkan kita wariskan pada generasi-generasi mendatang? Bukankah bumi dan segala isinya kita pinjam dari generasi yang akan, anak dan cucu Halimi? Benarkah?