Sebagaimana yang kita ketahui bahwa perubahan iklim sudah menjadi perhatian prioritas, baik skala nasional maupun internasional. Perubahan iklim dapat berdampak positif, antara lain pertumbuhan di dalam hutan menjadi lebih cepat, menekan angkat kematian yang disebabkan oleh cuaca dingin, hingga peningkatan produksi sumberdaya alam1. Perubahan iklim secara umumnya merupakan hal wajar, namun yang menjadi perhatian saat ini dikarenakan perubahan iklim yang sangat drastis dan anomali, yang dimana konsekuensinya dapat dirasakan di seluruh permukaan bumi, antara lain; terjadinya penuruman atau mengancam terdahap ekologi. Emisi karbon merupakan kontributor signifikan terhadap perubahan iklim2.
Secara harfiah, carbon/karbon sendiri merupakan salah satu unsur yang ada di muka bumi. Dalam konteks lingkungan, karbon merupakan salah satu zat yang menyebabkan terjadinya gas rumah kaca (greenhouse gasses). Zat karbon ini biasanya berikatan dengan oksigen di atmosfer bumi dan zat yang berikatan itu sering kita sebut carbon okside atau carbon diokside. Karbon tidak hanya lepas bebas di udara atau atmosfer bumi, tapi karbon juga tersimpan oleh tumbuhan di lima bagian yaitu (1) biomassa atas-permukaan, (2) biomassa bawah-permukaan, (3) serasah daun dan ranting, (4) kayu mati, serta (5) tanah; tentunya hutan banyak menyimpan stok karbon. Karbon diserap dari atmosfer oleh tumbuhan sebagai komponen proses fotosintesis tumbuhan, namun akan terlepas kembali dalam bentuk karbon dioksida jika bahan organiknya terurai yang disebabkan oleh penebangan pohon atau kebakaran hutan. Selain itu, gas karbon dioksida berasal dari aktivitas manusia disebabkan oleh fosil, seperti batu bara, minyak bumi, gas alam dan lainnya.
Lalu kenapa sih karbon ini banyak dibincangkan?
Melalui perjanjian global pada tahun 2016 di Paris, Perserikatan Bangsa-Bangsa dengan adanya United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC) telah bersepakat bersama beberapa negara di belahan dunia untuk mengurangi emisi karbon dan mengatasi perubahan iklim. Karbon ini menjadi perhatian lebih ketika melewati threshold emisinya. Emisi karbon yang mencapai kadar tinggi, yang dimana emisi tersebut terperangkap di atmosfer bumi, secara sederhananya penumpukan karbon yang berlebih ini akan berdampak pada peningkatan suhu akibat terperangkapnya suhu panas bumi di atmosfer. Selain itu, GHG dapat berdampak terhadap ekonomi, kesehatan maupun gangguan ekosistem.
Karbon kehutanan memainkan peran penting dalam mengurangi efek perubahan iklim karena hutan bertindak sebagai “penyerap karbon” yang membantu mengurangi konsentrasi CO₂ di atmosfer. Oleh karena itu, pelestarian hutan dan pengelolaan hutan yang berkelanjutan sangat penting untuk mitigasi perubahan iklim.
Bagaimana dunia mensiasati krisis iklim ini?
Berangkat dari Paris Agreement, negara-negara yang tergabung tersebut sepakat untuk mengurangi emisi. Salah satu cara pengurangan emisi yaitu dengan membuat skema perdagangan karbon. Skema tersebut dibuat sebagai bentuk tanggung jawab dan upaya atas perusahaan atau negara penghasil emisi untuk mengkompensasi emisi gas rumah kaca dengan cara membeli dan menjual kredit karbon1.
Terdapat dua mekanisme bursa karbon menurut IDXCarbon, yang pertama yaitu Allowance Market merupakan mekanisme pembatasan dan perdagangan yang dimana perlaku usaha tertentu yang ditetapkan oleh pemerintah mendapat “cap” berupa kuota emisi jangka waktu tertentu. Jika pelaku usaha tersebut melampaui batas emisinya, dapat membeli unit karbon dari pelaku usaha lain yang kuota emisinya berlebih. Selanjutnya, mekanisme kedua yaitu Offset Market yang dimana pelaku usaha memperdagangkan unit karbon yang dihasilkan dari pengurangan GHG oleh pelaku tusaha tertentu dan/atau tindakan mitigasi iklim lainnya dengan cara membeli unit karbon yang mencapai target pengurangan emisinya.
Dalam kegiatan jual-beli karbon tersebut, tentunya para pelaku perlu bisa mengukur “barang” yang akan diperjual-belikan. Kegiatan jual-beli kredit karbon ini sebetulnya bukan benar-benar dalam bentuk karbon yang dijual, namun dalam bentuk sertifikat. Dalam pasar karbon, dikenal sebagai sistem kuota. Analoginya, perusahaan A diberi batas emisi (kuota) 50 ton CO2 oleh pemerintah, jika perusahaan A tersebut emisi nya lebih rendah dari kuota misalnya 20 ton CO2, maka sisa kuota 30 ton CO2. Sedangkan, perusahaan B diberi batas emisi (kuota) sebesar 50 ton CO2, namun emisi nya mencapai 70 ton CO2, maka sisa kuota emisi dari perusahaan A dapat dijual ke perusahaan B yang melebihi batas kuota emisi nya.
Namun tentunya dalam menggambarkan angka karbon tersebut tidak bisa sesederhana itu, perlu mengikuti panduan-panduan yang diakui oleh nasional maupun internasional. Disini, RemarkAsia hadir dalam mendukung pengurangan emisi dengan berkecimpung dalam perhitungan karbon.
- Emisi GHG; perhitungan emisi GHG baik individu, kelompok maupun perusahaan.
- Carbon Stock; menghitung simpanan karbon berbasis lahan.
Setelah mengetahui angka karbon yang dihasilkan, secara individu maupun company dapat mengetahui emisi yang dihasilkan melebihi batas atau tidak. Selain itu, kita juga dapat mengetahui seberapa signifikan kita dapat mengurangi emisi, yang dimana ikut aktif dalam mengurangi perubahan iklim yang drastis.
1Samasta NA. 2023. Pengaruh perdagangan karbon terhadap kondisi ekologi di Indonesia. JPB. 1(1): 1-8.
2Matheus et al. 2023. Implementation of the Carbon Tax Policy in Indonesia: Concepts and Challenges Towards Net Zero Emission 2060. AJUDIKASI. 7(1): 91 – 114.