Industri Kebohongan, Menyesatkan Masa Depan
—Dwi R. Muhtaman—
Bogor, 10122018
#BincangBuku #18
“Too often, we are blasé about the impact lies have on politics and public policy. Politicians lie during campaigns, they lie to get elected, and they lie in office.”
—Ari Rabin-Havt. “Lies, Incorporated: The World of Post-Truth Politics.” (2016).
Pada tahun 1930-an, Pulau Selayar, sebuah pulau kecil di seberang Makassar, dijuluki sebagai pusat ‘emas hijau.’ Pada masa itu Selayar mencapai kejayaannya sebagai produsen kopra, bahan baku minyak kelapa tersohor. Kejayaan serupa dicapai kembali pada tahun 1960-an melewati terpuruknya harga minyak kelapa tahun-tahun antara 1940-hingga menjelang 1960-an. Namun pada tahun 1980-an harga kopra di pasar dunia rontok dan membuat Selayar seperti kota mati. Penduduknya meninggalkan kebun-kebun kelapa dan berbondong-bondong migrasi ke Makassar dan kota-kota lainnya. Selayar mati. Demikian juga jutaan petani kelapa di Minahasa, Riau, Lampung dan sentra-sentra kelapa di penjuru Nusantara. Sepi yang tak terperi.
Apa yang terjadi?
Para petani itu tidak mengerti bahwa jauh dari desa-desa mereka, melintasi samudra dan benua, perang anti-kelapa tengah digencarkan. Negara yang paling getol kampanye anti-kelapa adalah Amerika Serikat, penghasil minyak kedele kelas wahid dunia. Senjata yang digunakan adalah rezim kesehatan untuk menyatakan minyak kelapa berbahaya untuk kesehatan. American Soy Association begitu agresif menyatakan kandungan kolesterol dalam minyak kelapa yang memicu penyakit jantung. Pada tahun 1963, Corn Product Company ikut pula terlibat anti-minyak kelapa. Seolah tidak mau kalah pada tahun 1971 Food and Drug Administration (FDA) yang waktu itu dipimpin ahli hukum yang mewakili kepentingan industri minyak goreng dalam negeri mensponsori pendidikan bahaya minyak kelapa. Bergabung pula Center for Science in the Public Interest (CSPI) dan American Heart Savers Association.
Minyak kelapa dikepung dan diserang dari segala penjuru.
Hingga pada tahun 2003 World Health Organization pun mengeluarkan maklumat hubungan minyak kelapa dan risiko penyakit kardiovaskuler. Sialnya, pemerintah Republik Indonesia tak berkutik menghadapi serbuan mematikan jutaan petani kelapa Indonesia. Tidak ada upaya signifikan untuk memelihara dan mengembalikan kejayaan kebun kelapa. Membiarkan petani kelapa berjuang sendiri mempertahankan yang tersisa. Malah ikut-ikutan mengamini para pemain anti-minyak kelapa. Kisah ini—bersama kisah-kisah lain komoditi yang pernah berjaya di Indonesia—dan kini mati— dituliskan oleh Abhisam DM, Hasriadi Ary dan Miranda Harlan dalam bukunya Membunuh Indonesia: Konspirasi Global Penghancuran Kretek (2011).
Buku itu memang mengangkat isu penghancuran industri rokok kretek di Indonesia. Para penulis meneliti dari sejarah komoditi-komoditi yang pernah jaya: minyak kelapa, gula, garam, jamu. Berdasarkan catatan sejarah kehancuran komoditi penting itu, para penulis menyimpulkan ada kesamaan cara yang digunakan untuk menghadang industri rokok kretek Indonesia—saya kira termasuk juga industri minyak sawit dan produk-produk kayu hutan. Bukan soal dampaknya pada kesehatan tetapi kehancuran kretek Indonesia sebetulnya soal politik ekonomi, menghancurkan industri lokal dan digantikan oleh perusahaan-perusahaan rokok kakap. Perusahaan-perusahaan ini menyokong beragam lembaga dan individual yang punya reputasi pada bidangnya dengan dana tak terbatas untuk melakukan kampanye negatif tanpa henti, sembari menguasai industri rokok itu sendiri.
Pada tahun 2008, David Michaels, Assistant Secretary untuk Environment, Safety, and Health in the Department of Energy (DOE), selama masa Kepresidenan Clinton, dan juga sebagai Chief Safety Officer untuk fasilitas nuklir AS, menulis buku DOUBT IS THEIR PRODUCT: How Industry’s Assault on Science Threatens Your Health (Oxford University Press, 2008). Buku ini mengungkapkan beroperasinya kelompok-kelompok yang disebut ‘‘manufacturing uncertainty’’. Mereka ini menciptakan kontroversi dan selalu menantang temuan-temuan ilmiah dengan memproduksi temuan-temuan lain yang “nampak ilmiah” atau disebut “junk science.” ‘‘Doubt is our product since it is the best means of competing with the ‘body of fact’ that exists in the minds of the general public. It is also the means of establishing a controversy,” demikian disampaikan oleh salah satu dedengkot promotor manufacturing uncertainty dengan lugas, tanpa malu.
Michaels mengungkap bagaimana industri tembakau/rokok terus menerus melawan temuan-temuan ilmiah dampak rokok; bagaimana industri asbestos melawan temuan-temuan ilmiah kesehatan yang mengungkap hubungan asbestos dengan kanker dan masalah pernafasan yang kronis. Junk science itulah yang dipaparkan ke hadapan publik karena industri paham bahwa orang kebanyakan/publik tidak bisa dengan mudah membedakan antara good science dari bad science. Maka diciptakanlah keraguan, ketidakpastian dan kebingungan—sebuah situasi yang membuat sulit dibuat keputusan kebijakan publik. Dengan begitu industri yang menciptakan kontroversi bisa menunda diterbitkannya regulasi atau kebijakan publik tanpa dicap sebagai anti-environmental atau anti-kesehatan dan anti-anti lainnya dengan cara manufacturing uncertainty. “Industry has learned that debating the science is much easier and more effective than debating the policy.” Maka setiap ada temuan ilmiah dari manapun sepanjang bertentangan dengan misi industri yang menyokongnya akan direspon dengan membuat penelitian serupa dengan hasil yang berbeda. Menciptakan kontroversi. Memproduksi ketidakpastian.
Hasil pemaparan Michaels dalam buku itu rupanya bukan satu-satunya. Sebab Naomi Oreskes dan Erik M. Conway juga kemudian menerbitkan buku pada 2010: Merchants of Doubt: How a Handfull of Scientists Obscured the Truth on Issues from Tobacco Smoke to Global Warming (Bloomsbury Press, 2010). Serupa dengan Doubt Is Their Product, Naomi juga mengungkap praktek-praktek busuk “bad science” yang dilakukan kalangan ‘ilmiah’ dan ‘ilmuwan,’ think tank, pusat-pusat kebijakan dan pusat-pusat studi. Mereka dibayar untuk mempromosikan keinginan kalangan industri yang bisnisnya akan terancam dengan hasil-hasil penelitian yang sebenarnya. Naomi membuka perbincangan bukunya dengan kisah Ben Santer—ilmuwan jenius yang mendukung adanya global warming. Santer tak bergeming. Namun temuannya dihajar kalangan yang berpotensi rugi karena kebijakan penanggulangan global warming. Ilmuwan bisa terjerembab dalam kubangan penghianatan atas kebenaran karena temuan-temuan ilmiahnya dimanipulasi untuk memenuhi nafsu kekuasaan atau industri.
Karena itu dengan mengutip sebuah buku populer yang ditulis oleh penulis sains New York Times William Broad dan Nicholas Wade, Betrayers of the Truth (Pengkhianat Kebenaran, 1983), Naomi mencatat bahwa kegagalan kejujuran dan objektivitas dalam sejarah sains menegaskan bahwa sains memiliki sedikit kemiripan dengan potret konvensionalnya. Sebaliknya, para ilmuwan dipandu oleh faktor-faktor non-rasional seperti retorika, propaganda, dan prasangka pribadi. Selain itu, selama dua generasi, para ilmuwan telah ditekan untuk mengambil tanggung jawab atas pekerjaan mereka, warisan yang memiliki “dosa yang dikenal” dalam Proyek Manhattan. Para ilmuwan bermotif politik ini, telah mencapai kekuasaan dalam masalah sains dan kebijakan publik. Dan sebagian dari mereka terlibat dalam proyek-proyek manufacturing uncertainty.
Semua lembaga-lembaga, individual atau jaringan yang menentang temuan-temuan ilmiah, baik itu isu komoditi, isu lingkungan, kesehatan, jaminan sosial atau isu politik bisa dilacak hingga kepada sumber yang memberi dukungan finansial. Kadang tidak mudah. Jalinannya tidak jarang juga melibatkan lembaga-lembaga yang terlihat kredibel, punya reputasi. Tetapi pada akhirnya terlihat ada hubungan antara isu kontroversial dengan kepentingan industri yang relevan.
Nah, Ari Rabin-Havt dengan bukunya “Lies, Incorporated: The World of Post-Truth Politics.” (2016) makin menegaskan lagi keberadaan sebuah industri yang memproduksi kebohongan untuk bisa bertahan hidup dan berlanjut, bahkan mungkin akan berkembang makin besar. Karena dunia kita kini adalah dunia simulakra, dunia simulasi belaka. Realitas yang ditampilkan tampak benar dan objektif, tetapi sebuah kebenaran dan objektivitas yang dikonstruksi sesuai selera para aktor yang berkepentingan. Di belakang media, politikus dan ilmuwan tidak jarang bertahta rezim-rezim penguasa dan pemilik modal besar yang mengendalikan realitas yang direproduksi ke khalayak itu untuk menciptakan dunia yang seolah sebenarnya tetapi sudah terekayasa. Dan sebagian dari kita dengan sukacita mengunyahnya dan menggunakannya untuk apapun yang kita suka.
Seperti dua buku terdahulu, Rabin-Havt juga mengungkap permainan busuk industri rokok. Lies, Incorporated lahir dari gonjang ganjingnya industri rokok di Amerika Serikat. Kemudian Lies, Incorporated berlanjut dengan isu climate change dan beragam isu publik lainnya. Aktor yang sama. Isu yang berbeda. “Richard Berman is a liar,” adalah kalimat pertama yang ditulis dalam pengantarnya. Richard Berman adalah salah satu tokoh penting dalam industri kebohongan di Amerika.
Dia bekerja dengan cara yang sangat efektif: mengaburkan batas antara operasi politik, lobby perusahaan, dan menggarap dunia think tank, dan menebarkan kebingungan atas nama kliennya. Richard Berman menjaga rapat rahasia kliennya. Tujuan-tujuannya disembunyikan dengan baik. Dia memiliki kelompok-kelompok garis depan yang berlapis-lapis pada kelompok-kelompok garis depan yang berlapis-lapis, berlapis-lapis, berlapis-lapis — banyak, jika tidak semua, berbagi ruang kantor yang sama. Berman mengepalai organisasi-organisasi yang lebih besar, yang kemudian mengembangkan proyek-proyek yang lebih kecil, yang kemudian menciptakan lebih banyak proyek kecil. Satu-satunya cara untuk benar-benar memahami siapa yang memimpin dan mendanai organisasi-organisasi ini adalah menyaring ratusan halaman arsip IRS (Kantor Pajak Amerika Serikat), dan bahkan kemudian informasinya sangat kabur.
Untuk melaksanakan misi kebohongannya dia mendirikan 31 organisasi. Dari organisasi bisnis, non-profit, think tank, lembaga studi riset, lembaga kebijakan publik dan seterusnya.
Tindakan untuk menghentikan pemanasan planet berarti mengurangi penggunaan bahan bakar karbon baik melalui pemotongan konsumsi, terutama dicapai melalui peningkatan efisiensi, atau dengan mengalihkan sumber energi kita dari bahan bakar berbasis karbon — atau kemungkinan keduanya. Jalur yang manapun, ini mengancam perusahaan minyak dan batubara yang mengekstrak triliunan dolar dalam cadangan energi dari bawah permukaan Bumi. Dengan begitu banyak uang yang dipertaruhkan. Maka tidak mengherankan jika industri itu berusaha mencegah apa yang dilihatnya sebagai serangan terhadap kelayakan finansialnya. Sementara di dekade-dekade sebelumnya, aktivis lingkungan memenangkan kemenangan besar terkait polusi dan perlindungan terhadap satwa liar, mengatasi perubahan iklim akan membutuhkan perubahan besar cara kita memproduksi dan menggunakan energi, aspek ekonomi yang paling mendasar.
Kampanye Lies, Incorporated untuk menolak perubahan iklim sangat canggih dan berlapis-lapis. Beberapa pihak yang terlibat berfungsi sebagai penyebar ilmu pengetahuan palsu (false science), yang lain sebagai juru bicara media, yang lain lagi mengoperasikan organisasi akar rumput yang dirancang untuk menyebarkan informasi yang salah dan menggusarkan basis konservatif atau rezim yang berkuasa. Upaya gabungan mereka itu membentuk salah satu upaya terbesar untuk penipuan massal dalam sejarah manusia.
Penjelasan paling sederhana untuk aliansi ideologis ini adalah uang. Kantong-kantong industri bahan bakar fosil mengakar dalam. “Exxon sendiri telah menyumbang puluhan juta dolar untuk lusinan organisasi konservatif yang kerjanya mengelabui. Mengaburkan publik dari kebenaran tentang pemanasan global. Pendanaan ini sebagian terputus pada tahun 2008, ketika sekelompok pemegang saham yang dipimpin oleh anggota keluarga Rockefeller, pendiri Standard Oil, keberatan dengan pengeluaran perusahaan yang membantu menciptakan budaya penolakan seputar pemanasan global. Akibatnya, perusahaan berhenti mendanai Heartland Institute dan sejumlah lembaga sayap kanan tetapi terus bertindak sebagai ATM untuk sejumlah organisasi yang menolak pemanasan planet ini (h. 79).
Tentu saja Lies, Incorporated beroperasi untuk segala macam isu, mulai soal rokok, global warming, kesehatan (h. 99), masalah utang negara (h. 119), reformasi imigrasi (h. 143), soal senjata (h. 168), isu berkaitan dengan kartu identitas untuk voting (One Lie, One Vote: Voter I.D. Laws, h. 194)—One Lie, One Vote ini nampaknya mirip-mirip dengan apa yang tengah rusuh di Indonesia berkaitan dengan KTP, mulai dari ditemukannya ribuan KTP, adanya KTP ganda, Form KTP yang dijual bebas hingga adanya jutaan daftar pemilih siluman; dan soal kebijakan aborsi dan perkawinan sesama jenis. Semua isu Lies, Incorporated ini ditulis dalam 385 halaman dan dibagi dalam 10 Bab.
Rabin-Havt mengingatkan bahwa “The impact of lies on our political process is unquestionable, and the damage they cause is shocking.” Dalam konteks Indonesia tentu tidak jauh berbeda. Beragam kebohongan mengalir dengan mudah setiap saat. Kita mengenalnya sebagai hoax. Saking banyaknya berita hoax atau yang di-hoax-kan membuat sulit membedakan mana yang hoax dan mana yang benar tetapi di-hoax-kan sebagai upaya sengaja mengelabui dan menyembunyikan kebenaran.
Manipulasi proses kebijakan publik bersamaan dengan kontribusi politik dan kampanye lobby yang agresif dengan dukungan akar rumput (nyata dan diciptakan) dan, seperti yang dipaparkan Rabin-Havt, penemuan dan penyebaran kebohongan dilakukan. Kekuatan-kekuatan semacam ini memicu iklim politik di mana mayoritas rakyat Amerika (dan juga kita jika meletakkan skenario ini dalam lanskap Indonesia) merasa bahwa pemerintah tidak melayani kepentingan mereka.
Lantas bgaimana menghadapi dan menumpas Lies, Incorporated? Ari Rabin-Havt menguraikan beberapa kiatnya.
Naomi Oreskes mengamati bahwa kampanye mis-informasi mengenai tembakau dan industri bahan bakar fosil telah begitu berhasil sebagian karena Anda punya uang dan ideologi bersekutu. Persekutuan kekuatan uang dari sisi industri dan keyakinan otentik, ideologi yang dibawa oleh orang-orang ini yang memberikan kekuatan luar biasa ini. Hal yang sama berlaku untuk Lies, Incorporated. Penyedia mis-informasi memiliki manfaat yang melekat. Kebohongan secara sosial lengket, dan bahkan setelah seseorang benar-benar dibongkar, ia akan tetap memiliki pendukung di antara mereka yang pandangan dunianya membenarkannya. Kebohongan zombie ini terus bangkit berulang-ulang dari kematian, berdampak pada debat politik dan mengubah bandul opini publik tentang berbagai isu (h. 281).
Mis-Informasi (informasi yang salah) merusak bagi mereka yang membaca dan menyerapnya. Suatu kebohongan — betapapun keterlaluan — adalah bagian dari kesadaran kelompok tertentu, hampir tidak mungkin dihilangkan, dan seperti virus, ia menyebar tak terkendali dalam masyarakat yang terkena dampak. Richard Berman menjelaskan kepada eksekutif energi bahwa begitu Anda “memantapkan suatu posisi,” dalam pikiran seseorang, terlepas dari kebenarannya, Anda telah mencapai sesuatu yang tidak dapat diatasi pihak lain karena sangat sulit untuk mematahkan pengetahuan umum. Pengetahuan umum itu diulang-ulang di radio, televisi, di media cetak, media sosial. Dengan setiap sitasi baru, kebohongan menjadi lebih mengakar. Lebih jauh lagi, keyakinan pada kebohongan tidak menunjukkan kurangnya kecerdasan atau ketidaktahuan. Semakin cerdas dan banyak membaca Anda, semakin besar kemungkinan Anda untuk percaya dan mengulangi kepalsuan.
Sebagaimana sebuah pepatah sesuatu yang salah jika dipaparkan berulang-ulang bisa dipersepsikan menjadi kebenaran.
Barangkali dengan tidak banyak berharap, Rabin-Havt menuliskan bahwa tidak ada penanggulangan sederhana untuk strategi Lies, Incorporated. Tidak ada undang-undang yang dapat diloloskan yang akan menghentikan praktik tersebut. Namun di Indonesia kita mengenal UU ITE yang bisa menjerat pembohongan publik (meski kadang dikritik, bisa juga dipakai untuk menjerat lawan-lawan politik).
Yang menarik Rabin-Havt menyarankan langkah pertama adalah menuntut transparansi dari para elected leaders dan media. Misalnya televisi mewajibkan narasumbernya untuk memaparkan hubungan-hubungan finansial atau hubungan lainnya dengan isu yang akan ditanyakan saat mereka berbicara. Sehingga pemirsa dapat menilai pendapat narasumber itu dalam konteks penuh, obyektif apa subyektif.
Politik post-truth tumbuh subur karena dapat beroperasi dalam bayang-bayang, ditutupi oleh pusat kekuasaan yang sopan yang menyiratkan bahwa orang akan mengambil posisi (mendukung) pada isu-isu kebijakan hanya karena mereka dibayar. Atau orang sengaja mendistorsi kebenaran untuk kepentingan ideologis mereka.
Lanskap post-truth dipicu oleh struktur media yang bercabang-cabang, yang memungkinkan miss informasi menyebar dengan cepat di ruang echo ideologis. Karena tidak mungkin bagi individu untuk melacak sumber utama untuk setiap bagian informasi yang mereka konsumsi, kita selalu bergantung pada agregator untuk melaporkan berita tersebut dari media kepada kami (h. 289). Sialnya jika media bersekutu dengan penguasa sehingga hak publik atas informasi yang seimbang dan benar telah dibajak atau diblokade atau framing untuk kepentingan politik pemilik media, kelompoknya dan rezim penguasa, maka informasi bawah tanahlah yang akan tumbuh subur.
Pada hari-hari yang penuh dengan oksigen politik seperti saat ini di Indonesia, kita dipaksa untuk menghirupnya. Kita dihadapkan pada sensitivitas yang mestinya tidak perlu. Politik adalah cara kita bersepakat untuk terlibat dalam menentukan siapa yang berkuasa mengelola negara dengan segala kekayaannya. Dan kekuasaan adalah cara kita terlibat menentukan masa depan bersama. Politik adalah cara kita untuk menentukan kemana arah jalan yang akan kita tuju bersama dan bagaimana mencapainya dengan sumberdaya yang kita miliki bersama.
Tidak ada tempat bagi mereka yang menipu dan berbohong. Mereka menyesatkan masa depan.