Berbohong itu Enak dan Perlu, (Jangan) Percayalah!
—Dwi R. Muhtaman—
Bogor, 10042019
#BincangBuku #22
“We play by their rules long enough and it becomes our games.”
—Orson Scott Card, Ender’s Game (1992).
“Most people don’t understand how today’s information cycle really works. Many have no idea of how much their general worldview is influenced by the way news is generated online. What begins online ends offline.”
—Ryan Holiday. “Trust Me, I’m Lying: Confessions of a Media Manipulator” (2012).
Sebuah artikel muncul di The New York Times pada masa-masa awal Pemilihan Presiden Amerika Serikat 2012, dua tahun sebelum pemilihan suara.
Artikel itu mengangkat dan mengupas seorang sosok yang tidak dikenal, Tim Pawlenty, Gubernur Minnesota. Pawlenty belum menjadi kandidat presiden. Dia tidak memiliki tim kampanye, tidak ada bus dengan desain wajahnya seperti umum dipakai untuk kampanye, sedikit donor, dan popularitas yang minim. Bahkan, dia tidak punya rancangan kampanye. Dan itu Januari 2011. Apa yang dia miliki hanyalah seorang reporter dari blog Politico yang mengikutinya dari kota ke kota dengan kamera dan laptop, melaporkan setiap momentum dari non-kampanyenya.
Kalau dipikir-pikir memang agak aneh. Bahkan New York Times, surat kabar yang menghabiskan jutaan dolar setahun untuk biro Baghdad, yang dapat mendanai laporan investigasi selama lima atau sepuluh tahun, tidak memiliki reporter yang meliput Pawlenty. Namun Politico, sebuah blog dengan hanya sebagian kecil dari sumber daya surat kabar utama, melakukannya. Uniknya, The Times meliput apa yang ditulis Politico yang meliput sosok non-kandidat itu.
Seperti skema Ponzi (suatu bentuk penipuan di mana kepercayaan pada kesuksesan perusahaan, yang sebetulnya tidak ada, ditonjolkan dan dipelihara. Pembayaran pengembalian cepat ke investor pertama diperoleh dari uang yang diinvestasikan oleh investor berikutnya. Skema Ponzi dalam dunia internet, pertumbuhan lalu lintasnya lebih penting daripada keuangan yang solid, pengakuan merek lebih penting daripada kepercayaan, dan skala lebih penting daripada naluri bisnis. Blog dibuat agar orang lain menginginkannya — dan bersedia membayarnya— dan jutaan dolar ditukar dengan aset yang pada dasarnya tidak berharga), dan seperti semua skema serupa, ia mengubah dari boom (meledak) ke bust (berantakan). Pada akhirnya Pawlenty menjadi kandidat, liputannya menghasilkan jutaan tayangan online, kemudian muncul di media cetak, dan akhirnya di televisi, sebelum ia “terbakar” habis dan mundur dari kontestasi. Terlepas dari semua ini, dampak pencalonannya pada pemilihan itu cukup signifikan dan nyata sehingga calon terdepan Partai Republik mencari dukungan dari Pawlenty. (h. 36).
Sebagai catatan: blog yang dimaksud dalam buku ini adalah merujuk secara kolektif ke semua penerbitan online. Mulai dari akun Twitter hingga situs web surat kabar utama, hingga video web hingga blog grup dengan ratusan penulis. Tidak peduli apakah pemilik menganggap dirinya blog atau tidak. Kenyataannya adalah bahwa mereka semua tunduk pada insentif yang sama, dan mereka berjuang untuk mendapatkan perhatian dengan taktik yang sama.
“Kisah-kisah dari blog juga menyaring percakapan dan rumor nyata yang menyebar dari orang ke orang melalui mulut ke mulut. Singkatnya, blog adalah kendaraan dari mana wartawan media massa — dan teman-teman Anda yang paling cerewet dan “berpengetahuan” —menemukan dan meminjam beritanya. Siklus tersembunyi ini melahirkan meme-meme yang menjadi rujukan budaya kita, bintang-bintang pemula yang menjadi selebritas kita, pemikir yang menjadi guru kita, dan berita yang menjadi berita kita.”(h. 35).
Untuk memahami apa yang membuat blog bertindak dan bekerja — mengapa Politico mengikuti Pawlenty — adalah kunci untuk membuat mereka melakukan apa yang Anda inginkan. Pelajari aturan mereka, ubah permainan. Hanya itu yang diperlukan untuk mengendalikan opini publik.
Barangkali ini mengingatkan kita pada seorang sosok yang “dihadirkan” sebagai media darling, beberapa tahun yang lalu. Hadir dari seseorang yang sama sekali tidak dikenal dalam blantika politik kemudian menjadi idola publik yang tak tertahankan. Lalu menjadi Presiden. Itulah sebagian paparan yang dikupas dalam buku Ryan Holiday: “Trust Me, I’m Lying: Confessions of a Media Manipulator” (2012).
“Terus terang,” demikian kata Holiday, “saya seorang manipulator media — saya dibayar untuk menipu.” Lebih lanjut dia tegaskan “Tugas saya adalah membohongi media sehingga mereka bisa berbohong kepada Anda. Saya menipu, menyuap, dan berkomplot untuk penulis terlaris dan merek miliaran dolar dan menyalahgunakan pemahaman saya tentang Internet untuk melakukannya. Saya telah menyalurkan jutaan dolar ke blog melalui iklan. Saya telah memberikan berita terbaru ke blog-blog alih-alih Good Morning America dan, ketika itu tidak berhasil, merekrut anggota keluarga mereka. Saya telah menerbangkan blogger di seluruh negeri, meningkatkan pendapatan mereka dengan membeli lalu lintas, menulis cerita mereka untuk mereka, membuat tipu muslihat yang rumit untuk menarik perhatian mereka, dan menghadiahi mereka dengan aneka jamuan makan. Saya mungkin telah mengirim cukup banyak kartu hadiah dan T-shirt ke blogger fesyen untuk berpakaian di sebuah negara kecil. Mengapa saya melakukan semua ini? Karena itu satu-satunya jalan. Saya melakukannya untuk membangun mereka sebagai sumber, sumber yang dapat saya pengaruhi dan arahkan untuk klien saya. Saya menggunakan blog untuk mengontrol berita.” (h. 15).
Seperti ditulis dalam buku ini Holiday melakukan semua manipulasinya tanpa koneksi, tanpa uang, dan tanpa jejak untuk diikuti. Tetapi karena cara penyusunan blog – dari cara blogger dibayar oleh tampilan halaman hingga cara posting blog harus ditulis untuk menarik perhatian pembaca – ini semua sangat mudah dilakukan. Sistem dalam blogging melahap semua jenis bahan yang dihasilkan. Jadi, ketika badai tulisan buatan diciptakan maka badai itu bermain sendiri di media, orang-orang dalam dunia nyata mulai mempercayainya, dan itu kemudian menjadi kenyataan.
“Saya membuat dan membentuk berita untuk mereka,” kata penulis buku yang pernah menjadi direktur pemasaran untuk American Apparel, sebuah perusahaan pakaian yang dikenal karena citra provokatif dan praktik bisnis yang tidak konvensional.
Bagaimana blog dia bekerja? Nampak sepele saja. Seseorang membayarnya. Dibuatlah cerita untuk mereka sesuai pesanan. Dimulailah dengan sebuah rantai — dari blog kecil ke Gawker ke situs web jaringan berita lokal ke Huffington Post ke surat kabar utama ke berita kabel dan kembali lagi, hingga sebuah imajinasi, sesuatu yang tidak nyata menjadi nyata. Kadang dimulai dengan menanam sebuah cerita. Kadang dengan mengeluarkan siaran pers atau meminta seorang teman untuk menceritakan sebuah kisah di blog mereka. Lain waktu ia “membocorkan” dokumen. Atau membuat dokumen dan membocorkannya. Bisa apa saja. Dari merusak halaman Wikipedia hingga memproduksi video viral yang mahal. Bagaimanapun permainan dimulai, akhirnya sama saja: Ekonomi Internet dieksploitasi untuk mengubah persepsi publik — dan menjual produk.”
Rantai manipulasi yang seperti itu persis seperti digambarkan dalam sebuah kartun editorial yang terbit pada 1913, Weekly Newspaper di Amerika Serikat. Kartun itu menunjukkan seorang pengusaha melempar koin ke mulut monster raksasa dengan taring dari banyak tangan yang berdiri mengancam di depannya. Setiap lengannya yang seperti tentakel, yang menghancurkan kota di sekitarnya, ditato dengan kata-kata seperti: “Mengolah Kebencian (Cultivating Hate),” “Fakta yang Menyimpang (Distorting Facts),” dan “Pecahbelah hingga provokatif (Slush to Inflame).” Pria pengusaha itu adalah pengiklan dan mulutnya adalah pers kuning yang berbahaya “yang membutuhkan uangnya untuk bertahan hidup. Di bawahnya ada tulisan: THE FOOL WHO FEEDS THE MONSTER.” Meskipun kartun ini ejekan lebih seabad lampau, hingga sekarang rupanya apa yang kita alami tidak jauh berbeda. Bahkan makin parah. Kebohongan begitu mudah diproduksi dan disebarkan. Sialnya, tidak sedikit yang melahap dengan sukacita, bersorak sorai penuh gembira seolah-olah itu adalah berita, tulisan atau meme yang benar, fakta.
Ada kartun politik abad ke-20 yang terkenal tentang Associated Press yang pada waktu itu merupakan layanan berita yang bertanggung jawab untuk memasok berita ke sebagian besar surat kabar di Amerika Serikat. Di dalamnya seorang agen AP menuangkan botol-botol yang berbeda ke dalam persediaan air kota. Botol-botol tersebut diberi label “kebohongan,” “prasangka,” “fitnah,” “fakta-fakta yang ditekan,” dan “kebencian.” Kartun itu berbunyi: “Berita — Beracun di Sumbernya.”
Demikianlah saat ini sumber-sumber berita termasuk media arus utama tidak jarang terlibat dalam memproduksi racun yang disebar melalui jaringan-jaringanya, para pendukungnya dan publik yang mendapatkan keuntungan dari sumber yang beracun itu.
Kita kembali ke kisah Pawlenty.
Kisah ini memang fenomenal. Pencalonan hantu Pawlenty tidak layak diberitakan, dan jika New York Times tidak mampu membayar seorang reporter untuk mengikutinya berkeliling, Politico seharusnya tidak mampu melakukannya. Hanya media gila yang melakukan. Rupanya tidak. Blog membutuhkan banyak hal untuk dibahas. The Times harus mengisi surat kabar hanya sekali sehari. Saluran berita kabel harus mengisi dua puluh empat jam pemrograman 365 hari setahun. Tetapi blog harus mengisi ruang yang tak terbatas. Situs yang mencakup banyak hal adalah yang menang. Blog politik paham bahwa traffic mereka naik selama siklus pemilu. Karena lalu lintas adalah apa yang mereka jual kepada pengiklan, pemilihan umum sama dengan peningkatan pendapatan. Sayangnya, siklus pemilu datang hanya beberapa tahun sekali. Lebih buruk lagi, mereka akan selesai. Blog punya solusi sederhana: ubah realitas melalui liputan.
Ketika sebuah blog seperti Politico mencoba untuk melompat di depan orang lain, orang yang mereka putuskan untuk diliput terus menerus berubah menjadi kandidat yang sebenarnya. Kampanye dimulai secara bertahap, dengan beberapa menyebutkan di blog, beralih ke “calon penantang,” mulai dipertimbangkan untuk debat, dan kemudian dimasukkan dalam pemungutan suara. Platform mereka mengumpulkan pendukung nyata yang menyumbangkan waktu nyata dan uang untuk kampanye. Buzz kampanye diverifikasi oleh media massa, yang meliput dan melegitimasi apa pun yang sedang dibicarakan online.
Kampanye Pawlenty untuk ke Gedung Putih mungkin gagal (dan memang gagal), tetapi untuk blog dan media lain, itu adalah keberhasilan yang menguntungkan. Dia menghasilkan jutaan tampilan halaman untuk blog, menjadi subyek lusinan cerita di media cetak dan online, dan memiliki rating televisi yang bagus. Ketika Politico memilih Pawlenty, mereka membuat satu-satunya taruhan yang layak dibuat — di mana mereka memiliki kekuatan untuk mengendalikan hasilnya.
Dan inilah siklusnya:
- Blog politik membutuhkan hal-hal yang perlu dibahas; lalu lintas (traffic) meningkat selama pemilihan umum
- Realitas (pemilu masih lama) tidak selaras dengan ini
- Blog politik menggarap kandidat lebih awal; memulai dengan bergerak naik hingga masuk siklus pemilu
- Orang yang mereka liput, berdasarkan sifat liputan, menjadi kandidat aktual (atau presiden)
- Keuntungan finansial bagi blog (secara harfiah), publik kalah.
Siklus seperti itu berlaku juga untuk gosip selebritas, politik, berita bisnis, dan setiap topik blog lainnya. Kendala blogging membuat konten buatan, yang dibuat nyata dan berdampak pada hasilnya pada dunia nyata. Ekonomi Internet menciptakan seperangkat insentif yang membuat lalu lintas lebih penting — dan lebih menguntungkan — daripada kebenaran. Dengan media massa — dan hari ini, budaya massa — mengandalkan web untuk hal besar berikutnya. Begitulah serangkaian insentif dengan implikasi masif. Lalu berikutnya calon non-kandidat lainnya diciptakan, dibuat nyata, lalu dicampakkan. Yang lain hanya gigit jari sehingga blog bisa mengisi siklusnya. (h. 42).
Buku ini tidak terstruktur seperti buku bisnis biasa. Buku dibagi menjadi dua bagian, dan masing-masing bagian terdiri dari sketsa pendek, tumpang tindih, dan memperkuat. Pada bagian pertama dijelaskan mengapa blog penting, bagaimana mereka menggerakkan berita, dan bagaimana mereka bisa dimanipulasi. Pada bagian kedua ditunjukkan apa yang terjadi ketika Anda melakukan ini, bagaimana itu bisa menjadi bumerang, dan konsekuensi berbahaya dari sistem dunia internet saat ini. Dipaparkan metode yang digunakan untuk memanipulasi blogger dan wartawan di tingkat tertinggi, dipecah menjadi sembilan taktik sederhana. Setiap taktik ini mengungkapkan kerentanan kritis dalam sistem media kita. Juga dipaparkan kepada Pembaca di mana mereka berada dan apa yang dapat dilakukan dengan mereka, dan membantu Anda mengenali kapan mereka digunakan pada Anda. Juga dijelaskan bagaimana cara memanfaatkan kelemahan ini. Buku ini nampaknya melengkapi buku-buku lainnya yang mengungkap dunia kebohongan menjadi industri bisnis yang luar biaya.
Kisah-kisah yang diuraikan dalam buku ini seperti serta merta cermin apa yang terjadi di Indonesia. Tsunami berita, gambar, meme dan sejumlah narasi telah memenuhi setiap aspek kehidupan, tanpa tahu membedakan mana yang benar dan fakta, mana yang manipulasi dan ilusi. Saat ini terdapat 43.000 portal berita yang ada di Indonesia, namun yang telah terverifikasi oleh Dewan Pers hanya kurang dari 100 media online (Kominfo, 2018).
Seperti diingatkan oleh Ed Wallace, penulis the BusinessWeek: “The first job of the journalist is to ask, ‘Is this information true?’” Bloggers refuse to accept this mantle. Instead of getting us the truth, they focus on one thing, and one thing only: getting their publisher pageviews.”
Atau kita renungkan nasihat Holiday ini: “Anda tidak bisa mendapatkan berita secara instan dan melakukannya dengan baik. Anda tidak dapat mengurangi berita hingga 140 karakter atau kurang tanpa kehilangan sebagian besar dari itu. Anda tidak dapat memanipulasi berita tetapi tidak mengharapkannya memanipulasi Anda. Anda tidak dapat memiliki berita secara gratis; Atau hanya mengacaukan biaya sebenarnya yang dikeluarkan. Jika, sebagai suatu budaya, kita dapat mempelajari pelajaran ini, dan jika kita dapat belajar untuk mencintai kerja keras, kita akan menyelamatkan diri kita dari banyak masalah dan kerusakan. Kita harus ingat: Tidak ada cara yang mudah.
Berbohong itu tidak enak dan tidak perlu. Jangan percaya pada kebohongan. Siapapun yang menjadi sumbernya.