Sustainability 17A #4
Shinrin-yoku
(Tulisan 1 dari 3 bagian)
Dwi R. Muhtaman,
sustainability learner
(1)
Pada 25 September 2011 seorang perempuan pejuang lingkungan hidup dan politik meninggal dunia pada umur 71 tahun di Nairobi. Dalam perjalanan hidupnya ia tak pernah lelah untuk mengatakan pada dunia pentingnya sebatang pohon. Perempuan yang pernah dianugerahi Right Livelihood Award (1984) dan Indira Gandhi Peace Prize (2006) itu pernah mengatakan
“It’s the little things citizens do. That’s what will make the difference. My little thing is planting trees.” Ada hal kecil dan sepele yang bisa dilakukan oleh seorang warga negara dan akan berdampak besar. Hal kecil itu adalah menanam pohon.
Pada tahun 2004, ia menjadi wanita asal Afrika pertama yang dianugerahi Penghargaan Perdamaian Nobel untuk kontribusinya dalam bidang pembangunan berkelanjutan, demokrasi, dan perdamaian. Ia merupakan anggota Parlemen Kenya serta pernah menjabat sebagai Asisten Menteri Lingkungan Hidup dan Sumber Daya Alam dalam pemerintahan Presiden Mwai Kibaki antara Januari 2003 sampai November 2005.
Nama perempuan itu adalah Dr. Wangari Muta Maathai lahir di Nyeri, Kenya, 1 April 1940. Benua Afrika kini merupakan salah satu benua yang progresif dalam menanam pohon.
Setiap tanggal 28 November, Indonesia merayakan Hari Menanam Pohon. Dengan slogan One Man One Tree diharapkan Indonesia mampu menyumbangkan pohon-pohon baru ratusan juta setiap tahun. Bahkan pada 28 November 2011, penanaman satu miliar pohon, atau one billion Indonesian trees for the world telah mencapai 827 juta (80 persen) batang pohon. Jumlah itu setara dengan 4,9 juta ton Co2. Berapakah pohon yang ditanam hingga kini? Tidak ada data yang pasti.
Kerusakan hutan Indonesia masih terjadi hingga hari ini. Menurut data World Resources Institute (WRI) yang saya kutip dari Katadata (2020) Indonesia masuk dalam daftar 10 negara dengan angka kehilangan hutan hujan tropis tertinggi pada 2018. Pada tahun tersebut Indonesia kehilangan lahan hutan hujan primer tropis seluas 339.888 hektare (ha). Angka tersebut berada di urutan ketiga setelah Brasil (1,35 juta ha) dan Kongo (481.248 ha). Ekspansi lahan perkebunan sawit, terjadinya kebakaran hutan, serta pengalihan lahan hutan untuk permukiman menjadi pemicu terjadinya deforestasi.
Indonesia pernah mencatat angka deforestasi tertinggi, yakni mencapai 3,51 juta ha/tahun pada 1996-2000. Luas tersebut terdiri atas 2,83 juta ha lahan kawasan hutan dan 0,68 ha non-kawasan hutan. Terjadi kebakaran hutan yang hebat menjadi pemicu tingginya deforestasi di tanah air. Deforestasi tertingi kedua di Indonesia terjadi pada periode 2014-2015 dengan luas
1,09 juta ha yang terdiri atas 0,82 juta ha lahan kawasan hutan dan 0,28 ha lahan non-kawasan. Setiap penebangan pohon dalam satu hektare mengakibatkan lebih 70% kerusakan berat pada pohon tinggal.
Sementara itu pada 2015 Jurnal Nature memuat hasil penelitian untuk mengetahui “Ada berapa banyak pohon di seluruh dunia?” dan “Berapa banyak pohon yang ditebang setiap tahun?” Penelitian yang dipimpin oleh Thomas Crowther dari Netherlands Institute of Ecology ini merupakan hasil dari kombinasi citra satelit, penghitungan di darat dan permodelan komputer. Hasilnya? Di dunia terdapat tiga triliun pohon. Setiap tahun 15,3 milyar pohon yang ditebang.
Bersama dengan hancurnya hutan, hilang juga jasa ekosistem hutan. Jasa ekosistem adalah kontribusi ekosistem bagi kesejahteraan manusia (human well-being). Kesejahteraan dipahami sebagai kebebasan pilihan dan tindakan, keamanan, kesehatan, hubungan sosial, dan sejumlah kebutuhan pokok untuk kehidupan yang baik (Schröter et al., 2019). Minat dalam konsep jasa ekosistem telah meningkat dalam ilmu pengetahuan dan kebijakan selama dua dekade terakhir.
Namun, gagasan sederhana tentang manfaat ekosistem bagi masyarakat dan pelestarian ekosistem yang dapat mencegah risiko hilangnya jasa ekosistem tersebut, sudah agak lama. Plato dan Aristoteles, misalnya, mengamati hutan yang terdegradasi dikaitkan dengan erosi tanah yang lebih tinggi di Yunani kuno. Pada 1980-an, konsep tersebut dipromosikan dengan kuat oleh pada ahli biologi konservasi yang menunjukkan bahwa keanekaragaman hayati harus dilestarikan tidak hanya untuk kepentingannya sendiri tetapi juga karena layanannya itu memberikan kebaikan kepada orang-orang. Jasa ekosistem ini meliputi penangkapan dan perosotan karbon, stabilitas cuaca, perlindungan badai dan banjir, siklus hara, produk non-pangan, pengendalian penyakit, pembentukan dan stabilitas tanah, pengendalian hama alami, penyerbukan tanaman, pemurnian air dan fitrasi, bahan makanan liar, rekreasi luar ruangan/alam bebas, sumber daya genetik untuk penemuan farmasi, inspirasi budaya, dan udara bersih.
Termasuk jasa dari pohon-pohon yang memberi manfaat luar biasa untuk kesehatan. Jasa inilah yang disebut forest bathing atau shinrin-yoku dalam bahasa Jepang.
Beberapa penelitian dilakukan untuk menyoroti efek pepohonan hutan secara kesehatan psikologis dan fisiologis. Termasuk penelitian pengaruh forest bathing terhadap pemulihan stress wanita paruh baya. Wanita paruh baya relatif rentan terhadap stres akibat masa transisi dalam kehidupan mereka. Studi ini mengkaji tanggapan psikologis dan fisiologis setelah program terapi hutan di antara kelompok wanita paruh baya.
Hasilnya menunjukkan bahwa suasana hati negatif (yaitu, kebingungan, kelelahan, kemarahan-permusuhan, dan ketegangan) dan tingkat kecemasan berkurang secara signifikan setelah mengunjungi hutan. Sebaliknya, keadaan mood positif (semangat) meningkat setelah program. Mengenai respon fisiologis, terjadi penurunan tekanan darah sistolik yang signifikan setelah program. Singkatnya, program terapi hutan dua hari mendapat manfaat kesehatan mental dan tekanan darah sistolik di antara kelompok wanita paruh baya.
Itulah temuan penting dari penelitian yang dilakukan Huan-Tsun Chen dari School of Forestry and Resource Conservation, National Taiwan University, dan rekannya Chia-Pin Yu The Experimental Forest, College of Bioresources and Agriculture dari kampus yang sama, dan Hsiao-Yun Lee yang juga bekerja di Department of Leisure Industry and Health Promotion, National Taipei University of Nursing and Health, Taiwan. Hasil penelitian mereka dimuat pada Jurnal Forests 2018 (9, 403) dengan judul: The Effects of Forest Bathing on Stress Recovery: Evidence from Middle-Aged Females of Taiwan.
Huan-Tsun tidak sendiri. Margaret M. Hansen, Reo Jones dan Kirsten Tocchini dari School of Nursing and Health Professions, University of San Francisco, San Francisco, Amerika Serikat mengidentifikasi 64 penelitian yang mengkonfirmasi tentang manfaat secara physiological dan psychological shinrin-yoku atau forest bathing ini. Temuan mereka dituangkan dalam artikel yang berjudul Shinrin-Yoku (Forest Bathing) and Nature Therapy: A State-of-the-Art Review dan dimuat dalam International Journal of Environmental Research and Public Health (Int. J. Environ. Res. Public Health 2017, 14, 851). Mereka mereview paper dalam beragam jurnal yang relevan, dimuat dalam rentang waktu antara 2007-2017. Beberapa penelitian yang dihimpun antara lain:
Studi yang menunjukkan lingkungan alam berdampak positif langsung pada beberapa aspek kesehatan dan kesejahteraan (Bowler, 2010, penelitian di Inggris); Peserta terapi hutan (Forest Therapy) melaporkan penurunan yang signifikan dalam kesakitan, depresi dan peningkatan QOL (Quality of Life). Terapi hutan merupakan intervensi yang efektif untuk meringankan psikologis dan nyeri fisiologis (Han, 2016, Korea); Peneliti memaparkan berbagai data ilmiah, yang dinilai sebagai indikator fisiologis, seperti aktivitas otak, aktivitas saraf otonom, aktivitas endokrin, aktivitas kekebalan terakumulasi dari lapangan dan percobaan laboratorium. NT (Natural Therapy) memainkan peran penting dalam obat pencegahan sakit di masa depan. NT didefinisikan sebagai “seperangkat praktik alami bertujuan untuk mencapai ‘efek medis pencegahan’ melalui paparan rangsangan alami yang membuat tubuh dalam keadaan relaksasi fisiologis dan meningkatkan fungsi kekebalan yang melemah untuk mencegah penyakit (Song, 2016, Jepang);
Subjek yang melihat tanaman secara langsung memiliki peningkatan signifikan pada konsentrasi oksi-hemoglobin di prefrontal korteks–salah satu struktur dasar otak yang menentukan kualitas perilaku manusia, serta pelaksanaan kegiatan yang paling kompleks. Peringkat subyektif dari keadaan “Nyaman vs tidak nyaman” dan “santai vs waswas” dirasakan serupa baik untuk tanaman hidup atau buatan. Hasilnya signifikan untuk kepentingan dalam konteks perkotaan, domestik dan di tempat kerja (Igarashi, 2015, Jepang); Relaksasi kardiovaskular juga terjadi pada saat dilakukan program terapi dengan berjalan di hutan (Lee, 2014, Jepang); Hasil penelitian lainnya menunjukkan aktivitas otak di area prefrontal pada kelompok yang berjalan di kawasan hutan itu jauh lebih rendah daripada kelompok yang berjalan di wilayah kota; konsentrasi kortisol saliva kelompok yang berjalan di wilayah hutan secara signifikan lebih rendah dari grup dalam area kota sebelum dan sesudah menikmati setiap lanskap yang berbeda itu. Kortisol merupakan hormon steroid yang diproduksi oleh kelenjar adrenal. Hormon ini dikeluarkan saat terjadi respon terhadap ACTH (adrenocorticotopric hormone) yang diproduksi oleh kelenjar pituitary dekat otak. Kortisol adalah hormon utama yang berpengaruh pada saat stress dan respon respon alami dan protektif terhadap serangan atau bahaya tertentu dalam tubuh.
Hasil pengukuran fisiologis menunjukkan Shinrin-yoku bisa dengan efektif merileksasikan tubuh dan semangat orang (Park, 2007, Jepang).
Sejumlah penelitian itu memberi konfirmasi yang tidak terbantahkan tentang manfaat jasa ekosistem hutan terhadap kesehatan dan kebahagiaan manusia.
Sementara itu antara April 2010 hingga Desember 2014 the Silvanus Trust dan the University of Plymouth bekerjasama dengan the Forestry Commission, the Neroche Scheme and the Woodland Trust meluncurkan sebuah proyek yang berjudul Good from Woods (GfW). GfW bertujuan untuk mengeksplorasi dampak sosial dan kesejahteraan dari kegiatan melintasi di wilayah hutan Barat Daya Inggris. Konsep kesejahteraan (well-being) dimasukkan sebagai bagian penting kebijakan publik tentang kesehatan di Inggris. Ini dilakukan sebagai gerakan untuk mereformasi struktur kesehatan masyarakat dan telah menjadi intrinsik modernisasi layanan kesehatan. Kerangka kesehatan masyarakat mencerminkan agenda dan kebutuhan komunitas lokal yang lebih luas.
GfW didasarkan pada premis bahwa hutan sebagai penyedia jasa ekosistem bisa mendorong peningkatan well-being. Proyek tersebut mengakui dan mendukung nilai lingkungan dan pengetahuan sosial setempat. Beberapa manfaat jasa ekosistem hutan yang berhubungan dengan GfW telah dihimpun dalam waktu yang cukup lama. Yang lainnya sedang dalam proses pengujian konteks dengan yang lebih baru agar manfaat kesehatan dan kesejahteraan melalui interaksi dengan alam bisa lebih dikembangkan. Menata kebijakan kesehatan publik bisa dimulai dengan menata lingkungan, menata hutan dan wilayah-wilayah jalur hijau.