halaman drm #18
Sang Penyala Pengetahuan
Dwi R. Muhtaman
“Cendekiawan padam karena dua hal:
kekuasaan dan ketakutan.”
–DRM–
Sejak jaman pra-Socrates, kaum intelektual berkembang biak. Mereka adalah pencari pengetahuan non-materialistis yang percaya pada humanisme universal dan mewakili landasan masyarakat yang beradab. Kaum intelektual mulai berubah di awal abad kedua puluh. Di Eropa pada tahun 1920-an, para intelektual mulai meninggalkan keterikatan mereka pada cita-cita filosofis dan ilmiah tradisional, dan sebaliknya mengagung-agungkan partikularisme dan relativisme moral.
Kini perbincangan tentang cendekiawan dan perannya terasa makin tertutup kabut hiruk pikuk badai politik yang makin membuat posisi cendekiawan tenggelam. Atau ditenggelamkan.
Dimanapun peran sejati cendekiawan atau intelektual selalu diimpikan. Masyarakat luas menaruh harapan pada cendekiawan sebagai pencerah jalan dalam menghadapi isu-isu pelik. Masyarakat berharap kaum cendekiawanlah yang mampu memberi petunjuk jalan yang jernih dan benar kemana melangkah. Sebab, “..suatu masyarakat yang menyingkirkan kaum intelektualnya, pada hakikatnya, sedang menyingkirkan dirinya sendiri. Karena kekuatan masyarakat itu untuk melanjutkan hidupnya akan bergantung juga kepada para anggotanya yang merasakan, menghayati, dan mencintai kebenaran (Soekito, 1983).”
Pertanyaannya adalah siapakah intelektual itu? Apa peran dan tanggungjawabnya? “Who qualifies?” kata Noam Chomsky dalam bukunya yang berjudul: It is the Responsibility of Intelectuals to Speak the Truth and Expose the Lies (2017). Judul Buku ini sudah terang menunjukkan posisi Chomsky. Itulah tanggungjawab intelektual. Apapun implikasinya.
Chomsky mengajukan pertanyaan soal siapa intelektual itu: “Who qualifies?”
Sehubungan dengan tanggungjawab intelektual, masih ada pertanyaan lain yang sama-sama mengganggu. Intelektual berada dalam posisi untuk mengungkap kebohongan pemerintah dan siapapun membohongi publik, untuk menganalisis tindakan sesuai dengan penyebab dan motif mereka dan seringkali tersembul niat tersembunyi. Intelektual harus berani mengatakan kebenaran meski pun itu mungkin akan merugikan/membahayakan diri sendiri bahkan, kepentingan nasional. Yang diperjuangkan adalah soal kemanusiaan. Dan negara atau pemerintahan pada dasarnya exist karena kepentingan kemanusiaan bagi warganya dan seluruh manusia. Kemampuan berbohong pemerintah tidak pernah diragukan. Media dalam dan luar negeri bisa dikuasai dan segenap perangkat-perangkat lain yang tersedia untuk melakukan kebohongan. Karena itu bagi intelektual yang mengetahui ada kebohongan maka menjadi tanggungjawabnya untuk mengungkapkan pada rakyat, publik.
Konsep intelektual dalam pengertian modern menjadi terkenal dengan “Manifesto Intelektual” 1898 yang terjadi karena kasus Dreyfusards, yang terinspirasi oleh surat protes terbuka dari Émile Zola kepada presiden Prancis, mengutuk framing perwira artileri Perancis Alfred Dreyfus atas tuduhan pengkhianatan dan penyembunyikan dokumen rahasia militer—tuduhan yang di kemudian hari terbukti salah. Sekelompok orang menandatangani Manifesto itu dan menamakan diri mereka sebagai Kaum Intelektual. Zola dijatuhi hukuman penjara karena pencemaran nama baik, dan melarikan diri dari negara—sesuatu yang tidak asing bagi kita di sini, saat ini, ketika ada suara kritik pada pemerintah.
Lalu siapakah yang disebut sebagai intelektual? Apakah kaum minoritas seperti Zola? Apakah yang dimaksud dengan tanggungjawab intelektual? Ini adalah pertanyaan yang selalu muncul sepanjang masa. Memang sebagai intelektual, publik mengharapkan mereka yang menjaga moral, tanggungjawab moral sebagai manusia yang punya martabat, integritas untuk memelihara kebebasan berpendapat, mendorong keadilan sosial dan perdamaian. Konsekwensi dari posisi ini sebagai intelektual maka di banyak negara, di banyak rezim mereka menjadi sasaran pembatasan. Dipenjarakan, dibunuh, disingkirkan. Juga terjadi di Amerika Serikat.
Karena tidak semua orang tunduk patuh pada kebijakan pemerintah yang dinilai salah atau bohong. Tokoh-tokoh terkemuka seperti Bertrand Russell, Eugene Debs, Rosa Luxemburg, dan Karl Liebknecht, seperti Zola, dijatuhi hukuman penjara. Debs dihukum penjara sepuluh tahun karena mengajukan pertanyaan tentang “perang untuk demokrasi dan hak asasi manusia” pada saat Pemerintahan Presiden Wilson. Beberapa, seperti Thorstein Veblen dihukum; Veblen dipecat dari posisinya di the Food Administration setelah menyiapkan laporan yang menunjukkan bahwa kekurangan tenaga kerja pertanian dapat diatasi dengan mengakhiri kebijakan brutal Wilson pada tenaga kerja. Randolph Bourne dijatuhkan oleh jurnal progresif setelah mengkritik bangsa-bangsa imperialistik.
Pola pujian dan hukuman adalah cara klasik yang sudah dikenal sepanjang sejarah: mereka yang berbaris dalam ketiak negara biasanya dipuji, termasuk oleh ‘intelektual’ abal-abal dan mereka yang menolak untuk berbaris dalam ketiak negara dihukum, disingkirkan dan tidak menjadi pahlawan arus utama intelektual. Russell terus dihujat sampai setelah kematiannya.
Kalau kita tarik dalam konteks perkembangan sosial politik di Indonesia saat ini maka kita merasa perlu menegaskan kembali pentingnya intelektual tampil ke depan—siapapun itu yang masuk dalam kategori intelektual. Pada situasi sulit dalam beberapa waktu belakangan ini sebagian rakyat merasa telah kehilangan intelektual. Orang-orang yang kita anggap mampu berperan sebagai—serupa atau yang tadinya–cendekiawan nyatanya lebih banyak bertingkah laku sebagai corong atau buzzer dari rezim belaka. sebagian memposisikan sebagai pendukung rezim tak peduli apapun kebijakan publik yang dibuat oleh pemerintah. Orang-orang yang kritis yang berseberangan menghadapi ‘serangan’ yang ‘mematikan.’ Kampus gamang. Kampus tak lagi bebas menjadi ruang bebas mimbar akademik yang mendebatkan beragam isu; kampus dan ‘intelektual’ di dalamnya telah banyak menjadi bagian stempel kebijakan publik.
Pengkhianatan yang ditulis Benda adalah pengkhianatan oleh para intelektual. Dia mengkritik para intelektual Eropa karena membiarkan komitmen politik. Mungkin pengkhianatan kaum intelektual akan terus memainkan drama yang tidak pernah selesai. Mungkin juga sudah dan sedang terjadi di Indonesia dalam beberapa tahun terakhir ini. Cendekiawan padam karena dua hal: kekuasaan dan ketakutan.
Gambaran intelektual dan perannya seperti dipaparkan di atas tidak berlebihan kalau saya sematkan pada sosok Mas HK, Hariadi Kartodihardjo. Dan Prof. Hariadi Kartodihardjo selama lebih dari seperempat abad activismnya selalu menerjang. Ia memahami segala risiko yang dihadapi karena sikap dan pendiriannya yang kokoh pada pemikiran dan intelektualitas yang dipegang erat. Konsisten pada prinsip jauh sebelum saya mengenalnya lebih dari 30 tahun lalu ketika pada masa awal LATIN menceburkan diri pada activism dunia kehutanan. Sikap kritis, bicara tenang, kadang meledak sesaat, dan runtun dalam mengungkapkan pikirannya menjadi daya tarik sendiri. Sependek yang saya tahu Mas HK tidak pernah mengambil posisi netral sebagaimana sebagian akademisi lainnya. Ia tidak mengenal jarak aman. Mas HK selalu ‘mengambil posisi’–sebuah sikap yang dipegang atas kepercayaannya pada pengetahuan yang dimiliki. Mungkin Mas HK membaca Dante Alighieri:
“The darkest places in hell are reserved for those who maintain their neutrality in times of moral crisis.”
Netralitas adalah celaka, kata penyair besar Itali abad Pertengahan Akhir itu. Mas HK, sebagaimana juga Dante, tidak ingin hanya menyaksikan sejumlah krisis moralitas di tengah masyarakat tempat dia hidup. Dia menolak tidak melakukan apa-apa untuk menjaga ‘netralitas’ nya sebagai akademisi. Tidak. Mas HK dengan sejumlah karya tulisnya yang tidak pernah lelah, selalu kritis, memilih untuk berpihak. Mempertanyakan kemapanan. Menantang fungsi pengetahuan. Mereka yang bersikap netral di tengah krisis moral hanya menempatkan pada neraka yang paling kelam.
Seperti halnya kaum pemberontak, mereka harus memilih antara diam atau melawan. Dan Mas HK dengan ‘para pemberontak’ lainnya memilih melawan untuk menegakkan keadilan dan kebenaran.
Sikap keberpihakan seperti ini adalah impian dan harapan publik yang mempunyai hak atas informasi yang benar untuk melangkah pada jalan yang benar. Dan untuk itu kita semua mengandalkan sosok Mas HK sebagai pihak yang dipercaya untuk menyampaikan pesan keadilan dan kebenaran. Akademisi yang berani mengambil posisi yang bebas dan berpihak, dan konsisten. Intelektual penyala pengetahuan. Membawa dan menempatkan pengetahuan pada fungsinya yang hakiki: melakukan perubahan.
engkau membuka jalan,
membawa cahaya pengetahuan
lewat tengah malam
tanpa lelah,
hingga lantunan adzan terakhir
yang engkau dengar,
pada tempat yang
paling sunyi senyap.
CIhideung Ilir, Bogor, 5 September 2024
Berbagi kesan tentang Prof Hariadi Kartodihardjo pada acara: Melanjutkan Warisan Intelektual EP 01, Meneladani Laku TIndak dan Konsistensi Sikap Prof Hariadi. Hopes Kopi, Bogor, 5 September 2024. Profesor yang biasa dipanggil ‘Prof HK” atau Mas HK ini lahir di Jombang dan meninggal dunia dalam usia 66 tahun, 2 Juni 2024. Subuh hari itu, guru besar Fakultas Kehutanan dan Lingkungan, IPB University ini, berpulang. Perjalanan akademiknya mulai dari Institut Pertanian Bogor (IPB), kampus pendidikan sarjana di bidang teknologi hasil hutan pada 1981. Pria kelahiran 24 April 1958 ini melanjutkan pendidikan S2 di kampus sama dan meraih gelar Magister Sains dalam Ilmu Pengetahuan Kehutanan tahun 1989. Kemudian, pada 1998, meraih gelar doktor bidang Ilmu Pengetahuan Kehutanan dengan disertasi “Peningkatan Kinerja Pengusahaan Hutan Alam Produksi melalui Penataan Kelembagaan.”
Socrates hidup sekitar 470/469 SM hingga 399 SM. Ia adalah seorang filsuf Yunani kuno yang sangat berpengaruh dan dikenal sebagai salah satu pendiri filsafat Barat. Socrates dihukum mati pada tahun 399 SM melalui minum racun setelah diadili dan dinyatakan bersalah oleh pengadilan Athena.
Partikularisme dan relativisme moral adalah dua konsep yang terkait dengan etika dan filsafat moral, namun memiliki fokus dan pendekatan yang berbeda.
Partikularisme Moral
Partikularisme moral adalah pandangan dalam filsafat etika yang menyatakan bahwa tidak ada prinsip moral umum yang dapat diterapkan secara mutlak dalam semua situasi. Menurut partikularisme, penilaian moral harus dibuat berdasarkan situasi atau konteks tertentu, dan tindakan yang dianggap benar dalam satu situasi bisa jadi salah dalam situasi lain. Partikularisme menekankan bahwa konteks dan detail setiap kasus individu sangat penting dalam menentukan tindakan moral yang benar atau salah.
- Contoh: Dalam satu kasus, berbohong mungkin dianggap salah karena merusak kepercayaan, tetapi dalam kasus lain, berbohong mungkin dibenarkan jika itu dilakukan untuk menyelamatkan nyawa seseorang.
Relativisme Moral
Relativisme moral adalah pandangan bahwa nilai-nilai moral dan prinsip-prinsip etika tidak bersifat universal, melainkan relatif terhadap budaya, masyarakat, atau individu tertentu. Dengan kata lain, apa yang dianggap benar atau salah berbeda-beda di setiap kelompok atau budaya, dan tidak ada standar moral yang berlaku secara universal. Relativisme moral menekankan bahwa nilai-nilai etika terbentuk dari tradisi, norma, dan keyakinan sosial, dan tidak ada cara yang objektif untuk menilai satu sistem moral lebih baik dari yang lain.
- Contoh: Dalam satu budaya, praktik poligami mungkin dianggap bermoral dan diterima, sementara di budaya lain, praktik tersebut dianggap tidak bermoral.
Perbedaan Utama:
- Partikularisme moral lebih fokus pada konteks spesifik setiap tindakan tanpa bergantung pada prinsip-prinsip umum yang tetap.
- Relativisme moral menekankan bahwa nilai-nilai moral berbeda di berbagai masyarakat atau individu, dan tidak ada standar moral yang objektif atau universal.
Kedua konsep ini menantang pandangan etika universal yang berpendapat bahwa ada prinsip-prinsip moral yang berlaku untuk semua manusia di semua tempat dan waktu. Baca lebih lanjut pada referensi ini:
- Dancy, Jonathan. Moral Particularism. Cambridge: Cambridge University Press, 2004.
- Dancy, Jonathan. Ethics Without Principles. Oxford: Clarendon Press, 2004.
- Prinz, Jesse J. Moral Relativism. New York: W.W. Norton & Company, 2007.
- Moser, Paul K., and Thomas L. Carson (Editors). Moral Relativism: A Reader. Oxford: Oxford University Press, 2001.
- Flanagan, Owen. The Geography of Morals: Varieties of Moral Possibility. New York: Oxford University Press, 2017.
Bagian akhir dari puisi Cahaya Pengetahuan yang ditulis khusus untuk mengenang mas HK, Hariadi Kartodihardjo (Dwi Rahmad Muhtaman, 2024).