halaman drm #28
Hind, Disney dan Sherina–dan suara-suara yang tak didengar–
Dwi R. Muhtaman
“All of us who have been to war
hate war most of all because of
what it does to children.””
– Chris Hedges,
A Genocide Foretold, 2025
“Hind seharusnya sedang belajar mengeja,
bukan menjadi nama di nisan.”
– Motaz Azaiza, Jurnalis Gaza
Daftar Isi
“Tolong! Aku takut… Ada darah di mana-mana. Mama tidak menjawab lagi…”
Suara gemetar itu bergema melalui telepon ke petugas ambulans Palestina di malam yang gelap. Di luar, dentuman roket Israel menghancurkan Gaza City. Di dalam mobil yang hancur, bocah berambut ikal itu terjepit di antara jenazah keluarganya – ayah, ibu, tiga saudara, dan bibinya – yang baru saja syahid oleh serangan itu.1
Ia hanyalah seorang anak. Pada 2024 usianya baru menginjak lima tahun. Ia baru saja merayakan ulang tahunnya dengan tawa dan keceriaan anak-anak. Dirayakan pada 9 Januari 2024. Tanpa lilin, tanpa balon. Hanya kue dadakan dari roti tawar yang ditumpuk ibunya, dihiasi selai kurma. Ayahnya menyanyikan lagu “Mawtini” (Tanah Airku), sementara adik lelakinya, Yusuf (4 tahun), menari-nari di antara suara drone yang bergemuruh di kejauhan.
Rambutnya ikal, suka memakai pita merah di kepangannya. Senyum dan tawanya selalu membuat bahagia keluarga. Tas sekolah ungu kesayangannya tak pernah jauh darinya. Tas itu hancur bersama tubuh kecilnya di bawah reruntuhan mobil keluarga mereka. Ditembak tentara Israel di Gaza. “Dia selalu menggambar bunga di buku catatannya, meski hidupnya dikelilingi reruntuhan,” kenang tetangganya, Ummu Ahmad. Foto-foto candid menunjukkan Hind mengenakan dress merah kesayangannya – warna yang sama dengan darah yang kemudian menggenangi mobilnya.2
Anak kecil itu sangat suka buku favoritnya: “The Little Moon“—cerita anak Palestina tentang bulan yang tak bisa tidur karena suara bom. Ibunya membacakannya setiap malam, sampai suatu hari suara bom itu nyata, dan bulan pun tak terlihat lagi di langit Gaza yang dipenuhi asap roket.
Ia bersekolah di UNRWA Elementary School B, Gaza City—sebuah bangunan sederhana dengan dinding penuh lukisan bunga dan bendera Palestina. Gurunya, Iman al-Haddad, mengenangnya sebagai “anak yang selalu duduk di barisan depan, jarinya tak pernah lepas dari buku.”
Setiap pagi pukul 6 ia setia menyambut matahari. Sarapan falafel sisa kemarin. Lalu jalan 3 km ke sekolah melewati reruntuhan, sambil memegang erat tangan adiknya. Usai sekolah ia tak lupa bermain. Main petak umpet di antara tumpukan puing—”tempat teraman” karena tank Israel tak bisa merangsek ke situ. Tiap malam sebelum nyenyak tidur Ia menghitung bintang yang sering tertutup asap mesiu.
Hind Rajab, nama yang disematkan orang tuanya dengan mimpi yang besar, tidur di kamar tanpa atap.
Pembantaian Hind Rajab: Sebuah Peringatan
Hari itu, seperti hari-hari lainnya, tidak ada yang istimewa. Deru mesin-mesin pembunuh, suara bom, dengung drone dan bising pesawat tempur adalah benda-benda yang biasa bertebaran. Satu-satunya yang berbeda adalah pada 29 Januari 2024 merupakan hari yang paling kelam ini pada keluarga Gaza.
Pada hari naas itu, Hind bersama empat sepupu, bibi, dan pamannya berusaha mengungsi dari lingkungan Tel al-Hawa, Kota Gaza, saat pasukan Israel menyerbu. Mereka menghindar dari serangan tentara ganas Israel. Saat mereka mencoba melarikan diri dengan mobil Kia Picanto, sebuah unit IOF mulai menembaki kendaraan mereka.
Layan Hamada (15 tahun), sepupu Hind, menelepon Palang Merah Palestina (PRCS) dengan panik:
“Mereka menembak kami! Tank semakin dekat! Semua di mobil sudah tewas — hanya aku dan Hind yang masih hidup!”
Beberapa detik kemudian, tembakan terdengar lagi, dan teriakan Layan tiba-tiba terputus.
Hind kini sendirian, terluka parah, terjebak di antara mayat keluarganya. PRCS tetap berkomunikasi dengannya sambil berusaha mendapatkan izin IOF untuk mengirim paramedis — tetapi izin itu tak pernah datang.3
Mobil kecil dengan para penumpang sipil yang ringkih itu diberondong dengan 335 peluru ditembakkan. Tank IOF hanya berjarak 13-23 meter — mustahil tidak melihat anak-anak di dalamnya. Mereka adalah orang-orang biasa tanpa senjata. Dalam 6 detik saja, 64 tembakan dilepaskan ke arah Layan saat ia masih berada di telepon dengan PRCS.4
“Hind seharusnya masih bermain boneka, bukan menjadi martir.”
— Hind Rajab Foundation
Mobil mereka ditembak. Selama 12 jam, ia menelepon Palang Merah, berteriak: “Tolong, aku takut! Aku tidak mau mati!”
Tapi bantuan tak pernah datang. Ketika jenazahnya ditemukan, tangannya masih menggenggam boneka kelinci hadiah ulang tahun dari ayahnya.5
Hind (menangis):
“Tolong selamatkan aku! Aku takut… Aku sendirian di sini. Mama, Papa, dan adik-adikku tidak bergerak lagi… Aku ingin pulang!”
Operator Ambulans:
“Kami datang nak, tetap di dalam mobil dan jangan keluar! Kamu aman di sana!”
Hind (suara gemetar):
“Tapi aku lapar… dan darah ada di mana-mana. Tolong cepatlah… Aku janji akan jadi anak baik…”
(Beberapa menit kemudian, suara tembakan terdengar. Komunikasi terputus. Tim ambulans yang datang menyusul juga syahid dalam serangan yang sama).6
Investigasi oleh Forensic Architecture kemudian mengungkap bahwa total 335 peluru ditembakkan ke mobil tersebut. Operator tank memiliki pandangan jelas terhadap kedua anak di dalam kendaraan. Temuan ini juga menyatakan bahwa tank IOF berada hanya 13 hingga 23 meter dari mobil keluarga Hind.
Hind Rajab dibunuh bersama keluarganya dalam aksi kekerasan genosida oleh Pasukan Penyerangan Israel (IOF, Israel Offensive Forces).7 Hind sempat selamat dari serangan awal. Tetapi terjebak di antara reruntuhan mobil, dikelilingi mayat anggota keluarganya. Tangisannya memohon pertolongan, yang terekam dalam panggilan darurat. Disiarkan ke seluruh dunia. Kebrutalan serangan yang terencana ini mengguncang hati global. Memperlihatkan target sistematis Israel terhadap warga sipil Gaza.
Hind bukan sekadar korban — dia adalah simbol perlawanan, nyawa yang menuntut keadilan. Meski gencatan senjata akhirnya tercapai–dan kemudian dihentikan dan dilanggar sepihak oleh Israel. Para pelaku pembunuhannya belum diadili. Melalui Hind Rajab Foundation (HRF), mereka berupaya memutus siklus impunitas Israel dan mengejar pertanggungjawaban atas kejahatan perang yang dilakukan terhadap rakyat Palestina.
Mahmudul Hasan, seorang jurnalis Palestina dan aktivis HAM menulis buku Hind Rajab’s Last Cry: The Girl Who Spoke to the World, Hind Rajab and the Silence of the World. Buku ini merekam tragedi Hind Rajab, seorang anak perempuan Palestina berusia 6 tahun yang menjadi simbol penderitaan warga sipil Gaza di bawah serangan Israel. Buku yang menggabungkan laporan jurnalistik, analisis politik, dan kesaksian keluarga untuk mengekspos kekejaman perang sekaligus mengkritik sikap diam komunitas internasional menjadi saksi sejarah betapa dahsyatnya akibat perang terhadap anak-anak, seperti ditulis Chris Hedges, All of us who have been to war hate war most of all because of what it does to children.” Hind dan bungkamnya dunia adalah apa yang ditunjukkan di Palestina, bukan hanya tentang kematian, tapi tentang keheningan yang membunuh.” — tulis Noam Chomsky dalam pengantar buku Hind Rajab’s Last Cry.
Nebal Farsakh, juru bicara Palang Merah Palestina (PRCS), mengatakan: “Kami diliputi kepanikan dan ketakutan selama 12 hari terakhir. Kami tidak bisa mengirim siapa pun ke lokasi itu, sehingga kami tidak tahu apa yang terjadi pada mereka. Kami terus bertanya-tanya — apakah mereka masih hidup atau sudah meninggal?” “Hari ini, keluarga Hind tiba di lokasi setelah militer Israel menarik diri dari daerah tersebut. Mereka menemukan Hind di dalam mobil, terbaring di samping mayat keluarganya.” 8
Di halaman terakhir, foto terakhir Hind ditemukan di ponsel ibunya yang hancur:
“Aku mau jadi dokter,” tulisnya di buku gambar sehari sebelum syahid. Kini, grafiti wajahnya menghiasi tembok-tembok Gaza dengan tagar #HindRajab – simbol abadi dari “Seorang anak yang membuat dunia mendengar, tapi memilih untuk tuli.” 9
Hind adalah salah satu drama pedih anak-anak Gaza. Ribuan lainnya mempunyai kisah yang juga tak terkirakan.
Lebih dari 15.000 anak-anak Gaza dibunuh oleh invasi militer Israel hingga Mei 2024 sejak Oktober 2023.10 Rata-rata 10 anak meninggal per jam di bulan-bulan pertama perang (UNICEF, November 2023).
Pada 27 Mei 2025 pernyataan dari UNICEF membuat airmata deras mengalir ke ulu hati bagi manusia yang sehat dan normal. Tetapi tidak bagi kaum penjajah yang melakukan pembunuhan dan genosida. Beserta mereka yang mendukung penghancuran masyarakat asli Palestina. “Dalam rentang 72 jam akhir pekan ini,” tulis pernyataan itu, “gambar dari dua serangan mengerikan kembali menjadi bukti betapa tak berperikemanusiannya perang ini terhadap anak-anak di Jalur Gaza.11
“Pada Jumat (25 Mei), kita menyaksikan video mayat anak-anak dari keluarga al-Najjar yang hangus terbakar dan terkoyak, digali dari reruntuhan rumah mereka di Khan Younis. Dari 10 bersaudara di bawah usia 12 tahun, hanya satu yang dilaporkan selamat—dengan luka kritis.
Senin dini hari (27 Mei), kita melihat gambar seorang balita terjebak di sekolah yang terbakar di Kota Gaza. Serangan itu, yang terjadi menjelang subuh, dilaporkan menewaskan setidaknya 31 orang, termasuk 18 anak-anak.
Mereka—nyawa yang seharusnya tak pernah direduksi menjadi angka—kini masuk dalam daftar panjang kengerian yang tak terbayangkan: pelanggaran berat terhadap anak-anak, blokade bantuan kemanusiaan, kelaparan, pengungsian paksa tanpa henti, serta penghancuran rumah sakit, sistem air, sekolah, dan rumah. Pada dasarnya, penghancuran kehidupan itu sendiri di Gaza. Sebuah genosida yang telanjang, terang benderang, live-streaming dari genggaman milyaran orang di bumi.
Menurut UNICEF sejak gencatan senjata berakhir pada 18 Maret, 1.309 anak dilaporkan tewas dan 3.738 lainnya luka-luka. Secara total, lebih dari 50.000 anak telah menjadi korban tewas atau terluka sejak Oktober 2023. Berapa lagi nyawa anak-anak yang harus melayang? Seberapa mengerikannya lagi livestream kekejaman ini sebelum komunitas internasional benar-benar bertindak, menggunakan pengaruhnya, dan mengambil langkah tegas untuk menghentikan pembantaian keji ini? Banyak anak masih terkubur di reruntuhan, sehingga angka sebenarnya mungkin lebih tinggi.
“Ini bukan lagi konflik, tapi pembantaian anak-anak.” — UNRWA Commissioner (2024).
UNICEF sekali lagi mendesak semua pihak untuk: mengakhiri kekerasan, melindungi warga sipil—termasuk anak-anak, menghormati hukum humaniter dan ham internasional, memungkinkan distribusi bantuan kemanusiaan segera, serta membebaskan semua sandera.
Anak-anak Gaza butuh perlindungan. Mereka butuh makanan, air, dan obat-obatan. Mereka butuh gencatan senjata. Tapi lebih dari segalanya, mereka butuh aksi kolektif sekarang juga untuk menghentikan ini—sekali dan untuk selamanya.
Save The Children (LSM Internasional) menyebut “Gaza adalah zona pembunuhan anak terbesar di dunia” (pernyataan resmi, Desember 2023). 10.000+ anak tewas dalam 100 hari pertama (Januari 2024).12
Tetapi penjajah Israel dan kaum pendukungnya–yang juga penjajah dengan pembunuhan jutaan masyarakat adat di seluruh dunia– nampaknya tak mengenal lelah untuk terus menerus melakukan pambantaian dan kerusakan di muka bumi Palestina yang dirampasnya, dan didudukinya.
Wilayah Palestina yang diduduki tengah terperangkap dalam krisis kemanusiaan dan politik yang berkepanjangan, sebuah tragedi yang terus berlarut-larut di bawah bayang-bayang pendudukan militer Israel selama puluhan tahun. Situasi ini diperparah oleh pelanggaran terus-menerus terhadap hukum humaniter internasional dan hak asasi manusia, ditambah dengan perpecahan internal di tubuh masyarakat Palestina sendiri. Di Jalur Gaza, blokade Israel yang berlangsung sejak 2007 dengan berbagai tingkat intensitas telah menciptakan lingkaran penderitaan tanpa ujung, diperburuk oleh siklus kekerasan yang terus berulang antara pasukan Israel dan kelompok bersenjata Palestina.
Eskalasi kekerasan terbaru yang dimulai Oktober 2023 telah melampaui semua batas kemanusiaan, meninggalkan jejak kehancuran yang belum pernah terjadi sebelumnya. Puluhan ribu nyawa melayang, ratusan orang diculik sebagai sandera, sementara mayoritas warga Palestina terusir dari rumah mereka sendiri berulang kali. Gaza berubah menjadi neraka di bumi – tempat di mana kebutuhan paling dasar manusia seperti tempat tinggal, makanan, air bersih, layanan kesehatan, dan pendidikan menjadi barang langka. Selama berbulan-bulan, warga sipil terjebak tanpa tempat yang aman untuk berlindung, tanpa kesempatan untuk menyelamatkan diri keluar dari wilayah konflik. Tragisnya, Gaza tercatat sebagai tempat paling mematikan di dunia bagi pekerja kemanusiaan selama tahun 2023 dan 2024.
Di Tepi Barat, penderitaan warga Palestina berasal dari jaringan kebijakan dan praktik Israel yang sistematis. Aneksasi sepihak Yerusalem Timur dan pembagian wilayah yang rumit menjadi berbagai zona dengan tingkat pembatasan berbeda telah melumpuhkan kemampuan otoritas Palestina dalam memberikan pelayanan dasar kepada warganya. Pembangunan pemukiman ilegal, pembentukan zona militer, serta ratusan pos pemeriksaan dan penghalang fisik membelenggu kebebasan bergerak, keamanan, dan mata pencaharian warga Palestina. Sistem perencanaan wilayah yang diskriminatif secara sengaja menghalangi warga Palestina memenuhi kebutuhan perumahan dan ekonomi mereka.
Lingkungan hidup yang penuh tekanan terus diciptakan melalui penggunaan kekerasan berlebihan, penghancuran rumah-rumah Palestina, pengusiran paksa, perluasan permukiman ilegal, dan serangan-serangan dari para pemukim Israel. Pada tahun 2025, puluhan ribu warga Palestina terusir dari wilayah utara Tepi Barat dalam operasi militer besar-besaran Israel yang menggunakan taktik perang konvensional, dengan banyak di antara mereka kemudian dicegah untuk kembali ke rumah dan tanah mereka sendiri. Setiap kebijakan dan tindakan ini saling berkait, membentuk sistem penindasan yang menyeluruh yang terus memupus harapan akan perdamaian dan keadilan di tanah Palestina.13
15.000 anak-anak Gaza dibunuh
Lebih dari 15.000 anak-anak Gaza dibunuh oleh invasi militer Israel hingga Mei 2024 sejak Oktober 2023.14 Rata-rata 10 anak meninggal per jam di bulan-bulan pertama perang (UNICEF, November 2023).
Pada 27 Mei 2025 pernyataan dari UNICEF membuat airmata deras mengalir ke ulu hati bagi manusia yang sehat dan normal. Tetapi tidak bagi kaum penjajah yang melakukan pembunuhan dan genosida. Beserta mereka yang mendukung penghancuran masyarakat asli Palestina. “Dalam rentang 72 jam akhir pekan ini,” tulis pernyataan itu, “gambar dari dua serangan mengerikan kembali menjadi bukti betapa tak berperikemanusiannya perang ini terhadap anak-anak di Jalur Gaza.15
“Pada Jumat (25 Mei), kita menyaksikan video mayat anak-anak dari keluarga al-Najjar yang hangus terbakar dan terkoyak, digali dari reruntuhan rumah mereka di Khan Younis. Dari 10 bersaudara di bawah usia 12 tahun, hanya satu yang dilaporkan selamat—dengan luka kritis.
Senin dini hari (27 Mei), kita melihat gambar seorang balita terjebak di sekolah yang terbakar di Kota Gaza. Serangan itu, yang terjadi menjelang subuh, dilaporkan menewaskan setidaknya 31 orang, termasuk 18 anak-anak.
Mereka—nyawa yang seharusnya tak pernah direduksi menjadi angka—kini masuk dalam daftar panjang kengerian yang tak terbayangkan: pelanggaran berat terhadap anak-anak, blokade bantuan kemanusiaan, kelaparan, pengungsian paksa tanpa henti, serta penghancuran rumah sakit, sistem air, sekolah, dan rumah. Pada dasarnya, penghancuran kehidupan itu sendiri di Gaza. Sebuah genosida yang telanjang, terang benderang, live-streaming dari genggaman milyaran orang di bumi.
Menurut UNICEF sejak gencatan senjata berakhir pada 18 Maret, 1.309 anak dilaporkan tewas dan 3.738 lainnya luka-luka. Secara total, lebih dari 50.000 anak telah menjadi korban tewas atau terluka sejak Oktober 2023. Berapa lagi nyawa anak-anak yang harus melayang? Seberapa mengerikannya lagi livestream kekejaman ini sebelum komunitas internasional benar-benar bertindak, menggunakan pengaruhnya, dan mengambil langkah tegas untuk menghentikan pembantaian keji ini? Banyak anak masih terkubur di reruntuhan, sehingga angka sebenarnya mungkin lebih tinggi.
“Ini bukan lagi konflik, tapi pembantaian anak-anak.” — UNRWA Commissioner (2024).
UNICEF sekali lagi mendesak semua pihak untuk: mengakhiri kekerasan, melindungi warga sipil—termasuk anak-anak, menghormati hukum humaniter dan ham internasional, memungkinkan distribusi bantuan kemanusiaan segera, serta membebaskan semua sandera.
Anak-anak Gaza butuh perlindungan. Mereka butuh makanan, air, dan obat-obatan. Mereka butuh gencatan senjata. Tapi lebih dari segalanya, mereka butuh aksi kolektif sekarang juga untuk menghentikan ini—sekali dan untuk selamanya.
Save The Children (LSM Internasional) menyebut “Gaza adalah zona pembunuhan anak terbesar di dunia” (pernyataan resmi, Desember 2023). 10.000+ anak tewas dalam 100 hari pertama (Januari 2024).16
Tetapi penjajah Israel dan kaum pendukungnya–yang juga penjajah dengan pembunuhan jutaan masyarakat adat di seluruh dunia– nampaknya tak mengenal lelah untuk terus menerus melakukan pambantaian dan kerusakan di muka bumi Palestina yang dirampasnya, dan didudukinya.
Wilayah Palestina yang Diduduki tengah terperangkap dalam krisis kemanusiaan dan politik yang berkepanjangan, sebuah tragedi yang terus berlarut-larut di bawah bayang-bayang pendudukan militer Israel selama puluhan tahun. Situasi ini diperparah oleh pelanggaran terus-menerus terhadap hukum humaniter internasional dan hak asasi manusia, ditambah dengan perpecahan internal di tubuh masyarakat Palestina sendiri. Di Jalur Gaza, blokade Israel yang berlangsung sejak 2007 dengan berbagai tingkat intensitas telah menciptakan lingkaran penderitaan tanpa ujung, diperburuk oleh siklus kekerasan yang terus berulang antara pasukan Israel dan kelompok bersenjata Palestina.
Eskalasi kekerasan terbaru yang dimulai Oktober 2023 telah melampaui semua batas kemanusiaan, meninggalkan jejak kehancuran yang belum pernah terjadi sebelumnya. Puluhan ribu nyawa melayang, ratusan orang diculik sebagai sandera, sementara mayoritas warga Palestina terusir dari rumah mereka sendiri berulang kali. Gaza berubah menjadi neraka di bumi – tempat di mana kebutuhan paling dasar manusia seperti tempat tinggal, makanan, air bersih, layanan kesehatan, dan pendidikan menjadi barang langka. Selama berbulan-bulan, warga sipil terjebak tanpa tempat yang aman untuk berlindung, tanpa kesempatan untuk menyelamatkan diri keluar dari wilayah konflik. Tragisnya, Gaza tercatat sebagai tempat paling mematikan di dunia bagi pekerja kemanusiaan selama tahun 2023 dan 2024.
Di Tepi Barat, penderitaan warga Palestina berasal dari jaringan kebijakan dan praktik Israel yang sistematis. Aneksasi sepihak Yerusalem Timur dan pembagian wilayah yang rumit menjadi berbagai zona dengan tingkat pembatasan berbeda telah melumpuhkan kemampuan otoritas Palestina dalam memberikan pelayanan dasar kepada warganya. Pembangunan pemukiman ilegal, pembentukan zona militer, serta ratusan pos pemeriksaan dan penghalang fisik membelenggu kebebasan bergerak, keamanan, dan mata pencaharian warga Palestina. Sistem perencanaan wilayah yang diskriminatif secara sengaja menghalangi warga Palestina memenuhi kebutuhan perumahan dan ekonomi mereka.
Lingkungan hidup yang penuh tekanan terus diciptakan melalui penggunaan kekerasan berlebihan, penghancuran rumah-rumah Palestina, pengusiran paksa, perluasan permukiman ilegal, dan serangan-serangan dari para pemukim Israel. Pada tahun 2025, puluhan ribu warga Palestina terusir dari wilayah utara Tepi Barat dalam operasi militer besar-besaran Israel yang menggunakan taktik perang konvensional, dengan banyak di antara mereka kemudian dicegah untuk kembali ke rumah dan tanah mereka sendiri. Setiap kebijakan dan tindakan ini saling berkait, membentuk sistem penindasan yang menyeluruh yang terus memupus harapan akan perdamaian dan keadilan di tanah Palestina.17
Chris Hedges sama sekali tak bisa menyembunyikan amarahnya melihat kebrutalan Israel. Hedges yang menghabiskan hampir dua dekade sebagai koresponden perang untuk The New York Times ini adalah seorang pria dengan sorot mata tajam yang memancarkan kelelahan dunia—seorang mantan pendeta yang kehilangan gerejanya, seorang jurnalis perang yang kehilangan ilusinya, dan seorang penulis yang kata-katanya berdarah-darah mengalir seperti luka yang tak kunjung sembuh. Seorang yang Pulitzer Prize dan pernah tenggelam di Balkan yang terkoyak, di mana dia menyaksikan etnis dibantai seperti binatang. Menyaksikan Irak yang hancur, di mana dia ditahan oleh Saddam Hussein dan menyaksikan kebohongan perang AS. Dan bertahun-tahun menjejakkan kaki dan hatinya di Palestina yang terjajah, di mana air matanya bercampur debu reruntuhan rumah-rumah yang dihancurkan buldoser Israel.
Ia menulis pesan “Surat untuk Anak-Anak Gaza” dan dimuat pada buku barunya: A Genocide Foretold. Cuplikannya:
Anakku sayang,
Sudah lewat tengah malam. Aku melaju ratusan mil per jam dalam gelap, melintasi samudera Atlantik yang luas. Aku menuju Mesir. Aku akan berdiri di perbatasan Gaza, di Rafah. Aku datang karena kamu.
Kamu belum pernah merasakan duduk di dalam pesawat. Kamu belum pernah sekalipun meninggalkan Gaza. Yang kamu tahu hanyalah jalan-jalan sempit dan lorong-lorong padat. Rumah-rumah beton yang pengap. Kamu hanya mengenal pagar-pagar tinggi dan pos-pos penjagaan, dikelilingi tentara yang mengurungmu.
Bagi kamu, pesawat adalah mimpi buruk.
Jet tempur. Helikopter bersenjata. Drone. Mereka berputar-putar di atas kepalamu. Mereka menjatuhkan rudal dan bom. Ledakan yang memekakkan telinga. Bumi bergetar. Bangunan-bangunan runtuh. Yang mati. Yang berteriak. Suara-suara lemah meminta tolong dari bawah reruntuhan. Tak pernah berhenti. Siang dan malam.
Terjebak di bawah tumpukan beton yang hancur. Teman-teman bermainmu. Kawan-kawan sekolahmu. Tetangga-tetanggamu. Hilang dalam sekejap. Kamu melihat wajah-wajah pucat dan tubuh tak bernyawa ketika mereka digali dari puing.
Aku seorang jurnalis. Tugasku adalah menyaksikan ini.
Tapi kamu hanyalah seorang anak.
Kamu seharusnya tidak pernah melihat ini.
……
Kini, di usia akhir 60-an, Hedges masih menulis dengan kemarahan yang tak padam—tentang genosida Gaza, kebangkitan fasisme, dan kehancuran planet. Dia seperti Yeats modern yang menyaksikan “pusaran sejarah” mengamuk, sambil berteriak kepada tuli.
“Kami adalah bangsa yang sekarat,” katanya, “dan hanya sedikit yang berani mencium bau mayat.”
“Chris Hedges adalah suara yang tidak nyaman di pesta pora kehancuran. Dan itulah mengapa kita harus mendengarkannya.”
— Cornel West
Genosida Gaza, pendudukan Palestina, penghancuran budaya, penghilangan sejarah, perampasan tanah, perusakan lingkungan tidak hanya oleh Israel sebagai aktor utama, tetapi juga oleh korporasi-korporasi yang produk-produksinya, sayangnya, kita nikmati setengah mati. Salah satunya adalah Disney Corporation.
Disney Corporation & Keterlibatan dalam Genosida Gaza
Di bawah sorotan lampu-lampu megah ICE BSD City, Tangerang, anak-anak tertawa melihat Elsa menari di atas es. Musik mengalun, salju buatan melayang, dan para orang tua mengabadi-kan momen. Inilah Disney On Ice: Magic in the Stars yang digelar di ICE BSD City, bangunan yang gemerlap bergaya arsitektur Futuristik-Eklektik dengan Sentuhan Industrial (27 Mei – 2 Juni 2025). Acara ini menampilkan karakter seperti Mickey Mouse, Frozen, Moana, dan Marvel.
Disney on Ice, yang kembali hadir di Jakarta pada Mei 2025, menargetkan 75.000 penonton dalam 20 pertunjukan. Sebuah angka yang mencerminkan antusiasme masyarakat terhadap ikon masa kecil, namun juga menyimpan ironi besar: di saat ribuan anak-anak Indonesia menikmati mimpi Disney di atas es, lebih dari 50.000 anak Palestina telah terbunuh oleh bom dan peluru dalam serangan Israel sejak 7 Oktober 2023. Lebih banyak lagi anak yang terbantai jika dihitung dari pendudukan wilayah Palestina sejak 100 tahun lalu, ketika Deklarasi Balfour dikeluarkan pada 2 November 1917 oleh Menteri Luar Negeri Inggris Arthur James Balfour dalam surat resmi kepada Lord Rothschild (pemimpin komunitas Yahudi Inggris). Ini adalah janji kolonial Inggris untuk mendirikan “tanah air Yahudi” di Palestina — tanpa konsultasi dengan penduduk asli Palestina yang saat itu mencapai 90% populasi.18
Disney on Ice membawa keajaiban untuk ribuan anak, tapi di balik kemegahan itu menyatu agresi komersial dan kontroversi global. Penuh tawa dan keajaiban—namun jangan lupakan tanggung jawab sosial dan kritikal terhadap korporasi sebesar Disney. Pertunjukan ini bukan hanya soal es-zaman ajaib; ia juga bahan refleksi yang kuat tentang peran korporasi hiburan dalam dunia yang penuh luka dan ketidakadilan.
Ini adalah dunia Disney—ajaib, penuh warna, dan tak bercela. Pada dunia nyata, Disney adalah bagian yang berlumur darah.
Sejak lama, Disney menjalin hubungan dengan institusi dan narasi yang membingkai kekuasaan global. Melalui akuisisi Marvel dan Star Wars, Disney bukan hanya menjual cerita, tapi juga ideologi. Di Israel, Disney terlibat dalam ekonomi hiburan yang menopang normalisasi pendudukan, melalui penayangan, merchandise, dan bahkan dukungan tidak langsung terhadap perusahaan yang beroperasi di wilayah yang disengketakan dan dijajah, wilayah pendudukan yang ilegal dalam tatakrama hukum Internasional.
Sementara dunia mengecam pembantaian di Gaza sebagai genosida modern, Disney berdiri pada sisi penjajah. Pernyataan dukungan dan solidaritasnya disuarakan oleh CEO. Mereka memilih jalan sejarah pada pihak yang bahkan hukum-hukum Internasional dilanggar. Berdiri dengan pongah di atas kuburan anak-anak.
Tentu saja anak-anak perlu kegembiraan, ruang yang bisa menebarkan dan merangsang inspirasi selepas keluar dari pintu gerbang pertunjukkan. Tapi mereka juga perlu diajarkan keberanian untuk berdiri di sisi yang benar. Dan puing-puing penderitaan akibat penjajahan.
Kita semua, sebagai orang tua, pendidik, jurnalis, atau aktivis, memiliki tanggung jawab untuk mempertanyakan: panggung mana yang sedang kita dukung? Dan di panggung sejarah yang mana kita ingin dikenang?
Jika Disney ingin terus menjual mimpi, biarlah kita menjadi yang membangunkan. Agar ia terjaga dari tidur yang gelisah dan keberpihakan yang menyimpang. Bukan dengan kebencian, tapi dengan kejujuran, dengan solidaritas, dan dengan keyakinan bahwa anak-anak Gaza pun berhak hidup, bermain, dan bermimpi.
Disney menghadapi kecaman global karena dukungan finansial tidak langsung terhadap Israel, termasuk operasi bisnis di wilayah pendudukan ilegal dan hubungan dengan entitas yang terlibat dalam perang Gaza. Disney memiliki kemitraan dengan Hotels Combines (Fattal Group), yang mengoperasikan Dan Hotels di Yerusalem Timur dan Tepi Barat yang diduduki secara ilegal (menurut resolusi PBB).19
Disney secara resmi mengumumkan akan menyumbang $2 juta dan berbagai inisiatif untuk mendukung Israel. Sementara CEO-nya dengan tegas mengutuk serangan terhadap warga Yahudi di Israel, tidak sepatah kata pun ia menyebut rakyat Palestina yang dibantai militer Israel.20 21
Organisasi kebudayaan Palestina, termasuk teater dan pusat seni pertunjukan, menyerukan “boikot besar-besaran” terhadap film Captain America: New World Order kecuali Marvel menghapus karakter pahlawan super Sabra (alias Ruth Bat-Seraph) yang dianggap “mewakili apartheid Israel”dari film tahun 2024 itu.22
Batalkan atau jangan berlangganan Disney+! Disney dan anak perusahaannya, Marvel, terlibat dalam glorifikasi rezim genosida dan apartheid Israel terhadap warga Palestina asli. Film Captain America: Brave New World dari Marvel dan Snow White dari Disney menampilkan bintang seperti Shira Haas dan Gal Gadot—aktor-aktor yang secara sadar dan tak terbantahkan menjadi duta budaya Israel, mewakili upaya propaganda rezim genosida Israel.
Dalam Captain America, Marvel dan Disney menghidupkan kembali karakter rasis Ruth Bat-Seraph, yang dalam cerita lamanya bekerja untuk Mossad (agen intel Israel). Dengan demikian, Disney+ secara jelas terlibat dalam mendukung genosida Israel dengan cara mendekemanusiawi-kan rakyat Palestina, dehumanizing Palestinians. 23
Disney masuk Daftar Boikot BDS (Boycott, Divestment, Sanctions) karena: Melakukan bisnis di wilayah pendudukan (Melanggar hukum internasional), kerjasama dengan perusahaan yang mendukung militer Israel, tidak mengutuk pembantaian Gaza sambil terus mengambil keuntungan dari pasar Israel. “Perusahaan yang beroperasi di wilayah pendudukan atau mendukung apartheid Israel harus dihentikan hingga mereka memutus hubungan dengan rezim penjajah.” — Situs Resmi BDS Movement (bdsmovement.net).
Teladan Petualangan Sherina
Ingat Petualangan Sherina? Cerita yang ditulis oleh Mira Lesmana & Jujur Prananto ini memang berkisah tentang petualangan. Petualangan dalam persahabatan, solidaritas dan kemauan untuk mengambil posisi dalam menentang keburukan (dan tamak): tokoh pengusaha yang ingin menguasai sumberdaya milik orang lain dengan cara yang tidak sepantasnya. Riri Riza, Sang Sutradara, menjadikan Sherina Munaf (sebagai Sherina) dan Derby Romero (sebagai Sadam) tokoh-tokoh penting dalam fim ini.
Digambarkan dalam film musikal anak-anak terlaris era 2000-an, dan memenangkan banyak penghargaan ini, Sherina, anak perempuan cerdas dari Jakarta, pindah ke desa di Lembang karena pekerjaan ayahnya. Ia berteman sekaligus bersaing dengan Sadam, anak nakal setempat. Bersama-sama, mereka menghadapi konflik dengan penjahat yang ingin mengambil alih lahan pertanian. Film ini dipenuhi lagu ikonik seperti “Lihatlah Lebih Dekat” dan “Jagoan.”
Keberhasilan “Petualangan Sherina” di layar lebar dan kurangnya hiburan bermutu bagi anak-anak Indonesia, mendorong para pemrakarsa dan kreator untuk menciptakan versi drama musikal. Pada 2014 berlangsung di Teater Jakarta, Taman Ismail Marzuki dengan total ±15.000 penonton selama masa tayang. Lalu pada tahun 2017 di ICE BSD City, Tangerang Pengunjung: ±20.000 penonton.
Drama musikal Petualangan Sherina akan tampil kembali pad Juli 2025 di Teater TIM. Selama tanggal 11-13 Juli 2025 rakyat Indonesia akan disuguhi 12 show.”Kami ingin generasi baru merasakan keajaiban cerita ini, tapi dengan sentuhan teknologi yang memukau.”24
— Mira Lesmana (Produser) dalam konferensi pers 3 Juni 2025.
Tontonlah hiburan ini. Hiburan yang tidak menyembunyikan jejak darah seperti Disney. Menonton hiburan untuk anak-anak dari seniman-seniman dan korporasi yang punya value dan konsisten dengan value itu dalam keadaan apapun. Bukan korporasi yang membius anak-anak tetapi pada sisi lain juga terlibat membunuhnya. Membunuh Hind dan ribuan suara-suara yang tak terdengar.
Lumajang, 13 Juni 2025.
1 Mahmudul Hasan, Hind Rajab’s Last Cry – The Girl Who Spoke to the World (Gaza: Palestine Chronicle Press, 2024).
2 Hasan, Op. Cit.
3 Sumber: Forensic Architecture, PRCS, HRF, dokumentasi Al Jazeera
4 Berdasarkan investigasi Defense for Children International – Palestine (DCIP) dan Al Jazeera’s Forensic Architecture, berikut rinciannya:
1. Jumlah Tembakan & Korban
- Minimal 40 peluru ditembakkan ke mobil keluarga sipil tersebut (dilihat dari bekas lubang peluru dan kerusakan kendaraan).
- 6 orang tewas seketika, termasuk:
- Hind Rajab (6 tahun)
- Layan Hamadeh (15 tahun, sepupu Hind)
- Rushdie Rajab (ayah Hind, 45 tahun)
- Enas Rajab (ibu Hind, 35 tahun)
- Yusuf Rajab (adik laki-laki Hind, 4 tahun)
- Nour Rajab (paman Hind, 38 tahun)
2. Kronologi Pembantaian
- Mobil mereka dihujani tembakan saat mencoba evakuasi dari serangan udara di Tel al-Hawa.
- Hind selamat awal, terluka parah, dan menelepon Palang Merah selama 12 jam sambil terkubur di antara mayat keluarganya.
- Tim penyelamat tidak diizinkan mendekati lokasi oleh tentara Israel hingga keesokan harinya. Ketika ditemukan, tubuh Hind sudah kaku, masih memeluk boneka kelincinya.
3. Sumber Investigasi
- Laporan DCIP (Februari 2024): Autopsi menunjukkan luka tembak di kepala dan dada korban.
- Rekaman drone Al Jazeera: Memvisualisasikan jejak peluru dari arah posisi tentara Israel.
- Dokumen Palang Merah: Catatan panggilan Hind yang didokumentasikan sebagai bukti kejahatan perang.
5 Daftar Referensi
- Keluarga Rajab (Wawancara eksklusif dengan Al Jazeera, Februari 2024)
- Catatan Sekolah UNRWA Gaza (Laporan internal UNRWA, 2023)
- Rekaman Panggilan Hind ke Palang Merah (Dokumentasi Defense for Children International – Palestine)
- “The Little Moon” (Buku cerita anak Gaza, terbitan Tamer Institute)
- Laporan Kematian Anak-Anak Gaza (UNICEF, Maret 2024)
6 Sumber:
7 Nama resmi tentang pendudukan itu adalah IDF (Israel Defensive Foorces). Tetapi nama ini– seperti halnya slogan rights to defend yang selalu digembar-gemborkan, juga digunakan oleh para penjajah pendukungnya seperti Amerika Serikat, Inggirs, Perancis, Jerman dan juga EU–hanyalah kamuflase dan tipu muslihat. Fakta yang sebenarnya adalah IOF (Israel Offensive Forces) nama yang sering digunakan oleh warga perlawanan, Palestina maupun dunia. Tentara yang tidak bermoral itu lebih banyak melakukan penyerangan dan membunuh daripada membela diri.
Hak Membela Diri dalam Hukum Internasional: Pendudukan vs Perlawanan
1. Hak Negara Pendudukan untuk “Membela Diri”
Dalam kerangka Hukum Humaniter Internasional (IHL) dan Piagam PBB, tidak ada hak mutlak bagi kekuatan pendudukan untuk “membela diri” di wilayah pendudukan. Prinsip utamanya adalah:
- Pasal 43 Konvensi Den Haag 1907: Kekuatan pendudukan wajib menghormati hukum setempatdan hanya boleh mengambil tindakan sebatas keamanan operasional militer atau ancaman langsung.
- Pasal 51 Piagam PBB: Hak membela diri (self-defense) hanya berlaku jika ada serangan bersenjata dari negara lain, bukan dari populasi pendudukan.
- Konvensi Jenewa Keempat (Pasal 64): Kekuatan pendudukan tidak boleh menggunakan kekuatan berlebihan kecuali terhadap ancaman militer yang sah (bukan warga sipil atau perlawanan bersenjata yang sah).
→ Israel sering mengklaim “self-defense” di Gaza/Tepi Barat, tetapi ini bertentangan dengan IHL karena:
- Gaza/Tepi Barat bukan wilayah Israel, melainkan wilayah pendudukan.
- Perlawanan rakyat Palestina bukan serangan “dari negara lain”, melainkan hak hukum mereka sebagai bangsa terjajah.
2. Hak Rakyat Pendudukan untuk Melawan (Armed Resistance)
Hukum internasional secara eksplisit mengakui hak rakyat terjajah untuk melawan pendudukan, termasuk dengan senjata. Landasan hukumnya:
A. Resolusi PBB dan Deklarasi Internasional
- Resolusi PBB 37/43 (1982):
“Rakyat Palestina dan bangsa terjajah lainnya berhak menggunakan semua cara yang diperlukan, termasuk perlawanan bersenjata, untuk mencapai kemerdekaan.”
(Dukung oleh 114 negara, ditentang oleh Israel + AS).
- Deklarasi Kemerdekaan Palestina (1988): Mengutip Pasal 1(4) Protokol Tambahan I Konvensi Jenewa (1977) yang mengakui perlawanan bersenjata melawan pendudukan sebagai “konflik bersenjata internasional”.
B. Hukum Humaniter Internasional (IHL)
- Pasal 1(4) Protokol Tambahan I Konvensi Jenewa:
Perlawanan terhadap pendudukan asing termasuk dalam kategori “perang pembebasan nasional” yang dilindungi hukum.
- Konvensi Den Haag 1907 (Pasal 43):
Kekuatan pendudukan tidak memiliki kedaulatan, sehingga perlawanan rakyat tidak bisa dianggap sebagai “terorisme”.
C. Putusan Pengadilan Internasional
- Opini Mahkamah Internasional (ICJ) 2004 tentang Tembok Israel:
Pendudukan Israel di Palestina bersifat ilegal, dan rakyat Palestina berhak menolaknya.
3. Batasan Perlawanan dalam IHL
Meski hak melawan diakui, Hukum Humaniter Internasional tetap membatasi cara perlawanan:
- Dilarang menargetkan warga sipil Israel (Pelanggaran Pasal 51(2) Protokol Tambahan I).
- Perlawanan harus dipimpin oleh kelompok yang teridentifikasi (Bukan tindakan individu tanpa komando).
→ Hamas sering dikritik karena serangan ke warga sipil (7 Oktober 2023), tetapi IDF juga melanggar IHL dengan pembantaian warga sipil Palestina (Gaza 2023-2024).
Kesimpulan
- Israel tidak punya hak “self-defense” di wilayah pendudukan karena statusnya sebagai kekuatan pendudukan ilegal.
- Rakyat Palestina punya hak legal untuk melawan pendudukan, termasuk dengan senjata, selama mematuhi IHL.
- Dunia internasional (kecuali AS & sekutu) mengakui hak Palestina, tetapi Israel terus mengkriminalisasi perlawanan sebagai “terorisme”.
“Pendudukan adalah bentuk kekerasan tertinggi. Melawannya adalah hak asasi.”
— Noam Chomsky, mengutik Hukum Internasional.
#FreePalestine #RightToResist
(Sumber: PBB, ICJ, ICRC, Konvensi Jenewa/DEN Haag)
8 https://www.theguardian.com/world/2024/feb/10/im-so-scared-please-come-hind-rajab-six-found-dead-in-gaza-12-days-after-cry-for-help
9 Hasan, Loc. cit.
10 per Mei 2024, laporan OCHA (United Nations Office for the Coordination of Humanitarian Afair).
11 https://www.unicef.org/press-releases/unimaginable-horrors-more-50000-children-reportedly-killed-or-injured-gaza-strip
12 Save The Children Report
13 https://www.ochaopt.org/country/opt
14 per Mei 2024, laporan OCHA (United Nations Office for the Coordination of Humanitarian Afair).
15 https://www.unicef.org/press-releases/unimaginable-horrors-more-50000-children-reportedly-killed-or-injured-gaza-strip
16 Save The Children Report
17 https://www.ochaopt.org/country/opt
18 Deklarasi Balfour dikeluarkan pada 2 November 1917 oleh Menteri Luar Negeri Inggris Arthur James Balfour, dalam surat resmi kepada Lord Rothschild (pemimpin komunitas Yahudi Inggris). Ini adalah janji kolonial Inggris untuk mendirikan “tanah air Yahudi” di Palestina — tanpa konsultasi dengan penduduk asli Palestina yang saat itu mencapai 90% populasi.
Fakta Kunci:
- Isi Deklarasi:
“Pemerintah Inggris mendukung pendirian ‘tanah air bagi bangsa Yahudi’ di Palestina… dengan syarat tidak merugikan hak-hak sipil dan agama komunitas non-Yahudi yang ada.” - (Syarat ini kemudian diabaikan dalam praktiknya).
- Latar Belakang Kolonial:
- Inggris menjanjikan tanah yang bukan miliknya (Palestina masih bagian dari Kesultanan Utsmaniyah).
- Motif politik: Mendapatkan dukungan finansial Yahudi untuk Perang Dunia I dan menguasai Timur Tengah.
- Dampak Langsung:
- Memicu gelombang migrasi Zionis ke Palestina (1920-1948).
- Menjadi dasar mandat Inggris atas Palestina (1922-1948) yang memfasilitasi pemindahan paksa warga Palestina.
- Pengkhianatan Ganda:
- Inggris secara simultan menjanjikan kemerdekaan Arab lewat Surat McMahon-Hussein (1915).
- Kesepakatan Sykes-Picot (1916) membagi wilayah Arab untuk kepentingan Inggris-Prancis.
Warisan Berdarah:
Deklarasi Balfour adalah dokumen kolonial paling destruktif di abad ke-20 — akar dari:
- Nakba 1948 (pengusiran 750.000 warga Palestina).
- Pendudukan Israel yang berlanjut hingga hari ini.
“Ini adalah kesepakatan antara orang yang tak punya tanah (Zionis) dengan orang yang tak berhak (Inggris), untuk tanah yang bukan milik keduanya (Palestina).”
— Sejarawan Palestina, Nur Masalha
19 https://www.yahoo.com/entertainment/disney-pledges-2-million-donation-032004758.html; lihat juga sumber: WhoProfits (2024)
20 https://boycott.thewitness.news/target/disney
21 https://thewaltdisneycompany-com.translate.goog/the-walt-disney-company-donates-to-support-humanitarian-relief-following-terrorist-attacks-in-israel-2/?_x_tr_sl=en&_x_tr_tl=id&_x_tr_hl=id&_x_tr_pto=sge
22 https://bdsmovement.net/boycott-captain-america#:~:text=The%20Palestinian%20organizations%2C%20which%20also,for%20freedom%2C%20justice%20and%20equality.
23 https://bdsmovement.net/Guide-to-BDS-Boycott; lihat juga tautan ini: https://variety.com/2024/film/global/palestinian-filmmakers-accuse-hollywood-dehumanizing-gaza-israel-1236120786/
24 https://www.kompas.com/hype/read/2025/04/14/205033466/musikal-petualangan-sherina-akan-hadir-kembali-di-jakarta