Pete Souza: Mat Kodak yang Memahat Sejarah Obama
—Dwi R. Muhtaman—
Bogor-Cirebon, 07092019
#BincangBuku #31
“……, above all, the millions of faces that make up the proud, diverse, optimistic, bighearted character of America—faces in the crowd that I’ll always cherish seeing, thankful that Pete’s talented eyes saw them first.”
-Barack Obama, Forward untuk buku Pete Souza. “Obama: An Intimate Portrait.” 2017.-
“…in order to do the job, I needed to have access. Access to everything. All the important stuff, the moments when decisions are made. Even if it was classified.”
-Pete Souza. “Obama: An Intimate Portrait.”-
“I hope that the photographs that follow, accompanied by my words, will show you the true character of this man and the essence of his Presidency, as seen through my eyes and felt through my heart.”
-Pete Souza. “Obama: An Intimate Portrait.”-
Kepemimpinan seseorang tidak hanya bisa dinilai dari ucapannya. Pemimpin dan kualitas kepemimpinannya juga bisa dinilai dan dilihat dari ragam foto melalui mata seorang fotografer. Bagaimana seorang pemimpin menampilkan dirinya secara alamiah sebagai pemimpin. Bagaimana dia bersikap, bagaimana gesturnya, bagaimana suasana yang dihadapi, bagaimana ekspresi yang dipancarkan pada saat-saat tertentu. Aura yang yang bersinar pada suasana genting, pada kondisi santai, situasi serius, suasana penuh keakraban tim, kegembiraan, kesedihan, dan beragam ekpresi dan suasana akan bisa nampak dengan melihat foto-foto yang ditangkap oleh seorang fotografer yang handal.
Ia duduk dengan wajah tengadah dengan penuh emosi dan pikiran mendalam, 29 Januari 2009. Ruang Oval Office nampak terbenam dalam suasana yang sama: temaram dan tajam. Krisis ekonomi adalah salah satu tantangan terberat tahun pertama yang dihadapi. Krisis keuangan terbesar setelah the Great Depression. Pertemuan-pertemuan dilakukan di the Roosevelt Room, seberang ruang dia berada dalam foto ini, the Oval Office, untuk membahas dan menemukan solusi.
Pada saat lain Pete memaparkan sebuah cerita momen yang menarik dan bersahaja (Halaman 49). Salah satu tugas sebagai fotografer Gedung Putih adalah mengambil foto keluarga, biasanya ketika para staf meninggalkan Gedung Putih. Biasa disebut Departure Photos. Presiden akan mengundang anggota staf dan keluarganya ke Oval Office, dan Pete akan mengambil foto berpose di depan Resolute Desk, meja kerja Presiden. Dia menyebutnya fotografi tanpa mikir. Tinggal klik. Tidak menarik bagi fotografer sekelas Pete.
Usai foto biasanya Presiden sering mengobrol dengan anggota keluarga.
Itulah yang terjadi ketika Carlton Philadelphia, seorang anggota staf Keamanan Nasional yang tidak berpolitik, meninggalkan Gedung Putih untuk pindah ke jabatan berikutnya. Setelah berpose dengan Presiden, lalu seorang putra Carlton mengatakan dia punya pertanyaan. Yakub, lima tahun, ingin tahu apakah rambut Presiden serupa dengan rambutnya. “Mengapa kamu tidak merasakanya sendiri,” jawab Presiden. Dia membungkuk dan Yakub merasakan kepala Presiden. Momen itu terjadi begitu cepat. Pete hanya mengklik satu gambar. Secara komposisi, foto itu tidak ideal. Tapi dia berhasil membekukan momen tepat pada detik yang tepat. Dan di kemudian hari foto itu booming ketika dipampangkan di dinding West Wing. Banyak orang menyukainya. Foto itu begitu istimewa.
Selama tiga tahun foto itu tidak beranjak dari tempat digantung, tidak seperti foto lainnya yang selalu dirotasi penempatannya. Bahkan foto itu menarik perhatian reporter the New York Times, Jackie Calmes, pada 2012. Dia menulis feature tentang keluarga Philadelphia. Dan menampilkan foto Yakub itu. Ketika foto itu diturunkan dari dinding West Wing banyak yang menyarankan untuk menggantungnya kembali. Jadilah foto itu sebagai spot penting dalam setiap kunjungan tamu-tamu. Hingga akhirnya foto diturunkan pada 8 Mei 2009, pada akhir masa pemerintahan Obama.
Fotografi adalah seni membekukan momentum. Fotografi adalah seni menangkap momentum dalam hitungan sekejap, hitungan detik. Momen demi momen. Karena setiap detik adalah momentum yang berbeda. Meskipun tidak setiap detik adalah sebuah momentum penting. Kehilangan momentum adalah kehilangan sedetik sejarah. Karena itu nasihat pertama dari Michael Freemans, seorang fotografer kawakan, adalah Just Shoot. Karena momentum “..happens only once.” “Never rely on returning,” kata Freemans dalam buku fotografinya, Michael Fremans Top Digital Photography Tips (2008).
Kalau setiap masyarakat dan jaman mempunyai karakteristik ekspresi sendiri yang lahir dari kebutuhan, situasi dan tradisi pada jamannya maka tiap pemimpin juga mempunyai karakter unik yang merupakan ekspresi kepemimpinan dan suasana sosial ekonomi budaya politik pada saat pemimpin itu tampil.
Itulah yang nampak jika kita membuka lembar demi lembar, gambar demi gambar dari buku foto karya Pete Souza ini: Obama: An Intimate Portrait (2017).
“Pria itu duduk di sebuah meja di ruang bawah tanah tanpa jendela. Dua pembantu baru saja meninggalkan ruangan. Saya sekarang sendirian dengan Senator A.S. baru dari Illinois. Saat itu 5 Januari 2005. Salah satu kakinya disandarkan di atas meja. Komputer pemerintah telah digeletakkan begitu saja ke lantai, kabel berserakan. Lampu neon berkedip di atas kepala. Meja itu hanya menampung beberapa barang, termasuk notepad, buku (Master Senat Robert Caro: The Years of Lyndon Johnson), dan mouse pad. Senator sedang membaca dokumen, tidak memedulikan saya,” tulis Souza mengenang saat-saat awal mengenal Obama.
“Klik. Saya membuat foto candid yang bagus dari adegan ini, seperti yang pasti akan dilakukan jurnalis foto mana pun. Saya menggunakan kamera yang redam suara. Saya tidak ingin mengganggunya. Klik. Saya berhenti. Klik lagi. Saya menunggu isyarat, gestur sesuatu, apa saja. Dia tidak pernah sekalipun menatapku — hanya menjalankan urusannya. Jadi saya juga dengan urusan saya: memotret. Saya menangkap beberapa frame lagi dan berjalan keluar. Saya mendapatkan apa yang saya butuhkan.” Dalam setiap pengambilan gambar ia memang selalu berusaha tak terlihat dan tak terdengar sedikit pun kehadirannya. Ia menjaga agar subyek yang difoto sama sekali tidak merasakan kehadirannya. Semuanya berjalan apa adanya. Ia memotret seperti berada di balik dinding. Seperti seekor elang yang terbang siap memangsa tanpa disadari oleh sang target. Tanpa seorang pun tahu.
Sejak teknologi fotografi ditemukan pada abad 18, jejak peradaban bisa direkam untuk disimpan dan dinikmati generasi-generasi berikutnya. Sumbangan dunia fotografi dalam merawat sejarah tidak diragukan. Demikian pula sejarah perjalanan Bangsa Indonesia. Momen demi momen direkam dalam ketakjuban gambar demi gambar. Dimulai pada tahun 1857, dua orang juru foto Woodbury dan Page membuka sebuah studio foto di Harmonie, Batavia. Studio fotopun semakin ramai di Batavia.
Salah satu pelopor penting fotografi Indonesia adalah Kassian Cephas (1844-1912). Ia seorang pribumi yang kemudian diangkat anak oleh pasangan Adrianus Schalk dan Eta Philipina Kreeft. Nama Kassian Cephas mulai terlacak dengan fotografi tertuanya buatan tahun 1875. Publikasi luas foto-foto Cephas dimulai pada tahun 1888 ketika ia membantu membuat foto-foto untuk buku karya Isaac Groneman, seorang dokter yang banyak membuat buku tentang budaya Jawa, yang berjudul: in de kedaton te jogjakarta. Pada karya buku Groneman yang lain: de garebeg’s te ngajogjakarta, Cephas menorehkan karya-karyanya.
Pada tahun 1870 Cephas diberi amanat oleh Sultan Hamangkubuwono VII sebagai fotografer dan pelukis resmi kraton Yogyakarta. Cephaslah yang mengabadikan kehidupan kraton, mulai dari foto Sultan Hamangkubuwono VII dan keluarganya, bangunan-bangunan sekitar keraton, upacara gerebeg di alun-alun, iringan-iringan benda untuk keperluan upacara, tarian-tarian, hingga pemandangan kota yogyakarta dan sekitarnya. Ia juga banyak memotret candi dan bangunan bersejarah lainnya, terutama yang ada di sekitar Yogyakarta.
Sementara itu kita dapat melihat foto peristiwa Proklamasi kemerdekaan pada 17 Agustus 1945 berkat fotografer bersaudara, Frans dan Alex Mendur. Mereka kemudian bersama kakak-adik Justus K. Umbas dan Frans “Nyong” Umbas, Alex Mamusung, dan Oscar Ganda, mendirikan IPPHOS, kantor berita foto nasional pertama. Di masa pendudukan Jepang, Alex dan Frans menjadi pewarta foto kantor berita Domei, Asia Raya, dan Djawa Shimbun Sha. Tak lama setelah proklamasi kemerdekaan, Frans ikut mendirikan harian Merdeka. Alex ikut bergabung. Kemudian keluar dari Merdeka untuk mendirikan IPPHOS.
Sejarah perjalanan Indonesia, langkah demi langkah, terpahat karena jasa-jasa para fotografer. Mat Kodak yang tak pernah lelah mengikuti detik demi detik kehidupan yang akan menjadi sejarah. Memahatnya pada dinding batu perjalanan sebuah bangsa. Tak terkecuali ketika jaman semakin gemerlap kini, fotografi makin memegang peranan amat penting. Apalagi bagi Barack Husein Obama, pemimpin sebuah negara besar, Amerika Serikat.
Selama dua masa kepresidenan Amerika Serikat Barack Obama, Pete Souza senantiasa bersama Presiden pada saat-saat yang lebih penting daripada bersama dengan orang lain – Dia memotret semuanya. Souza menangkap hampir dua juta foto Presiden Obama, pada saat-saat yang sangat rahasia dan juga muram. Pete, demikian Obama memanggil Sang Fotografer, bekerja mendampingi Presiden yang aktif selama, boleh dikatakan, 24 jam sehari selama 7 hari penuh, selalu terhubung kapan saja, tidak ada liburan, tidak ada hari sakit, ponselnya yang selalu berbunyi.
Obama dan Pete adalah orang yang selalu bersama melebihi orang lain sepanjang karir mereka masing-masing. Curah kerjanya 10 hingga 12 jam sehari, lima hari seminggu (kadang enam dan tujuh hari). Dia memotret setiap pertemuan, setiap hari, di setiap tempat dimanapun dia berada. The Oval Office, the Situation Room, the Roosevelt Room. Menjelajahi hampir 1,5 juta mil perjalanan dengan pesawat kepresidenan, Air Force One. Mengunjungi semua 50 negara bagian; lebih dari 60 negara. Dan dua juta foto selama lebih dari delapan tahun.
Buku Obama: An Intimate Portrait ini memahat perjalanan sejarah Obama, mereproduksi lebih dari 300 foto paling ikonik Souza dengan kualitas cetak karya seni dalam format yang bisa dicetak dalam ukuran besar. Mendokumentasikan waktu-waktu paling penting dari Kepresidenan—termasuk gambar bersejarah Presiden Obama dan penasihatnya di Situation Room selama misi penangkapan bin Laden. Atau merekam saat-saat Obama bersama dengan keluarga Presiden bebas dari pengawalan, pertemuannya dengan anak-anak, interaksi dengan para pemimpin dunia dan tokoh budaya, dan banyak lagi even menegangkan dan menyenangkan.
Pete Souza bukan orang baru bagi Obama. Mereka berdua sudah saling kenal ketika Pete menjadi fotografer The Chicago Tribune di Washington dan Obama Senator dari Chicago. Ia pernah menjadi asisten profesor fotojurnalisme di Ohio University, menjadi freelancer untuk National Geographic, dan sebagai Official White House Photographer selama masa kepresidenan President Ronald Reagan.
Puncak karirnya pada usia lewat paruh baya ini Souza menjadi the Chief Official White House Photographer untuk President Barack Obama, dan the Director of the White House Photo Office. Buku lainnya yang termasuk dalam the New York Times bestseller, The Rise of Barack Obama, yang mendokumentasikan melejitnya Presiden Obama dari hari pertama sebagai Senator hingga langkah menuju jenjang Gedung Putih 2008.
Dalam buku “Obama: An Intimate Portrait,” bidikan tajam Souza mampu menghidupkan sejarah yang diam. Dengan keterangan atau caption pada setiap foto cukup membantu pembaca untuk mengetahui apa yang terjadi. Tanpa captionpun gambar itu sudah mampu bercerita. Foto-foto yang dibuat menunjukkan seorang pemimpin yang nampak komunikatif, bergerak cepat dan sangat enerjik. Sekaligus juga ramah, hangat dan humoris. Bidikan Mat Kodak Amerika ini juga mampu mengungkapkan semangat pria luar biasa yang ditunjukkan sebagai Presiden negara besar. Kita bisa melihat Presiden Obama memimpin bangsa Amerika melalui tantangan monumental, menghibur kita dalam malapetaka dan kehilangan, berbagi dalam kemenangan yang diraih dengan susah payah, dan memberikan teladan untuk “berbaik hati dan berguna,” sebagaimana dia mengajarkan pada anak-anak perempuannya, demikian tulis Souza dalam Bagian Penduhuluan (Halaman 18).
Membaca dan melihat buku ini kita seperti berada di Gedung Putih bersama Presiden Obama, atau ikut membayangkan perjalanan dia yang panjang menemui warga negaranya dalam beberapa kesempatan, menemui pemimpin dunia atau sekedar menikmati pemandangan dan lingkungan yang baru.
“Pete adalah seorang fotografer yang luar biasa,” kata Obama dalam Pengantar buku ini, “It’s his capacity to capture the mood, the atmosphere, and the meaning of that moment.” Foto-foto yang dibuat dan sebagian ditampilkan dalam buku ini pada dasarnya bukan memotret seorang Obama. Tetapi ia memahat satu tonggak sejarah Amerika.