Sustainability 17A #43
Sustainability 17A #43 – Rurbanism
Dwi Rahmad Muhtaman,
Ketua Yayasan Lembaga Alam Tropika Indonesia/LATIN,
Co-Founder/President Director Remark Asia
…..
Matahari perlahan mengerut
menyingkap Ato dalam keemasan
sebelum gelap menyergap
Lalu tonggeret menguasai segalanya
mengurai sepi, membawa malam pada gelanggang pedang
Dan di bawah atap kuil Shinkoji dan dinding kayu,
kau bertanya
: Ketika kau ada di sini
dimanakah kau?
Kini ketika kau pergi
dimanakah kau?
…..
Sajak di atas berjudul Ato. Puisi tentang desa yang kesepian. Warganya yang pernah dilahirkan, melewatkan masa kecil dan remaja di sini tak lagi menganggap desa ini sebagai kampung halaman. Hamparan sawah, sekolah, halaman bermain, mainan-mainan dari jerami, dan malam dan siang yang ditinggalkan. Saya tulis sajak ini ketika, pada waktu itu, berkunjung ke Desa Ato, Yamaguchi, Jepang dalam rangka International Conference on Village Revitalizaton (ICVR).
Ato adalah sebuah desa yang terletak di Kota Yamaguchi, Yamaguchi Perfecture, Jepang. Ato pada awalnya merupakan bagian dari Distrik Abu, tetapi bergabung menjadi bagian Yamaguchi pada tahun 2010. Yamaguchi sendiri merupakan himpunan dari beberapa kota kecil. Pada tahun 1889, 40 kota kecil ini bergabung membentuk Kota Yamaguchi. Ato adalah desa pertanian yang penduduknya hidup dari pertanian khususnya padi, buah, dan sayuran.
Ato merupakan desa yang menyenangkan. Daerah pertanian yang subur. Tanaman tumbuh dengan sangat baik. Air dan tutupan hutannya sangat terjaga dengan baik. Air yang mengalir di tepian jalan dari sebuah sumber di bukit berhutan sangat bening dan dingin. Kami yang melintasi mereguknya. Terasa segar. Desa dengan kontur berbukit dan jalan-jalan desa yang rapi. Insfrastuktur tersedia seperti halnya di kota. Desa yang mestinya menjadi tempat yang bisa memberi kebahagian pada warganya. Satu hal saja yang mengkhawatirkan: Sunyi. Sunyi yang menghampar di tanah Ato dan lorong-lorong jalanan desa dan juga di teras dan tepi-tepi halaman rumah adalah sunyi yang berbeda. Di Ato tidak ada anak-anak atau remaja yang sekedar melintas atau berkeliaran di seluruh penjuru desa. Walau di hari libur.
Desa ini setiap tahun mengalami pertumbuhan penduduk yang negatif. Warga negara usia tua mendominasi desa. Anak-anak muda banyak yang meninggalkan desa, urbanisasi ke kota-kota sekitar atau metro. Ato Bunko, The Kameyama Primary School (Sekolah Dasar) yang telah berusia 100 tahun pun ditutup karena tidak ada murid sejak 2006. Yoshimi Masataka (75), seorang penduduk Ato, mulai memanfaatkan tempat ini sejak 2006 sebagai perpustakaan Desa Ato. Saat ini (2016) Yoshimi telah berhasil mengumpulkan 60.000 koleksi beragam buku bacaan mulai dari buku pertanian, komik, sastra, seni dan agama. Spedagi Movement melengkapi upaya revitalisasi Ato dan kembali mengenali kedalaman hati Desa Ato.
Itulah kesunyian yang menggelayuti kekhawatiran Pemerintah Jepang.
Bahkan fenomena demografi Jepang itu disoroti oleh beberapa media internasional antara lain the Atlantic yang memuat tulisan Alana Semuels (Agustus 2017) berjudul: Can Anything Stop Rural Decline?
Menurut Semuels, selama beberapa dekade, kaum muda telah melarikan diri dari desa pedesaan ini, terpikat oleh daya tarik kota-kota besar Jepang seperti Tokyo dan Osaka. Sekolah Tochikubo kini memiliki delapan anak, dan lebih dari separuh penduduk kota yang berjumlah 170 orang berusia di atas 50 tahun. “Siapa yang akan datang ke sini sekarang?” kata Fueki, yang dibesarkan di desa ini dan mengingat saat banyak rumah tidak ditinggalkan, ketika lebih banyak orang bertani dan anak-anak berkeliaran di jalanan.
Desa ini bukanlah anomali. Jepang perlahan-lahan menjadi seperti satu negara kota besar, dengan mayoritas penduduknya berpusat di sabuk perkotaan yang membentang melalui gugusan Tokyo, Osaka, dan Nagoya, semuanya terletak relatif dekat satu sama lain, di sepanjang rute kereta peluru Jepang, Shinkansen. Pada tahun 1950, 53 persen penduduk Jepang tinggal di daerah perkotaan; pada tahun 2014, 93 persen melakukannya. (Sebaliknya, di AS, 81 persen populasi tinggal di daerah perkotaan.) Sebagian besar kaum mudalah yang pindah ke kota, dan itu berarti seiring bertambahnya usia populasi Jepang, kota-kota di luar negara-kota ditinggalkan untuk memudar. Kementerian Dalam Negeri Jepang mengatakan bahwa sekarang, sekitar 15.000 dari 65.000 atau lebih masyarakat Jepang memiliki lebih dari separuh populasi mereka yang berusia di atas 65 tahun.
Seperti yang dialami Kensaku Fueki, 73 tahun, seperti diceritakan Semuels. Bersama istrinya yang juga berusia lebih dari 70 tahun mereka menjalani hari-harinya di kota kecil di pegunungan wilayah Tochikubo, Jepang. Sambil menatap hamparan sawah di lembah bawah, mereka mungkin bertanya-tanya akan jadi apa rumah yang mereka bangun, taman yang mereka rawat, kota yang mereka cintai.
“Saya tidak berharap mereka kembali,” dengan sorot mata muram, bercerita tentang ketiga putrinya, semuanya menikah dan tinggal di Tokyo. “Sangat sulit untuk hidup dari bertani.”
Di beberapa daerah pedesaan, alam sedang merebut kembali jejak-jejaknya, menguasai kenah lahan-lahan. Keluarga merobohkan rumah yang tidak terpakai, mengubah tanah kembali menjadi ladang. Serangan beruang di dekat pemukiman di utara Jepang meningkat karena manusia berhenti memangkas pohon dan memelihara tanah mereka. Babi hutan telah merusak lahan pertanian di pulau Honshu. “Apa yang akan terjadi di masa depan, di sebagian besar tempat, satu-satunya hasil adalah kepunahan total,” kata Peter Matanle, dosen senior dalam studi Jepang di Universitas Sheffield, yang telah mempelajari kemunduran pedesaan Jepang secara ekstensif, seperti dkutip Semuels dalam laporannya itu. Ladang dan lahan kosong akan menggantikan rumah dan lahan pertanian, dan di beberapa tempat, hanya kuburan yang tersisa untuk menandai tanah tempat orang pernah tinggal.
Sebuah buku kontroversial tahun 2014 oleh Hiroya Masuda, mantan gubernur Prefektur Iwa Jepang, meramalkan bahwa 896 kota, kota kecil, dan desa akan punah pada tahun 2040. Lusinan kota akan melihat jumlah orang muda turun secara signifikan, karena bagian orang tua tumbuh, prediksinya. Secara keseluruhan, populasi Jepang diperkirakan menyusut dari puncak 128 juta pada tahun 2010 menjadi 97 juta pada tahun 2050. Jepang setiap tahun kehilangan 300 desa. Beruntung di Indonesia. Jumlah desa makin banyak. Beranak pinak dengan cepat hingga kini mencapai lebih dari 81.000. Sebagian karena tergiur berebut dana desa belaka. Sebagian bernafsu berebut kekuasaan, menjadi raja-raja kecil. Yang sungguh-sungguh sebagai panggilan memberdayakan desa hanya secuil saja.
Dan Jepang tidaklah sendirian soal makin ditinggalkannya desa oleh generasi-generasi muda. Negara-negara lain mengalami hal serupa. “Di Inggris berabad lalu,” demikian tulis Farid Gaban, “jutaan warga desa lari ke kota dan menciptakan krisis kemanusiaan luar biasa. Untuk pertama kali dalam sejarah Inggris, kata “poverty” lazim dipakai untuk melukiskan orang-orang yang secara harfiah tak punya peluang bertahan hidup.” Pada tahun 2020 perkiraan penduduk Inggris mencapai 56,6 juta, dimana 9,7 juta (17,1 persen) tinggal di pedesaan dan 46,9 juta (82,9 persen) tinggal di perkotaan. Penduduk yang tinggal di pedesaan ini meningkat dari 9.1 juta pada tahun 2011, namun proporsi total populasi telah turun dari 17,2 persen menjadi 17,1 persen selama periode waktu yang sama, karena populasi perkotaan meningkat dengan laju yang lebih cepat.
Dikepung oleh penurunan pendaftaran dan perubahan besar dalam demografi, banyak dewan sekolah umum di Nova Scotia, Kanada memilih untuk menutup secara permanen. Pada tahun 2016, salah satu dewan sekolah provinsi memilih untuk menutup 17 sekolah selama periode lima tahun. Beberapa sekolah yang ditutup itu beroperasi dengan kapasitas hanya 30%. Tidak cukup siswa yang bersekolah di sekolah-sekolah ini untuk menutup biaya operasi mereka.
Penutupan sekolah telah menjadi isu sentral di komunitas pedesaan Kanada. Banyak yang melihat kejadian ini sebagai tanda runtuhnya pengalaman pedesaan yang lebih besar. Penurunan populasi yang didorong oleh migrasi keluar, yang terus memakan korban yang menyedihkan di pedesaan Kanada. Melihat penutupan sekolah sebagai pukulan lebih lanjut terhadap vitalitas komunitas mereka masing-masing. Warga kota di banyak daerah telah berunjuk rasa dan kampanye di media sosial untuk memprotes kematian sekolah komunitas.
Mari kita pergi ke Eropa. Untuk waktu yang lama di Denmark terdapat distribusi penduduk yang cukup konstan di antara berbagai kategori kota. Tetapi selama periode sepuluh tahun terakhir kota-kota kecil, dan geografis pinggiran pada umumnya, telah mengalami kehilangan penduduk yang parah, yang telah memicu banyak perdebatan dan protes serta kepentingan politik baru di pinggiran.
Sementara itu di Indonesia hal yang mencemaskan juga terjadi. Saat ini, 56,7 persen penduduk Indonesia masih tinggal di kota. Kondisi ini terus meningkat hingga tahun 2035 di mana sekitar 66,6 persen akan memilih tinggal di perkotaan.
Gegas Urbanisasi
Mengapa semua itu bisa terjadi? Urbanisasi! Para ahli sertamerta menuduh urbanisasi adalah biang keroknya. Urbanisasi sebagai istilah dalam perbincangan nampak mudah. Kalau digali lebih mendalam dalam dunia akademik pemahaman soal urban dan urbanisasi akan jauh lebih kompleks. Sering ada klaim urbanisasi dianggap sebagai sosiologi perkotaan yang khas, politik perkotaan, geografi, ekonomi, perencanaan dan sebagainya. Tetapi dalam praktiknya sulit untuk membedakan satu sama lain. Komponen ‘perkotaan’ dari disiplin ilmu ini juga tidak berdiri sendiri. Sulit, misalnya, untuk mengatakan apa yang membedakan geografi perkotaan dari geografi manusia, atau sosiologi perkotaan dari teori sosial yang lebih umum. Dan jauh dari kejelasan disiplin akademik standar yang ‘memiliki’ materi pelajaran yang lebih spesifik yang sering muncul dalam literatur; arsitektur perkotaan, konservasi, desain, ekologi, pembangunan ekonomi, lingkungan, lanskap, manajemen, morfologi, kebijakan, dan sebagainya.”
Kota memang memabukkan. Daya tariknya bisa membuat orang yang datang dari desa lupa jalan pulang. “Kota-kota, aglomerasi padat yang menghiasi dunia, telah menjadi mesin inovasi sejak Plato dan Socrates berdebat di pasar Athena. Jalan-jalan di Florence memberi kita Renaisans, dan jalan-jalan di Birmingham memberi kita Revolusi Industri. Kemakmuran besar London kontemporer, Bangalore, dan Tokyo berasal dari kemampuan mereka menghasilkan pemikiran baru. Mengembara di kota-kota ini – baik di trotoar batu atau jalan lintas yang memotong jaringan, di sekitar bundaran atau di bawah jalan bebas hambatan – adalah menyimak, menyibak dan mempelajari kemajuan manusia.”
Apa yang membuat kota bisa jadi dayatarik orang-orang desa untuk menyerbunya? Richard Dobbs, James Manyika, Jonathan Woetzel dalam bukunya: No Ordinary Disruption: The Four Global Forces Breaking All the Trends (2015) punya jawabannya. “Sepanjang sejarah, ketika orang pindah dari pertanian ke pekerjaan di kota, hasil mereka biasanya berlipat ganda. Seiring bertambahnya usia generasi berikutnya, pendapatan mereka juga meningkat. Yang pasti, gambar favelas (istilah di Brazil untuk kawasan kumuh), shantytowns (kawasan kumuh yang jorok), dan slums (kawasan kumuh yang padat) adalah bagian dari lanskap. Kemiskinan perkotaan adalah fenomena nyata dan berpotensi berbahaya. Tetapi sejarawan ekonomi memberi tahu kita bahwa selama ratusan tahun, orang yang tinggal di kota menikmati standar hidup satu setengah hingga tiga kali lebih baik daripada sepupu pedesaan mereka.
“Ada banyak alasan mengapa kota menjadi mesin pertumbuhan yang begitu kuat,” tulis Dobbs. Pusat populasi yang padat menghasilkan keuntungan produktivitas melalui skala ekonomi, spesialisasi tenaga kerja, limpahan pengetahuan, dan perdagangan. Peningkatan produktivitas ini diperkuat melalui efek jaringan. Penelitian terbaru menunjukkan bahwa kepadatan perkotaan mendorong peningkatan produktivitas superlinier karena memberikan peluang untuk interaksi sosial dan ekonomi yang lebih besar. Orang dan keterampilan menarik bisnis, yang pada gilirannya memikat para migran dari daerah pedesaan untuk mencari pekerjaan. Perusahaan menarik perusahaan lain yang mungkin ingin melakukan bisnis atau berbagi layanan seperti jalan, pelabuhan, dan universitas yang menawarkan rute cepat ke kumpulan bakat. Mereka mengundang kecerdikan dan penciptaan model bisnis baru.
Misalnya Fan Milk International. Sekarang pembuat produk susu beku terbesar di Afrika Barat ini, tumbuh di kota-kota seperti Accra dan Kumasi. Itu memelopori model penjualan yang bekerja untuk lingkungannya. Penjual sepeda melewati jalan-jalan yang tersumbat dengan wadah kecil (yang dapat dikonsumsi tanpa didinginkan).
Perusahaan lalu melengkapinya dengan kereta dorong dan sepeda motor. Mendirikan kios yang didukung oleh panel surya (jaringan listrik di banyak pasarnya tidak dapat diandalkan) untuk menjaga agar yogurt dan susunya tetap dingin. Setelah berekspansi ke tujuh negara di Afrika, Fan menghitung penjualan sekitar $160 juta dan menikmati margin keuntungan yang tinggi. Danone pada tahun 2013 membeli 49 persen saham di perusahaan tersebut dengan nilai $360 juta. Namun geliat dan potensi bisnis yang hanya seolah-olah eksklusif milik kota bisa terbantahkan dengan makin maraknya usah-usaha kelas dunia yang bisa dioperasikan di desa-desa di Indonesia oleh orang-orang desa. Spedagi misalnya. Sepeda berrangka bambu ini diproduksi di Desa Kandangan, Kecamatan kandangan yang bisa ditempuh hanya delapan kilometer dari kota Magelang atau 75 km dari Jogjakarta. “Magno berhasil membuktikan bahwa desa mampu menghasilkan produk kelas dunia dan dalam era kemajuan teknologi informasi dan komunikasi sekarang ini, lokasi domisili tidak menjadi persoalan, sepanjang ada akses internet. Magno pada tahun 2014 telah mampu memberikan lapangan kerja bagi sekitar 30 warga setempat, menghasilkan produk yang tersebar luar secara internasional, mendapatkan banyak pernghargaan internasional, salah satu produknya radio kayu telah menjadi salah satu ikon desain dunia. Magno merupakan contoh industri yang bukan hanya hemat dalam menggunakan material kayu, namun berhasil menanam kembali dalam jumlah lebih banyak. Namun, jika kita bicara komunitas desa kontribusi Magno dalam membawa desa menjadi desa yang maju sesuai dengan potensi masih jauh dari memuaskan,” kata Singgih S. Kartono, Sang Creator Radio Kayu Magno dan sepeda bambu, Spedagi, pada sebuah acara di Ubud, Bali. Lebih mendalam tentang Spedagi akan dibahas pada bagian lain dalam tulisan ini.
Sumber gambar: Singgih S Kartono, founder of Magno & Spedagi, Temanggung, Central Java – Indonesia www.magno-design.com, www.spedagi.com
Prakarsa lain ada di Desa Parongpong, Kecamatan Parongpong, Kabupaten Bandung Jawa Barat. Wilayah Parongpong yang berjarak sekitar 13,5 Kilometer dari Bandung terkenal dengan wisata bunga. Mayoritas petani di wilayah ini merupakan petani bunga dan tanaman hias lainya serta bercocok tanam sayuran. Inovator yang berkarya di kampung Parongpong ini adalah Rendy Aditya Wachid. Di bawah RAW Management karya-karyanya meliputi pemanfaatan limbah plastik, puntung rokok bahkan masker, membentuk koperasi untuk masyarakat yang menampung limbah, mendirikan Rawhaus–rumah mungil (tiny house) berbahan daur ulang. Karya-karya inovatifnya dengan memanfaatkan aneka limbah menuai apresiasi dari banyak lembaga. Kini dengan perusahaan barunya: Sisa Associates merambah Jepang dan berkarya dari kantornya yang baru di Tokyo.
Sumber ilustrasi gambar: https://www.sisasisa.com
Sumber gambar: https://www.parongpong.com/kopong
Sedikit contoh itu bisa memberi harapan yang berbeda dari masa depan desa dalam dunia urbanisasi.
Skala kota berarti bahwa populasi perkotaan juga mendapat manfaat dengan cara lain. Kota cenderung memiliki sistem pendidikan yang lebih ekstensif daripada daerah pedesaan, dan bisnis perkotaan serta pekerja mendapat manfaat dari fakta bahwa membangun infrastruktur dan memberikan layanan publik lebih efisien dan hemat biaya. Bukti dari India menunjukkan bahwa 30 hingga 50 persen lebih murah bagi kota-kota besar untuk menyediakan layanan dasar, termasuk air, perumahan, dan pendidikan, daripada daerah pedesaan yang berpenduduk jarang. Siklus yang baik memastikan keberhasilan kota dapat lebih meningkatkan produktivitas dengan menarik infrastruktur, inovasi, bakat, dan keragaman ekonomi yang lebih baik.”
“Pendidikan tinggi merupakan komponen penting dalam pembangunan ekonomi. Di Inggris Raya dan Amerika Serikat, tidak jarang menemukan perguruan tinggi dan universitas di pedesaan. Tapi di negara berkembang, mereka hampir secara eksklusif merupakan fenomena perkotaan. Kumasi adalah rumah bagi Universitas Sains dan Teknologi Kwame Nkrumah, salah satu universitas sains dan teknologi terkemuka di Afrika Barat. Didirikan pada tahun 1950 sebagai sekolah teknik, ini adalah universitas lengkap yang terletak di kampus seluas delapan mil persegi, dengan enam perguruan tinggi, termasuk sekolah bisnis, hukum, dan kedokteran. (Kofi Annan belajar di sana pada akhir 1950-an sebelum berangkat ke Amerika Serikat). Itu menarik siswa yang cerdas dan ambisius dari negara-negara Afrika Barat lainnya serta Ghana.”
Berapa banyak dari 270 juta orang Indonesia yang mengetahui nama dan letak Kota Temanggung? Atau berapa banyak yang tahu tempat yang bernama Nagekeo? Tubaba? Kalau di luar negeri, ada yang tahu Kumasi?
Bahkan tidak banyak pula orang dari negara maju di Barat yang telah mengunjungi Kumasi, kota yang berlokasi sekitar 160 mil barat laut ibu kota Ghana, Accra, meskipun menuju ke sana sekarang jauh lebih mudah daripada beberapa tahun yang lalu. Bandara Kumasi memiliki tiga belas penerbangan setiap hari ke Accra, dilayani oleh maskapai penerbangan seperti Antrak Air, Fly540 Ghana, Africa World Airlines, dan Starbow, dengan tarif sekali jalan mulai dari $20.1 Dengan populasi sekitar dua juta, Kumasi, kampung halaman mantan Sekjen PBB Kofi Annan, kira-kira seukuran Houston, meskipun kepadatan penduduknya (21.000 per mil persegi) mendekati New York. Ibu kota wilayah Ashanti, yang disebut Garden City, telah lama menjadi pusat kayu dan produksi emas.
Masyarakat Kumasi merupakan konsumen aktif barang-barang pokok yang murah. Mereka belum menjadi bagian dari “penonton global besar-besaran untuk merek-merek kelas menengah dan premium.” Kegiatan belanja berpusat di pasar terbuka terbesar di Afrika Barat, Kejetia, kumpulan reyot dari sebelas ribu kios beratap seng. Perusahaan multinasional langka di sini. Hotel terkemuka yang dibangun dengan standar internasional adalah Golden Tulip, yang dimiliki oleh perusahaan Prancis Groupe du Louvre. Kumasi memiliki cabang Standard Chartered Bank Ghana dan delapan cabang Fidelity Bank Nigeria. Hanya beberapa perusahaan dari negara maju yang hadir di Kumasi. (Starbucks menjual kopi merek Kumasi di Amerika Serikat, tetapi tidak ada Starbucks di kota ini.) Dan mengapa mereka harus melakukannya? Kumasi adalah daerah terpencil yang miskin di negara miskin. Pendapatan per kapita Ghana tahun lalu sekitar $3.880—peringkat 163 di dunia.
Tapi Kumasi—dan ribuan kota baru di pasar negara berkembang seperti itu—adalah tempat masa depan banyak perusahaan akan berada. Kebanyakan dari mereka belum mengetahuinya. Seperti halnya dengan banyak kota dunia berkembang, kota ini berada di ambang menuai buah dari siklus transformasi ekonomi yang padat secara radikal.
Inilah yang menjadi biang kerok itu. Kota-kota besar sesak. Kota-kota menengah dan kecil diserbu dan didorong dengan kuat untuk tumbuh. Desa dilupakan. Penduduknya berbondong-bondong menuju kota-kota.
Richard Dobbs, James Manyika, Jonathan Woetzel menyebut fenomena perubahan gravity ekonomi in karena pengaruh urbanisasi. Inilah “The Urban Century,” tulisnya.
“Industrialisasi ekonomi negara berkembang telah menggeser pusat gravitasi ekonomi dunia ke timur dan selatan. Migrasi internal di negara-negara tersebut, dari pertanian dan desa ke kota, memicu pertumbuhan yang mencengangkan. Dan itu terjadi dengan kecepatan yang belum pernah terlihat sebelumnya dalam sejarah. Perkembangan ini mendorong pertumbuhan permintaan yang eksplosif, yang memaksa kita mengatur ulang intuisi kita. Kota-kota besar di negara berkembang ini—seperti Shanghai, São Paulo, dan Mumbai—sudah masuk dalam radar perusahaan global. Tetapi pertumbuhan konsumsi yang benar-benar dramatis akan terjadi di kota-kota yang sulit ditemukan di peta hari ini, seperti Kumasi.”
“Kenapa sekarang?” Bagi Dobbs dan kawan-kawan itu tren mendasar yang mendukung dan memungkinkan dunia berkembang adalah ya itu tadi: urbanisasi. Orang-orang telah pindah ke kota selama berabad-abad, tertarik oleh kemungkinan pendapatan yang lebih tinggi, lebih banyak kesempatan, dan kehidupan yang lebih baik. Namun skala dan laju urbanisasi saat ini belum pernah terjadi sebelumnya. Kita berada di tengah migrasi massal terbesar dari pedesaan ke kota dalam sejarah.
Populasi kota secara global telah meningkat rata-rata 65 juta orang per tahun selama tiga dekade terakhir—setara dengan seluruh populasi Inggris Raya—dan pertumbuhan tersebut sangat didorong oleh urbanisasi yang cepat di Cina dan India. Sementara Eropa dan Amerika Serikat mengalami urbanisasi pada abad kedelapan belas dan kesembilan belas dan Amerika Latin pada paruh kedua abad kedua puluh, Cina dan India, masing-masing dengan populasi lebih dari satu miliar, kini berada di tengah pergeseran perkotaan mereka. “Urbanisasi bukan sekadar menambah jumlah penduduk perkotaan atau memperluas wilayah kota,” kata Perdana Menteri China Li Keqiang. “Lebih penting lagi, ini tentang perubahan total dari gaya pedesaan ke perkotaan dalam hal struktur industri, pekerjaan, lingkungan hidup, dan jaminan sosial.”
“Bagi banyak orang di China, perubahan tidak bisa segera terjadi.” Misalnya, desa Ta Ping, di Pegunungan Qinling, memiliki populasi 103 orang. Sekitar sembilan puluh menit di luar Xi’an yang ramai, desa ini memiliki sekitar empat puluh meter jalan beraspal yang diapit oleh beberapa lusin bangunan beratap terakota. Sangat umum untuk melihat jalinan jagung kering dipaku di dinding luar rumah, yang berisi bola lampu kosong, kompor kayu bakar, lantai semen, dan televisi. Di sini, dua puluh delapan keluarga menorehkan sedikit keberadaan. Yang berbadan sehat mencari pekerjaan di kota-kota, dan sisanya pergi ke pegunungan untuk mengumpulkan tumbuh-tumbuhan, menanam kedelai dan jagung, atau hidup dari uang pensiun yang sangat sedikit sekitar 80 renminbi ($15) per bulan.
“Bagaimana saya harus bahagia?” tanya Teng Ling Dang yang berusia dua puluh empat tahun. “Saya miskin, dan orang tua saya sakit.” Teng, yang tidak menyelesaikan sekolah dasar, menghasilkan 70 renminbi (sekitar $12) per hari dengan bekerja di pabrik batu bata di Luan, kota terdekat. Prospek pernikahannya buruk karena dia tidak menghasilkan banyak uang. Dan dia tidak bisa pergi untuk pekerjaan dengan gaji lebih tinggi di pantai karena dia harus menjaga orang tuanya.
Pada tahun 2050 diperkirakan hampir 70 persen penduduk dunia akan tinggal di perkotaan. Menurut Perserikatan Bangsa-Bangsa, seperti dikutip Wu Ying, dua pertiga populasi dunia akan tinggal di daerah perkotaan dalam waktu dekat—yaitu di kota dan daerah perkotaan. “Bagaimana sepertiga lainnya akan hidup?” tanya Wu Ying mungkin dengan kesal karena baginya pertanyaan ini saja menunjukkan dikotomi sederhana antara ruang perkotaan dan pedesaan yang sudah tidak ada lagi. Bersamaan—bukan sebaliknya—transformasi dan ekspansi drastis wilayah perkotaan di seluruh dunia, ruang pedesaan juga telah berubah secara dramatis: setelah mekanisasi dan industrialisasi, ruang pedesaan telah mengalami migrasi massal manusia.
Di sisi lain, menjadi lanskap rekreasi untuk sementara waktu menerima imigrasi massal para tamu. Ruang pedesaan telah menerima limbah dan infrastruktur yang tidak diinginkan atau ketinggalan zaman dari kota. Ini telah berfungsi sebagai situs ekstraksi sumber daya alam, menciptakan lanskap buatan manusia dalam skala yang tak terlihat. Ruang pedesaan telah menyaksikan revolusi dalam pertanian dan modifikasi genetik tumbuhan dan hewan untuk memberi makan populasi dunia. Bendungan air, ladang angin, ladang jagung, dan taman surya menghasilkan energi dalam skala yang belum pernah terjadi sebelumnya. Mengingat perubahan besar-besaran baru-baru ini, mengapa ruang pedesaan sering dianggap menurun atau stagnan?
Sejak tahun 1990-an, “urbanisasi” telah menjadi tren global. Tingkat urbanisasi dunia meningkat dari 45 persen pada tahun 1995 menjadi 54 persen pada tahun 2014, dan diperkirakan akan tumbuh menjadi 66 persen pada tahun 2050. Dari New York hingga Tokyo, dari Shanghai hingga Mumbai, orang di seluruh dunia cenderung memilih untuk tinggal di perkotaan. Banyak orang percaya bahwa “kota telah menang,” tulis Glaeser yang disitir Wu Ying. Sejak reformasi dan keterbukaan, China juga mengalami urbanisasi yang pesat. Pada tahun 1990-an, karena pesatnya perkembangan usaha perkampungan, perkembangan kota-kota kecil dan urbanisasi lokal di mana para petani “meninggalkan pertanian tanpa meninggalkan tanah asalnya” menjadi pandangan arus utama tentang urbanisasi pada saat itu. Krisis keuangan Asia Tenggara tahun 1997 menyadarkan masyarakat akan datangnya era “kelebihan relatif” dan “kekurangan kota”. Hal serupa mudah kita lihat di Nusantara ini. Berbondong-bondong orang ‘bedhol desa’ menjadi beragam pekerja apapun yang disediakan kota. Atau bahkan menjadi pekerja migran ke kota-kota di mancanegara.
The Right To Be Rural
Dan datanglah badai pandemi Covid-19. Dunia rehat sejenak. Berhenti berputar dari gegas dengan drastis selama kurang lebih dua tahun. Meski nampak jeda yang begitu panjang, sebetulnya hanya sekejap saja. Dan itu cukup membuat orang untuk melihat kembali lembaran-lembaran kota dengan segala persoalan. Melihat kembali ke desa, arena yang sangat berbeda dengan kota, urban. Tempat yang berirama pelan, mengikuti gerak alam. Kata peribahasa Jawa, Desa mawa cara, kuta negara mawa tata. Desa memiliki adat dan tradisi tersendiri; Permukiman perkotaan memiliki hukum dan ketertiban tersendiri.
Pada November 2015 sebuah diskusi diadakan oleh Institute for Sustainable Urbanism (ISU) di Technische Universität Braunschweig, biasa disebut TU Braunschweig, Jerman. Tujuan diskusi itu untuk membahas the “Future of Villages and Small Towns in an Urbanizing World,” “Masa Depan Desa dan Kota Kecil di Dunia Urbanisasi.” Para peneliti dari berbagai bidang termasuk perencanaan perkotaan dan lanskap, arsitektur, geografi, dan ilmu sosial dan budaya membahas masa depan ruang pedesaan dengan berbekal pada sejumlah pertanyaan berikut: Bagaimana dan dengan konsekuensi manusia seperti apa ruang pedesaan mengalami urbanisasi saat ini? Apa koneksi yang ada dan potensial antara ruang perkotaan dan pedesaan? Apa konsep baru untuk kehidupan pedesaan yang ada? Apakah kita perlu merumuskan visi (baru) untuk ‘ruralisme’? Dan peran apa yang dapat dimainkan oleh ‘desain perkotaan,’ arsitektur, dan perencanaan dalam mempersiapkan kehidupan pedesaan dan ruang untuk masa depan? Kosakata apa yang harus dimiliki oleh para arsitek dan perencana, antropolog, dan ilmuwan alam untuk menggambarkan perubahan besar itu? Strategi apa yang digunakan untuk memandu pembangunan di ruang yang digambarkan sebagai pedesaan?
Urgensi pencarian desa dan kota kecil untuk masa depan yang layak huni di dunia urbanisasi terungkap selama berlangsung program “the Academy of Future Rural Spaces” yang diluncurkan oleh ISU pada tahun 2015. Dengan menggunakan tagline “Have Space. Want Ideas? Not afraid of students’ ideas?” mereka memperkenalkan ISU sebagai tim kolaboratif muda yang terdiri dari arsitek, perencana, dan ilmuwan budaya yang berusaha mendorong siswa untuk berpikir dengan berani mengenai masalah perkotaan yang nyata, dan untuk bekerja dengan aktor dari arena perkotaan. Sebagai institut universitas, mereka ingin menempatkan keahliannya, serta bakat kreatif dan energi muda siswa untuk mengatasi masalah dunia nyata! Sambutan atas gagasan itu luar biasa. ISU kemudian menjalin kerjasama beberapa proyek dengan kota-kota seperti Berlin, Wolfsburg, Bremen, dan Bremerhaven, tetapi juga dengan organisasi sipil dan LSM seperti Gowanus by Design di Brooklyn, New York.
Carlow mencatat selama beberapa dekade terakhir, perhatian arsitektur dan perencanaan telah bergeser lebih secara eksklusif berkaitan dengan kota. Di mana desa dan kota kecil tidak menjadi agenda. Wacana yang berpusat pada kota memenuhi banyak rak-rak buku dan perdebatan-perdebatan publik. Kota hampir selalu menjadi perhatian. Dan bisa diperkirakan dengan sendirinya bahwa kota menjadi lebih besar dan lebih baik, lebih menarik dan indah. Sedangkan desa dan kota kecil kurang lebih dibiarkan dengan perangkat mereka sendiri. Hanya ada sedikit strategi berwawasan ke depan untuk mengembangkan desa dan kota kecil—walaupun ada banyak metode untuk mengelola penyusutannya. Berbeda dengan penyusutan, ada banyak daerah pedesaan, desa, dan kota kecil, yang dapat berkembang dengan baik dengan membangun ekonomi kerja yang baik di jaringan pedesaan.
Dan di samping kota, tantangan sosial yang besar juga meninggalkan jejaknya di daerah pedesaan: perubahan iklim, kekurangan sumber daya, diversifikasi populasi, kebutuhan untuk lebih tangguh, atau pertanyaan tentang bagaimana mengatur mobilitas berkelanjutan dan partisipasi masyarakat— bukan paling tidak adalah pertanyaan tentang identitas. Daerah pedesaan dan lanskapnya seringkali berfungsi sebagai media identitas dan budaya kolektif untuk seluruh wilayah—mewakili citra Heimat (kampung halaman) dan kerinduan akan dunia yang sehat. Strategi mana yang sesuai dengan kebutuhan desa dan kota kecil?
Lebih dari separuh populasi dunia sudah tinggal di kota, dan 2,5 miliar orang lainnya diproyeksikan pindah ke daerah perkotaan pada tahun 2050. Cara kita membangun kota baru akan menjadi inti dari banyak hal penting, mulai dari perubahan iklim hingga vitalitas ekonomi untuk kesejahteraan dan rasa keterhubungan kita. Peter Calthorpe, misalnya, sudah bekerja merencanakan kota-kota masa depan dan mengadvokasi desain komunitas yang berfokus pada interaksi manusia. Dia berbagi tujuh prinsip universal untuk mengatasi situasi yang berantakan dan membangun kota yang lebih cerdas dan berkelanjutan. Calthorpe dalam perbincangannya di TEDTalk mencatat pada 1900 Bumi kita hanya dihuni oleh 14% manusia yang tinggal di perkotaan. Pada 1960 tumbuh menjadi 35%. Tidak begitu lama, 45 tahun kemudian, pada 2005 populasi urban sudah mencapai 50%. Diperkirakan pada 2050 akan mencapai 70% orang yang tinggal di perkotaan. Desa makin sepi. Hanya ramai pada hari libur.
Menurut Calthorpe pada TEDTalk itu segala kesemrawutan kota dan dunia ini termasuk perbahan iklim adalah karena tingkah laku kita. Kitalah yang menciptakan segala macam masalah. “It’s us; how we live.”
Bagaimana kita hidup. Setiap kota dan pertumbuhannya selalu ada sisi buruk. Ada penjahat yang menyelinap mengambil kesempatan. Ini disebut sprawl— situasi perluasan kawasan perkotaan atau industri ke pedesaan yang berdekatan dengan cara yang dianggap tidak teratur dan tidak menarik– sprawl bisa terjadi di mana saja, dengan kepadatan berapa pun. Atribut utamanya adalah mengisolasi orang. Memisahkan orang ke dalam kantong-kantong ekonomi dan enklave penggunaan lahan. Memisahkan mereka dari alam. Hal demikian tidak memungkinkan pemupukan silang (the cross-fertilization), interaksi, yang membuat kota menjadi tempat yang bagus yang membuat masyarakat berkembang.
“Pikirkan logikanya,” kata Calthorpe. Dipaparkan lebih lanjut, jika hanya sepertiga penduduk yang memiliki mobil, mengapa disediakan 100 persen jalanan kita untuk mobil? Bagaimana jika kita menyediakan 70 persen jalanan untuk bebas mobil, untuk orang lain, sehingga transit bisa bergerak dengan baik untuk mereka, agar mereka bisa berjalan, agar mereka bisa bersepeda? Mengapa tidak memiliki –ekuitas geografis dalam sistem sirkulasi kita? Dengan begitu kota akan berfungsi lebih baik. Tidak peduli apa yang mereka lakukan, tidak peduli berapa banyak jalan lingkar yang mereka bangun di Beijing, ia tidak bisa mengatasi kemacetan total.
Jadi ini adalah jalan bebas mobil, penggunaan beragam di sepanjang tepinya. Memiliki transit yang berjalan di tengah. Jadi ada tujuh prinsip yang sekarang telah diadopsi oleh tingkat tertinggi di pemerintahan Cina, dan mereka bergerak untuk mengimplementasikannya. Dan sederhana, secara global, merupakan prinsip universal. Beberapa diantaranya, yakni pertama adalah melestarikan lingkungan alam, sejarah dan pertanian kritis. Kedua adalah campuran, kombinasi. Penggunaan campuran sangat populer. Campuran, yang dimaksud adalah keragaman kelas pendapatan campuran, kelompok usia, penggunaan lahan. Ketiga, berjalan. Setiap kota besar yang disukai saat berjalan-jalan jika tempat berlibur itu menyediakan dengan leluasa untuk berjalan kaki. Mengapa tidak dibuat ada di mana-mana? Sepeda adalah alat transportasi paling efisien yang kita kenal.
China kini telah mengadopsi kebijakan yang menempatkan jalur sepeda sepanjang enam meter di setiap jalan. Mereka serius ingin kembali ke sejarah bersepeda mereka. Perencana yang rumit di sini: Menghubungkan. Ini adalah jaringan jalan yang memungkinkan banyak rute. Bukannya rute tunggal. Dan menyediakan banyak jenis jalan, bukan hanya satu. Mengendarai. Menurut Calthorpe pemerintah harus berinvestasi lebih banyak dalam membangun transit. Tidak ada solusi tunggal yang ajaib untuk semua masalah mobilitas. Kendaraan otonom tidak akan menyelesaikan ini. Faktanya, ia akan menghasilkan lebih banyak lalu lintas, lebih banyak VMT, daripada alternatif.
Urbanisasi nampaknya memang adalah menjadi jalan hidup Homo sapiens ini seperti yang diuraikan dalam tulisan di atas. Namun demikian tetap saja selalu ada yang menapak jalan yang berbeda. Kita perlu ada perubahan. Kita tahu urbanisasi ada positif dan negatifnya. Tetapi mengabaikan perdesaan juga akan berbahaya. We have to ensure that change comes on our terms. And to do that, we have to participate actively in the process of shaping change (Ryan Gravel).Sebab tetap menjadi rural, menjadi ndeso, adalah hak setiap bangsa atau komunitas. Karen R. Foster and Jennifer Jarman (2022) dalam bukunya “The Right To Be Rural” menegaskan itu. Buku yang berisi sejumlah artikel dari pengarang dengan sudut pandang yang beragam ini menggunakan kerangka berpikir berbasis hak (rights-based approach) untuk memahami masa depan desa/perdesaan.
Buku ini menilai teori dan konsep hak dan kewarganegaraan dalam menjelaskan tantangan pedesaan dan mengidentifikasi solusi praktis dan rute untuk advokasi. Secara kolektif, artikel-artikell yang ditulis berisi nilai penerapan kerangka hak untuk perubahan iklim, kebijakan sosial dan ekonomi neoliberal, globalisasi ekonomi, restrukturisasi dan deindustrialisasi, penuaan populasi dan migrasi keluar, ketahanan dan kedaulatan pangan, dan sejumlah isu lainnya berkaitan dengan masalah yang secara dramatis mengubah kota kecil dan kehidupan pedesaan. Sebagian besar masalah ini berasal dari populasi pedesaan yang menua, menyusut, atau stagnan.
Dan, seperti yang dicatat Jarman beberapa tahun lalu, “ketika pekerjaan hilang begitu saja, kaum muda adalah yang pertama berangkat untuk prospek yang lebih baik, menciptakan struktur usia yang miring dengan komunitas yang sebagian besar terdiri dari orang tua.” Dalam beberapa kasus, migrasi keluar bisa mengancam kelangsungan hidup masyarakat. Buku ini dibangun dari premis bahwa, karena tantangan semacam itu mengubah hubungan antara warga pedesaan dan negara mereka, inilah saatnya untuk menganalisis dan mengartikulasikan penurunan, kelangsungan hidup, dan keberlanjutan pedesaan menggunakan bahasa hak. Dengan “hak”, para penulis bermaksud membayangkan apa yang dipahami sosiolog Margaret Somers sebagai klaim hukum yang “dibawa ke negara bagian”, yang bersatu dalam “paket” (bundle) atau “paket” (package) yang kami sebut “kewarganegaraan”—“status” yang memberikan hak kepada orang-orang dan meminta beberapa tugas sebagai balasannya (Somers, 2008, p. 67). Kerangka hak juga merujuk pada esai tahun 1950 T. H. Marshall, di mana kewarganegaraan adalah status yang memberikan hak yang sama serta kewajiban kepada orang-orang yang memegangnya, dan di mana hak dipahami terdiri dari hak sipil, politik, dan sosial—yang terakhir termasuk hak menuju taraf hidup yang layak.
Foster dan Jarman melontarkan banyak pertanyaan sebagai bahan untuk mengupas dengan lengkap bagaimana kita mampu untuk merebut kembali hak-hak untuk menjadi ndeso ini. Apakah ada hak untuk menjadi pedesaan, hak untuk merdesa? Jika ada, bagaimana hal itu terwujud dan apa artinya dalam kehidupan sehari-hari masyarakat pedesaan, mereka yang mengatur wilayah pedesaan, dan mereka yang bergantung pada masyarakat pedesaan untuk makanan, rekreasi, akses ke alam, dan sumber daya alam? Apa batasan dan kontinjensinya? Bagaimana hak untuk pedesaan diklaim, dilindungi, dan ditegakkan? Sebaliknya, jika tidak ada hak untuk menjadi pedesaan, hak-hak apa yang dapat dikodifikasi secara bermakna ditegaskan dan diwujudkan dalam masyarakat pedesaan, dan apa yang tidak bisa? Apakah tinggal di luar daerah padat penduduk mempengaruhi akses ke layanan yang seharusnya bersifat universal? Jika hak kewarganegaraan memiliki karakter spasial, apa implikasinya terhadap prinsip kesetaraan dan akses yang mendasari sebagian besar piagam dan deklarasi hukum, di tingkat negara bagian dan internasional? Pertanyaan-pertanyaan ini, dan ketegangan serta dilema yang menyertainya, menawarkan kerangka kerja yang produktif untuk mempelajari dan memahami banyak tantangan demografis, sosial, ekonomi, lingkungan, dan politik yang dihadapi oleh masyarakat pedesaan di seluruh dunia. Kerangka hak, yang dimobilisasi dalam penyebab lain yang tak terhitung jumlahnya, juga membantu menyoroti aspek kreativitas dan ketahanan komunitas yang kurang dihargai dalam menghadapi tantangan ini. Ini mungkin juga menjadi landasan bagi tindakan strategis untuk mengarahkan sumber daya dan menyesuaikan kebijakan publik di tempat-tempat pedesaan.
Marshall dan ratusan orang lainnya yang telah menganalisis kewarganegaraan setelahnya memberi tahu kita bahwa meskipun apa artinya menjadi warga negara telah dan terus berkembang, kewarganegaraan pada intinya adalah hubungan antara orang-orang dan negara-bangsa yang menjadi tujuannya. Mereka termasuk, seperti yang diungkapkan, jika hanya sebagian, melalui hak dan kewajiban masing-masing yang diharapkan dari yang lain. Menjadi warga negara suatu negara tertentu berarti dapat meminta pertanggungjawaban negara tersebut, dan dimintai pertanggungjawaban oleh negara tersebut… Ada beberapa nuansa dan kekhususan pada apa yang telah kita kodekan menjadi undang-undang, dan apa yang kita harapkan dari negara dan warganya yang tidak tertulis, tidak terucapkan, dan sebagian besar tidak teruji—hingga menjadi kontroversial, seperti… yang terjadi dalam pertanyaan tentang bagaimana mempertahankan komunitas pedesaan ( Foster, 2018, hlm.372).
Perbincangan tentang urban dan urbanisasi sangat melimpah baik sebagai riset, pengembangan konseptual maupun rancangan-rancangan dan implementasi untuk urbanism, khusus terkait dengan city planning atau urban planning. Hampir semua kampus teknologi terdapat studi urban. Wacana urbanism begitu marak dan berkembang pesat. Ini tentu sejalan dengan kecenderungan urbanisasi seperti dibahas panjang pada bagian terdahulu dalam tulisan ini. Misalnya Henri Levebfre bicara soal urbanisme pada 1970-an. Sejumlah esai pilihan dihimpun dan diedit oleh Neil Brenner dan Stuart Elden (diterjemahkan oleh Gerald Moore, Neil Brenner, and Stuart Elden).
Dalam buku Essay Reflections on the Politics of Space (1970) ini, menurut uraian Brenner dan Elden, Sang Editor, awalnya berasal dari presentasi yang diberikan Lefebvre pada konferensi di Institut d’Urbanisme-Institut Urbanisme di Paris pada bulan Januari 1970, diterbitkan pada tahun yang sama dengan esai pertama dalam edisi pertama Espaces et societes, sebuah jurnal yang dibuat Lefebvre dengan sejarawan arsitektur perkotaan Anatole Kopp. Artikel tersebut kemudian dicetak ulang oleh Lefebvre dalam bukunya Espace et politique (Paris: Anthropos, 1 972), volume kedua dari teks klasiknya The Right to the City (volume pertama awalnya diterbitkan pada tahun 1968 dan kemudian tersedia dalam terjemahan bahasa Inggris dalam Writings on Cities [Oxford: Blackwell, 1996]).
Judul Perancis dari esai ini adalah “Reflexions sur la politique de I’espace,” yang juga dapat diterjemahkan sebagai “Refleksi Kebijakan Spasial”. Memang, sebagian besar esai ini berfokus pada ruang la politique de I’e dalam arti sempit dan spesifik, yang diterjemahkan sebagai “kebijakan spasial”. Aspek karya ini mengilustrasikan langkah Lefebvre dari pertanyaan tentang perkotaan ke studi yang lebih umum tentang kebijakan spasial, dan menetapkan agenda penelitian tentang teori negara yang akan dikejar Lefebvre selanjutnya selama beberapa tahun. Esai ini difokuskan paling eksplisit pada politik perencanaan tata ruang, kebijakan pembangunan daerah, dan ideologi urbanisme di Republik Kelima Prancis.
Bagi Leverbfre, “There is a politics of space because space is political.” Karena ruang adalah arena politik maka urbanism selalu muncul menjadi hot topic. Politik selalu gaduh dari ruang-ruang yang ada di urban. Setiap sudut baik ketika ada perubahan ruang maupun tidak ada perubahan sama sekali tetap menjadi arena politik. Karena itu pula perbincangan tentang urbanism adalah perbincangan tentang perebutan ruang, perebutan politik ruang. Ke atas, bangunan-bangunan berebut langit. Ke bawah bangunan-bangunan berebut bumi dan ke samping bangunan-bangunan berebut alam sekitar.
Jan Gehl, seorang arsitek Denmark dan konsultan desain perkotaan, gelisah dengan urbanism yang justru menyesakkan. Gehl berkantor di Kopenhagen. Karirnya berfokus pada peningkatan kualitas kehidupan perkotaan dengan mengorientasikan kembali desain kota ke arah pejalan kaki dan pengendara sepeda. Dia baru-baru ini dinobatkan sebagai “guru urbanisme terakhir yang terkenal di seluruh dunia.”
Sikap kritisnya terhadap pendekatan teknokratis kaum modernis, ketidakmampuan untuk bekerja pada skala manusia, dan ketidaksesuaian kota yang dirancang untuk mobil dalam masyarakat saat ini— “Sepertinya hanya cocok jika Henry Ford masih hidup!” serunya. Itu seharusnya tidak mengejutkan kita lagi. Arsitek dan perancang kota berusia 82 tahun ini telah mengajar dan menulis tentang kesemrawutan kota setidaknya sejak tahun 1971, ketika buku pertamanya Life Between Buildings diterbitkan dalam bahasa Denmark. Namun, setelah hampir setengah abad, kata-kata lucu Gehl masih terdengar menyegarkan. Mungkin karena kita dikelilingi oleh “arsitek kotoran burung”, demikian dia dengan penuh kasih menyebut mereka yang menjatuhkan menara di mana pun mereka suka, dan mengubah tempat seperti Dubai menjadi “koleksi botol parfum.”
Tapi Jan Gehl bukanlah ahli teori arsitektur di menara gadingnya. Sepanjang sejarah perusahaannya, dia terlibat dengan proyek di kota-kota di seluruh dunia. Studi kasus yang dia presentasikan selama kuliahnya, dari kampung halamannya Kopenhagen hingga Melbourne, Sidney, Moskow, dan New York, mengilustrasikan pendekatannya terhadap kota berdasarkan pengamatan puluhan tahun tentang bagaimana orang berperilaku di ruang publik. Dia mengumpulkan data tentang perilaku orang dan terlibat dalam proses berulang di mana penelitian dan perencanaan kota saling mendukung.
Rurban, Rurbanism dan Cyral-Spiriterialism
Intinya, betapa produktif orang membicarakan tentang urbanism dari segala aspeknya. Apakah ini yang membuatnya menjadi the age urbanism bagi abad 20 dan 21 dan abad selanjutnya? Atau akankah ada pergeseran baru, dan beralih pada ruralism? Atau kita akan bersegera menegaskan membangun jembatan bagi hubungan yang harmonis dan konstruktif antara rural dan urban? Menjadi Rurban? Saatnya the Right to the City seperti yang dilontarkan Leverbfre sebagai protes atas hilangnya kota dari hak dan kenyamanan warganya, kita ubah–atau lebih tepatnya kita tambahkan– menjadi the Right to the Rural. Lalu merangkainya menjadi Rurban. Sebab antara rural dan urban sama sekali tidak bisa dipisahkan. Sumber-sumber kehidupan di kota banyak yang berasal dari perdesaan. Kebaikan kehidupan di kota pada dasarnya disebabkan dari apapun kebaikan yang ada di desa, dalama bentuk-bentuk apapun.
Karena itu pada sebuah percakapan dengan aktifis desa, Singgih S. Kartono, founder Spedagi-Movement dan inisiator ICVR, berpandangan bahwa persoalan-persoalan yang dihadapi di kota solusinya ada di desa.
Baginya “..tinggal di komunitas kecil di mana kebutuhan hidup dapat dipenuhi dari sumber-sumber lokal adalah cara hidup sejalan dengan prinsip hidup berkelanjutan. Jarak yang dekat akan meminimalkan tingkat emisi karbon. Tinggal di komunitas kecil akan memberikan kesempatan untuk meraih kualitas hidup yang tinggi dari aspek fisik, sosial dan spiritual. Saat ini kita sebenarnya tidak perlu menciptakan komunitas kecil yang baru, komunitas kecil tersebut telah ada dalam jumlah sangat banyak. Komunitas kecil tersebut adalah Desa, kita hanya perlu me Revitalisasi nya. Indonesia dan sebagian besar negara di dunia pada dasarnya adalah juga Negara Desa. Spedagi meyakini, Desa adalah masa depan dunia yang sebenarnya, yang masih tertinggal di masa lalu. Spedagi dengan gerakan Revitalisasi Desa nya ingin mengajak kita bersama untuk menjemputnya. Sepeda Bambu Spedagi adalah ikon sekaligus metafora Revitalisasi Desa itu sendiri, terlahir baru dari sesuatu yang telah dilupakan.”
Dan dia memang memulai menawarkan solusi-solusi itu. Membangun kolaborasi dengan berbagai pihak melalui perbicangan-perbincangan dalam acara-acara ICVR dan beragam pertemuan-pertemuan komunitas desa dan komunitas kreatif. Menyediakan ruang-ruang kolaboratif melalui kejeliannya memanfaatkan sumberdaya dan ruang yang terabaikan di desa menjadi ruang bersama tempat bertukar gagasan dan membangun penyerbukaan pemikiran dalam ruang Pasar Papringan–sebuah pasar tradisional dengan sentuhan baru, sentuhan design thinking yang mencolok.
Pendekatan kolaborasi dengan disiplin ilmu lain, jelas Jens Kvorning dalam artikelnya: “Ruralism and Periphery: The Concept of Ruralism and Discourses on Ruralism in Denmark,” membuat lebih menyadari peran penting ruang pedesaan dalam pembangunan berkelanjutan—sebagai mitra yang saling terkait, tetapi juga sebagai pelengkap kota yang berkembang. Kota dan pedesaan semakin saling bergantung. Pengamatan yang lebih dekat pada pedesaan mengungkap serangkaian dinamika yang melapisi dan mengubah ruang pedesaan, di luar tren depopulasi dan penonaktifan fasilitas publik seperti yang terjadi di Ato, Jepang atau Kanada dan negara maju lainnya.
Menurut Kvorning pedesaan yang dulunya terpencil dan sepi kini dilalui oleh arus dan dinamika global dan regional, yang saling terkait dengan sistem perkotaan yang lebih besar dan bahkan mungkin membawanya ke garis depan transformasi dan keberlanjutan regional. Diperlukan seperangkat kriteria baru untuk memahami dan menghargai pedesaan. Kalau Singgih S Kartono memperkenalkan Spedagi Movement beserta Cyral-Spiriterialism, sebuah latar pemikiran dibalik Spedagi, maka Kvorning membuat “METAPOLIS—platform antar-dan transdisipliner untuk pembangunan berkelanjutan hubungan perkotaan-pedesaan yang diterapkan pada Lower Saxony.” ISU bersama dengan tujuh mitra ilmiah dan empat belas kotamadya di Lower Saxony menemukan pendekatan penelitian untuk mengidentifikasi strategi pembangunan berkelanjutan dengan menggarap hubungan perkotaan-pedesaan berdasarkan sains dan divalidasi oleh partisipasi para stakeholder. “Metapolis” adalah proyek penelitian yang sedang berlangsung dalam program Lower Saxony “Science for Sustainability” (Sains untuk Keberlanjutan) yang dibiayai oleh Volkswagen Foundation “Niedersächsisches Vorab.”
Metapolis mengonseptualisasikan berbagai jenis permukiman—dari desa kecil hingga kota besar—tertanam dalam matriks lanskap dan terhubung melalui jaringan lalu lintas, barang, manusia, data, dan tindakan sehari-hari. Pendekatan ini bertujuan untuk mengembangkan pemahaman terpadu tentang metapolis ini dan ruang, lanskap, dan penghuninya yang dihuni serta hubungan timbal balik mereka di berbagai skala. Sebagai rangkaian kesatuan yang terstruktur secara spasial, ekologis, sosial, dan ekonomi, metapolis mencakup semua keterkaitan perkotaan-pedesaan—melampaui dikotomi ‘perkotaan’ dan ‘pedesaan’.
Sumber gambar: Singgih S Kartono, founder of Magno & Spedagi, Temanggung, Central Java – Indonesia www.magno-design.com, www.spedagi.com
Pemikiran dan gagasan Metapolis sebetulnya tidak berbeda dengan Cyral-Spiriterialism. Malah gagasan Cyral-Spiriterialism mencakup pentingnya menghargai masa lalu. Tidak menghapus dan mengabaikan masa lalu. Sebab masa depan adalah bentuk baru dari masa lalu. Dengan merujuk pada karya Ezio Manzini–seorang Guru Besar yang telah bekerja puluhan tahun di bidang desain untuk keberlanjutan–, Singgih mengembangkan gagasannya untuk mendorong pengembangan desa dengan konsep Cyral-Spiriterialism itu. Dalam Cyral (City-Rural) antara kota dan desa tidak bisa dibentur-benturkan seolah-olah menjadi lawan satu dengan dengan lainnya. Cyral adalah kritik terhadap hubungan kota desa yang dipertentangkan. Ia menolak dikotomi kota-desa. Seperti dalam konsep Rurban maka Cyral adalah sebuah kolaborasi dua tubuh yang membentuk satu organisme yang saling membutuhkan. Kota-desa, urban-perdesaan adalah sebuah kontinum yang sepanjang garisnya mempunyai fungsi dan posisi yang penting masing-masing. Kolaborasi inilah yang perlu didorong tanpa harus mendominasi atau menguasai satu dengan lainnya. Masa depan peradaban berada di desa dengan dukungan perkembangan urban yang humanis.
Sementara itu gagasan Spiriterial adalah sebuah kritik dan sekaligus arena kompromistis atas perkembangan kapitalisme yang liar. Sejak lahirnya industrialisasi empat abad yang lalu aspek-aspek spiritual yang menjadi penopang utama peradaban manusia sebelumnya mulai tergerus. Tergantikan dengan gagasan-gagasan meterialisme. Meskipun menurut Rogene A. Buchholz dalam bukunya Restructuring Capitalism: Materialism and Spiritualism in Business (2017), dalam gagasan kapitalisme terjadi krisis juga terhadap materialisme. Kapitalisme tidak saja mengerosikan spiritualisme tetapi juga sekaligus membuat materialisme defisit. Ketika negara-negara maju terpuruk dalam hal spiritualisme dan melesat ide materialismenya, negara-negara berkembang malah memilih pada jalur meningkatkan kembali spiritualismenya yang dimulai, menurut Singgih, pada Era Industrialisasi 2.0– era yang dimulai pada akhir abad ke-19 hingga awal abad ke-20, yang memungkinkan produksi massal, didorong oleh munculnya listrik dan jalur perakitan.
Sedangkan revolusi industri pertama berlangsung dari sekitar tahun 1760 hingga sekitar tahun 1840. Dipicu oleh pembangunan rel kereta api dan penemuan mesin uap, hal itu mengantarkan pada produksi mekanis. Kebangkitan spiritualisme negara maju justru mulai tumbuh kembali pada era Revolusi industri ketiga yang dimulai pada 1960-an. Ini biasanya disebut revolusi komputer atau digital karena dikatalisasi oleh perkembangan semikonduktor, komputasi mainframe (1960-an), komputasi personal (1970-an dan 80-an) dan internet (1990-an). Berlanjut hingga industri 4.0.
Sumber gambar: Singgih S Kartono, founder of Magno & Spedagi, Temanggung, Central Java – Indonesia www.magno-design.com, www.spedagi.com
Kita saat ini berada pada industri keempat (Industri 4.0– sebuah istilah yang diciptakan di Hannover Fair tahun 2011 untuk menjelaskan bagaimana hal ini akan merevolusi organisasi rantai nilai global. Dengan mengaktifkan “pabrik pintar”, revolusi industri keempat menciptakan dunia di mana sistem manufaktur virtual dan fisik secara global bekerja sama satu sama lain dengan cara yang fleksibel. Hal ini memungkinkan penyesuaian mutlak produk dan pembuatan model operasi baru. Revolusi industri keempat, bagaimanapun, bukan hanya tentang mesin dan sistem yang cerdas dan terhubung. Cakupannya jauh lebih luas. Terjadi secara bersamaan adalah gelombang terobosan lebih lanjut di berbagai bidang mulai dari pengurutan gen hingga nanoteknologi, dari energi terbarukan hingga komputasi kuantum. Perpaduan teknologi ini dan interaksinya di seluruh domain fisik, digital, dan biologis yang membuat revolusi industri keempat secara fundamental berbeda dari revolusi sebelumnya.
Spiriterial menemukan momentumnya pada komitmen Sustainable Development Goals (SDGs). Gagasan SDGs inilah yang mungkin akan menjadi landasan yang subur bagi tumbuhnya Spiriterialisme. Banyak tantangan yang dihadapi untuk merelaisasikan komitmen SDGs yang hingga saat ini masih jauh dari harapan. target-target capaian tujuan banyak yang meleset. Apalagi lagi dunia dilanda Pandemi Covid-19 yang mengembalikan planet bumi dan isinya pada posisi kembali jauh dari capaian target SDGs.
Cyral-Spiriterial masih perlu diuji, dibahas dan dichallenge agar menjadi konsep yang matang. Benar bahwa masa lalu itu bisa dicerminkan pada periode pra-industri dimana masyarakatnya masih small, closed, local, isolated. Karakter ini tentu berbeda ketika peradaban manusia memasuki masa industrialisasi yang dicirikan dengan komunitas yang big, global, open, connected. Maka komunitas post-industry yang dibayangkan adalah masyarakat yang mempunyai karakteristik small, local, open, connected seperti dituliskan Manzini. Jika kita mengikuti pikiran Manzini dan Singgih maka desa adalah masa depan. Tantangannya adalah bagaimana membangun jaringan-jaringan yang bisa membentuk ekosistem perdesaan yang menyediakan elemen-elemen atau sumberdaya yang dibutuhkan masyarakat desa dalam kehidupannya tanpa migrasi ke kota. Bagaimana di desa bisa tersedia fasilitas kelas dunia: kampus kelas dunia, laboratorium teknologi dan sumberdaya alam kelas dunia, tersedia studio kreatif kelas dunia, tersedia warung-warung dan pasar tempat transaksi produk-produk desa berlangsung, tersedia ruang pameran dan performance seni kelas dunia dan seterusnya. Fasilitas kelas dunia dengan tetap kental dengan rasa dan karakter desa. Inilah ekosistem yang harus dibangun.
Sumber gambar: Singgih S Kartono, founder of Magno & Spedagi, Temanggung, Central Java – Indonesia www.magno-design.com, www.spedagi.com
Kembali ke Manzini. Contoh yang menarik soal karakteristik small, local, open, connected ini adalah penggunaan energi.
Perbincangan tentang perubahan iklim dan pentingnya menggunakan energi bersih membuka peluang bagi desa untuk melangkah jauh ke depan. L. Michelle Moore (2022) memaparkan penting desa sebagai kampung halaman merevitalisasi dengan energi bersih untuk menciptakan apa yang disebutnya sebagai “Rural Renaissance” alias kebangkitan pedesaan. Para aktifis dan warga desa harus membantu dan memimpin komunitas mereka menuju masa depan energi bersih yang saat ini tengah berkembang. Dalam bukuny aitu Moore memaparkan kasus-kasus sukses komunitas desa menggunakan energi bersih mereka.
Bagi Moore energi bersih memungkinkan kebangkitan pedesaan karena teknologi energi bersih dapat dilokalkan. Alih-alih pembangkit listrik besar dan jalur transmisi panjang yang mengekstraksi kekayaan dari seluruh wilayah, kita dapat memiliki proyek tenaga surya lokal yang berinvestasi di lingkungan sekitar. Penyimpanan energi dan jaringan mikro untuk ketahanan energi, memasok listrik bagi kendaraan listrik, dan efisiensi energi untuk keterjangkauan dan kenyamanan, dan kita memiliki seperangkat alat yang hebat untuk membantu tempat tinggal kita di desa agar berkembang.
“Yang penting, sistem energi bersih lokal mampu selaras dengan cara komunitas perdesaan membuat keputusan tentang energi dan keragaman ekoregion lokal desa. Integrasi sumber daya alam, tata kelola, dan teknologi ini bisa memberdayakan desa untuk menciptakan masa depan energi lokal berdasarkan apa yang dibutuhkan komunitas dan apa yang bisa dibagikan bagi semua warga..”
Kemandirian energi desa ini tentu berbeda di masa lalu. Pada abad ke-19, ketika sistem energi yang saat ini dibangun, kita bergantung pada pembangkit listrik berukuran industri yang membakar bahan bakar fosil yang digali dari tanah untuk menghasilkan listrik, yang harus diangkut melalui saluran transmisi udara sepanjang ratusan mil untuk mempertahankan lampu menyala. Jumlah modal yang dibutuhkan untuk mengekstraksi, menghasilkan, dan mentransmisikan listrik juga berarti hanya sedikit perusahaan besar dan investor kaya yang mampu memiliki listrik. Tidak ada orang lain yang mampu membayar investasi yang diperlukan. Sebaliknya publik malah menanggung dampak polusi dan kerusakan lingkungan yang ditimbulkannya. Energi bersih mengubah itu. Masyarakat desa memungkinkan menciptakan sistem energi dari skala industri ke skala lokal, dan jauh lebih manusiawi.
Inilah juga yang dikerjakan bertahun-tahun oleh Tri Mumpuni Wiyatno. Perempuan ‘perkasa’ ini pertengahan Desember 2020 lalu masuk dalam jajaran 500 tokoh muslim berpengaruh yang diterbitkan Royal Islamic Strategies Studies Centre ini bersama 21 tokoh muslim lainnya dari berbagai belahan dunia, mendapat penghargaan untuk kriteria Sains dan Teknologi. Ia adalah pioner penting dalam mempromosikan mikro hidro. Membangun Pembangkit Listrik Tenaga Mikro Hidro (PLTMH) sebagai sumber energi bersih bagi desa terpencil, yang belum terjangkau akses penerangan dari Perusahaan Listrik Negara (PLN). Menurut Tri Mumpuni, pada umumnya desa di Indonesia memiki sumber daya alam yang melimpah, namun belum sepenuhnya dikembangkan sebagai sumber energi yakni air.
Negara-negara berkembang seharusnya melakukan lompatan bukan mengikuti jejak pembangunan yang sama dengan jalur yang telah dilakukan negara-negara maju dan menimbulkan banyak persoalan saat ini. Negara-negara berkembang termasuk Indonesia harus melakukan sesuatu yang berbeda. Melakukan lompatan ke depan tanpa mengikuti jejak yang sama untuk menjadi negara maju. Kesalahan kita adalah jika model-model pembangunan dan pendekatan dilakukan hanya meniru dan mengikuti jejak dan jalur yang telah dilakukan oleh negara maju. Kembali ke desa dan hidup di desa, merevitalisasi desa, menempatkan desa pada posisi dan fungsi yang tepat dalam berhubungan dengan kota-kota/wilayah urban adalah cara untuk menapakkan jejak baru menuju peradaban yang berkemajuan.
“Konsep ruralisme terdiri dari sejumlah dimensi yang berbeda dan merupakan bagian dari berbagai wacana. Makna asli dari istilah tersebut diasosiasikan seluruhnya dengan kehidupan di pedesaan, seringkali dianggap lebih pribumi dan pedesaan, dan lebih sederhana dari kehidupan di kota atau kota. Namun dalam wacana saat ini, konsep ruralisme diasosiasikan dengan gaya hidup tertentu. Ini berlaku untuk gaya hidup yang ditandai dengan kelebihan substansial, di mana orang ingin menemukan kembali dan memanfaatkan kembali kualitas kehidupan pedesaan—paling sering di daerah yang terletak di tepi kawasan perkotaan besar. Ini juga berlaku untuk gerakan di mana orang ingin mengembangkan bentuk kehidupan baru di pedesaan, gerakan yang menunjukkan rasa hormat terhadap alam dan yang berupaya membangun bentuk baru kehidupan berkelanjutan di pedesaan, yang menggabungkan keberlanjutan sosial, lingkungan, dan ekonomi.
Ada unsur-unsur yang disebut ruralisme yang juga terkait dengan ambisi untuk memperkenalkan cara berpikir dan praktiknya sebagai gerakan transformasional di kota-kota. Gerakan Ruralisme Baru Amerika, misalnya, seperti ditunjukkan Kvorning, telah berhasil merumuskan dirinya sedemikian rupa sehingga menjadi pemain terkenal di panggung debat. “Di sini, minatnya terletak pada kehidupan pedesaan yang berhubungan dekat dengan kota—paling sering kota besar—dan gerakan ini sebagian terkait dengan gerakan Urbanisme Baru, merujuk kembali ke manifesto gerakan kota taman Inggris dari sekitar tahun 1900. Ada argumen yang tepat karena memiliki banyak lahan produksi kecil di sekitar kota untuk memasok sayuran dan produk pertanian lainnya langsung ke kota.
Dalam catatan Kvorning, gerakan, niat, dan praktik serupa dapat ditemukan di sebagian besar negara Eropa. Di wilayah Kopenhagen dan di wilayah metropolitan Denmark lainnya, banyak perusahaan pertanian beroperasi dengan cara yang dicakup oleh “pemahaman pedesaanisme saat ini: kemewahan yang terpencil atau antusiasme ekologi bekerja di tepi wilayah perkotaan besar, tetapi terintegrasi erat ke dalam jaringan dan perekonomian daerah-daerah tersebut.
Namun, dalam makna aslinya, ruralisme juga masuk dalam wacana tentang persoalan-persoalan khusus daerah pinggiran, di mana kehidupan pedesaan sering dianggap sebagai sesuatu yang serba kekurangan. Dalam konteks ini, ruralisme muncul tidak terkait dengan peluang dan kualitas tertentu, tetapi sebagai bentuk pemiskinan modern, yang dicirikan oleh bentuk-bentuk kehidupan yang dipaksakan pada orang-orang di mana mereka tidak memiliki akses ke sejumlah peluang yang menjadi ciri masyarakat kontemporer. Dalam wacana ruralisme ini, pinggiran dipandang sebagai sesuatu yang harus didukung dengan berbagai cara untuk mencapai konten yang berbeda dan lebih setara dalam kehidupan di luar kawasan perkotaan yang lebih besar.
Inilah, menurut hemat saya, latar pemikiran lahirnya gagasan Spedagi Movement. Persoalan-persoalan yang dipaparkan pada bagian awal tulisan ini menjadi bagian penting bagi para pemikir dan praktisi desa untuk bergerak. Bagi Singgih, latar belakang pendidikan desain produk di Institut Teknologi Bandung (ITB) memberi polarasa, polabaca dan polapikir yang sangat mendukung untuk melihat, merasa dan mengolah kekayaan desa menjadi kekayaan warga. Meski tentu bukan hanya faktor itu. Ilmu desain telah membantu ketajamannya melihat warisan-warisan budaya dan karya warga desa menjadi bagian dan bahan berkarya. Perjalanan gagasan dan siklus karya dalam mempromosikan kembali ke desa, sebagai kampung halaman untuk berkarya dan berkehidupan terbukti memberi inspirasi bagi orang-orang lain untuk melihat kembali desa dengan sepenuh hati.
Pikiran dan hatinya yang terlatih untuk membuat desain, memudahkannya menerapkan design thinking dalam setiap produk maupun gagasan-gagasan kreatif lainnya. Design thinking yang digunakan telah melahirkan sejumlah gagasan kreatif yang berkualitas nasional dan global. Dengan produk-produknya yang berbasis bambu dan kayu– materi yang begitu akrab ada di kampung halaman dan amat melimpah– ia bisa membuktikan dan meyakinkan dirinya dan banyak orang bahwa hidup di desa bisa menghasilkan karya terbaik di dunia. Salah satunya Spedagi. Spedagi merupakan sepeda dengan rangka dibuat dari bambu. Menurut penuturannya pada berbagai kesempatan, Singgih bukanlah peminat bersepeda. Karena masalah kesehatan direkomendasikan oleh dokter untuk selalu bersepeda. Supaya sehat. Maka setiap pagi bersepeda. Berkeliling desa. Dari satu jalan desa ke jalan desa lainnya. Menelusuri berbagai pelosok desa Kandangan, tempat tinggalnya, dan desa-desa sekitarnya. Kebiasaan bersepeda itulah yang memberi inspirasi untuk membuat sepeda dengan rangka bambu. Mengapa bambu? Bambu adalah sumberdaya yang melimpah. Materi yang berabad-abad dimanfaatkan oleh masyarakat desa. Semua bagian dari rumpun bambu dimanfaatkan untuk berbagai keperluan sehari-hari.
Spedagi itu memang bukan sekedar sebuah sepeda. Spedagi adalah sebuah gerakan. Gerakan yang bertujuan untuk merevitalisasi desa, membawa desa kembali menemukan jati dirinya sebagai masyarakat yang lestari dan mandiri. Spedagi berkeyakinan bahwa saat ini adalah waktu yang tepat untuk memikirkan kembali pedesaan sebagai tempat tinggal masa depan karena memang memiliki potensi yang sangat besar untuk dikembangkan menjadi tempat tinggal yang nyaman, serta masyarakat yang lestari, mandiri dengan kehidupan sosial yang baik. Redistribusi penduduk dari perkotaan ke pedesaan merupakan suatu keniscayaan untuk mewujudkan kehidupan yang berkelanjutan di muka bumi. Kembali ke desa bukan berarti kembali ke masa lalu, karena desa kini adalah harapan masa depan dunia. Seperti halnya konsep Rurban maka Spedagi juga mengusung visi Terwujudnya penduduk pedesaan dan perkotaan yang berimbang yang mewujudkan desa mandiri yang sejahtera dan berkelanjutan sebagai landasan keberlanjutan global.
Sumber gambar: Singgih S Kartono, founder of Magno & Spedagi, Temanggung, Central Java – Indonesia www.magno-design.com, www.spedagi.com
Ruralism harus menjadi bagian dari strategi mengembalikan desa sebagai sumber inspirasi dan solusi atas persoalan-soal akut yang dihadapi urbanism. Dikotomi rural-urban sudah tidak lagi relevan. Dikotomi rural urban lebih karena politics of space yang meletakkan rural pada korban kolonialisme urban. Hubungan antara rural dan urban adalah hubungan yang mutualisme: sebuah rurbanism. Sebab pada dasarnya antara rural dan urban merupakan sebuah kontinum. Kontinum pedesaan-perkotaan adalah penggabungan kota dan desa. Konsep ini adalah istilah yang digunakan sebagai pengakuan atas fakta bahwa jarang ada, baik secara fisik maupun sosial, pembagian yang tajam, batas yang ditandai dengan jelas antara keduanya, dengan satu bagian dari penduduk seluruhnya perkotaan, yang lain seluruhnya pedesaan.
Konsep yang saya sebut sebagai rurbanism ini bukanlah hal yang baru. Sayang banyak dilupakan khalayak. Tidak populer dibanding ‘rivalnya,’ urbanism. Kata rurban (rural+urban/pedesaan+perkotaan) mengacu pada wilayah geografis/lanskap yang memiliki karakteristik ekonomi dan gaya hidup daerah perkotaan dengan tetap mempertahankan ciri-ciri pedesaan yang esensial.
“Sorokin dalam Rural-Urban Sociology (1929), menggunakan kata “rurbanisasi” yang menurutnya merupakan penemuan terminologis C. J. Galpin pada tahun 1918. Parson pada tahun 1949 memaparkan gagasan “rurbanisasi” dalam bukunya – Essays in Sociological Theory. Menurutnya, komunitas Rurban adalah ruang sosio-geografis pedesaan di mana gaya hidup dan standar hidup telah banyak berubah sehingga mirip dengan yang ada di perkotaan (Parsons, 1949, hlm. 435). Rurbanisasi mungkin disebabkan oleh ekspansi perkotaan atau migrasi pedesaan. Perubahan ini dimungkinkan melalui interaksi perkotaan – pedesaan, termasuk akumulasi modal/remitansi dan paparan ide-ide dan gaya hidup barat/modern yang pada akhirnya membangun pola pikir baru.”
Kontinum pedesaan-perkotaan adalah penggabungan kota dan desa. Konsep ini adalah istilah yang digunakan sebagai pengakuan atas fakta bahwa jarang ada, baik secara fisik maupun sosial, pembagian yang tajam, batas yang ditandai dengan jelas antara keduanya, dengan satu bagian dari penduduk seluruhnya perkotaan, yang lain seluruhnya pedesaan. Istilah ini diberikan oleh Robert Redfield (1930). Dia memberikan kontribusi penting untuk mengembangkan konsep kontinum rakyat, pedesaan dan perkotaan. Dia telah membangun sebuah kontinum dari desa-desa kecil ke kota-kota besar. Lebih perkotaan berarti populasi lebih sekuler, lebih individualistis dan dengan pembagian kerja yang lebih besar.
Karakteristik dari kedua cara hidup ini diwakili oleh dua konsep yaitu ‘ruralisme’ dan ‘urbanisme.’ Ruralisme menandakan cara hidup pedesaan di mana terdapat dominasi tradisi, adat istiadat, dan budaya rakyat dan keluarga bersama. Di sisi lain, urbanisme menandakan cara hidup perkotaan di mana terdapat dominasi hubungan impersonal, individualisme, dan asosiasi sekunder. Cara hidup perkotaan menjadi lebih dominan dari hari ke hari. Ada juga bahaya bertambahnya daerah kumuh dengan urbanisasi yang meningkat karena kota-kota besar berkembang pesat. Ada bahaya lingkungan perkotaan berubah menjadi kumuh sesuai tren.
Dunia sosial pedesaan berbeda dengan dunia sosial perkotaan. Ada perbedaan yang sahih antara desa dan kota dalam hal dua cara hidup yang berbeda, pola budaya, pengelompokan sosial budaya dan cara mencari nafkah dan penghidupan. Desa dianggap sebagai unit dasar pemukiman. Ini tidak berarti bahwa sistem perkotaan tidak mendasar. Namun, ada juga kesamaan struktural antara keduanya dalam hal pola kasta, kekerabatan, aturan perkawinan, ketaatan pada praktik keagamaan, migrasi, lembaga pendidikan, kesempatan kerja dan administrasi adalah sumber kelembagaan lain dari keterkaitan antara desa dan kota. Pendidikan, misalnya, menjadi bersifat transnasional saat kita bergerak menuju masyarakat pengetahuan. Dengan demikian, desa dan kota tidak dapat dilihat hanya sebagai entitas dikotomis. Mereka saling terkait namun berbeda satu sama lain.
Teori kontinum lebih menekankan pada perbedaan desa-kota daripada dikotomi desa-kota. Terlepas dari arah evolusi, perbedaan dapat ditarik antara cara hidup pedesaan dan perkotaan.
Perbedaan antara pusat perkotaan dan pedesaan mungkin tampak begitu jelas sehingga definisinya seharusnya tidak menjadi masalah. Namun, mungkin ada variasi besar dalam cara negara yang berbeda menentukan apa yang dimaksud dengan pusat kota. Kriteria yang digunakan meliputi jumlah dan kepadatan penduduk, serta ketersediaan layanan seperti sekolah menengah, rumah sakit, dan bank.
Sumber gambar: Singgih S Kartono, founder of Magno & Spedagi, Temanggung, Central Java – Indonesia www.magno-design.com, www.spedagi.com
Namun, kombinasi kriteria yang diterapkan bisa sangat bervariasi. Bahkan ambang populasi yang digunakan bisa berbeda: untuk banyak negara Afrika, itu adalah 5.000 penduduk, sedangkan untuk sebagian besar negara Amerika Latin dan Eropa, bisa serendah 2.000 atau 2.500, atau bahkan hanya beberapa ratus penduduk.
Menurut catatan Faridi, fluktuasi definisi yang luas ini memiliki tiga implikasi penting:
- Klasifikasi resmi harus diperlakukan dengan hati-hati—misalnya, sebagian besar permukiman yang digolongkan sebagai ‘pedesaan’ di Cina dan India akan masuk dalam kategori ‘perkotaan’, jika mereka menggunakan kriteria dan ambang populasi yang diadopsi oleh banyak negara lain. Mengingat besarnya jumlah penduduk kedua negara ini, hal ini secara signifikan akan meningkatkan proporsi keseluruhan penduduk perkotaan di Asia dan dunia. Definisi bervariasi.
- 2. Perbandingan internasional sulit, karena mereka mungkin melihat pemukiman yang, meskipun digolongkan dalam kategori yang sama, mungkin sangat berbeda baik dalam ukuran populasi maupun infrastruktur. Selain itu, keandalan data menjadi masalah. Data urbanisasi bisa menyesatkan.
- Investasi publik dalam pelayanan dan infrastruktur cenderung terkonsentrasi pada pusat-pusat yang didefinisikan sebagai perkotaan. Konsekuensinya, investasi dapat melewati pemukiman yang tidak didefinisikan sebagai perkotaan bahkan jika ini dapat, dan seringkali memang, memiliki ‘peran perkotaan yang penting dalam pembangunan daerah pedesaan di sekitarnya. Dalam sistem perkotaan nasional dan regional, kota-kota besar juga cenderung lebih disukai dengan investasi publik daripada pusat-pusat perkotaan berukuran kecil dan menengah, termasuk kota-kota yang memiliki peran penting dalam mendukung produksi, pemrosesan, dan pemasaran pertanian.
Dalam hal etos kehidupan, pengelompokan budaya dan cara hidup, desa dan kota agak berbeda satu sama lain. Mereka muncul sebagai entitas dikotomis. Tetapi kesamaan struktural masih ada di antara keduanya dalam hal pola kasta, aturan perkawinan, dan ketaatan pada praktik keagamaan. Desa dan kota bukanlah unit mutlak. Administrasi, pendidikan, ketenagakerjaan dan migrasi merupakan sumber kelembagaan yang menghubungkan antara desa dan kota. Berkenaan dengan kontinum pedesaan-perkotaan para pemikir sosial memiliki pandangan yang berbeda. Sejumlah Ilmuwan Sosial berpendapat bahwa sulit untuk membedakan antara daerah pedesaan dan perkotaan terutama di negara-negara yang pendidikannya bersifat universal.
Lebih lanjut disebutkan, di sisi lain, banyak Ilmuwan Sosial telah menyebutkan heterogenitas, hubungan impersonal, anonimitas, pembagian kerja, mobilitas, perbedaan kelas, pola kerja, sekularisme, kemiskinan perkotaan dan pedesaan dll. Sebagai dasar untuk membedakan ruralisme dari urbanisme. Mereka berpendapat bahwa pedesaan dan perkotaan adalah dua istilah dikotomis yang dibedakan berdasarkan kriteria di atas.
Variasi dalam ukuran dan kepadatan populasi setidaknya memiliki efek tertentu dalam hal (i) anonimitas, (ii) pembagian kerja, (iii) heterogenitas, disebabkan dan dipertahankan oleh anonimitas dan pembagian kerja, (iv) hubungan impersonal dan ditentukan secara formal, dan (v) simbol status yang terlepas dari kenalan pribadi.
Budaya dapat memperbesar atau mengurangi dampak dari hal-hal itu, tetapi tidak dapat menghilangkannya dari kota. Richard Dewey dengan tepat menunjukkan bahwa kelima elemen ini merupakan iringan urbanisasi yang tak terhindarkan dan harus dipertimbangkan dalam memahaminya.Tetapi ada beberapa Ilmuwan Sosial yang masih percaya bahwa cara hidup perkotaan merambah ke pedesaan–sesuatu yang sangat mudah kita lihat di banyak pedesaan di Indonesia. Bukan hanya sekedar gaya hidup urban dekat, bahkan gaya hidup metropolitan dari mancanegara telah masuk dalam kehidupan sehari-hari di pelosok-pelosok desa. Pekerja migran, kaum diaspora baik karena pengalamannya hidup di luar negeri maupun dari menjiplakny dari media sosial. Fenomena ini membuat sulit untuk menarik garis antara keduanya. Di sebuah desa yang penduduknya berjalan, berbicara, berpakaian, dan berperilaku seperti orang urban, sulit untuk mengatakan apakah itu komunitas pedesaan atau perkotaan.
Berapa lama dibutuhkan agar perdesaan bisa menjadi desa dengan seperangkat elemen yang membentuk ekosistem desa yang berkelanjutan seperti yang diidam-idamkan oleh para pengusung kembali ke desa? Apa yang harus disiapkan? Bagaimana bisa menghimpun warga sehingga mereka bisa menjadi bagian dari upaya ini? Sejumlah pertanyaan akan selalu menggelayuti mencari jawabannya.
Menemukan Kembali Kuni
Ada baiknya kita berkunjung sejenak ke Jepang. Belajar tentang Kuni. Tsuyoshi Sekihara adalah seorang wiraswastawan. Usahanya tidak bertahan. Bangkrut. Ketika berjalan tanpa tujuan ia melewati kebun di sisi gedung-gedung di belantara bangunan Tokyo. Pekerja kebun tanpa sengaja meninggalkan seutas tali. Ia mencoba bunuh diri dengan tali itu. Gagal. Tali yang dipakai terlalu lunak untuk menggantung tubuhnya. Setelah kejadian konyol itu ia mulai berpikir tentang Kuni. Pulang kampung. Kembali ke desa di Joetsu City, Niigata Prefecture. Kota Joetsu adalah kota dengan 200.000 penduduk, tiga jam dari Tokyo dan menghadap ke Laut Jepang. Tempat ini adalah sudut Jepang yang tenang: tidak ada tsunami, sedikit gempa bumi, tetapi banyak salju di musim dingin. Sekihara menelusuri jejak-jejak di tempat masa kecilnya dan juga melakukan perjalanan pada pelosok-pelosok desa terpencil yang belum pernah dikunjungi sebelumnya.
Apa itu kuni? Sekihara mengartikannya sebagai “komunitas”. “Yang penting,” tulis Sekihara, “komunitas ini terbuka untuk orang luar yang ingin berkontribusi sebagai pengunjung tetap.” Secara historis, kuni adalah karakter dan istilah kuno Jepang untuk “bangsa” (atau lebih tepatnya, bangsa Jepang). Kuni berasal dari nama istana—Kuni-kyō—yang berfungsi sebagai ibu kota selama periode singkat namun penting di abad kedelapan Masehi. Ini adalah titik balik kritis bagi Jepang. Negara-negara yang bertikai menjadi satu, berpusat di sekitar istana di tempat yang sekarang disebut Kizugawa di Prefektur Kyoto. Sementara kuni ditinggalkan untuk lokasi lain, ia menjadi simbol periode pertumbuhan budaya dan politik yang penting untuk identitas Jepang. Itu dihargai sebagai sesuatu dari zaman emas.
Menurut Sekihara, karakter Jepang bisa diartikan berbeda. Misalnya, sementara kuni (国) berarti “bangsa”, itu juga bisa berarti “komunitas nasional”, atau hanya “komunitas”. Sekihara secara imajinatif mengartikan kuni sebagai “komunitas”, memberikan relevansi kontemporer. Hal ini sejalan dengan gerakan sosial sukses lainnya, yang seringkali menggunakan simbol-simbol masa lalu yang jauh untuk menciptakan ide-ide kreatif untuk masa depan, terutama jika masa kini tidak memiliki arah dan tujuan. Spedagi Movement melakukan hal yang sama. Memungut kembali simbol-simbol, artifak-artifak lama desa untuk digunakan sebagai bagian dari masa depan: bambu, keranjang, engkrak. Pertimbangkan pentingnya mitos dan simbol dalam gerakan antikolonial, seperti Tarian Hantu Penduduk Asli Amerika di akhir abad ke-19 dan kebangkitan Gaelik di Irlandia awal abad ke-20. Di masing-masing, partisipasi dalam kegiatan kelompok — seperti tarian, puisi, dan drama yang memberi penghormatan kepada masa lalu — mendekatkan komunitas dengan membersihkan ide-ide asing dan praktik korup saat ini.
Sumber gambar: Singgih S Kartono, founder of Magno & Spedagi, Temanggung, Central Java – Indonesia www.magno-design.com, www.spedagi.com
Kuni adalah pencarian Goldilocks untuk komunitas berukuran tepat. Sekihara mengambil tusukan provokatif bahwa ukuran yang tepat adalah antara lima ratus dan dua ribu jiwa. Mungkin terinspirasi oleh antropolog Inggris Robin Dunbar, Sekihara mencari keseimbangan. Di desa-desa yang sekarat, Sekihara menegaskan bahwa tidak ada cukup oksigen bagi pluralisme untuk berkembang. Walikota desa memerintah dengan sedikit tentangan. Hubungan terlalu dekat dengan pengambilan risiko kekuasaan. Lagi pula, jika Anda kalah, Anda harus tinggal di dekat musuh Anda. Akibatnya, kediktatoran keseragaman berlangsung. Dalam buku Dunbar tahun 2010, How Many Friends Does One Person Need?, dia menentukan bahwa manusia memiliki kapasitas emosional dan kognitif untuk mempertahankan tidak lebih dari 150 hubungan yang stabil. Dia membayangkan kelompok kedekatan yang bergerak keluar dari individu, bertambah besar jumlahnya dengan setiap lompatan ke kelompok yang lebih luas dan lebih longgar. Lingkaran terkecil adalah keluarga, sekitar 15 orang. Kelompok terbesar di mana seorang individu dapat mengenali orang lain adalah 1.500.”
Kuni adalah komunitas yang muncul di dekat kota regional yang menurun di daerah pedesaan negara maju. Kuni itu merdeka, tapi bukan berarti merdeka dari negara. Sebuah kuni melengkapi pemerintah daerah. Yang membuat kuni unik adalah bentuknya yang kompak namun mengandung semua elemen yang dibutuhkan untuk kehidupan manusia. Sulit untuk melihat keseluruhan ruang lingkup kuni jika Anda secara sempit berfokus pada alam, pertanian, perdagangan, organisasi lokal, pendidikan, dan kesejahteraan. Karena kuni dimaksudkan untuk memberi manfaat bagi setiap individu dalam komunitas, kuni perlu menjangkau aspek spiritual individu. “Kenapa hanya aku yang ada di dunia ini? Mengapa orang lain ada? Siapa aku, dan siapa orang lain? Apa artinya hidup dengan orang lain?” Dan, “Ketika saya tinggal bersama orang lain, struktur dan ukuran apa yang paling tepat bagi umat manusia bernilai?” Pertanyaan-pertanyaan ini tidak dapat dijelaskan secara ringkas, seperti panduan cara kerja. Tapi di situlah letak kunci kuni. Kuncinya adalah mengetahui ukuran yang sesuai. Artinya tidak terlalu besar dan tidak terlalu kecil. Sebidang tanah berukuran sedang, populasi berukuran sedang, organisasi lokal berukuran sedang, industri lokal berukuran sedang untuk kemandirian ekonomi, kegiatan skala sedang untuk masyarakat lokal, dan jumlah penduduk kota yang sedang mengunjungi kuni. Ukuran sedang agar orang bisa hidup semanusiawi mungkin. Mengejar “komunitas berukuran tepat” dapat menyebabkan lebih banyak kemungkinan di masa depan. Sulit membayangkan seperti apa komunitas berukuran tepat di negara maju.”
Lebih dari pengertian alamiahnya, Kuni Sekihara adalah proyek politik, yang dikhususkan untuk keragaman sebuah komunitas. Meskipun itu mungkin tidak menandakan pembongkaran pengertian negara bangsa, rangkaian tindakan spesifik yang dilakukan Sekihara mirip dengan pembangunan bangsa dalam skala mikro. Kuni adalah pertahanan kreatif dari tempat-tempat kecil, seruan ambisius untuk otonomi yang seimbang dengan keterlibatan warga seluruh dunia dengan caranya sendiri. Jauh lebih baik untuk memperdagangkan aset yang dipuja oleh orang luar, tetapi dikuratori oleh penduduk setempat, daripada membiarkan megacity menghomogenkan tempat-tempat kecil yang rentan seperti Nakonamata. Nakanomata adalah Desa kecil di pinggiran Joetsu rumah bagi pengelolaan Kuni oleh Sekihara.
Untuk membangun Kuni yang hidup, efektif dan mampu bertahan maka perlu ada kolaborasi dan persatuan diantara para anggota Kuni. Anggotanya semuanya adalah desa-desa yang berpenduduk sangat jarang, berkisar 500-2.000 orang. Seperti disebutkan sebelumnya karena tsunami urbanisasi Jepang kehilangan 300 desa setiap tahun. Desa-desa itu ditinggalkan penduduknya. Yang tua mati. Yang muda pergi. Tidak pernah kembali lagi. Maka untuk mengorganisasi desa-desa kecil itu Skihara membentuk apa yang disebut Regional Management Organization (RMO) yang setara dengan LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat) kalau di Indonesia atau NGO (Non-Government Organization). Tujuan RMO adalah menciptakan prasyarat untuk mencapai kuni. Ini adalah struktur organisasi yang memberikan layanan sosial yang sebelumnya disediakan oleh pemerintah lokal atau organisasi lainnya.
Menurut Sekihara Pemerintah juga meluncurkan inisiatif baru untuk memanfaatkan kreativitas yang dibutuhkan untuk menempa masa depan regional. Meskipun ada RMO lain di Jepang, hanya sedikit yang menerapkan manajemen regional sedalam Sekihara. Seperti yang dijelaskan Sekihara, agar berhasil, RMO harus menangani dua belas fungsi utama:
- Menjaga kesejahteraan penghuni
- Memelihara, melestarikan, dan mewariskan cerita rakyat tradisional
- Menjaga kesehatan populasi lanjut usia
- Menyediakan angkutan umum skala kecil
- Mendidik anak sekolah tentang desa dan wilayahnya
- Melindungi alam (lestarikan lahan pertanian dan hutan)
- Menciptakan industri lokal dengan menggunakan sumber daya lokal
- Melaksanakan proyek-proyek yang baik oleh pemerintah daerah
- Melibatkan penduduk kota dan mengatur kesempatan untuk berkunjung
- Berfungsi sebagai perantara
- Menyediakan fungsi administrasi yang komprehensif
- Memelihara sumber daya manusia
Secara tradisional di Nusantara terdapat konsep kuni yang mempertahankan jumlah populasi komunitas tetap stabil. Misalnya Masyarakat di Kampung Naga di Tasikmalaya, Jawa Barat, Ciptagelar di Sukabumi, Badui di Banten dan sejumlah komunitas adat lain di Nusantara. Mungkin ini bisa menjadi teladan–meski tidak selalu bisa seluruhnya digandakan. Beberapa elemen atau fungsi-fungsi yang universal yang sesuai bisa diadopsi dan diterapkan untuk membangun kuni-kuni. Dari ruang sekitar Spedagi di desa kandangan, Temanggun, atau Rumah Intaran di Desa Bengkala, Kabupaten Buleleng, Bali atau lokasi-lokasi lain yan gbegitu banyak bisa menjadi inspirasi untuk memulai membangun kuni masing-masing.
Kuni adalah hadiah bagi dunia yang lebih luas karena proyek politiknya menolak meniru norma-norma berbahaya dan destruktif yang berkontribusi pada kerusakan masyarakat.
Dari pandemi global hingga krisis iklim, dari globalisasi hingga efek mati rasa dan kumulatif dari kehidupan perkotaan yang retak, panggilan ke tempat-tempat kecil dan rapuh adalah panggilan ke alam liar dan undangan ke komunitas-komunitas yang teguh merawat kekayaan budaya, spiritual dan alamnya.
Tetapi di desa: ‘Para majikan merupakan petani makmur atau bahkan petani kaya yang mempunyai tanah yang cukup untuk mandiri. Mereka hanya minoritas kecil, tetapi sangat berpengaruh: mereka adalah orang-orang terkemuka dari komunitas petani les coqs du village [jago-jago desa],… semacam kelas menengah pedesaan’ (Albert Soboul 1979, I: 47).
Apa yang terjadi di desa-desa di banyak pelosok nusantara saat ini penuh dengan gejolak perubahan. Tradisi bertani pada satu tempat tidak lagi mengandalkan gotong royong/kebersamaan karena masing-masing individu atau keluarga mempunyai kesibukan dan urusan sendiri; berladang bergilir tidak lagi memadai karena keterbatasan lahan baru yang dibuka; lahan sebagai cadangan berladang telah “dikuasai” korporasi; aneka kebutuhan rumah tangga memaksa petani untuk mencari sumber-sumber pendapatan baru non-pertanian; lahan pertanian dipaksa untuk berproduksi dari kemampuan alamiahnya dengan introduksi bahan kimia dan benih-benih baru; pesona kehidupan urban menjadi magnet baru yang mengubah lanskap pedesaan.
Bagi orang luar desa (misalnya kaum urban), kehidupan dan alam pedesaan adalah sebuah pesona yang amat eksotik, indah, serba menyenangkan, memberi inspirasi, penuh kedamaian. Itulah gambaran desa di permukaan. Desa yang sebenarnya barangkali tak ubahnya sebuah pentas yang penuh dinamika. Ada kontes kehidupan untuk memperebutkan sumberdaya alam dan hal-hal yang menyangkut kekuasaan. Karena itu di banyak desa, tidak aneh kalau hingga kini kita temukan Kaum Elit Desa yang bercokol baik karena ‘trah’ di desa itu atau orang-orang yang menguasai ekonomi sebuah desa. Orang-orang yang tidak layak menjadi pemimpin di desa bisa menjadi pemimpin karena pengaruh ekonomi atau ‘trah’ desanya. Mereka hanya minoritas kecil, tetapi sangat berpengaruh… Itu pulalah yang mendorong Singgih, penggagas ICVR ini, menuliskan imajinasinya lebih dua puluh tahun lalu: Desa Nagnadnak—sebuah imajinasi yang memandunya untuk menjadi enterpreneur kampung, sebagai social agent di kampungnya, Desa Kandangan.
Meskipun ada perubahan-perubahan yang menyerbu desa, kaum elite desa ini tak pernah berubah. Perubahan hanya akan terjadi jika ia berasal dari kesadaran elit, pemberontakan kaum yang kelewat miskin dan tertindas. Atau oleh bandit-bandit kreatif semacam Singgih yang mengingatkan betapa syahdunya Radio Kayu Magno, yang mengayuh Spedagi hingga jauh, yang merebut kembali gairah pasar rakyat melalui Pasar Papringan dan entah apalagi yang akan muncul di kemudian hari—yakni kaum yang bekerja dalam sepinya desa, bergerak dan menggerakkan orang-orang desa, menghimpun sumberdaya desa dan mengubah sumberdaya desa menjadi sumberdaya yang bernilai tinggi dengan tetap menjaga kelesatarian sumberdaya alam. Bandit-bandit kreatif ini adalah para pemberontak yang melakukan sesuatu yang berbeda agar kekayaan lokal tidak tergerus ke luar dan sebaliknya mengembangkan sumberdaya dan kekayaan lokal untuk perubahan desa dan masyarakat desa yang lebih baik. Mereka inilah sebagai orang-orang yang melakukan creative desruction dengan fungsi mengembangkan dan menjaga kekayaan lokal. Untuk kemajuan lokal dan global.
Membayangkan Rurbanism berpadu dengan Spedagi Movement yang mengusung Cyral-Spriterialism. Dalam Kuni yang damai dan bahagia.
Lumajang-Jogja-Cirebon,
20 Desember 2022.
1 Ini adalah penggalan sajak ‘Ato’ yang saya tulis pada 2016. Berikut sajak lengkapnya:
Ato
Ato adalah sebutir embun pagi
yang menari seperti puisi
Sejak titik pertama matahari mencium ujungnya
hamparan helai daun padi beranjak terang, menyala
panggung bagi musim panen tiba
: layar langit biru, hutan bukit pegunungan
berdansa dalam diam, meringkas sisa malam
jadi deretan orkestra sebuah simfoni gembira
Membuka hari baru
menerbangkan burung-burung
melepaskan kabut
jejak duaribu tahun yang lalu
Kini satu dua mesin traktor mengisi sunyi
kebun-kebun apel, tomat dan bawang
hanya diam menanti jejak tuan-tuan
yang makin keriput dan kusam
tanpa tambo 1)
Selebihnya, hanya kabut yang bergelut dengan terang
tak lagi ada orang-orang dengan rajutan pada kimono
atau menganyam tali dari jerami
Matahari perlahan mengerut
menyingkap Ato dalam keemasan
sebelum gelap menyergap
Lalu tonggeret menguasai segalanya
mengurai sepi, membawa malam pada gelanggang pedang
Dan di bawah atap kuil Shinkoji dan dinding kayu,
kau bertanya
: Ketika kau ada di sini
dimanakah kau?
Kini ketika kau pergi
dimanakah kau? 2)
Dan hari-hari pun tersimpan rapi
di balik selimut dingin malam
membayangkan Ato dengan toitoi 3)
dan anak-anak yang riang berlari
menembus segala musim
berebut jerami dan kabut pagi
Mungkin hutan-hutan itu masih setia
mengirimkan sungainya
tetap bening, penuh dengan gelombang
mengisahkan tiap perjalanannya pada
bebatuan hingga tiba menghapus dahaga
Ato menepi dalam keramaian
sebab dalam sepi pun selalu ada bunyi gelombang
orang-orang datang dan pergi mengikutinya
bermain, menari, menyanyi
Tetapi siapa yang mengenal hati Desa Ato 4)
dengan hamparan alamnya
dengan aroma keringat warganya
Siapa yang kenal kedalamannya? 5)
Ato, Yamaguchi, Jepang
Bogor, Indonesia
Agustus-September 2016
Dwi R. Muhtaman
Catatan:
1) Tambo adalah sebuah seni lukis yang dilakukan pada hamparan padi. Tambo pertama kali dikenalkan oleh Desa Inakadate, Distrik Aomori, Aomori Perfecture, Jepang. Pada tahun 1993 Komite Desa mencari cara untuk melakukan revitalisasi desa mereka. Lalu muncullah ide untuk membuat gambar-gambar di hamparan sawah padi mereka. Kini seni padi sawah ini atau disebut Tambo membuat Desa Inakadate jadi perhatian dan dikunjungi banyak orang.
2) Bagian ini adalah teks yang dikutip dan diterjemahkan langsung dari buku Village Japan, Everyday Life in a Rural Japanese Community, Malcolm Ritchie (1999), p.66. When you were here/where were you/Now you are gone/where are you.
3) Toi-toi adalah sebuah permainan anak-anak petani Jepang dengan bahan berupa boneka kuda yang dibuat dari jerami padi.
4) Ato adalah sebuah desa yang terletak di Kota Yamaguchi, Yamaguchi Perfecture, Jepang. Ato pada awalnya merupakan bagian dari Distrik Abu, tetapi bergabung menjadi bagian Yamaguchi pada tahun 2010. Yamaguchi sendiri merupakan himpunan dari beberapa kota kecil. Pada tahun 1889 40 kota kecil ini bergabung membentuk Kota Yamaguchi. Ato adalah desa pertanian yang penduduknya hidup dari pertanian khususnya padi, buah, dan sayuran. Desa ini setiap tahun mengalami pertumbuhan penduduk yang negatif. Warga negara usia tua mendominasi desa. Anak-anak muda banyak yang meninggalkan desa, urbanisasi ke kota-kota sekitar atau metro. Ato Bunko, The Kameyama Primary School (Sekolah Dasar) yang telah berusia 100 tahun pun ditutup karena tidak ada murid sejak 2006. Yoshimi Masataka (75), seorang penduduk Ato, mulai memanfaatkan tempat ini sejak 2006 sebagai perpustakaan Desa Ato. Saat ini Yoshimi telah berhasil mengumpulkan 60.000 koleksi beragam buku bacaan mulai dari buku pertanian, komik, sastra, seni dan agama. Spedagi Movement melengkapi upaya revitalisasi Ato dan kembali mengenali kedalaman hati Desa Ato.
5) Pada tiga paragraf terakhir sajak ini, teks terinspirasi dari paragraf terakhir sebuah novel populer berjudul Musashi karya Eiji Yoshikawa, Edisi bahasa Indonesia, 1981, p. 1247: Dunia ini selalu penuh dengan bunyi gelompang/ikan-ikan kecil menyerahkan diri mereka kepada gelombang, menari, menyanyi dan bermain, tetapi siapa yang bisa mengenal hati laut tiga puluh meter di bawahnya? Siapa yang kenal kedalamannya?
Informasi lengkap tentang ICVR bisa dirujuk pada tautan ini: https://icvr.spedagi.org/en/home-2/ ICVR adalah konferensi internasional dua tahunan tentang Revitalisasi Desa. Kegiatannya meliputi seminar, lokakarya, ekskursi, pameran, dan inisiasi Proyek Pra-Konferensi (PPK) yang dilakukan di lokasi konferensi atau di tempat lain. ICVR merupakan wadah para aktivis, praktisi, pemikir, lembaga yang terkait dengan kegiatan Revitalisasi Desa, termasuk para peserta muda. Kegiatan ini harus diadakan di pedesaan dan harus melibatkan penduduk setempat dengan menerapkan prinsip-prinsip: lokalitas, kreativitas, kesederhanaan, kegunaan, dan keberlanjutan.
Apa Tujuan ICVR?
- Untuk memulai proyek baru dan melanjutkan proyek Revitalisasi Desa yang sedang berjalan,
- Untuk berbagi pengalaman dan pengetahuan dengan pihak terkait Revitalisasi Desa,
- Mengumpulkan masukan, pengetahuan dan pengalaman terkait Revitalisasi Desa,
- Membangun jaringan Revitalisasi Desa baik lokal maupun global,
- Untuk mempromosikan gaya hidup berkelanjutan melalui kegiatan Revitalisasi Desa,
- Menjadikan Revitalisasi Desa sebagai gerakan global.
ICVR#1 diadakan sebagai joint-conference dengan The 9th ICDS pada bulan Maret 2014 di Desa Kandangan dan Desa Caruban, Kabupaten Temanggung, Provinsi Jawa Tengah, Indonesia. Sedangkan ICVR#2 diselenggarakan pada Agustus 2016 di Ato, Kota Yamaguchi, Prefektur Yamaguchi, Jepang.
Pada bulan Mei 2015, Spedagi berpartisipasi dalam The 10th ICDS (The 10th International Conference on Design for Sustainability) di Yamaguchi, Jepang. Dalam kesempatan tersebut, Spedagi mengunjungi Ato, kawasan pedesaan dengan alam yang masih terjaga dan infrastruktur yang sangat baik. Sayangnya, sebagian besar penduduk setempat memilih untuk tinggal dan bekerja di kota, meninggalkan sebagian besar penduduk sebagai petani tua. Situasi ini terjadi di banyak daerah pedesaan di Jepang. Gerakan Revitalisasi Desa Spedagi menarik perhatian warga dan generasi muda di sana, kemudian memicu berdirinya Spedagi Ato, Spedagi internasional pertama. Selanjutnya, ICVR ke-2 diadakan di Ato, pada tahun 2016.
Tentang Spedagi Movement lihat tautan ini: https://icvr.spedagi.org/en/home-2/
https://www.theatlantic.com/business/archive/2017/08/japan-rural-decline/537375/
Tsuyoshi Sekihara and Richard McCarthy. 2022. Kuni: A Japanese Vision and Practice for Urban-Rural Reconnection. California: North Atlantic Books.
Farid Gaban dalam artikelnya yang berjudul Kota, Desa Dan Corona.
https://www.gov.uk/government/statistics/rural-population-and-migration/rural-population-and-migration
Gregory R. L. Hadley. Stemming the Tide Youth Entrepreneurial Citizenship in Rural Nova Scotia, Canada, p. 71-90 dalam Karen R. Foster and Jennifer Jarman (2022). “The Right to Be Rural.” University of Alberta Press.
ibid.
Vanessa miriam Carlow, institute for sustainable urbanism isu (Eds.) RuRalism The Future of Villages and small Towns in an urbanizing World. Jovis Verlag GmbH, 2016
https://www.kompas.com/wiken/read/2022/05/14/073000281/sebanyak-66-persen-penduduk-indonesia-diprediksi-tinggal-di-perkotaan
“urbanization is the migration of population from rural to urban areas, and the transformation of industrial structure from agriculture to industry and the tertiary industry, but it has different driving forces. In the spontaneous urbanization driven by the upgrading of industrial structure, due to the scale effect of the development of industry and service industries in urban areas, a large number of rural surplus labour forces were attracted to the cities. As rural labour become urban labour, they and their families gradually settled in the city. At the same time, in rural areas, due to the emigration of labour and their families, the scope of villages shrinks, and the arable land is gradually concentrated. Eventually, industrial upgrading, population transfer and lifestyle changes are completed. This is the spontaneous urbanization that consists of the attraction force of cities and the repulsive force of rural areas, or the pushing force and drawing force.” “urbanisasi adalah migrasi penduduk dari desa ke kota, dan transformasi struktur industri dari pertanian ke industri dan industri tersier, tetapi memiliki kekuatan pendorong yang berbeda. Dalam urbanisasi spontan yang didorong oleh peningkatan struktur industri, karena efek skala dari perkembangan industri dan industri jasa di daerah perkotaan, sejumlah besar tenaga kerja pedesaan tertarik ke kota. Ketika tenaga kerja pedesaan menjadi tenaga kerja perkotaan, mereka dan keluarganya secara bertahap menetap di kota. Pada saat yang sama, di pedesaan, karena emigrasi tenaga kerja dan keluarganya, ruang lingkup desa menyusut, dan tanah subur secara bertahap terkonsentrasi. Akhirnya, peningkatan industri, perpindahan penduduk dan perubahan gaya hidup selesai. Ini adalah urbanisasi spontan yang terdiri dari gaya tarik kota dan gaya tolak daerah pedesaan, atau gaya dorong dan gaya tarik.”
Dikutip dari WU Ying, 2022. Organizational Transformation and Order Reconstruction in “Village-Turned-Communities.” New York: Routledge.
Alan Harding, Talja Blokland (Eds.), 2013. Urban Theory: A Critical Introduction to Power, Cities and Urbanism in the 21st Century. SAGE Publications Ltd. Dalam buku ini Harding dan Talja menguraikan tentang beberapa teori tentang urban. Bagi yang ingin mendalami tentang Teori Urban buku ini pantas untuk dibaca. Memberi paparan teori-teori awal hingga terbaru yang berkaitan dengan urban. Harding dan Talja juga mengajukan sejumlah kritik-kritik atas teori-teori urban yang ada itu.
WU Ying. 2022. Organizational Transformation and Order Reconstruction in “Village-Turned-Communities.” New York: Routledge.
Sepeda Bambu Spedagi mulai dikembangkan awal tahun 2013 dengan tujuan menemukan jenis bambu yang tepat, desain frame sepeda yang kuat, nyaman dan estetik. Pada akhirnya dipilih Bambu Petung (Dendrocalamus asper) salah satu jenis bambu terkuat dan tersedia melimpah di pedesaan. Bambu dengan diameter besar dan dinding tebal ini selain kuat memungkinkan membuat batang rangka sepeda dengan ukuran seragam. Konstruksi bilah tangkup “usuk bambu” kerangka atap rumah di pedesaan menjadi sumber inspirasi untuk meningkatkan kekakuan batang bambu. Batang bambu bilah tangkup kemudian dihubungkan sambungan metal khusus (lugs) yang diproduksi tenaga lokal menjadi kerangka sepeda. Paduan batang bilah tangkup dengan penampang oval dan lugs metal menghasilkan desain frame yang bukan hanya indah dan berbeda, namun juga kuat dan nyaman digunakan. Sepeda Bambu Spedagi lolos uji kendara Jakarta – Madiun sejauh 750 km, dengan total beban 90 kg, tanpa kerusakan apapun.
Singgih S Kartono, Magno & Spedagi founder. Desa: Komunitas Masa Depan Yang Terancam. Social Impact Assessment Trainning, Remark Asia, Ubud –Bali, May 14th 2014.
Tentang Rendy bisa dibaca lebih lengkap pada tautan ini beserta informasi karya-karyanya: https://www.parongpong.com/our-team
https://www.sisasisa.com
Richard Dobbs, James Manyika, Jonathan Woetzel. No Ordinary Disruption: The Four Global Forces Breaking All the Trends. PublicAffair, 2015.
Sejarah Temanggung selalu dikaitkan dengan raja Mataram Kuno yang bernama Rakai Pikatan. Nama Pikatan sendiri dipakai untuk menyebutkan suatu wilayah yang berada pada sumber mata air di desa Mudal Kecamatan Temanggung. Disini terdapat peninggalan berupa reruntuhan batu-bebatuan kuno yang diyakini petilasan raja Rakai Pikatan. Sejarah Temanggung mulai tercatat pada Prasasti Wanua Tengah III Tahun 908 Masehi yang ditemukan penduduk dusun Dunglo Desa Gandulan Kecamatan Kaloran Temanggung pada bulan November 1983. Prasasti itu menggambarkan bahwa Temanggung semula berupa wilayah kademangan yang gemah ripah loh jinawi dimana salah satu wilayahnya yaitu Pikatan. Info lebih lanjut bis adibaca pada tautan ini yang merekam perjalan panjang sejarah Kab Temanggung: https://temanggungkab.go.id/pages/sejarah-1639961621
Kabupaten Nagekeo, salah satu kabupaten di Nusa Tenggara Timur, terletak di antara 8º26΄00΄ – 8º64΄40″ Lintang Selatan dan 121º6΄20″ – 121º32΄00″. Luas wilayah Kabupaten Nagekeo 1.416,96 km². Utara berbatasan dengan Laut Flores, Selatan dengan Laut Sawu, Barat dengan Kabupaten Ngada dan Timur dengan Kabupaten Ende. Kabupaten Nagekeo merupakan Kabupaten baru sebagai pemekaran dari Kabupaten Ngada, yang diresmikan pada tanggal 22 Mei 2007, melalui Undang – undang Nomor 2 tahun 2007. Pemerintahan dan komunitas Nagekeo sudah ada sejak masa Pemerintahan Hindia Belanda sekitar tahun 1909. Kabupaten Nagekeo memiliki 7 Kecamatan (Aesesa, Boawae, Mauponggo, Keo Tengah, Nangaroro, Wolowae dan Aesesa Selatan). https://nagekeokab.go.id/sekilas-nagekeo/
Kabupaten Tulang Bawang Barat (Tubaba) berada di utara Provinsi Lampung, berbatasan langsung dengan Provinsi Sumatera Selatan, dan berada di antara Kota Bandar Lampung dan Palembang. Ibukotanya adalah Panaragan, dan disinilah ikon pertama Tubaba, Islamic Centre, berada. Kabupaten Tulang Bawang Barat memiliki populasi +- 300.000 jiwa (sensus 2017: 269.162) yang didominasi oleh masyarakat dari suku Lampung, Jawa, Sunda, dan Bali. Mata pencaharian utama penduduk adalah berkebun. Komoditas utama adalah karet serta sebagian kecil singkong dan sawit. Banyak yang menyebut Kabupaten Tulang Bawang Barat sebagai ‘Indonesia Mini’ karena aneka ragam budayanya. Meski berbeda-beda, kehidupan antar suku di Tulang Bawang Barat sangat harmonis. Baik masyarakat Lampung asli maupun pendatang masih menjaga & merayakan tradisi budaya masing-masing. https://tubaba.go.id/profil
Richard Dobbs, James Manyika, Jonathan Woetzel.
Richard Dobbs, James Manyika, Jonathan Woetzel. No Ordinary Disruption: The Four Global Forces Breaking All the Trends. PublicAffair, 2015.
ibid.
Dallas Rogers. Understanding Urbanism in Dallas Rogers, Adrienne Keane, Tooran Alizadeh, Jacqueline Nelson (Editors). Understanding Urbanism. Springer Nature Singapore Pte Ltd., 2020.
Desa menerima ‘limbah’ dari kegagalan kota selama pandemik inilah pula yang mengesalkan Farid Gaban dalam artikel Kota, Desa Dan Corona itu. Dalam artikel itu Gaban menuliskan komentarnya pada Ketua Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 Doni Monardo yang menyatakan pemerintah tengah mengkaji kemungkinan memulangkan warga kota yang kehilangan pekerjaan akibat corona ke kampung halaman. Gaban menulis bahwa susutnya aktivitas ekonomi di kota-kota besar akibat corona memang telah memicu gelombang pengangguran yang nyata: buruh dipecat karena mengkerutnya sektor industri dan jasa; serta para tukang ojek, tukang masak dan pedagang kaki lima yang kehilangan pelanggan. Gelombang pulang kampung sebenarnya telah terjadi tanpa campur tangan pemerintah. Puluhan ribu orang, yang selama ini menjadi tulang punggung sejati dari gemerlap metropolitan, telah mudik lebih awal. Lalu, mengapa pemerintah ingin aktif memulangkan? “Masyarakat perkotaan yang kehilangan pekerjaan berpotensi menjadi masalah baru di masa mendatang,” kata Doni Monardo, seperti kutipannya. Menurut Gaban cara berpikir pemerintah egoistik dan urban-centris: mencegah potensi kerusuhan sosial di kota dengan mengirim masalah ke desa. Dan memindahkan masalah di sektor industri/jasa di kota dengan melemparnya ke sektor pertanian di desa. Dengan begitu desa hanya menjadi obyek dari kegagalan pemerintah dalam membangun hubungan yang adil antara desa dan kota.
WU Ying. 2022.
Excerpt From Bagoes Wiryomartono. Traditions and Transformations of Habitation in Indonesia. “Springer Nature Singapore Pte Ltd. 2020. “Desa mawa cara, kuta negara mawa tata (Village has its own custom and tradition; urban settlement has its own law and order, from Javanese proverb)”
The Technische Universität Braunschweig, commonly referred to as TU Braunschweig, is the oldest Technische Universität in Germany. It was founded in 1745 as Collegium Carolinum and is a member of TU9, an incorporated society of the most renowned and largest German institutes of technology.
Technische Universität Braunschweig, biasa disebut TU Braunschweig, adalah Technische Universität tertua di Jerman. Didirikan pada 1745 sebagai Collegium Carolinum dan merupakan anggota TU9, sebuah perkumpulan yang tergabung dari institut teknologi Jerman yang paling terkenal dan terbesar.
Vanessa miriam Carlow, institute for sustainable urbanism isu (Eds.) RuRalism The Future of Villages and small Towns in an urbanizing World. jovis Verlag GmbH, 2016
Kekurangan sumberdaya dalam kasus Indonesia barangkali lebih pada ketersediaan fasilitas publik yang setara dengan yang disediakan di perkotaan; sumberdaya alam di pedesaan Indonesia sangat melimpah meski harus diakui pada wilayah-wilayah hutan negara problemnya adalah perebutan hak kelola dan kepemilikan yang sering menimbulkan konflik, tetapi dalam hal wilayah di luar kawasan hutan negara maka sumebrdaya boleh dibilang melimpah. Diperlukan sentuhan kepemimpinan yang kreatif dan inovatif untuk mengubah sumebrdaya alam menjadi seumberdaya yang bisa menggerakkan ekonomi dan sosial masyarakat setempat.
Pada Abad Pertengahan, kata Jerman, Heimat, mengacu pada negara atau wilayah tempat seseorang dilahirkan dan memiliki tanah atau properti. Kini biasa diartikan sebagai rumah, kampung halaman, pedesaan atau habitat alami.
VMT (Vehicle Miles Travelled) atau Jarak tempuh kendaraan yakni per kapita dihitung sebagai total jarak tempuh tahunan kendaraan dibagi dengan total populasi di suatu negara bagian atau di daerah perkotaan.
https://www.youtube.com/watch?v=qaf-jNLjedo How an old loop of railroads is changing the face of a city | Ryan Gravel
Karen R. Foster and Jennifer Jarman (2022). “The Right to Be Rural.” University of Alberta Press. Soal pendekatan ini Foster dan Jarman mengutip, dalam bahasa Inggris: By “rights,” we mean to conjure up what the sociologist Margaret Somers under- stands as legal claims “brought to bear on a state,” which come together in the “bundle” or “package” we call “citizenship”—the “status” that confers rights on people and asks for some duties in return (Somers, 2008, p. 67). We also draw on T. H. Marshall’s tone-setting 1950 essay, in which citizenship is a status that accords equal rights as well as duties to the people who hold it, and in which rights are understood to comprise civil, political, and social rights—the latter including the right to a decent standard of living.
Henri Lefebvre saat ini ditetapkan sebagai salah satu ahli teori sosial terpenting abad ke-20. Urbanism adalah salah satu sisi perhatiannya dalam melihat ruang dan fungsi-fungsi sosial. Selama hidupnya (b. 1901–w. 1991) dia menulis dan menerbitkan secara luar biasa lebih dari enam puluh buku dan beberapa ratus artikel tentang berbagai masalah dan tema. Warisan dan pengaruhnya yang bertahan lama tidak hanya termasuk menjadi ahli teori yang paling berpengaruh dan penting dalam memprioritaskan ulang ruang dalam analisis sosial dan kritis, tetapi juga pengakuan atas kontribusinya pada analisis kehidupan sehari-hari, modernitas, Hak atas Kota, dan perkotaan. Dia terus mempengaruhi dan menginspirasi penelitian di sejumlah disiplin ilmu dan bidang; ini termasuk studi pedesaan dan regional, sosiologi, geografi, politik, filsafat, dan studi perkotaan. Sumber: https://www.oxfordbibliographies.com/display/document/obo-9780190922481/obo-9780190922481-0005.xml
Henri Lefebvre. 2009. State, Space, World: Selected Essays. Edited by Neil Brenner and Stuart Elden. Translated by Gerald Moore, Neil Brenner, and Stuart Elden. London: University of Minnesota Press Minneapolis.
Sejumlah buku ditulis orang untuk membahas gagasan the Right to the City ini. Beberapa antara lain: Don Mitchell: The right to the city: social justice and the fight for public space. The Guilford Press, 2003; The Right to the City: A Verso Report. Verso 2017; Federico Venturini, Emet Değirmenci, Inés Morales (editors). The right to the city and social ecology : towards democratic and ecological cities. Black Rose Books, 2019; Meghan Joy – The Right to an Age-Friendly City_ Redistribution, Recognition, and Senior Citizen Rights in Urban Spaces. (McGill-Queen’s Studies in Urban Governance, McGill-Queen’s University Press, 2020; Michael Sorkin. “What goes up : the rights and wrongs of the city. Verso Book,. 2018
ibid
https://en.wikipedia.org/wiki/Jan_Gehl. Lihat juga beragam karya dan pemikirannya dalam tautan ini: https://gehlpeople.com dan bisa mengunduh pemikirannya tentang ruang-ruang kota yang yang sehat dan inklusif pada tautan ini https://gehlpeople.com/wp-content/uploads/2020/02/Inclusive-Healthy-Places_Gehl-Institute.pdf
https://toposmagazine.com/the-guru-in-urbanism/
ibid.
https://www.goodnewsfromindonesia.id/2022/08/22/mengenal-singgih-kartono-pemberdaya-desa-yang-angkat-nilai-ekonomi-kayu-dan-bambu; lihat juga tentang Radio Magno yang merupakan karya SInggih terdahulu yang membuat radio dari kayu dan mendapatkan Good Design Award. https://www.brilio.net/news/kisah-sukses-singgih-lewat-radio-kayu-magnoproduknya-diakui-dunia-1508218.html; https://www.goodnewsfromindonesia.id/2016/09/27/magno-si-radio-vintage-indonesia-yang-mendunia; https://www.mldspot.com/trending/magno-the-wooden-radio
Spedagi berasal dari kata ‘sepeda pagi’, olahraga bersepeda pagi keliling desa, awalnya dilakukan Singgih untuk menurunkan kadar kolesterol. Kegiatan ini, dengan latar belakang tentang desain produk, dan banyaknya bambu di pedesaan, memotivasinya untuk mulai mengembangkan desain sepeda bambu. Bukan hanya karena merupakan material lokal, bambu juga kuat dan merupakan penyerap getaran terbaik dibandingkan material logam dan serat karbon. Menurut penuturan Singgih, pada umumnya sepeda bambu terbuat dari bambu berdiameter kecil yang berukuran seperti tabung rangka sepeda pada umumnya. Namun jenis bambu tersebut tidak populer di daerah pedesaan di Indonesia. Bambu yang paling mudah ditemui di sini adalah Bambu Raksasa (Dendrocalamus asper), yang merupakan salah satu jenis bambu terkuat. Bambu Raksasa bisa dibuat menjadi 5-6 rangka sepeda. Selain menghasilkan rangka sepeda yang kuat dan indah, proses ini memberikan nilai tambah yang tinggi pada sebuah bambu. Menurutnya lokalitas akan menghasilkan orisinalitas. Ketika memilih bambu berdiameter besar, maka harus menemukan desain konstruksi rangka sepeda yang berbeda. lalu ditemukan inspirasi dari konstruksi “bilah-tangkup” kasau bambu (usuk bambu) pada rangka atap rumah tradisional Jawa di desa. Selain meningkatkan kekuatan dan kekakuan bambu, jenis konstruksi ini memungkinkan untuk membuat tabung rangka dengan ukuran yang seragam. Bambu memiliki karakter lentur dibandingkan bahan lainnya. Berdasarkan percobaan saya, konstruksi bilah-tangkup saja tidak cukup, perlu sambungan yang kuat antar batang bambu. Saya kemudian membuat sambungan dari besi yang dibuat khusus oleh pengrajin logam lokal. Ternyata, dengan bimbingan yang tepat, perajin lokal mampu membuat sambungan sepeda yang standar dan berkualitas.
Sepeda Bambu Spedagi dibuat dengan tangan hampir di setiap proses pembuatannya. Hal ini sesuai dengan ketersediaan teknologi lokal, budaya kerja kerajinan tangan yang kuat, dan kebutuhan penciptaan lapangan kerja. Pembuatan satu rangka sepeda bambu membutuhkan waktu +/- 60 jam kerja. Spedagi Frame telah lolos uji kendara untuk jarak yang cukup jauh, melewati medan berat dan cuaca ekstrim. Tes terbaru menempuh jarak 750 km dari Jakarta ke Madiun (Jawa Timur), tanpa ada cacat. Bambu yang dikeringkan dan dilapisi sudah tidak diragukan lagi cukup kuat untuk bahan rangka sepeda.
https://www.spedagi.com/movement
Jens Kvorning dalam artikelnya: “Ruralism and Periphery: The Concept of Ruralism and Discourses on Ruralism in Denmark” dalam Vanessa Miriam Carlow, institute for sustainable urbanism isu (Eds.) RuRalism The Future of Villages and small Towns in an urbanizing World. Jovis Verlag GmbH, 2016
Lower Saxony adalah sebuah negara bagian di barat laut Jerman yang berbatasan dengan Laut Utara. Di ibu kotanya, Hanover, terdapat Herrenhausen Gardens yang mencakup Great Garden bergaya barok dan taman lanskap Inggris. Museum Negara Bagian Lower Saxony menampilkan seni dari Abad Pertengahan hingga abad ke-20. Kota Braunschweig adalah rumah bagi Kastil Dankwarderode abad pertengahan yang dibangun kembali dan Museum Herzog Anton Ulrich, dengan koleksi seni Eropa yang sangat banyak. Di Lower Saxony ini gegap gempita dengan tempat-tempat yang menjadi destinasi wisata. Bisa dibaca pada tautan ini, misalnya: http://www.catatantraveling.com/2019/06/Kota-Cantik-Destinasi-Wisata-di-Lower-Saxony-Jerman.html
Menurut tautan ini: https://designprinciplesandpractices.com/about/history/2018-conference/ezio-manzini Selama lebih dari dua dekade, Ezio Manzini telah bekerja di bidang desain untuk keberlanjutan. Baru-baru ini, minatnya terfokus pada inovasi sosial — dianggap sebagai pendorong utama perubahan berkelanjutan. Dalam perspektif ini, ia memulai DESIS: jaringan sekolah desain internasional yang secara khusus aktif di bidang desain untuk inovasi dan keberlanjutan sosial. Ezio saat ini bekerja di Desislab Elisava Barcelona memimpin inisiatif “Design for City Making” (Desain untuk Pembuatan Kota) dalam Jaringan Desis.
Saat ini, Ezio Manzini adalah Distinguished Professor on Design for Social Innovation di ELISAVA Barcelona School of Design and Engineering, Barcelona, Spanyol; Profesor Kehormatan di Universitas Politeknik Milan, Italia; dan Profesor Tamu di Universitas Jiangnan, Wuxi, China. Selain keterlibatannya yang terus-menerus dalam desain untuk arena keberlanjutan, dia telah mengeksplorasi dan mempromosikan potensi desain di berbagai bidang, seperti: Desain Material pada 1980-an; Desain Strategis pada 1990-an (memulai Magister Desain Strategis); dan Desain Layanan dalam sepuluh tahun terakhir (memulai kursus khusus Desain Layanan). Buku terbarunya adalah “Design, When Everyone Designs. Pengantar Desain untuk Inovasi Sosial” (MIT Press 2015).
Rogene A. Buchholz. 2017. Restructuring Capitalism: Materialism and Spiritualism in Business
Taylor & Francis.
Untuk bacaan yang lebih mendalam tentang Indsutri 4.0 bisa dirujuk pada Klaus Schwab. 2017. The fourth industrial revolution. New York: Crown Business.
- Michelle Moore. 2022. “Rural Renaissance: Revitalizing America’s Hometowns Through Clean Power.
Washington: Islands Press.
https://www.dw.com/id/mikro-hidro-cara-tri-mumpuni-bangun-desa/a-56101438
Jens Kvorning
Saat ini sudah cukup banyak konsep design thinking digunakan dalam berbagai keperlukan, baik pengembangan bisnis, memecahkan persoalan-persoalan sosial atau pengembangan produk dalam sebuah prakarsa bisnis. Bisa dirujuk salah satu tautan berikut ini: https://www.ideou.com/blogs/inspiration/what-is-design-thinking
Beberapa istilah lain yang seringkali digunakan untuk menggambarkan situasi rurban atau transisi antara rural dan urban adalah sebagai berikut (dikutip dari blog Rashid Faridi yang disebutkan terdahulu): Rural-Urban Fringe/Pinggiran Pedesaan-Perkotaan. Pinggiran pedesaan-perkotaan, juga dikenal sebagai pinggiran, rurban, peri-urban atau pedalaman perkotaan, dapat digambarkan sebagai “antarmuka lanskap antara kota dan negara”, atau juga sebagai zona transisi di mana perkotaan dan pedesaan menggunakan campuran dan sering bentrokan. Alternatifnya, itu dapat dilihat sebagai tipe lanskap dengan sendirinya, yang ditempa dari interaksi penggunaan lahan perkotaan dan pedesaan. Suburb/Pinggiran kota. Pinggiran kota adalah area penggunaan campuran atau pemukiman, yang ada baik sebagai bagian dari kota atau daerah perkotaan atau sebagai komunitas perumahan terpisah dalam jarak perjalanan dari kota. Di beberapa daerah, seperti Australia, India, Cina, Selandia Baru, Inggris Raya, dan beberapa negara bagian AS, pinggiran kota baru secara rutin dianeksasi oleh kota-kota yang berdekatan. Di tempat lain, seperti Arab Saudi, Kanada, Prancis, dan sebagian besar Amerika Serikat, banyak pinggiran kota tetap menjadi kotamadya yang terpisah atau diperintah sebagai bagian dari wilayah pemerintah lokal yang lebih besar seperti kabupaten. Umland. Umland adalah area yang terhubung secara sosial dan ekonomi dengan pemukiman perkotaan. Secara harfiah berarti ‘di sekitar area’. Itu juga disebut ‘lingkup pengaruh’. Istilah ini umumnya istilah ini diterapkan untuk kota-kota pedalaman yang berhubungan ke segala arah. Istilah ini digunakan dalam perspektif geografis untuk pertama kalinya oleh Ander Allix, ahli geografi Prancis pada tahun 1914 untuk mengungkapkan konsepnya tentang domain ekonomi yang berarti daerah segera menjadi kota pedalaman. Exurbia. Menurut Collins (Dictionary) wilayah di luar pinggiran kota, terdiri dari wilayah pemukiman (exurbs) yang ditempati terutama oleh komuter kaya (exurbanites).
ibid.
ibid.
Cerita yang lebih lengkap tentang kuni bisa dibaca buku Tsuyoshi Sekihara and Richard McCarthy. 2022. Kuni: A Japanese Vision and Practice for Urban-Rural Reconnection. California: North Atlantic Books.
Engkrak adalah alat dari bambu yang biasa digunakan masyarakat desa sebagai penampung dan pengumpul debu atau sampah. Dalam Gerakan Spedagi ini engkrak telah berubah fungsi dan derajatnya: menjadi topi yang bertengger di kepala dan melindungi kepala.
Paragraf ini saya kutip dari buku Frans Hüsken (1988) berjudul Masyarakat Desa dalam Perubahan Zaman: Sejarah Diferensiasi Sosial di Jawa (1830-1980). Kutipan ini merupakan bagian dari artikel pendek yang ditulis Dwi R. Muhtaman dengan judul: Sepenggal Catatan dari Kandangan: Kontes Simbol-simbol Apresiasi dan Perlawanan Bandit Kreatif.