Gagasan-gagasan yang Hidup Setelah Pemakaman
—Dwi R. Muhtaman—
Cirebon, 08062019
#BincangBuku #28
“A new scientific truth does not triumph by convincing its opponents and making them see the light, but rather because its opponents eventually die, and a new generation grows up that is familiar with it.”
—Max Planck (1858-1947), ilmuwan fisika.
(Mr. John Brockman. “This Idea Must Die: Scientific Theories that Blocking Progress” (2015).
Darimanakah alam semesta ini lahir? Kapankah itu? Bagaimana peristiwa itu terjadi? Lee Smolin, seorang fisikawan dari Perimeter Institute, Waterloo, Ontario dan penulis buku “Time Reborn: From the Crisis in Physics to the Future of the Universe” (2013) percaya kosmologi Dentuman Besar (Big Bang). Mendukung hipotesis bahwa alam semesta kita telah berkembang selama 13,8 miliar tahun dari kondisi primordial yang sangat panas dan padat, lebih ekstrem daripada pusat bintang — atau, bahkan dari apapun yang ada sekarang. Smolin tidak membantah soal itu karena itulah fakta ilmiah yang mapan, yang telah dielaborasi dengan terperinci. Alam semesta merupakan dentuman plasma panas dan padat kemudian melahirkan dunia yang sangat bervariasi dan kompleks yang merupakan rumah kita.
Apa yang menjadi keraguannya adalah Big Bang dalam perspektif atau hipotesis bahwa asal mula alam semesta itu merupakan momentum pertama waktu (first moment of time). Itu berarti bahwa tidak ada apapun sebelum 13,8 miliar tahun. Jika sebelum 13,8 miliar tahun tidak ada apapun maka tidak penting mempertanyakan apa yang terjadi sebelum itu, ada apa sebelumnya itu? Karena ya memang tidak ada apapun sebelum itu. Tidak ada waktu sebelum itu. Sebagai ilmuwan yang telah menulis buku soal waktu “The Singular of Universe and the Reality of Time” (2014), Smolin dengan gamblang mengungkapkan keraguannya soal ‘First Moment in Time’ itu.
Artikel Lee Smolin ini berjudul The Big Bang was the First Moment in Time (h. 61).
Alan Guth, seorang Cosmologist, Profesor Fisika pada MIT dan penulis buku “The Inflationary Universe” pada artikel yang berjudul: “The Universe Began in a State of Extraordinarily Low Entropy” menguraikan bagaimana alam semesta ini mulai (h. 66). Istilah entropi pertama kali dikenalkan pada tahun 1865 oleh Rudolf Clausius. Dia menyatakan bahwa entropi alam semesta cenderung maksimal. Gagasan ini sekarang dikenal sebagai hukum kedua termodinamika, yang paling sering dinyatakan sebagai berikut: Entropi dari sistem yang terisolasi selalu meningkat atau tetap konstan tetapi tidak pernah berkurang. Sistem yang terisolasi cenderung berevolusi menuju keadaan entropi maksimum — keadaan keseimbangan termodinamika. Singkatnya Entropi adalah ukuran dari gangguan sistem fisik (Entropy is a measure of the disorder of a physical system). Meskipun banyak teori tentang asal muasal alam semesta ini tetapi kita tidak benar-benar tahu apakah entropi maksimum yang mungkin untuk alam semesta adalah terbatas atau tidak terbatas. “Mari kita asumsikan itu tidak terbatas,” kata Guth. Kemudian, tidak peduli entropi alam semesta dimulai dengan dengan berapa, entropi akan lebih rendah dibandingkan dengan yang maksimum. Karena itulah entropi selalu meningkat sejak itu, tidak pernah lebih rendah. Penjelasan ini meskipun bagi awam perlu membaca artikelnya dengan pelan akan berangsur paham. Apalagi dalam tulisan itu Guth juga memberi analogi yang mudah dipahami.
Tetapi apa itu universe, alam semesta? Siapakah yang menemukan keberadaannya? Ada dua artikel yang dimuat soal alam semesta (The Universe). Tulisan Seth Lloyd, Professor of quantum mechanical engineering, MIT; penulis buku “Programming the Universe.” (h. 36). Artikel kedua (h. 157) ditulis oleh Amanda Gefter, Science writer; consultant, New Scientist; pengarang “Trespassing on Einstein’s Lawn.” Dua artikel ini membahas alam semesta dengan perspektif masing-masing. Lloyd berpendapat bahwa alam semesta kita ini bukan satu-satunya. Dibalik alam semesta yang tak terbatas rupanya masih terdapat lautan alam semesta yang menyala-nyala. Kita tahu keberadaan itu tetapi belum mampu untuk mengaksesnya lebih dekat. Alam semesta bukan lagi sesuatu yang dimulai 13,8 miliar tahun yang lalu dalam ledakan raksasa yang disebut Big Bang dan mencakup semua planet, bintang, galaksi, ruang, dan waktu. Tetapi alam semesta adalah jilatan tepian asin lubang berapi purba dari lidah sapi raksasa.
Amanda Gefter juga menguraikan bahwa alam semesta yang kita kenal sekarang bukanlah satu-satunya yang ada di belantara alam raya ini.
Itulah antara lain empat artikel dari 176 artikel yang dimuat dalam buku yang kita bincangkan ini: Mr. John Brockman. “This Idea Must Die: Scientific Theories that Blocking Progress” (2015). Pada awalnya saya tertarik dengan judulnya. Agak unik. Beberapa saat saya tidak membuka buku ini. Setelah saya jelajahi rupanya merupakan kumpulan beragam topik ilmiah dari ilmuwan-ilmuwan beken. Mulai soal alam semesta, otak, IQ, Simplicity, Ras, Spacetime, Human Nature, Free Will, Common Sense, Humaniqueness, Anthropocentricity, Economic Growth, Mathusianism, Moral Blank, Altruism, hingga soal Culture dan Animal Mindlessness dan The Illusion of Uncertainty. Semua artikel itu dihimpun dalam buku setebal 736 halaman.
Disamping konten dari semua artikel yang menarik, buku ini menyajikan tulisan ilmiah dengan gaya yang populer. Gagasan ilmiah yang umumnya terkesan rumit, panjang dan penuh dengan simbol-simbol diubah menjadi bacaan yang enak dibaca. Dan ringkas. Bahkan uniknya sebuah artikel Changing the Brain yang ditulis oleh Howard Gardner, seorang Professor Cognition and Education, Harvard Graduate School of Education; pengarang “Truth, Beauty, and Goodness Reframed” hanya tiga paragraf atau 14 baris dan 113 kata.
Bagaimanakah menulis dalam dua halaman—sekitar 1000 kata, satu spasi, limaribu-enamribu karakter, sembilan-sepuluh paragraf, 80-100 baris—materi ilmiah yang nampak rumit? Buku “This Idea Must Die” ini memberi jawabannya yang sempurna. Buku yang diedit oleh John Brockman, seorang publisher online “science salon” Edge.org, ini memuat 176 tulisan dari para pemikir terkemuka dunia. Topik yang ditulis amat beragam—sesuai dengan keahlian masing-masing— mulai dari neuroscience, otak, scientist, big bang, kalkulus, the laws of physics, string theory, big data, genom, behavior, budaya, filsafat, ekonomi dan sejumlah tulisan lainnya yang inspiratif dan tidak membuat kening berkerut kusut. Gagasan tulisan dalam buku ini tentu saja tidak lepas dari kecermatan dan kecerdasan Sang Editor dalam memilih dan mengedit semua artikel sehingga menjadi artikel yang enak dilahap tanpa berkeringat. John Brockman adalah juga editor serial buku-buku The Universe, This Explains Everything, This Will Make You Smarter, dan sejumlah buku pengetahuan lainnya.
Semua artikel dalam buku ini adalah teori-teori ilmiah. Brockman menyebutnya “Scientific Theories that Blocking Progress.” Sejumlah gagasan yang kadang hidup dan berkembang setelah para penentangnya diantarkan ke pemakaman.
“This Idea Must Die” menegaskan pentingnya mengkomunikasikan gagasan-gagasan, pemikiran-pemikiran dan temuan-temuan ilmiah dengan cara yang populer. Sebab setiap orang di bumi ini mempunyai hak atas kemajuan pengetahuan yang dihasilkan kaum sekolahan. Pengetahuan disebarkan akan menjadi kekuatan untuk membangun kehidupan yang lebih baik. Sebaliknya pengetahuan yang disembunyikan akan membawa peradaban pada keadilan yang menyedihkan. Tetapi pengetahuan bukanlah sesuatu yang absolut. Ia adalah subyek yang harus bisa dilihat dan dipertanyakan agar pengetahuan yang baru dan lebih baik bisa ditemukan.
Mary Catherine Bateson (h. 614) menuliskan perspektif menarik mengenai pengetahuan ini. Bateson yang merupakan Cultural anthropologist; professor emerita, George Mason University; visiting scholar, Sloan Center on Aging and Work, Boston College ini berpendapat bahwa para ilmuwan terkadang menolak ide-ide baru dan bertahan pada ide-ide lama—lebih lama dari yang seharusnya. Tetapi masalah sebenarnya menurut penulis “Composing a Further Life” ini adalah kegagalan publik untuk memahami bahwa kemungkinan koreksi atau disanggah adalah sebuah kekuatan pengetahuan, bukan kelemahan. Kita hidup di era ketika peran masyarakat semakin penting. Karena mereka dapat mengevaluasi klaim ilmiah dan membuat analogi antara berbagai jenis fenomena. Meskipun bisa menjadi sumber kesalahan utama; proses pengetahuan ilmiah sebagian besar tidak terlihat oleh publik. Ia berada di menara gading atau dalam laboratorium terpencil dari keramaian dan akses publik. Padahal nilai kebenaran pengetahuan ilmiah tergantung pada keterbukaannya terhadap koreksi.
Para ilmuwan dan cerdik pandai Indonesia harus terus selalu menuliskan gagasan keilmuwannya di ruang publik. Agar publik menjadi bagian dalam pencarian kebenaran dan kemanfaatan pengetahuan untuk kemajuan peradaban bersama.
“Let us measure progress not by what is discovered but rather by the growing list of mysteries that remind us of how little we really know,” kata Paul Saffo, Technology forecaster; consulting associate professor, Stanford University, dalam artikelnya “The Illusion of Scientific Progress” menutup pada ujung buku ini.
Menulislah.
Berbagilah.
Kabarkan yang kau temukan.
Tebarkan pengetahuan.