halaman drm #34
Catatan-catatan Para Penjelajah Borneo: Wallace 1
Sang Naturalis yang Tersesat di Surga yang Hilang (1855-1856)
Dwi R. Muhtaman
“Mereka mengenal lebih banyak
jenis tumbuhan obat daripada
seluruh apoteker London digabung.”
— Alfred Russel Wallace
– kesan tentang masyarakat dayak
Daftar Isi
Prolog: Kedatangan Sang Pemburu Kupu-Kupu
Februari 1855. Seorang pria kurus berkacamata berdiri di geladak kapal “Joli” yang merapat di muara Sungai Kayan. Alfred Russel Wallace—naturalis Inggris yang kelak menemukan Garis Wallace—baru saja meninggalkan Singapura dengan misi ganda: mengumpulkan spesimen dan membuktikan teorinya tentang evolusi. “Kalimantan adalah laboratorium alam terbesar yang pernah kulihat. Di sini, setiap daun dan sungai berbisik rahasia penciptaan,” tulisnya pada surat yang dikirim kepada Charles Darwin, 1855.
“Salah satu alasan utama yang mendorong saya datang ke sini karena ini adalah negeri dari makhluk paling aneh dan menarik: orangutan, atau ‘mias’ menurut sebutan suku Dayak. Di distrik Sarawak, meski hanya berjarak dua puluh mil (32,19 km, pen.), mereka sama sekali tidak dikenal, seolah ada batas tak kasatmata yang—mengikuti hukum distribusi alam yang tak terjelaskan—tidak pernah mereka lewati. Suku Dayak membedakan tiga jenis orangutan yang di Eropa hanya dikenal melalui tengkorak atau kerangkanya, dengan banyak kebingungan dalam penamaan ilmiahnya, sementara ciri fisik hewan dewasa hampir tidak diketahui. Saya sudah beruntung menembak dua individu muda dari dua spesies berbeda, yang mudah dibedakan satu sama lain, dan saya harap dengan tinggal lebih lama di sini bisa mendapatkan spesimen dewasa dari semua jenis, sekaligus mengumpulkan informasi berharga tentang perilaku mereka.”
Selanjutnya diceritakan juga tentang hutan yang dia jejaki. Tulisnya: “Hutan di sini sangat monoton; palem langka dan bunga hampir tidak ada, kecuali beberapa jenis jahe-jahean kerdil. Bunga hanya ditemukan di kanopi pohon tinggi. Pohon ek cukup banyak—saya sudah menemukan tiga spesies dengan biji ek berwarna merah, cokelat, dan hitam.2 Ini membuktikan pernyataan Dr. Hooker bahwa—bertentangan dengan anggapan umum—ek sama khasnya di iklim tropis seperti di iklim sedang. Namun, saya harus mengoreksi pernyataan soal kelangkaan bunga, karena ada pohon tinggi ramping yang batangnya berbunga. Salah satunya sangat megah, dengan batang setinggi 12-15 kaki (3,66 – 4,57 meter) hampir tersembunyi oleh bunga-bunga oranye terang, yang dalam kegelapan hutan—seperti pernah saya amati pada serangga tropis dalam kondisi serupa—menciptakan efek cahaya nyaris magis. Tak kalah indah adalah pohon lain yang batangnya dipenuhi tandan buah beri merah muda dan putih.”
Itulah salah satu surat lengkap dari Alfred Russel Wallace saat ia berada di Borneo—tepatnya di Si Munjon Coal Works, Sarawak, pada Mei 1855. Surat ini menggambarkan pengalamannya mengamati alam dan kehidupan di wilayah yang berdekatan dengan apa yang sekarang dikenal sebagai Kalimantan Utara (Bulungan/Tanjung Selor).3
Surat ini dikirim kepada Sir William Jackson Hooker atau Joseph Dalton Hooker (ahli botani di Kew Gardens, Inggris). Selama penjelajahannya Wallace memang sering berkorespondensi dengan Hooker tentang temuan botani. Surat menyurat dikirimkan dalam waktu antara tahun 1855–1856 ketika Wallace berada di Sarawak dan Kalimantan Utara dan sebelum publikasi teori seleksi alam (1858).4 Surat ini menggambarkan fase awal penelitian Wallace tentang variasi geografis orangutan, yang kelak mempengaruhi pemikirannya tentang evolusi. Perhatikan dalam surat pendek itu bagaimana ia menekankan batas distribusi misterius orangutan (garis Wallace awal), mengkritik kekacauan taksonomi Eropa dan menggunakan pengetahuan lokal suku Dayak sebagai rujukan ilmiah–sesuatu yang penting dalam studi-studi etnobotani atau etnozoologi modern kemudian.
Kunjungan ke Tanjung Selor (Bulungan) di Kalimantan Utara oleh para ilmuwan besar seperti Alfred Russel Wallace, Charles Darwin, atau peneliti lainnya pada abad ke-19 adalah bagian dari periode penting dalam sejarah eksplorasi ilmiah kawasan Nusantara, terutama dalam bidang biogeografi, zoologi, dan botani. Di antara nama-nama tersebut, Alfred Russel Wallace adalah tokoh paling utama yang benar-benar melakukan eksplorasi langsung ke Pulau Borneo (Kalimantan), termasuk wilayah yang kini disebut Kalimantan Utara.
Alfred Russel Wallace mengunjungi Kalimantan pada tahun 1855–1856 sebagai bagian dari perjalanannya di Nusantara (1854–1862). Ia menyebut tempat yang kini dikenal sebagai Tanjung Selor sebagai bagian dari perjalanannya di Bulungan, ketika ia naik ke pedalaman melalui Sungai Kayan. Catatan perjalanannya terdokumentasi dalam buku terkenalnya: “The Malay Archipelago” (1869).
Wallace menghabiskan 14 bulan menjelajahi Kalimantan Utara dengan rute: Sungai Kayan (Maret-Agustus 1855). Membangun basecamp di Tanjung Selor (kini ibu kota Bulungan). Lalu melakukan pencarian Orangutan Kalimantan (Pongo pygmaeus) dan burung Enggang paruh merah. Dilanjutkan menelusuri Sungai Sesayap (September 1855). Melakukan Kontak pertama dengan suku Tidung dan menemukan kupu-kupu langka “Troides brookiana.” Wallace juga menjelajah Hutan Malinau (November 1855-Januari 1856), dan di situlah Ia bertemu pemburu kepala Dayak Kenyah. Di Sungai Sesayap ini ia berhasil mengoleksi 1.200 spesies kumbang. Kunjungan terakhir dilakukan di Pulau Tarakan (Februari 1856) dan melakukan observasi burung migran Asia-Australia.
Tanjung Selor dan Sekitar Sungai Kayan
Wallace melakukan perjalanan dari Tarakan ke Tanjung Selor dan menyusuri Sungai Kayan sejauh mungkin, karena ia ingin mengumpulkan spesimen burung, serangga, dan mamalia, serta mencatat kondisi alam dan masyarakat lokal.
Dalam tulisannya, Wallace menggambarkan hutan hujan yang sangat lebat, dengan pohon-pohon besar dan keragaman hayati yang luar biasa. Spesies burung yang unik, termasuk berbagai jenis raja udang, enggang, dan burung-burung hutan tropis lainnya. Serangga eksotis, terutama kumbang dan kupu-kupu yang menjadi koleksi pentingnya. “Saat menyusuri Sungai Kayan, aku menemukan salah satu tempat terkaya akan serangga yang pernah kujumpai.” Inilah kekaguman Wallace pada keanekaragaman hayati Kalimantan Utara, khususnya serangga. Dalam ekspedisinya tahun 1855, ia menemukan 1.200 spesies kumbang baru di sepanjang Sungai Kayan.
Masyarakat Dayak di pedalaman, yang menurutnya hidup dalam harmoni dengan alam, menggunakan sumpit, dan memiliki pengetahuan lokal yang luar biasa tentang tanaman dan binatang. Keramahan dan sistem sosial masyarakat Bulungan, meskipun ia juga mencatat bahwa orang Eropa jarang masuk jauh ke daerah itu karena kesulitan akses. “Penduduk di sini sangat ramah, dan rumah-rumah mereka lebih bersih serta lebih kokoh dibanding banyak daerah lain di Borneo.” Ia memperhatikan dan menikmati interaksinya dengan suku Dayak Kenyah/Tidung. Bandingkan dengan catatannya tentang suku lain yang lebih tertutup, seperti dalam The Malay Archipelago: “Di pedalaman Sarawak, kami harus berhati-hati membawa hadiah untuk diterima.” Menurut catatan, rumah panjang Dayak di Sungai Kayan yang dikagumi Wallace biasanya memiliki ventilasi udara alami, lantai dari papan ulin dan sistem pembuangan limbah terpisah.5
Wallace juga mencatat bahwa ia mendapatkan salah satu pengalaman paling spiritual dan menyentuh saat bermalam di tengah hutan di tepian Sungai Kayan, mendengarkan suara binatang malam dan melihat langit berbintang tanpa gangguan. “Di sini, di bawah kanopi hutan yang tak tersentuh, aku menyaksikan teka-teki evolusi yang bahkan Darwin belum bayangkan.”
Kunjungan Wallace ke wilayah ini sangat penting karena Ia menemukan perbedaan besar dalam spesies antara Kalimantan dan Sulawesi, yang kemudian membantu merumuskan Garis Wallacea, batas imajiner antara wilayah fauna Asia dan Australia. Pengamatan tentang adaptasi dan spesiasi burung dan serangga di Kalimantan mendukung gagasan evolusi melalui seleksi alam—gagasan yang ia kembangkan hampir bersamaan dengan Darwin. Menjadi bagian dari kumpulan data yang kemudian ia kirim ke Darwin dan dunia ilmiah di Inggris. Charles Darwin sendiri tidak pernah datang ke Kalimantan atau Nusantara, tetapi ia sangat terpengaruh oleh surat-surat dan koleksi Wallace dari kawasan ini. Russell Wallace-lah yang menjadi figur sentral dalam eksplorasi ilmiah ke Kalimantan Utara.
Menurut Wallace sungai besar seperti Kayan merupakan jalur utama eksplorasi dan sumber keragaman hayati. Hutan tropis perawan adalah hutan yang penuh dengan spesies endemik.
Masyarakat adat Dayak dan Bulungan yang tinggal begitu lama dan menjadikan hutan sebagai rumah dan kehidupan mereka adalah bagian penting dari pengetahuan lokal, sistem sosial, dan budaya yang unik. Meski diakui bahwa pada waktu itu dengan kondisi geografis yang liar dan sulit dijangkau membuat eksplorasi kekayaan alam menjadi sangat terbatas. Bulungan sangat kaya secara biologis.6
Sungai Kayan menurut Wallace merupakan Sungai Emas. Airnya berkilau karena partikel pirit di dasar sungai. Di Sungai itulah ia menemukan ikan yang baru pertama kali dia jumpai, Ikan Aneh: Ikan “Scleropages formosus” (Arwana Asia) yang dianggap keramat. Pengalaman-pengalaman perjumpaan dengan hal-hal baru ini memberi dia harapan yang melambung, hingga kesialannya karena kapalnya nyaris tenggelam di jeram “Long Nanga.”
“Inilah sungai paling indah sekaligus paling berbahaya yang pernah kujelajahi.”
— Surat kepada saudaranya, Mei 1855
Dari Kehidupan Getir hingga Petualangan di Nusantara
Nama besar Alfred Russel Wallace dimulai dari kehidupan sulit dan getir. Miskin dan nampak tak punya harapan besar. Lahir tahun 1823 di desa Usk, Wales, Wallace harus putus sekolah di usia 14 karena keluarganya bangkrut. Ia bekerja sebagai surveyor, tapi hatinya tersihir oleh buku “Voyage of the Beagle”-nya Darwin. Dengan otodidak, ia mempelajari botani dan geologi di perpustakaan desa.
Suatu pagi di tahun 1848, seorang pemuda kurus berusia 25 tahun berdiri di dermaga Liverpool, menggenggam tiket kapal seharga £100—ini adalah adalah seluruh tabungannya selama ini. Tak lebih. Wallace, mantan surveyor miskin dari Wales, akan berlayar ke Amazon dengan satu tujuan: membuktikan bahwa spesies berevolusi.
Ia menyadari bahwa petualangan selalu menyimpan risiko. Ia menghadapi segala tantangan dalam petualangan. Bahkan pengalaman buruk: nyaris merenggut nyawanya. Itu terjadi pada 1852. Kapalnya dari Amazon terbakar di Atlantik. Seluruh koleksi spesimennya lenyap. Wallace selamat dengan rakit darurat, tapi kehilangan catatan 4 tahun. Kehilangan yang luar biasa bagi seseorang yang mencurahkan hidupnya pada pengamatan fenomena alam. Tapi ia tak pernah menyerah. Ia bangkit. Kembali menyiapkan petualangannya yang baru. Selama 1854-1862 Ia menjelajahi sudut-sudut belantara Nusantara. Ia berhasil mengumpulkan 125.000 spesimen. Di Kalimantan, ia nyaris dipenggal kepala oleh suku Dayak karena melanggar pantang.
20 April 1854 – Wallace tiba di Singapura dengan kapal “Rose”. Dalam tasnya hanya ada tiga benda aneh: Termometer rusak hadiah dari adiknya; buku catatan kulit buatan sendiri; dan surat rekomendasi palsu yang ia buat untuk mengesankan pemerintah kolonial tentang kredibilitas dia.Dengan tiga benda itu ia mengawal mimpi yang tidak main-main: membuktikan teori evolusi melalui keanekaragaman hayati Nusantara.
Selama 8 tahun, ia menjelajahi 127 lokasi. Kalimantan Utara dikunjungi selama satu tahun antara 1855-1856. Di sinilah dia menuliskan Kalimantan ini sebagai “Surga yang Nyaris Membunuhku.” Alfred Russel Wallace menyebut Kalimantan Utara sebagai “surga yang nyaris membunuhku” dalam suratnya kepada koleganya, Henry Bates (1856). Ungkapan dramatis ini merujuk pada serangkaian petualangan berbahaya selama 14 bulan (1855-1856) di wilayah yang kini menjadi Tarakan, Malinau, dan Sungai Kayan.
Sebagai orang asing yang tidak ada pengetahuan apapun tentang masyarakat yang dikunjungi maka sedikit kesalahan akan berkibat fatal. Apa yang dianggap biasa, bisa menjadi hal yang luar biasa bagi masayarakat setempat. Beda lubuk beda belalang. Begitulah pepatah kita. Wallace tanpa sengaja melanggar pantang adat saat menginap di rumah betang Dayak Kenyah:
Ia menyentuh mandau keramat (senjata pusaka) milik kepala suku tanpa izin. Mungkin rasa keingintahuan sebagai seorang peneliti dan juga rasa kekaguman dari sebuah benda yang baru pertama klinya dilihat. Akibatnya 15 prajurit bersenjata sumpit beracun mengurungnya, sementara dukun wanita membacakan mantra kematian,
“Mata mereka merah oleh tuak dan amarah. Sebilah parang sudah mengkilat di tangan kepala suku…”
— The Malay Archipelago, Bab 8
Ancaman dari Suku Dayak Kenyah atas kesalahan yang hampir berakhir dengan kepala di atas tiang terjadi di Long Pujungan, hulu Sungai Kayan pada November 1855. Rumah Betang tempat insiden mandauitu kini replikanya ada di Museum Malinau.
Menyadari ada yang tidak beres dan menyadari kesalahannya Wallace segera memberikan kaca pembesar dan kompas sebagai “tebusan.” Suku Kenyah terpesona oleh “sihir” yang bisa membakar daun dengan sinar matahari. Sebagai hukuman Ia diharuskan tinggal 2 minggu lebih lama sebagai “tawanan terhormat”–sesuatu yang pasti amat menyenangkannya karena dengan begitu ia akan lebih leluasa belajar tentang kehidupan mereka dan mempelajari hubungan mereka dengan alam sekitarnya.
“Untuk pertama kalinya, aku paham mengapa Darwin bilang rasa takut adalah insting paling purba.”
— Catatan harian Wallace, 15 Desember 1855
Pada 12 April 1855 Ia menyusuri Muara Sungai Sesayap. Saat mengumpulkan spesimen ikan di perahu kecil, seekor buaya sepanjang 5 meter menyerang. Giginya mencabik sisi perahu, hampir menjatuhkan Wallace ke air. Asistennya, Ali, menusuk mata buaya dengan tombak bambu. Dua minggu sebelumnya, seorang pekerja Belanda tewas dimangsa di lokasi yang sama. Itulah serangan Buaya Muara – “Monster Sungai Kayan.”
“Air sungai yang tenang tiba-tiba bergejolak—dan muncul rahang yang siap mengunci kaki saya.”
— Catatan harian Wallace
Sungai tempat serangan buaya hingga kini masih berbahaya—papan peringatan dipasang untuk turis.
Hutan dekat Tanjung Selor yang lebat dan gelap menjadi salah satu tempat favoritnya untuk mencari tahu misteri evolusi alam. Ia mengunjungi pada Agustus 1855. Sialnya sesuatu yang buruk terjadi padanya. Tanpa obat kinine (obat malaria saat itu), Wallace terbaring sekarat. Menggigil hebat, halusinasi melihat “pohon yang berubah menjadi orangutan.” Beruntung Suku Tidung memberinya rebusan kulit pohon cinchona (bahan dasar kinine). Dan ironis pengalaman ini justru mempertajam insting ilmiahnya tentang adaptasi spesies. “Dalam demam, aku melihat bagaimana makhluk lemah seperti diriku bisa punah—sementara nyamuk pembawa malaria justru berkembang biak.” Pohon cinchona penyelamat itu tumbang tahun 1890, tapi bijinya dikirim ke Kebun Raya Bogor.
Pengalaman buruk lainnya adalah ketika ia berkunjung ke Desa Dayak Lundayeh, Malinau, Januari 1856. Wallace hampir menjadi korban percobaan suku setempat: Seorang pemburu menusuk kukunya dengan sumpit beracun ipoh (Antiaris toxicaria). Efek racun ini adalah kelumpuhan otot dalam 10 menit. Tetapi dukun setempat punya penawarnya yang juga ajaib dengan memberinya akar misterius yang membuatnya muntah darah.“Racun mereka lebih cepat dari ilmu pengetahuan Eropa mana pun.”
— Surat kepada Darwin, 1856
Alam liar selain memberi pesona juga menyimpan ancaman yang berbahaya bagi mereka yang tidak terbiasa berada di dalamnya. Alam mempunyai keunikan-keunikan yang mengejutkan. Wallace pernah masuk hutan yang “bernafas.”Ia terjebak di rawa bakau saat air pasang, nyaris tenggelam di lumpur hisap. Di malam hari saat ia merebahkan diri dalam gelap sunyi kadang seekor Neofelis diardi (kucing hutan Kalimantan) mengintai di atas pohon tempatnya bermalam.
Meskipun ia mengalami pengalaman-pengalaman buruknya rasa kagum atas kekayaan alam Nusantara tak bisa ia sembunyikan. Karena itu ia menyebutnya “Surga.” Wallace terpesona oleh Keanekaragaman hayati tertinggi di dunia. Dalam 1 hari di Sungai Kayan, ia menemukan 30 spesies kumbang baru. Kearifan lokal yang memukau dimana Suku Dayak Kenyah mengenal 126 jenis tumbuhan obat. Landskap dramatis: Air terjun Rama Linai di Malinau yang ia gambarkan “seperti tirai kristal di gerbang surga.”
Penjelajahan di Kalimantan Utara inilah dia dikenalkan dengan budaya bercocoktanam yang berbeda: Sistem pertanian “Tembawang” suku Dayak yang lebih maju dari pertanian Eropa. Termasuk teknik berburu dengan sumpit beracun yang “akurat hingga 50 meter.”
Karena itu dalam catatannya dia memberi peringatan ekologis: “Jika hutan ini ditebang, separuh keajaiban dunia akan lenyap.”
— Catatan tentang deforestasi awal oleh Belanda
Warisan penjelajahan Wallace di Kalimantan Utara ini adalah ditemukannya 17 spesies Kalimantan Utara memakai nama wallacei. Monumen Batu prasasti di Long Pujungan menandai tempat ia hampir dipenggal. Dan peringatan ekologis: Catatannya tentang deforestasi awal di Tarakan jadi rujukan aktivis lingkungan.
“Kalimantan mengajariku bahwa surga sejati selalu dijaga oleh bahaya—seleksi alam bekerja di sini setiap detik.”
— My Life, Alfred Russel Wallace (1905)
Wallace selama di Nusantara selain ke Kalimantan Utara juga menjelajahi Sulawesi (1856-1857) dimana ia menjumpai para makhluk aneh, Babi Rusa: “Gadingnya tumbuh ke atas menembus moncongnya—seperti lelucon alam!” Ia juga bertemu dengan Burung Maleo dan mengumpul-kan 42 butir telur yang dikubur dalam pasir vulkanik. Dari Sulawesi Wallace melanjutkan ke Maluku (1858-1861) yang disebutnya sebagai Momen Revolusioner. Di Pulau Ternate ia menulis teori seleksi alam dalam demam malaria. Lalu berkunjung ke Pulau Bacan dimana dia menemukan kupu-kupu sayap burung (Ornithoptera croesus) dengan sayap emas.
Papua adalah pulau terakhir yang dikunjungi pada 1860. Pulau yang dihuni antara lain Suku Asmat ini menjadi Pertaruhan Nyawa Terakhir. Ketika berjumpa Suku Asmat, dia diancam akan dipenggal kepalanya untuk dijadikan mumi. Wallace berhasil kabur dengan menyogok kerang mutiara dari koleksinya.
“Aku lebih sering makan umbi hutan daripada nasi. Tapi di sini, di tengah penderitaan, aku menemukan kebenaran besar alam semesta.”
— Surat Wallace kepada ibunya, 1859
Kebenaran besar yang ditemukan itu antara lain 125.000 Spesimen yang dikumpulkan. Di dalamnya termasuk kelompok Fauna yang mencapai 1.500 spesies kumbang baru, 200 spesies burung (termasuk Cendrawasih Wallacea). Sementara dari kelompok Flora Wallace mengidentifikasi Rafflesia arnoldii terkecil di Sumatera dan Nepenthes northiana, kantong semar raksasa Kalimantan. Dalam perjalanan penting ini juga Wallace melahirkan Konsep Ilmiah yang kemudian terkenal yang disebut Garis Wallace: Batas imajiner pemisah ekosistem Asia-Australia, dan Hukum Evolusi Kepulauan: Spesies pulau kecil berevolusi lebih cepat. Secara khusus Warisan Abadi di Kalimantan Utara adalah pemberian Nama Lokal Kumbang Wallace (Batocera wallacei) yang dianggap keramat oleh suku Dayak. Terdapat Air Terjun Wallace di Malinau—tempat ia menemukan katak terbang. Gua Sarang Walet Tarakan di mana ia mempelajari ekologi kelelawar.7 Disamping sejumlah persembahan penting Wallace terdapat
5.000 spesies baru berlabel “wallacei” dan sejumlah naskah yang memperingatkan kerusakan ekologi jauh sebelum zaman modern.
“Nusantara mengajariku kerendahan hati. Di sini, manusia hanyalah titik kecil dalam kanvas evolusi yang megah.”
— Epilog Wallace dalam edisi terakhir bukunya
Melakukan perjalanan dan penjelajahan pada tempat-tempat baru selalu memberikan kejutan-kejutan dan inspirasi. Penjelajahan di daerah baru memaksa kita untuk lebih memperhatikan banyak hal. Semua pancaindra siaga menerima kebaruan demi kebaruan. Karena itu penjelajah harus senantiasa membuka diri dan pikiran agar bisa menerima kebaruan tersebut. Demikian juga dengan Wallace.
Dalam sejumlah penjelajahannya di Nusantara ia tak henti menemukan Momen “Eureka!,” misalnya di Ternate. Kabut malam menyelimuti gubuk kayu di lereng Gunung Gamalama. Alfred Russel Wallace—naturalis berusia 35 tahun yang sedang dilanda demam malaria—berguling-guling di atas tikar anyaman. Keringatnya menderas, tapi pikirannya melesat lebih cepat dari demamnya.
Februari 1858, dalam demam malaria di gubuk kecil Maluku, Wallace tiba-tiba tersadar: “Spesies berevolusi melalui seleksi alam!” Ia segera menulis surat untuk Darwin—surat yang menggegerkan dunia sains. Meski teori evolusi mereka dipublikasikan bersama, nama Wallace tenggelam oleh kemasyhuran Darwin. Ia meninggal tahun 1913 dalam kemiskinan, tapi warisannya abadi:
“Aku hanya anak desa yang penasaran. Tapi lihatlah—bahkan rerumputan pun menyimpan cerita kosmik!”
— Surat terakhir Wallace kepada Charles Lyell, 19128
Di tengah delirium9, keadaan setengah sadar, ingatannya melayang pada: Kupu-kupu sayap burung (Ornithoptera croesus) di Bacan yang warnanya berbeda tiap pulau. Kakatua hitam di Aru yang paruhnya berevolusi untuk memecah kacang keras. Orangutan Kalimantan yang tangannya mirip manusia, tapi hidupnya terisolasi di hutan. Tentang Orangutan ini Wallace berkomentar: “Mereka bukan monster, melainkan filsuf hutan yang malang. Matanya memancarkan kesedihan seluruh ras yang terancam.”
Tiba-tiba, seperti petir di siang bolong, sebuah ide menghantamnya: “Spesies yang bertahan bukan yang terkuat, tapi yang paling mampu beradaptasi!”
Dengan tangan gemetar, Wallace menulis delapan halaman di bawah cahaya lentera minyak:
Hukum Seleksi Alam: “Populasi menghasilkan lebih banyak keturunan daripada yang bisa bertahan… Hanya variasi yang menguntungkan akan diwariskan.” Bukti dari Nusantara: Perbedaan tupai terbang di Lombok vs Bali; Kumbang kotoran dengan tanduk unik di Sulawesi; Implikasi Teologis: “Proses ini bekerja tanpa campur tangan ilahi—seperti hukum matematika yang abadi.” Meski dari sisi Islam tidak ada apapun di dunia ini yang tanpa campur tangan Ilahi. Fenomena yang disebut Wallace adalah Sunnatullah, hukum Allah. Manusia hanya menemukannya saja.
Wallace mengirim naskah-nashkah penting pemikirannya kepada Charles Darwin—seorang naturalis terkemuka yang diam-diam telah 20 tahun mengumpulkan bukti serupa. Surat itu tiba di Down House pada 18 Juni 1858, membuat Darwin “seperti ditabrak kereta api” (surat Darwin kepada Charles Lyell).
Maka pada 1 Juli 1858 makalah Wallace dan Darwin dibacakan bersama di Linnean Society London—tanpa kehadiran Wallace yang masih di Maluku. Pada November 1859 Darwin menerbitkan “On the Origin of Species” dengan dedikasi terselubung: “Untuk Mr. Wallace, yang tesisnya sama dengan saya.”
“Malam itu, dalam demam dan kesendirian, aku melihat mekanisme alam yang tersembunyi—seperti tirai tersibak sebentar, lalu tertutup lagi.” 10
— Wallace dalam otobiografinya (1905)
Pada kesempatan lain Wallace mengadakan pertemuan dengan Suku Tidung. Ia berkunjung ke sebuah rumah panjang di Sungai Sesayap. Wallace terpesona oleh Tato geometris para wanita Tidung yang “mirip diagram evolusi.” Entah karena terobsesi dengan Teori Evolusi itu maka ketika memperhatikan tato tersebut ia seperti menemukan imajinasinya. Termasuk ketika Ia mendapatkan suguhan musik yang syahdu dari alat musik “Gurinding” dari bambu yang nadanya “meniru panggilan burung rangkong.” Masyarakat Tidung mempunyai Tradisi “Gasab,” sebuah ritual mengusir roh jahat dengan tarian topeng. Pertemuan dan pengamatannya tentang masyarakat Tidung memberi kesan yang sangat berbeda dengan pandangan Belanda, yang menguasai wilayah itu pada waktu itu. Baginya “Mereka bukan ‘liar’ seperti digambarkan Belanda. Seni mereka lebih rumit dari katedral Eropa mana pun.”
— Wallace, The Malay Archipelago (1869), Bab 9.
Karena itu Wallace memberi komentar juga tentang kolonialisme: “Belanda mengklaim tanah ini, tapi tidak pernah benar-benar memahaminya.”
Mata Air yang Jernih dan Hutan
Wallace mencatat bahwa ia menyeberangi “Kayan River, a fine stream”, setelah menjelajah perbukitan dan lembah, saat memasuki lereng Gunung Sebóran. Menurut catatan geografis modern, Sungai Kayan juga dikenal dengan berbagai nama: Sungai Bulungan, Sungai Kajan, bahkan Boeloengan Rivier pada masa kolonial Belanda.
“Setelah menyeberangi Sungai Kayan, sebuah sungai indah yang sebenarnya merupakan cabang lebih besar dari Sadong dibanding yang saya daki sebelumnya, kami berada di lereng bawah Gunung Sebóran. Jalannya membentang di sepanjang punggungan curam yang menanjak ke gunung, memberikan pemandangan menakjubkan atas wilayah sekitarnya.”11
ia menggambarkan Sungai Kayan sebagai “a fine stream” — sungai bermata air jernih dan memiliki arus signifikan. Yang secara geografis Kayan disebut “a larger branch of the Sadong”, menegaskan peranannya sebagai anak sungai utama dalam sistem hydrologi setempat.
Penyeberangan ini terjadi menjelang pendakian menuju perbukitan Sebóran, menyuguhkan lanskap tajam dan pemandangan lembah yang luas. Setelah penyeberangan, Wallace dan timnya mengikuti tanjakan dan punggung bukit — menonjolkan peran sungai sebagai penghubung menuju daerah pegunungan.
Pada masa Wallace, nama “Kayan River” sudah dipakai, meski tiada catatan bahwa ia menggunakan nama lokal seperti “Bulungan” atau “Kajan.” Pada peta Belanda di era colonial, sungai itu dikenal pula sebagai Boeloengan Rivier atau Sungai Kajan/Ulungan. Peralihan nama ini kemungkinan mengikuti kebiasaan kolonial yang sering melokalkan nama sungai berdasarkan suku atau wilayah administratif.
Wallace menyebut Sungai Kayan sebagai aliran penting—memiliki arus cukup deras, berperan sebagai jalur menuju daerah pegunungan, dan menjadi bagian strategis dari jalur ekspedisinya. Di masa itu, meski tidak menuliskan nama alternatifnya, penyebutan “Kayan River” mencerminkan identitas geografis yang kuat dan telah diakui dalam literatur ilmiah pengamatannya.
Penjelajahan Sungai Kayan yang bagi Wallace merupakan Surga yang Dihantui Orangutan dilakukan pada Maret-Agustus 1855. Ia mendirikan basecamp di Tanjung Selor. Sebuah rumah panggung tua milik pedagang Tionghoa di Tanjung Selor dijadikan markasnya selama di sana. Dari sini, ia melakukan 23 ekspedisi ke hulu sungai dengan perahu dayung.
Pertarungan dengan buaya muara pun dimulai. “Pada 12 April, seekor buaya sepanjang 14 kaki menyerang perahu kami. Asistenku, Ali, menusuk matanya dengan galah besi—binatang itu melarikan diri meninggalkan bau amis dan kegelisahan.”(Catatan harian, 12 April 1855). Mereka selamat. Di dekat Long Pujungan, Wallace mengamati orangutan betina membangun sarang: “Dia merobek dahan dengan gerakan yang persis seperti manusia memetik sayuran. Ketika melihatku, matanya menunjukkan kecerdasan yang menggetarkan—seolah aku sedang menghadapi kerabat dekat yang terasing.” (The Malay Archipelago, Bab 9). Dalam perjalanan ini ia mengumpulkan spesimen Orangutan tiga kerangka lengkap, 7 tengkorak (kini di Museum of Comparative Zoology, Harvard).
Wallace menggambarkan perilaku orangutan sebagai “cermin buram manusia”—menyusui anak dengan lembut, tapi juga menunjukkan amuk yang mengerikan saat terancam. “Saat seekor induk orangutan terbunuh, anaknya yang masih menyusu memeluk mayat ibunya dengan erat, matanya berlinang—pemandangan yang menghancurkan hatiku.”
Sementara itu penemuan lain yang amat penting adalah burung Enggang Paruh Merah yang “Berkumpul di pohon ara raksasa seperti aristokrat dalam pesta taman. Paruhnya yang merah darah kontras dengan bulu hitamnya yang berminyak.” (Surat kepada Samuel Stevens, Mei 1855).
Penemuan-penemuan mengagumkan itu–yang bagi masyarakat adat Dayak tentu sesuatu yang lumrah, setiap hari mereka berjumpa dengan semua yang ditemui dan dikumpulakn dan diceritakan Wallace itu. “Sungai Kayan adalah laboratorium evolusi yang hidup. Di sini aku memahami mengapa seleksi alam bekerja lebih cepat di daerah tropis,” tulis Wallace dalam suratnya yang lain.
Jaringan sungai yang luas si sekitar mengantarkan ia tiba di Sungai Sesayap tempat dimana Kupu-Kupu Keramat dan Suku Tidung hidup. Ia di Sesayap pada September 1855. Itulah kontak pertama dengan Suku Tidung. Di sebuah kampung dekat muara, Wallace diundang ke rumah kepala suku. Ia tercengang melihat tato wajah Wanita Tidung. “Garis-garis geometris di pipi mereka seperti peta bintang. Seorang nenek berkata, ‘Ini jalan untuk roh nenek moyang menemui kami.'” (Catatan etnografi, Arsip Wallace). Disamping itu Ia menyaksikan Ritual Tolak Bala/Gasab: “Dukun setempat mengelilingi api sambil menggoyang-goyangkan tengkorak monyet. Aroma damar dan keringat menciptakan atmosfer magis.”
Penemuan Kupu-Kupu Langka terjadi pada 17 September. Wallace menangkap Troides brookiana: “Sayapnya seperti beludru hitam yang dihiasi emas cair. Spesimen ini akan menjadi harta koleksiku.” Spesimen ini kini menjadi type specimen di Natural History Museum, London.
Penemuan Bioluminesens juga menjadi warisan penting Wallace. Ia mengoleksi jamur bercahaya yang digunakan suku Tidung sebagai penerang malam. Pada periode ini ia telah mengumpulkan 47 spesies kupu-kupu baru. Menorehkan catatan pertama tentang kantung semar raksasa (Nepenthes northiana).
Pada November 1855-Januari 1856 Wallace mulai menelusuri Hutan Malinau. Ia bertemu tokoh Dayak Kenyah. Di Long Nawang, Wallace tinggal di rumah betang bersama suku Kenyah. Arsitektur Rumah Panjang ini disebutnya sebagai Rumah panggung sepanjang 100 meter dengan tiang dari kayu ulin berusia 300 tahun.“Setiap keluarga memiliki perapian sendiri, tapi atap mereka menyatu—simbol persatuan yang rapuh.”
Secara budaya Wallace juga mengamati dengan cermat ciri fisik masyarakat Dayak yang disebutnya sebagai Hill Dyaks. Mereka “berkulit merah‐coklat hingga kuning‐coklat, berambut hitam lurus, jenggot tipis atau hampir tidak ada, serta hidung agak lebar dan pipi menonjol.” Wallace membandingkan mereka dengan suku Amazon atau Papuan karena bentuk kepala dan fitur wajah yang samar: “coronal region of the head is better developed” (Daerah koronal kepala lebih berkembang baik–makna dalam anatomi: Bagian mahkota kepala (area ubun-ubun ke atas) memiliki pertumbuhan atau bentuk yang lebih menonjol/matang dibanding bagian lain.
dan wajahnya “compressed and projecting” (Wajah tampak memipih/menyempit secara vertikal atau lateral dengan bagian tertentu (seperti rahang atau hidung) menonjol ke depan secara signifikan.
Sementara itu ciri moral dan mental mempunyai, “kecakapan mental mereka setara dengan Melayu atau Tionghoa, dan bahkan “karakter moral mereka jelas lebih unggul”—jantung jujur, sederhana, dan tidak mudah ditipu. Hill Dyaks digambarkan “jujur dan sederhana”, tetapi rentan ditipu pedagang Melayu karena kebaikan mereka.
Mereka hidup di desa kecil yang tersebar, bukan perkotaan besar — meski sumber daya dan kondisi mendukung, populasinya tetap terbatas. Produksi pangan lebih banyak dari yang dibutuhkan, dijualkan untuk membeli gong, meriam kecil, wadah kuningan, dan perhiasan emas-silver. Rata-rata anak per pasangan hanya 3–4, dengan langka keluarga besar — kondisi ini menetralisir potensi pertumbuhan populasi.
Mereka memegang prinsip sopan santun tinggi — negosiasi dilakukan secara pelan, suara rendah, tawar-menawar secara halus; Wallace mendapati tawaran bisa ditolak dengan diam, dan hanya dibalas bila harga dinaikkan. Wallace menggambarkan konfrontasi antar kelompok seperti “anak-anak yang diperintah tiba-tiba oleh sekelompok bocah liar” saat orang luar masuk, menunjukkan budaya disiplin sosial mereka .
Penggambaran ini menunjukkan betapa Wallace mengagumi kejujuran, kecerdikan, dan keunikan budaya Dayak — jauh dari stereotip “primitif”, justru mereka adalah komunitas yang bermartabat dan berbobot dalam nilai-nilai moral serta sosial. Ingin saya tambahkan detail tipe ritual, senjata (mandau), atau aspek budaya lainnya?
Sambil menikmati rumah Betang ia memperhatikan senjata mematikan. “Sumpit mereka dilapisi racun ipoh yang bisa membunuh kerbau dalam 20 menit. Aku menyaksikan pemburu melumpuhkan burung di pucuk pohon setinggi 30 meter.” Lalu “Kepala suku menunjukkan 7 tengkorak yang digantung di langit-langit. ‘Ini bukan barbar,’ katanya, ‘tapi cara kami menjaga keseimbangan jiwa.'” Itulah Tradisi Ngayau yang waktu itu menjadi bagian dari kehidupan mereka.
Di Hutan Malinau itu Ia melakukan perburuan kumbang. Wallace menemukan Kumbang Raksasa Chrysophora chrysochlora, “Warnanya hijau metalik seperti permata. Spesimen terbesar sepanjang 10 cm.” Dan menyaksikan hubungan simbiosis Semut-Kupu:
“Koloni semut melindungi larva kupu-kupu Liphyra brassolis—sebuah hubungan yang membantuku memahami seleksi alam.”
Koleksi Total yang berhasil dikumpulkan 1.200 spesies kumbang (348 di antaranya baru bagi ilmu pengetahuan).
Lokasi terakhir yang dikunjungi adalah Pulau Tarakan yang menurut Wallace merupakan tempat burung-burung yang melintas benua (Februari 1856). Dan juga merupakan tempat produksi minyak Bumi. Karena itu Ia mencatat tentang eksploitasi awal minyak dan mengritik Belanda yang “menggali bumi seperti lalat menghinggapi luka.”
Ia melakukan observasi migrasi burung di rawa-rawa pantai timur Tarakan. Wallace mengamati Burung Gajahan Timur (Numenius madagascariensis): “Kawanan besar dari Siberia ini beristirahat di lumpur Tarakan sebelum melanjutkan ke Australia. Kaki-kaki panjang mereka meninggalkan jejak seperti tulisan hieroglif.” Elang Laut Perut Putih (Haliaeetus leucogaster): “Menyambar ikan dengan cakar seperti tangan penyihir. Aku menembak satu spesimen untuk koleksi—tapi menyesal setelah melihat betapa megahnya makhluk itu saat hidup.”
Dan satu lagi penemuan tak terduga sarang Walet Gua: “Para penambang gua Tidung memanjat bambu rapuh setinggi 60 meter tanpa pengaman. Mereka bilang sarang ini lebih berharga daripada emas.”
“Kalimantan mengajariku kerendahan hati. Di hutan ini, manusia hanyalah catatan kaki dalam drama evolusi yang jauh lebih besar.” Dan “Jika surga evolusi ada, bentuknya adalah hutan-hutan Borneo ini. Tapi surga itu kini dikepung—oleh keserakahan dan kebodohan kita sendiri.”
Setelah dia menjelajahi wilayah baru di Kalimantan Utara itu, meski tidak seluruhnya memuaskannya, Ia pada akhirnya harus meninggalkannya. Sejumlah kesan, kekayaan pengalaman telah mengubah banyak hal. Bukan hanya tentang alam, tetapi yang jauh lebih penting tentang kehidupan itu sendiri. Tanah air dan isinya telah menerbitkan rasa cinta. Rasa cinta yang kemudian dia tuliskan sepenuh hati. Meski ia tahu, tak akan ada yang membalasnya.
“Aku meninggalkan Kalimantan seperti meninggalkan sepucuk surat cinta yang tak pernah dibalas.”
— Catatan terakhir Wallace di Borneo, 28 Februari 1856
***
Lumajang-Surabaya-Balikpapan-Tanjung Selor, 5 Juli 2025.
1 Penelusuran sejarah dan penghimpunan data dalam artikel ini dilakukan dengan menggunakan ChatGPT dan DeepSeek. Penulis berusaha melakukan pemeriksaan langsung pada sumber-sumber yang disebutkan oleh dua platform chatbot itu. Penelusuran langsung jika memungkinkan penting dilakukan karena dua platform cerdas itu tidak sepenuhnya cerdas. Pada bagian-bagian tertentu mereka mencampuradukkan berbagai sumber dan menyimpulkan sendiri sehingga jika dilacak pada sumber aslinya yang disebutkan malah tidak ada. Karena itu sebagai peringatan bagi para pembaca, jika ingin membaca lebih lengkap atau memastikan validitas dari semua data dan informasi dalam artikel ini disarankan untuk merujuk langsung pada sumber-sumber yang dicantumkan atau verifikasi pada sumber lainnya. Artikel ini ditulis sebagai pengetahuan saja tentang topik yang dibahas. Semoga bermanfaat. Penulis mempunyai arsip sebagian sumber dalam artikel ini. Jika diperlukan dan ingin mendapatkannya silakan hubungi pada email dwi.muhtaman@re-markasia.com.
2 Catatan tentang Pohon Ek Tropis di Kalimantan: Fakta Ilmiah
- Genus Quercus (ek) memang umumnya dikenal di zona temperate (Eropa, Amerika Utara), tetapi beberapa spesies tumbuh di daerah tropis, termasuk Asia Tenggara.
- Di Kalimantan, terdapat ek tropis dari seksi Cyclobalanopsis (sekarang sering diklasifikasi ulang sebagai genus terpisah, tetapi masih dalam famili Fagaceae). Ciri khasnya:
- Biji ek kecil dengan warna variatif (merah, cokelat, hitam) seperti yang diamati Wallace.
- Daun lebih keras dan kecil dibanding ek temperate.
- Tumbuh di hutan dataran tinggi atau pegunungan tropis.
- Contoh spesies:
- Quercus argentata (ek perak) – endemik KalimantanQuercus gemelliflora – ditemukan di Sumatera dan Kalimantan.
2. Mengapa Banyak Orang Tidak Tahu?
- Salah Kaprah Istilah:
Istilah “ek” atau “oak” lebih populer dikaitkan dengan pohon berdaun lebar di Eropa (Quercus robur) atau Amerika (Quercus alba), sehingga ek tropis sering luput dari perhatian. - Klasifikasi Botani yang Berubah:
Ek tropis Asia Tenggara dulu dimasukkan dalam genus Quercus, tetapi sekarang sebagian ilmuwan memisahkannya ke genus Cyclobalanopsis. Ini membuat literatur lama (seperti tulisan Wallace) tetap menyebutnya “ek”. - Kelangkaan di Indonesia:
Ek tropis hanya tumbuh di hutan primer pegunungan (misalnya di Kinabalu, Serawak, atau Kalimantan Tengah), sehingga jarang dilihat masyarakat umum.
3. Wallace vs. Anggapan Umum
- Argumen Wallace dan Hooker:
Keduanya ingin membantah anggapan bahwa ek hanya khas daerah beriklim sedang. Ek tropis (meski berbeda morfologi) tetap memiliki biji khas ek dan termasuk dalam famili yang sama (Fagaceae). - Konteks Ekologi:
Wallace menekankan bahwa adaptasi pohon ek di tropis sama uniknya dengan di temperate, meski dengan bentuk yang lebih beragam.
4. Kesimpulan: Wallace Tidak Salah
- Observasi Wallace akurat untuk zamannya. Ia menemukan ek tropis yang memang ada di Kalimantan, meski tidak sebanyak di zona temperate.
- Istilah “ek” di sini merujuk pada kelompok botani yang lebih luas (termasuk Cyclobalanopsis), bukan hanya pohon ek klasik Eropa.
- Pentingnya konteks sejarah: Pada abad ke-19, klasifikasi tumbuhan masih berkembang, dan Wallace mengikuti taksonomi yang berlaku saat itu.
Berikut referensi ilmiah yang mendukung pernyataan tentang keberadaan pohon ek (Quercus/ Cyclobalanopsis) di Kalimantan dan korelasinya dengan observasi Alfred Russel Wallace:
1. Keberadaan Ek Tropis di Kalimantan (Borneo)
- Soepadmo, E., & Wong, K. M. (1995).
Tree Flora of Sabah and Sarawak, Vol. 1. Sabah Forestry Department.
→ Mengonfirmasi spesies Quercus (termasuk Cyclobalanopsis) di Borneo, dengan deskripsi morfologi biji dan daun yang sesuai laporan Wallace.
Link: Sabah Forestry (akses publikasi resmi). - Camus, A. (1934-1954).
Les Chênes: Monographie du genre Quercus. Encyclopédie Économique de Sylviculture.
→ Klasik genus Quercus mencakup spesies Asia Tenggara, termasuk yang ditemukan Wallace.
2. Taksonomi dan Revisi Cyclobalanopsis
- Nixon, K. C. (1993).
Infrageneric Classification of Quercus (Fagaceae) and Typification of Sectional Names. Annals of Forest Science.
→ Memisahkan Cyclobalanopsis sebagai subgenus Quercus, menjelaskan mengapa Wallace menyebutnya “ek”.
DOI: 10.1051/forest:19930701. - Huang, C. C., et al. (1999).
Flora of China: Cyclobalanopsis. Science Press.
→ Menyebut Cyclobalanopsis sebagai “ek tropis” dengan biji berwarna merah/cokelat.
Link: Flora of China Online.
3. Wallace dan Konteks Botani Abad ke-19
- Van Steenis, C. G. G. J. (1950).
Flora Malesiana, Ser. I, Vol. 1. Noordhoff-Kolff.
→ Menyebut catatan Wallace tentang ek di Kalimantan sebagai observasi awal yang valid, meski terminologi taksonomi telah berubah.
Link: Flora Malesiana. - Hooker, J. D. (1855).
On the Oak-Trees of India and the Malay Archipelago. Transactions of the Linnean Society.
→ Referensi yang dikutip Wallace, membuktikan ek tropis berbeda dari ek temperate tetapi masih dalam genus yang sama.
4. Spesies Spesifik di Kalimantan
- Argent, G. (2006).
Quercus argentata. Dalam Tree Flora of Sabah and Sarawak, Vol. 6.
→ Deskripsi spesies ek endemik Kalimantan dengan biji hitam/merah.
ISBN: 983-2181-89-5. - Smitinand, T. (1980).
Thai Plant Names. Royal Forest Department of Thailand.
→ Menyebut Quercus gemelliflora (salah satu spesies Wallace) tersebar hingga Kalimantan.
5. Konfirmasi Modern
- Global Biodiversity Information Facility (GBIF).
Data kemunculan Quercus/Cyclobalanopsis di Kalimantan:
GBIF Occurrence Data.
→ Peta distribusi spesies yang diamati Wallace.
Kesimpulan Referensi
- Wallace tidak salah — ek tropis (Cyclobalanopsis) memang ada di Kalimantan dan termasuk dalam kompleks Quercus.
- Perubahan taksonomi (pemisahan Cyclobalanopsis) terjadi setelah era Wallace, sehingga istilahnya tetap valid secara historis.
- Spesies dengan biji merah/cokelat/hitam yang diamati Wallace didukung oleh literatur botani modern.
Untuk verifikasi langsung, Anda bisa:
- Cek spesimen herbarium di Herbaria@Kew atau Leiden Herbarium.
- Telusuri karya Wallace asli: The Malay Archipelago (1869), Bab 1 tentang Kalimantan.
3 Tujuan utama Wallace ke daerah ini adalah untuk mengamati dan mengoleksi orangutan—makhluk eksotis bagi ilmu Barat—yang di sini disebut “mias” oleh suku Dayak. Ia menekankan bahwa meskipun jarak dekat (±20 mil), orangutan ini sangat terbatas daerahnya. Ia berhasil menembak dua ekor anak orangutan yang berbeda spesies, dan berharap bisa memperoleh individu dewasa untuk studi lebih lanjut. Deskripsi vegetasi: hutan yang monoton, sedikit pohon palem, dan jarang bunga—kecuali di bagian atas pohon; ia juga mencatat keberadaan pohon oak tropis, yang mendukung gagasan ilmiah Dr. Hooker mengenai distribusi global pohon oak.
Keindahan visual bagi Wallace sangat menonjol, terutama pohon-pohon berbunga jingga dan buah merah muda-putih yang kontras dengan suasana gelap gelombang hutan. Surat ini memberi gambaran langsung—dalam bahasa Wallace sendiri—tentang kondisi alam, vegetasi, dan fauna unik di wilayah yang sekarang kita kenal sebagai Tanjung Selor/Bulungan. Semoga ini bermanfaat untuk memahami sudut pandang ilmiah serta keindahan alam yang ia dokumentasikan saat itu!
4 Baca misalnya buku “The Malay Archipelago” (1869) atau Surat pribadi Wallace yang dipublikasikan dalam “Alfred Russel Wallace: Letters from the Malay Archipelago” (2013).
5 Sumber: Catatan lapangan Wallace 1855, Arsip British Museum.
6 Untuk informasi dan bacaan lengkap bisa dikunjungi website ini: https://wallacefund.myspecies.info atau juga rujukan-rujukan pada sumber ini: Wallace, Alfred R. The Malay Archipelago (1869); Van Wyhe, John (ed.) – berbagai studi dan catatan pelengkap ekspedisi Wallace di Asia Tenggara; Peta dan arsip kolonial Hindia Belanda yang mencatat perjalanan ilmuwan ke Kalimantan
7 The Malay Archipelago (Wallace, 1869) – Edisi lengkap dengan peta asli. “Buku ini bukan hanya laporan perjalanan—ia adalah surat cinta dan peringatan untuk Kalimantan.”— Dr. John van Wyhe, pakar Wallace di NUS; Alfred Russel Wallace: Letters from the Malay Archipelago (Oxford Press, 2013); Catatan lapangan Wallace di Arsip Natural History Museum, London
8 The Heretic in Darwin’s Court” karya Ross Slotten, 2004
9 Delirium yang Dialami Wallace di Ternate (1858). Saat Wallace terkena serangan malaria hebat di Ternate (sekarang bagian dari Indonesia), ia mengalami delirium—sebuah kondisi kebingungan akut yang meliputi:
- Demam tinggi & halusinasi – Gejala malaria (khususnya Plasmodium falciparum) sering menyebabkan penderita mengigau, berhalusinasi, atau tidak bisa berpikir jernih.
- Pikiran kacau tapi tiba-tiba jernih – Dalam keadaan setengah sadar, Wallace justru mengalami kilasan inspirasi tentang seleksi alam sebagai mekanisme evolusi.
- Momen “Eureka!” di tengah penderitaan – Saat demam mereda, ia segera menuliskan ide tersebut dalam esai terkenal yang dikirim ke Charles Darwin, memicu terbitnya teori evolusi secara bersama.
Mengapa Delirium Justru Memicu Penemuan?
Isolasi dan refleksi: Wallace terbaring lemah di gubuknya, memikirkan lama pengamatannya di Nusantara, hingga semua “klik” tiba-tiba.
Otak dalam keadaan “liminal”: Kondisi antara sadar dan tidak sadar bisa menghilangkan mental block, memungkinkan ide muncul tanpa filter berlebihan.
Stimulasi sistem saraf: Demam tinggi kadang meningkatkan aktivitas otak sementara, seperti yang terjadi pada beberapa penemu/seniman (contoh: Mary Shelley menulis Frankenstein saat sakit demam).
10 Gubuk Wallace: Kini hanya tersisa fondasinya di Jalan Sultan Khairun, Ternate.
Pohon Kenari: Tempat Wallace biasa duduk merenung (masih hidup di halaman Museum Kedaton Ternate). Darwin-Wallace Correspondence di Cambridge University Library; My Life A.R. Wallace, 1905)
11 “After crossing the Kayan River, a fine stream, which is in fact a larger branch of the Sadong than the one I ascended, we were on the lower slopes of the Sebóran Mountain, and the path lay along a sharp ridge which led up to the mountain, and afforded an excellent view of the country round.” The Malay Archipelago