#02 Rubarubu
The Book of Idle Pleasures:
Sebuah Manifesto untuk Kemalasan yang Revolusioner
Di tengah deru kapitalisme lanjut yang mengubah setiap detik menjadi komoditas, The Book of Idle Pleasures (2008) yang diedit oleh Tom Hodgkinson dan Dan Kieran muncul bagai deklarasi perang yang elegan. Buku ini bukan sekadar antologi kesenangan sederhana, melainkan semacam senjata filosofis yang mengajak kita merebut kembali kedaulatan atas waktu dan perhatian kita. Dengan gaya yang jenaka namun mendalam, para editor menyusun katalog aktivitas non-produktif sebagai bentuk perlawanan terhormat terhadap dogma produktivitas yang menggerogoti jiwa zaman modern. Padahal seperti pepatah Arab: ”Istirahat adalah nikmat yang tersembunyi.” (الراحة نعمة خفية) Pepatah ini mengakui bahwa kemampuan untuk benar-benar beristirahat dan menikmati ketenangan adalah sebuah karunia yang sering tidak disadari.
Buku ini membangun argumen bahwa kemalasan bukanlah kevakuman moral, melainkan ruang subur tempat kreativitas dan refleksi diri dapat bertumbuh. Hodgkinson dan Kieran menelusuri akar sejarah konsep “kemalasan mulia” dari tradisi Yunani kuno hingga para pemikir Abad Pencerahan, menunjukkan bagaimana otium (waktu senggang yang kontemplatif) justru menjadi fondasi peradaban tinggi. “Dengan membuang-buang waktu dengan cara yang benar, Anda justru menemukan kembali waktu. Anda mengisinya dengan makna, bukan dengan tugas,” tulis mereka. Filsuf Bertrand Russell dalam In Praise of Idleness (1932) menyatakan, “Keyakinan bahwa kerja adalah kebajikan yang telah menyebabkan banyak kerusakan di dunia modern,” sebuah kritik yang bergema kuat dalam halaman-halaman buku ini sebagai landasan etis bagi perlawanan terhadap tiranisme produktivitas. Buku ini semecam filsafat di balik kemalasan yang disengaja.
Melalui pendekatan yang hampir antropologis, buku ini membongkar konstruksi sosial yang mengubah kemalasan dari keadaan netral menjadi dosa kapital. Para editor menunjukkan bagaimana Revolusi Industri menciptakan narasi bahwa waktu adalah uang, dan bahwa setiap momen yang tidak produktif adalah pemborosan. “Kita telah terprogram untuk merasa bersalah ketika kita bersantai. Tapi lihatlah kucing. Mereka adalah ahli dalam bersantai, dan mereka tidak merasa bersalah sedikitpun,” demikian analogi jenaka yang sekaligus mengandung kebenaran psikologis yang dalam. Pemikir Muslim abad ke-12, Ibn Arabi, dalam Futuhat al-Makkiyyah menulis, “Ketenangan adalah lautan yang darinya semua ciptaan muncul,” menegaskan bahwa keadaan diam justru merupakan sumber segala kreasi, bukan kemandegan. “Dengan membuang-buang waktu dengan cara yang benar, Anda justru menemukan kembali waktu. Anda mengisinya dengan makna, bukan dengan tugas.” Ini adalah paradoks yang indah dari buku ini. Dengan sengaja “tidak melakukan apa-apa”, kita justru mengisi hidup dengan hal yang paling bermakna. Ini adalah dekonstruksi dosa kemalasan.
Buku ini dengan cermat mendokumentasikan kesenangan-kesenangan sederhana yang telah terpinggirkan oleh budaya konsumerisme—mulai dari seni berbaring di tempat tidur, berjalan tanpa tujuan, hingga mengamati awan berlalu. Setiap aktivitas ini diangkat menjadi semacam latihan spiritual dalam dunia yang terobsesi dengan aksi. “Menjadi idle bukan tentang kemalasan. Ini tentang mengambil kendali atas waktu Anda sendiri dan menolak untuk membiarkannya dikomodifikasi,” tegas para editor. Penyair Amerika, Walt Whitman, dalam Leaves of Grass menyatakan, “Saya berjemur dan melamun… dengan malas mengamati sehelai rumput musim panas,” merayakan nilai filosofis dari pengamatan pasif yang justru membuka pintu kesadaran yang lebih luas. Kemalasan adalah bentuk kesenangan yang terlupakan sebagai praktik spiritual.
Kita ingat sebuah nasihat bijak ini: “Beri hatimu istirahat sesekali, karena jika hati itu lelah, menjadi butalah mata.” Nasihat ini menekankan pentingnya istirahat bagi hati dan pikiran. Kelelahan spiritual dan mental akan membuat kita “buta” terhadap keindahan dan kebaikan hidup, yang bertentangan dengan semangat “idle pleasures” yang justru membuka mata.
Dalam bab-bab yang khusus membahas aktivitas seperti membuat kertas terbang atau bermain dengan bayangan sendiri, buku ini mengembangkan estetika baru—sebuah apresiasi terhadap yang tidak berguna, yang justru mengandung nilai intrinsiknya sendiri. Setiap bab—dari “Berbaring di Tempat Tidur” hingga “Melihat Awan”, dari “Minum Teh” hingga “Tidak Melakukan Apa-Apa”—adalah semacam ritual suci dalam agama “kemalasan kreatif”.
Praktik tafakkur (kontemplasi, merenungkan ciptaan Allah) dalam Islam memiliki semangat yang sejalan. Melihat awan, mengamati alam, atau sekadar duduk diam sambil mengingat Sang Pencipta adalah bentuk “idle pleasure” yang spiritual dan sangat dianjurkan. Ia adalah kesenangan yang tidak produktif secara duniawi, tetapi sangat produktif untuk jiwa.
Ilustrasi menawan karya Ged Wells menghidupkan teks dengan kehangatan visual yang mengundang pembaca untuk tidak terburu-buru. “Kadang-kadang hal yang paling produktif untuk dilakukan adalah tidak melakukan apa-apa,” demikian paradoks yang diusung buku ini. Oscar Wilde dengan khas menambahkan, “Apa gunanya melakukan sesuatu jika Anda tidak ingin membicarakannya?” menekankan bahwa nilai sebuah aktivitas terletak pada kapasitasnya untuk menginspirasi percakapan dan keindahan, bukan semata output material. “Menjadi idle bukanlah tentang kemalasan. Ini tentang mengambil kendali atas waktu Anda sendiri dan menolak untuk membiarkannya dikomodifikasi oleh tuntutan dunia modern.” Kutipan ini adalah inti pemberontakan buku ini. Menjadi “idle” adalah tindakan sadar dan politis untuk merdeka. Ini adalah sebuah estetika dari ketidakbergunaan.
“Buku ini sendiri adalah teladan menulis yang brilian. Ia membahas hal-hal sepele dengan serius, dan hal-hal serius dengan ringan. Gaya bahasanya jenaka, reflektif, dan mudah dicerna, membuat filosofi yang dalam terasa seperti obrolan santai dengan teman.” Cara menulis buku ini adalah teladan langsung bagi siapa pun yang ingin menulis topik serupa: jadilah mendalam tanpa menggurui, dan jenaka tanpa menjadi kosong.
The Book of Idle Pleasures secara implisit mengajukan kritik ekologis—bahwa budaya produktivitas tak terbatas telah mendorong eksploitasi sumber daya alam, sementara praktik idle pleasures justru selaras dengan keberlanjutan ekologis. Dengan menikmati yang sederhana dan yang sudah ada, kita mengurangi jejak ekologis sekaligus menemukan kepuasan yang lebih otentik. “Dalam kesederhanaan yang disengaja, terdapat kekayaan yang tak terduga,” tulis Hodgkinson. Dari tradisi Islam, pepatah Arab mengingatkan, “Istirahat adalah nikmat yang tersembunyi,” sementara nasihat bijak menyentuh hati, “Beri hatimu istirahat sesekali, karena jika hati itu lelah, menjadi butalah mata.” Keduanya mengakui bahwa istirahat bukan kemewahan, melainkan kebutuhan spiritual dan ekologis. Idleness, kemalasan, sebagai jalan keadilan ekologis dan sosial.
Catatan Akhir
Setiap aktivitas idle dalam buku ini—mulai dari merendam kaki di air hingga duduk di bangku taman—dapat dibaca sebagai praktik mindfulness yang memulihkan koneksi kita dengan momen sekarang. Buku ini mengajarkan seni hadir sepenuhnya dalam pengalaman sederhana, sebuah bentuk meditasi sekuler yang mudah diakses. “Idle pleasure adalah bentuk perhatian yang paling mudah; tidak memerlukan alat atau instruktur, hanya keberanian untuk tidak melakukan apa-apa,” demikian penjelasan para editor. Filsuf Tiongkok, Zhuangzi, berkata, “Kebahagiaan tertinggi adalah dalam ketiadaan,” merujuk pada keadaan hadir sepenuhnya tanpa kelekapan pada pencapaian atau produktivitas. Sebuah resistensi melalui kesadaran penuh (mindfulness).
The Book of Idle Pleasures secara visioner mengantisipasi tantangan idle pleasures di era digital, di mana perhatian kita menjadi komoditas yang diperebutkan. Praktik-praktik dalam buku ini justru menjadi lebih relevan sebagai penangkal terhadap ekonomi perhatian yang merampas kedaulatan mental kita. “Di dunia yang semakin terhubung, kemampuan untuk memutuskan diri justru menjadi bentuk kemewahan tertinggi,” tulis Kieran. Dalam tradisi Islam, praktik khalwah (menyendiri untuk kontemplasi) atau tafakkur (merenungi ciptaan Allah) adalah bentuk mulia dari idle pleasure yang justru menghasilkan pencerahan spiritual, bukan kelambanan. Dunia yang makin bergegas, waktu adalah uang maka masa depan idleness di dunia digital makin relevan.
Pada akhirnya, buku ini mengajukan visi politik yang radikal—bahwa dengan menolak logika produktivitas tanpa batas, kita tidak hanya menyelamatkan diri sendiri tetapi juga membayangkan ulang tatanan sosial yang lebih manusiawi. Dengan merayakan kesenangan sederhana yang dapat diakses semua orang, buku ini menawarkan jalan menuju keadilan yang berpusat pada kesejahteraan batin, bukan akumulasi materi. “Dengan tidak melakukan apa-apa, kita justru menjadi segala sesuatu yang kita butuhkan,” demikian penutup yang menggugah. Seperti kata penyair Persia, Rumi, “Kadang-kadang dengan duduk diam di tempatmu, dunia akan datang dan mengungkapkan dirinya padamu,” menegaskan bahwa dalam keadaan diam dan tidak beraksi justru terletak potensi transformasi terdalam bagi diri dan masyarakat. Inilah revolusi diam menuju dunia yang lebih adil.
Bogor, 18 Oktober 2025
Dwi Rahmad Muhtaman
Referensi:
Hodgkinson, T., & Kieran, D. (Eds.). (2008). The book of idle pleasures. Ebury Press.





