halaman drm #24
Pesan Ozon VI: Hutan Hujan
Dwi R. Muhtaman
Matanya basah di pinggir kali.
Matanya basah.
Lebat sekali.
Aku berkemas, bersiap pergi. Waktuku di sini akan segera habis. Di luar, udara semakin dingin, angin basah menyelinap lewat celah jendela, menyeruak masuk ke kamarku.
Sore ini berair. Hujan deras menari di luar jendela, membasahi jalanan hingga air melimpah tanpa kendali. Tanggul-tanggul tua tak lagi mampu menahan derasnya hujan, rapuh oleh waktu. Atau mungkin, air-air ini telah kehilangan hilirnya. Aspal dan tembok menghadang ke mana pun ia mengalir, hingga akhirnya ia hanya diam, menunggu tumpah.
Hari gelisah, tapi hujan tetap jatuh seperti biasa—sebagian dari putaran roda alam yang terus bergerak. Air menguap dari daratan, membentuk mendung, lalu turun kembali dalam tetesan yang berulang. Tik… tik… tik… suaranya tak berubah. Namun, sore ini ada yang berbeda. Aku berkemas, melambaikan tangan pada hari yang basah, hari yang gelisah. Kita akan berpisah. Aku meninggalkan sebagian hidupku di sini, sebagian napasku. Tapi ada juga yang kubawa pergi—jejak langkah, kenangan, dan warna kehidupan di tempat ini.
Di luar, langit dipenuhi jelaga, kilatan hujan kian deras. Air meluap, angin berayun-ayun, memainkan kelebatan dalam irama yang anehnya indah. Musik yang menggoda, puisi yang menyesakkan.
Di kota ini, hari-hari sering basah kuyup. Mata lelah, kehidupan terikat dalam kebiasaan yang kehilangan keringat. Doa-doa jatuh ke bumi, luruh seperti air hujan yang menunduk, menyerah pada gravitasi.
Geledek menggelegar di langit. Sore berair ini mengingatkanku pada masa-masa ketika pulang kuliah, ketika naik gunung atau memasuki hutan. Berjalan di tengah derasnya hujan kadang menghadirkan nikmat yang luar biasa. Indah sekali. Biarkan ia menyentuh tubuh kita, mengelus pori-pori, melumatkan setiap bagian diri. Biarkan ia mengalir sesukanya. Dan saat itu, kedinginan merayap perlahan, pedih terasa di kulit, dan kita pun gemeretak menggigil.
Hari yang basah ini akan segera kutinggalkan. Tapi aku tak bisa menyimpannya. Akankah kau juga pergi? Ketika laut, danau, sungai, dan kantung-kantung air lain makin sulit menguap? Ketika daun-daun gugur, tak lagi jatuh di tanah yang sejuk, tak lagi menemukan tempat dingin untuk menampung derasnya hujan?
Lalu, hujan?
Dan hutan?
Hutan hujan?
Mereka tak lagi berbagi apa-apa. Yang tersisa hanyalah kerangka-kerangka tergeletak di tanah, sementara kerudung hitam melambai di langit.
Kenapa tak ada lagi yang jatuh lurus ke bumi? Di mana bening yang dulu tembus pandang itu? Sungai kering, tapi ada yang menitik di tepinya. Matanya basah di pinggir kali. Matanya basah. Lebat sekali.
Sungai yang Menangis, Hutan yang Merintih
Aku berkemas, bergegas pergi. Hujan di luar semakin deras. Angin yang basah menyelinap lewat jendela, menggigilkan kenangan tentang hutan yang dulu melimpah, yang kini hanya tinggal sisa. Aku pernah mengenal hutan ini seperti seorang sahabat. Di sana, pohon-pohon besar berdiri tegak, akar-akar mereka menjalin cerita yang lebih tua dari ingatanku sendiri. Tapi kini, hanya bayangan yang tersisa.
Di tepi sungai yang mengering, seorang lelaki tua duduk termenung. Matanya menatap air yang mengalir dengan enggan, seakan-akan ragu apakah ia masih memiliki tempat di dunia ini. “Dulu, air ini jernih,” katanya pelan. “Kami bisa minum langsung dari sini. Sekarang?” Ia menggoyangkan kepalanya. “Sekarang air membawa racun, membawa jejak-jejak luka dari hulu.”
Aku memejamkan mata. Sejarah berputar seperti film hitam putih yang terus mengulang adegan sama: pepohonan tumbang, tanah merekah, sungai penuh dengan kayu gelondongan yang hanyut. Monbiot pernah berkata dalam bukunya Feral bahwa kehancuran ekosistem bukan sekadar hilangnya pohon atau hewan, melainkan hilangnya hubungan antara manusia dan alamnya. Kita telah kehilangan sesuatu yang lebih dari sekadar hutan.
Jejak-Jejak Perampasan
Di peta, garis-garis batas konsesi tampak rapi. Tapi di lapangan, batas hanyalah ilusi. Di Kalimantan, Sumatra, dan Papua, jutaan hektare hutan tropis dikapling untuk ditebang, digantikan oleh barisan sawit yang rakus. Sejak awal 1970-an, dengan kedok pembangunan dan pertumbuhan ekonomi, pemerintah menggelontorkan izin HPH (Hak Pengusahaan Hutan) kepada korporasi, mempercepat laju deforestasi.
David Wallace-Wells dalam The Uninhabitable Earth menuliskan bahwa kita tak lagi bisa berpikir tentang hutan hanya sebagai sekumpulan pohon—hutan adalah sistem kehidupan, penyerap karbon, penopang iklim dunia. Namun, di Indonesia, hutan-hutan itu dijadikan alat tukar. Investor datang, menggali tanah, menebang pohon, lalu pergi meninggalkan erosi dan banjir bandang. Sungai-sungai yang dulu penuh ikan kini hanya membawa lumpur dan limbah.
Aku berjalan di tengah ladang yang dulunya hutan. Tiada lagi kanopi hijau yang meneduhi. Matahari mencambuk tanah merah yang retak, seakan-akan marah pada dunia yang tak tahu diri. “Hutan tak lagi bisa berbagi,” gumamku. Itu bukan sekadar metafora.
Dalam Deforesting the Earth, Williams menjelaskan bagaimana eksploitasi hutan telah berlangsung sejak peradaban kuno, tetapi skala kerusakan di era modern sungguh tak tertandingi. Dulu, pohon ditebang untuk membuat perahu dan rumah. Kini, mereka ditebang untuk kertas, furnitur, dan kelapa sawit yang kita pakai setiap hari tanpa berpikir dari mana ia berasal.
Di Jawa, Peluso mencatat dalam Rich Forests, Poor People bahwa pengelolaan hutan yang berbasis eksploitasi tak hanya menghancurkan ekosistem, tetapi juga mengasingkan masyarakat lokal dari tanah mereka sendiri. Petani kecil dipaksa menjadi buruh di tanah leluhurnya, sementara perusahaan-perusahaan besar memperkaya diri. Tanah yang gundul, air yang kehilangan hilir.
Hujan sore ini mengingatkanku pada masa lalu—hujan yang dulu menghidupkan tanah kini membawa kesedihan. Hujan yang tak lagi sama. Rachel Carson dalam Silent Spring memperingatkan bahwa tanpa kesadaran ekologis, kita akan menyaksikan musim yang sunyi, di mana tak ada burung bernyanyi, tak ada gemericik air yang jernih.
Aku ingin bertanya pada langit: ke mana hutan-hutan itu pergi? Ke mana air-air itu menghilang? Tapi langit hanya diam, gelap, penuh jelaga. Seperti kata Amitav Ghosh dalam The Great Derangement, kita hidup dalam era ketidaksadaran, di mana krisis lingkungan begitu nyata tetapi tetap diabaikan.
Di ujung senja, aku melangkah pergi. Hutan yang dulu kukenal telah berubah menjadi kenangan. Sungai-sungai yang dulu mengalir deras kini menangis dalam kesunyian. Dan hujan? Ia tetap jatuh ke bumi, membawa pesan yang semakin sulit untuk diabaikan.
1 November 1989
diperbarui Februari 2025
Dwi Rahmad Muhtaman
1 George Monbiot, Feral: Rewilding the Land, the Sea, and Human Life (London: Penguin Books, 2013).
2 Lesley Potter & Simon Badcock, The Effects of Indonesia’s Decentralisation on Forests and Estate Crops in Kutai Barat District, East Kalimantan (Bogor: CIFOR, 2001).
3 David Wallace-Wells, The Uninhabitable Earth: Life After Warming (New York: Tim Duggan Books, 2019).
4 Michael Williams, Deforesting the Earth: From Prehistory to Global Crisis (Chicago: University of Chicago Press, 2003).
5 Nancy Lee Peluso, Rich Forests, Poor People: Resource Control and Resistance in Java (Berkeley: University of California Press, 1992).
6 Rachel Carson, Silent Spring (Boston: Houghton Mifflin, 1962).
7 Amitav Ghosh, The Great Derangement: Climate Change and the Unthinkable (Chicago: University of Chicago Press, 2016).
8 Beberapa buku dan referensi berikut ini bisa memperkaya pengalaman membaca artikel di atas, baik dari segi tema lingkungan, deforestasi, perubahan iklim, maupun eksploitasi sumber daya alam:
1. Tema Deforestasi dan Perubahan Iklim
– George Monbiot – Feral: Rewilding the Land, the Sea, and Human Life
Buku ini membahas bagaimana alam telah banyak mengalami kerusakan dan perlunya proses “rewilding” untuk memulihkan ekosistem yang telah hancur.
– Elizabeth Kolbert – The Sixth Extinction: An Unnatural History
Buku ini menjelaskan dampak aktivitas manusia terhadap kepunahan spesies di era Antroposen, termasuk akibat dari deforestasi dan perubahan iklim.
– David Wallace-Wells – The Uninhabitable Earth: Life After Warming
Analisis mendalam tentang dampak perubahan iklim jika tidak segera ditangani, termasuk peningkatan curah hujan ekstrem, banjir, dan perubahan lanskap ekologis.
2. Tema Eksploitasi Sumber Daya Alam dan Kapitalisme Lingkungan
– John Perlin – A Forest Journey: The Role of Trees in the Fate of Civilization
Buku klasik ini mengisahkan bagaimana eksploitasi hutan telah menjadi bagian dari peradaban manusia sejak zaman dahulu dan konsekuensi jangka panjangnya.
– Jedediah Purdy – After Nature: A Politics for the Anthropocene
Mengupas bagaimana sistem ekonomi dan politik global telah membentuk krisis lingkungan yang kita hadapi saat ini.
– Michael Williams – Deforesting the Earth: From Prehistory to Global Crisis
Studi sejarah global tentang deforestasi, termasuk bagaimana perubahan pola pemanfaatan hutan dari zaman kuno hingga modern.
3. Tema Hutan Tropis dan Krisis Lingkungan di Indonesia
– Nancy Lee Peluso – Rich Forests, Poor People: Resource Control and Resistance in Java
Buku ini menggambarkan bagaimana masyarakat lokal di Jawa berjuang melawan eksploitasi hutan oleh negara dan perusahaan.
– Lesley Potter & Simon Badcock – The Effects of Indonesia’s Decentralisation on Forests and Estate Crops in Kutai Barat District, East Kalimantan. Penelitian mendalam tentang bagaimana desentralisasi pemerintahan di Indonesia berdampak pada eksploitasi hutan di Kalimantan Timur.
– Christopher Barr et al. – Decentralization of Forest Administration in Indonesia: Implications for Forest Sustainability, Economic Development and Community Livelihoods
Menguraikan bagaimana kebijakan kehutanan di Indonesia berubah seiring desentralisasi, dan dampaknya terhadap kelestarian hutan.
4. Sastra dan Esai yang Menggugah Kesadaran Lingkungan
– Amitav Ghosh – The Great Derangement: Climate Change and the Unthinkable
Mengkritik bagaimana perubahan iklim jarang dibahas dalam sastra dan kebudayaan modern, padahal dampaknya sangat besar.
– Rachel Carson – Silent Spring
Buku yang memicu kesadaran lingkungan global tentang dampak penggunaan pestisida dan perusakan ekosistem.
– Teguh Santosa (Ed.) – Menjaga Indonesia: Esai-esai tentang Lingkungan, Sosial, dan Politik
Kumpulan esai reflektif tentang krisis lingkungan dan sosial di Indonesia.