Sustainability 17A #37
Kisah K’iid K’iyaas: Keramat, Kegilaan dan Ketamakan
Dwi Rahmad Muhtaman,
Ketua Yayasan Lembaga Alam Tropika Indonesia/LATIN,
Co-Founder/President Director Remark Asia
“All Trees of noblest kind for sight, smell, taste;
And all amid them stood the Tree of Life,
High eminent, blooming Ambrosial Fruit
Of vegetable Gold; and next to Life
Our Death the Tree of Knowledge grew fast by,
Knowledge of good bought dear by knowing ill.
—John Milton, PARADISE LOST” dalam John Vaillant. “The Golden Spruce.” 2006.
Suatu masa di planet yang bernama Pandora. Jauh dari tata surya bumi, 150 tahun ke masa depan.
Sebuah perusahaan pertambangan dari Bumi membangun pangkalan tempat mereka mengekstraksi mineral yang disebut unobtanium. Mineral ini setelah ditambang akan diangkut ke Bumi dan digunakan untuk memproduksi energi. Sebuah pertambangan yang bakal menguntungkan. Namun bulan Pandora bukanlah planet tanpa penghuni. Di Pandora, telah hidup Na’vi, makhluk seperti manusia. Masyarakat Na’vi memiliki sosok yang menyerupai banyak masyarakat adat hari ini di Bumi. Tubuhnya tinggi, ramping tapi berotot, lebih atletis daripada manusia atlit atau aktor sekalipun. Mereka mempunyai bahasa sendiri dan cara hidup yang unik. Kendaraan udara utama mereka adalah Leonopteryx, dan Banshee satwa terbang yang memerlukan cara khusus untuk bisa menundukkannya dan menjadikannya sebagai kendaraan. Mereka hidup dalam hubungan yang sangat dekat dengan alam planet yang liar, cantik dan berlimpah sumberdaya. Kekayaan deposit unobtanium mereka terletak di bawah situs rumah salah satu klan Na’vi.
Perusahaan itu akan mengeksploitasi unobtanium dengan cara apapun. Baik melalui penggunaan negosiasi atau kekuatan senjata. Perusahaan pertambangan bermaksud menyingkirkan klan dan menghancurkan tanah tempat masyarakat Na’vi bergantung. Dan menambang semua mineral unobtanium yang ada. Perusahaan menyewa sekelompok ilmuwan untuk melakukan pengamatan partisipatif terhadap Na’vi. Mencari tahu apa yang harus dilakukan dengan mereka. Niat sebenarnya tidak pernah diungkapkan kepada Na’vi. Pada saat yang sama, perusahaan mengerahkan kekuatan militer besar yang dipimpin oleh seorang Kolonel yang ingin sekali ‘memecahkan masalah’ dengan menggunakan kekuatan militernya.
Seorang veteran laut, Jake Sully, tiba di Pandora untuk bergabung dengan kelompok ilmuwan yang akan melakukan penelitian tentang Na’vi. Pada awalnya, Jake sama sekali tidak diterima oleh Na’vi. Tetapi pendekatan yang penuh kesabaran membuat hubungan dengan mereka makin membaik. Hubungan makin menguat lebih-lebih lagi karena Jake jatuh cinta pada Putri Na’vi, Neytiri. Pendekatan sosial yang dilakukan para ilmuwan sangat lambat. Ini membuat Sang Kolonel tidak sabar. Kolonel memutuskan untuk menggempur dengan kekuatan senjata penuh. Ketika Kolonel yang ambisius dan bernafsu menggunakan kekuatan bersenjatanya memulai serangan kepada Na’vi, Jake justru memimpin perlawanan. Pertempuran ini bagi Kolonel tentu merupakan hal yang mudah. Pasukan yang terlatih dan peralatan militer berteknologi tinggi pasti dengan mudah mampu menaklukkan perlawanan Na’vi yang tampaknya lemah dan ‘primitif’ dengan hanya mengandalkan busur dan anak panah. Tetapi yang sebaliknya yang terjadi. Na’vi memenangkan pertempuran ini meski dengan harga yang amat mahal.
Itulah gambaran ringkas film Avatar yang dirilis pada tahun 2009 oleh sineas Kanada James Cameron. Kisahnya terjadi di planet bulan bernama Pandora. Film dimulai ketika veteran laut, Jake Sully, tiba di Pandora untuk bergabung dengan kelompok penelitian.
Menurut Tor A. Benjaminsen dan Hanne Svarstad dalam bukunya Political Ecology: A Critical Engagement with Global Environmental Issues (2021) di Avatar, Cameron telah menggambar inspirasinya dari genre film seperti fiksi ilmiah dan film perang. Film ini mengingatkan kita pada perkelahian antara koboi dan orang Indian Amerika.
Sebagian kisah Avatar tersebut saya kutip dari buku Benjaminsen dan Svarstad itu—sebuah buku yang memaparkan bidang studi dan pendekatan penelitian yang ditujukan, tentu saja, untuk studi nonfiksi tentang kehidupan manusia di lingkungan mereka di planet bumi nyata. Dan, berbeda dengan Avatar, sebagaimana kita ketahui hingga hari ini, tidak ada planet B. Bumi adalah satu-satu planet yang kita tahu tempat yang paling sesuai untuk kehidupan kita hingga hari ini. Meski demikian Avatar tetap bisa menjadi refleksi apa yang terjadi hari ini di Bumi dan imajinasi situasi pada beberapa masa yang akan datang, 100, 200, atau 500 tahun lagi.
Film fiksi tentang perjuangan di Pandora bisa menjadi ‘kasus’ penting ekologi politik. Dan Avatar juga sebagiannya mengandung nonfiksi–sesuatu yang jamak terjadi di berbagai belahan Bumi atas kasus kolonialisasi sumberdaya masyarakat adat.
Ekologi Politik adalah pendekatan yang didominasi oleh ilmu-ilmu sosial. Tetapi bertujuan untuk membangun jembatan ke ilmu alam. Fokus ekologi dari ekologi politik belum diambl langsung dari disiplin ilmu alam ekologi, tetapi lebih secara tidak langsung dibangun pada (sebagian besar) pendekatan ilmu sosial ekologi manusia dan budaya di mana kelompok sosial dipelajari sebagai bagian dari ekosistem (Benjaminsen dan Svarstad, 2021, h. 22). Beberapa ekologi politik bertujuan untuk menggabungkan studi sains ilmu-ilmu dengan pengetahuan diperoleh melalui metode kualitatif untuk mengidentifikasi apa yang termaktub dalam pengetahuan adat atau lokal tentang proses lingkungan yang sama. Kombinasi pengetahuan seperti itu telah disebut hybrid science (h.23).
Dalam film Avatar, kelompok penelitian Jake Sully menggunakan kombinasi sosial dan ilmu ilmu alam. Di satu sisi, mereka melakukan studi etnografis tentang perspektif dan cara hidup Na’vi. Di sisi lain, mereka meneliti beragam tumbuhan dan hewan Pandora. Dalam studi semacam ini, para ilmuwan mengambil titik awal pengetahuan Na’vi tentang alam. Mereka bahkan mengambil pengamatan partisipan ke tingkat yang baru dengan masuk ke tubuh Na’vi (avatar). Ditunjukkan pula dalam film itu ada pertemuan Na’vi yang mendiskusikan apakah Na’vi harus memenuhi penghancuran hutan oleh perusahaan pertambangan dengan perlawanan atas serangan mereka. Pemimpin penelitian itu Grace Augustine (Sigourney Weaver) berbicara menentang perlawanan seperti itu, dengan alasan itu hanya akan membuat situasi mereka lebih buruk (h.23).
Ekologi politik adalah tentang bagaimana lingkungan alam dikelola oleh masyarakat. Ia berurusan dengan lanskap yang sedikit dipengaruhi manusia, serta lanskap budaya di mana dampak manusia lebih jelas. Sebagai konsekuensi dari tatakelola lingkungan, orang dapat makan, membangun rumah, menghasilkan komoditas, dan seterusnya. Pada saat yang sama, banyak dari kita menghargai keberadaan berbagai macam hewan dan tumbuhan (keanekaragaman hayati).
Manusia bergantung pada lingkungan mereka untuk bertahan hidup. Apa yang dilakukan untuk alam hari ini mungkin memiliki konsekuensi serius bagi sumber daya yang akan disediakan untuk orang-orang di masa depan. Namun, lingkungan saat ini tidak dikelola sedemikian rupa
sehingga orang-orang dapat memiliki kehidupan yang aman secara material, karena sekitar satu miliar orang hidup dalam kemiskinan ekstrem.
Kita dapat membagi tatakelola lingkungan menjadi tiga aspek: penggunaan, konservasi dan distribusi. Penggunaan alam oleh manusia merupakan prasyarat untuk kebutuhan dan keinginan yang memuaskan. Konservasi menyiratkan langkah-langkah yang diterapkan dalam memelihara kondisi alam tertentu untuk masa depan. Distribusi menyiratkan bahwa individu dan kelompok berbeda dipengaruhi secara berbeda dalam hal keuntungan ekonomi dan kerugian terkait dengan penggunaan alam. Demikian juga, contoh konservasi tertentu memiliki
berbagai konsekuensi distribusi untuk orang yang berbeda (h.24).
Seperti ditulis Benjaminsen dan Svarstad, meskipun fiksi, Avatar merangkul tema yang sering disoroti ekologi politik. Ia mengisahkan tentang konflik di mana komunitas lokal dan kadang-kadang masyarakat adat didekati oleh aktor-aktor eksternal yang berusaha menguasai lahan dan sumber daya alam mereka. Dalam pers rilis ketika film Avatar pertama diluncurkan, Survival International (SI), sebuah organisasi untuk masyarakat adat menyatakan bahwa ‘Avatar itu nyata’. Direktur SI saat itu, Stephen Corry, menyampaikan: “Seperti Na’vi dalam Avatar, masyarakat adat terakhir di dunia – dari Amazon ke Siberia – juga berisiko kepunahan, karena tanah mereka dikuasai dengan kekuasaan yang kuat untuk alasan memburu laba seperti kolonisasi, penebangan dan penambangan. Masyarakat Dayak Punan di Sarawak, Malaysia, membuat komentar: ‘Orang Na’vi di Avatar menangis karena hutan mereka hancur. Itu sama dengan Punan. Perusahaan logging menebang pohon besar kami dan mencemari sungai kami, dan hewan-hewan buruan kami sekarat karena kehilangan tempat untuk hidup.
Orang San, atau Bushmen–sebutan yang biasa mereka gunakan–di Botswana, adalah masyarakat pemburu-pengumpul yang tinggal di daerah kering di Afrika Selatan. Jumanda Gakelebone, juru bicara organisasi orang pertama Kalahari, mengatakan: “Kami, Bushmen adalah penghuni pertama di Afrika Selatan. Hak kami atas tanah ditolak dan kami menuntut dunia untuk membantu kami. “Avatar” membuat kami bahagia. Ini menunjukkan pada dunia tentang seperti apa itu menjadi Bushman, dan apa makna tanah bagi kami. “Land and Bushmen are the same.” Itulah suara-suara dari sebagian kecil masyarakat adat yang disampaikan melalui Survival International (2010) yang dikutip dalam Benjaminsen dan Svarstad.
Mikkel Berg-Nordlie adalah seorang peneliti dan orang suku Sámi Norwegia yang bekerja tentang masyarakat adat dan etnis minoritas. Dia menekankan bahwa Pandora dan Sápmi Norwegia adalah dua tempat yang sama sekali berbeda. Namun, dia percaya bahwa orang Sámi dapat mengenali diri mereka sendiri di Na’vi: ‘Kami juga telah mengalami diskriminasi dan intervensi paksa di daerah kami yang telah merugikan kami.’
“Sejak film Avatar pertama diluncurkan pada 2009 telah memicu perdebatan yang luas di antara akademisi,” kata Benjaminsen dan Svarstad. Beberapa kritik menunjukkan bahwa pahlawan film ini sangat bias dengan menonjolkan heroisme orang-orang kulit putih, seolah-olah mereka selalu menjadi pahlawan. Blogger Annalee Newitz (2009) yang dikutip Benjaminsen dan Svarstad berpendapat bahwa Avatar termasuk dalam kategori film berdasarkan ‘White Guilt Fantasy’: Ini bukan hanya keinginan untuk menghapus kejahatan yang telah dilakukan orang kulit putih terhadap orang-orang warna; Bukan hanya keinginan untuk bergabung dengan sisi keadilan moral dalam pertempuran. Ini hanya sebuah keinginan untuk memimpin orang-orang warna dari dalam daripada dari (menindas, orang kulit putih) di luar. “It’s not just a wish to be absolved of the crimes whites have committed against people of color; it’s not just a wish to join the side of moral justice in battle. It’s a wish to lead people of color from the inside rather than from the (oppressive, white) outside.”
Dalam buku Benjaminsen dan Svarstad yang merupakan peneliti dua universitas yang berbeda di Norwegia ini juga mengutip berbagai pandangan dari akademisi tentang Avatar. Misalnya tentang penggambaran Na’vi telah dikritik karena didasarkan pada stereotip bahwa orang kulit putih di Barat memiliki masyarakat adat. Van der Horst (2010) berpendapat bahwa Na’vi merupakan gambar cermin terbalik orang Amerika: ‘Orang Amerika/Barat lebih rasional, teknologi hebat, kalkulatif dan materialis, sementara masyarakat Na’vi digambarkan lebih tidak rasional, spontan, mistis dan mundur.
Diskusi ini juga berkaitan dengan perdebatan terbaru tentang ‘dekolonisasi’ secara umum dan dekolonisasi konservasi lingkungan pada khususnya (Adams dan Mulligan 2003; Martin et al. 2016), yaitu tentang pandangan dunia, nilai, dan pengetahuan siapa yang diperhitungkan dalam presentasi akademik, artistik dan jurnalistik serta dalam politik praktis terkait dengan konservasi lingkungan. Atau dengan kata lain, diskusi tentang dekolonisasi adalah misalnya tentang kisah-kisah siapa yang diceritakan. Dalam kasus Avatar, ini adalah pertanyaan yang dikontestasikan.
Nasib masyarakat seperti Na’vi dalam dunia nyata di Bumi memang tidak sulit djumpai.
Pada awal April 2021 Hutan Larangan (hutan yang dikeramatkan) masyarakat adat Baduy dan Kasepuhan Cibarani berantakan. Ada pihak yang merambah areal hutan itu. Membongkar lahan untuk menambang emas. Hutan larangan hancur. Masyarakat adat bersedih atas kejadian itu. Aki Pulung, tetua adat masyarakat adat Baduy Dalam, Kabupaten Lebak, Banten, menangis setelah mengetahui hutan keramat mereka dirusak oleh penambang emas liar.
Bagi masyarakat adat Baduy dan Kasepuhan Cibarani hutan larangan sangat dijaga selain sebagai hutan titipan leluhur. Hutan Larangan merupakan sumber mata air yang dijaga secara turun temurun oleh masyarakat adat Baduy Dalam. Kawasan ini juga dilindungi oleh undang-undang. Kawasan hutan ini merupakan hulu sungai-sungai penting di Kabupaten Lebak, Banten, yakni Sungai Cibarani, Ciliman, Ciujung, dan Sungai Cibaso. Pelestarian ekosistemnya penting untuk menjamin fungsinya bagi generasi saat ini dan mendatang.
Bagi Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) pengrusakan hutan kawasan tersebut sama dengan upaya penindasan dan peniadaan kehidupan masyarakat adat Baduy dan Kasepuhan Cibarani. AMAN mengutuk keras aktivitas pengrusakan Hutan Larangan Masyarakat Adat Baduy dan Kasepuhan Cibarani. Luas lahan yang dirusak itu diperkirakan mencapai dua hektar.
Kepentingan ekonomi yang tamak telah merusak kepentingan publik yang lainnya. Mengabaikan nilai-nilai non-ekonomi yang melekat pada sumberdaya dan benda-benda yang bagi kelompok komunitas tertentu mempunyai fungsi penting yang tidak bisa diukur dengan uang.
Batu Kuya: Identitas Masyarakat yang Dirampok
Pada Maret 2009 sebuah batu unik menyerupai kura-kura dengan berat diperkirakan 60 ton dibongkar dari situs asalnya di Kampung Cisusuh, Desa Cileuksa, Kecamatan Sukajaya, Kabupaten Bogor. Situs ini berupa batu andesit dengan panjang 6,7 meter, lebar 3,5 meter, tinggi 2,9 meter, panjang leher 2,4 meter, dan berat 58,7 ton. Batu purbakala peninggalan Kerajaan Tarumanegara ”hilang” dari lokasi situsnya di hutan lindung Haur Bentes. Pada bagian ujungnya terdapat benjolan seperti kepala kura-kura. Situs peninggalan abad IV atau ke V. Situs ini kemungkinan besar peninggalan Kerajaan Tarumanegara, yang merupakan kerajaan tertua di Nusantara. Kerajaan Hindu yang didirikan Rajadiraja guru Jayasingawarman tahun 358 Masehi ini meninggalkan tujuh prasasti yang tersebar di Bogor dan Jakarta.
Masyarakat setempat mengenal batu itu sebagai Batu Kuya karena batu raksasa tersebut bentuknya mirip kura-kura atau dalam bahasa Sunda disebut ”kuya.” Warga Kampung Cisusuh bahkan menjadikan Batu Kuya sebagai identitas daerahnya. Hilangnya Batu Kuya menambah daftar kekayaan situs budaya di Indonesia yang hilang dan menunjukkan minimnya penghargaan pada budaya, sejarah dan identitas masyarakat. Batu itu diangkut dengan trailer. Untuk menuju lokasi situs maka harus membuka akses jalan selebar 4 meter . menebang melewati kawasan hutan lindung. Itu artinya harus menebang puluhan pepohonan di hutan lindung untuk akses hingga ke jalan raya. Dan menerbangkannya ke Korea Selatan. Perjalanan yang luar biasa dan difasilitasi penuh oleh semua pihak yang berwenang dari lokasi di Sungai Cimanganteung hingga keluar dari Bumi Pertiwi Indonesia. Batu Kuya dijual.
Penjualan situs Batu Kuya menuai protes dari kalangan budayawan dan Pemprov Jabar. Pemkab Bogor diminta mengembalikan situs yang kini telah diangkut ke Korea Selatan. Batu Kuya dari Bogor Jawa Barat Indonesia, ditemukan berada di suatu taman negara di Korea Selatan. Situs purbakala Batu Kuya diangkut menggunakan kontainer dari tempatnya di kawasan Hutan Lindung Haur Bentes, Kabupaten Bogor, dan melintas di Desa Pasir Madang, pada 23 September 2008. Sumber lain menyebutkan harapan warga Kampung Cisusuh untuk melihat kembali Batu Kuya yang sempat menjadi ikon kampung mereka, pupus sudah. Batu itu telah diangkut ke Korsel dengan kapal Vibeke 905, Selasa, 10 Maret 2008. Kemungkinan dibongkar dan diangkut dari situsnya pada Maret 2008 dan baru berhasil diangkut menuju Korea Selatan pada September 2008.
Batu itu sengaja diijinkan dijual oleh Pemkab Bogor dengan harga Rp 4 miliar kepada pengusaha Korea Selatan. Budayawan Jabar yang juga pimpinan Bandung Spirit, Acil Bimbo, menyatakan, Pemkab Bogor sangat berani menjual situs yang memiliki nilai sejarah tersebut. Dia menyatakan, penjualan situs tersebut sama sekali tidak mengindahkan nilai arkeologi.
Batu Kuya yang sudah menjadi bagian identitas masyarakat setempat rupanya tidak dianggap menjadi milik masyarakat. Sebab ternyata batu itu ‘ditemukan’ oleh penemunya–seorang kolektor dan pedagang batu-batu unik yang dikenal sebagai suiseki. Sebagai kompensasi ‘penemuan’ itu masyarakat diberi pembangunan jalan aspal, jembatan, keramik kantor desa, tambahan kas dan karpet untuk tiga masjid, santunan anak yatim, pembuatan lapangan sepak bola, sarana air bersih, dan pembangunan SDN 04 Cileuksa.
Sejumlah warga Desa Cileuksa yang ditemui Republika beberapa waktu lalu berharap Batu Kuya jangan sampai dikirim ke luar negeri. ”Walau cuma batu, tapi itu kan kekayaan kita. Batu itu sudah menjadi ciri khas desa ini,” kata Ibu Inah, warga Cileuksa.
Ade Rahmawati, pengusaha yang mengambil batu itu, mengakui Batu Kuya sudah terjual. Batu itu disebut-sebut dijual seharga Rp 3 miliar sampai Rp 4 miliar. Tapi, Ade menolak memberi tahu harga pastinya. Ade selama ini menggeluti bisnis batu alam unik untuk memenuhi permintaan penggemar suiseki seni batu alam di mancanegara.
Pengabaian dan perusakan situs sejarah, budaya dan spiritual masyarakat untuk kepentingan ekonomi semata juga terjadi di Kanada, pada masyarakat adat Haida.
Menebang Keramat Suku Haida
“Hal-hal kecil sulit ditemukan di Alaska,” tulis John Vaillant pada buku The Golden Spruce: A True Story of Myth, Madness and Greed (2005). Seorang ahli biologi laut bernama Scott Walker tersandung melintasi kayak yang hancur di pulau tak berpenghuni lima puluh kilometer di utara perbatasan Kanada. Dia menganggap dirinya beruntung. Batas pantai di mana Alaska dan British Columbia bertemu dan tumpang tindih adalah jahitan empat arah bergerigi yang menyatu, bukan hanya sepasang negara yang luas dan sangat berbeda, tetapi dua hutan belantara yang sama besar dan bedanya. Di sebelah barat adalah hamparan menganga Samudra Pasifik Utara, dan ke timur adalah barisan gunung yang tak terhingga membentuk jantung dari apa yang disebut orang di Utara sebagai Cascadia. Garis pantai di mana dunia-dunia ini bertemu dan berbaur satu sama lain jarang dihuni dan sering dibalut kabut, pegunungan dengan awan menggantung hingga rendah. Di permukaan laut, jaringan fjord yang panjang dan berbelit-belit, saluran sempit, dan pulau-pulau terikat dan terbentuk dari batu.
Vaillant dalam buku ini bukan saja menceritakan tentang Suku Haida, Hadwin dan the Golden Spruce, tetapi juga menyingkap tentang ekosistem hutan West Coast, sejarah logging dan industri kayu pada abad 18 dan sekitarnya, kisah perlawanan dan runtuhnya situs keramat. Pada bagian berikut ini, sebagian besar yang ditulis berasal dari sumber buku Vaillant tersebut.
Menurut Vaillant wilayah yang menjadi fokus dari the Golden Spruce adalah dunia yang terpisah dari seluruh Amerika Utara oleh Pegunungan Pantai, yang puncaknya compang-camping penuh salju hampir sepanjang tahun. Di beberapa tempat menghadap ke barat ke dalaman laut terjun curam sehingga jika ada perahu pada lima belas meter dari pantai dan masih itu berarti berada pada seratus lima puluh meter kedalaman di bawahnya. Wilayah ini mempunyai pasang surut tujuh meter dan prosesi badai sub-arktik yang spiral turun dari Teluk Alaska mampu memukul bibir benua yang panjang pepohonan. Bahkan pada hari-hari tenang, garis pantai dapat diselimuti selimut kabut karena tiga ribu kilometer lautan Pasifik yang tidak terputus menguap sepanjang pantai yang ganas.
Kombinasi angin kencang, kabut yang sering, dan lonjakan pasang surut yang dapat berlari lebih dari 28 km/jam membuat pantai ini sangat mematikan, dan ketika perahu atau pesawat atau orang-orang hilang di sini, mereka biasanya pergi untuk selamanya. Jika mereka ditemukan, itu sering kali karena kecelakaan lama kemudian, dan biasanya di lokasi terpencil seperti Edge Point tempat Scott Walker terantuk perahu lima meter pada sore Juni yang tenang pada tahun 1997 saat melakukan survei perikanan salmon lokal. Edge Point bukanlah pantai yang banyak bidang batu alpine yang, pada saat ini dalam waktu geologis, kebetulan berada di permukaan laut. Edge Point terletak di ujung selatan Mary Island, punuk hutan dan batu yang rendah yang membentuk satu sisi saluran berbatu, pasang surut yang disebut Danger Passage (Jalur Bahaya); Tanah terdekat adalah Danger Island.
Seperti halnya the Northwest Coast, Edge Point berserakan dengan kayu apung dan pohon-pohon utuh yang mungkin berdiameter satu setengah meter dan bertumpuk hingga hingga kedalaman dua puluh meter. Kayu-kayu yang mengapung ini, banyak yang lepas dari log boom dan transportasi tongkang, setinggi angin kutub dan ombak Pasifik yang mungkin bisa membuangnya. Bahkan jika ada barang-barang buatan manusia ke pantai ini, ia tidak akan bertahan lama; Siklus pasang surut akan membuatnya berkeping-keping digulung antara tumpukan kayu dan batu-batu besar di bawahnya. Dalam kasus perahu fiberglass – seperti kayak – kehancuran biasanya begitu sempurna yang sulit dikenali kembali. Tidak akan ditemukan lagi. Ketika kapal yacht fiberglass ditemukan di lokasi yang mirip dengan ujung tepi tiga tahun setelah menghilang tanpa mengeluarkan sinyal darurat, bagian terbesar yang masih hidup adalah setengah meter panjang dan itu hanya karena ditiup ke semak-semak; Sisa dari sloop 18 meter telah menjadi fragmen ukuran kartu remi. Inilah sebabnya mengapa Scott Walker menganggap dirinya beruntung: Dia belum terlambat; bagian dari kayak mungkin masih bisa diselamatkan.
Tapi ketika Walker bangkit dari pekerjaannya, dia melihat beberapa hal yang mencurigakan. Bertebaran barang-barang pribadi: jas hujan, ransel, kapak – dan saat itulah terpikir olehnya sesuatu yang tidak lazim. Dia lalu menemukan barang lainnya – alat memasak, alat cukur, pelampung.
Meskipun melilit log, kantong tidur masih dalam kondisi hampir sempurna; Tidak ada air mata atau noda, tidak memudar karena garam dan matahari; Pelampung juga tampak baru dari rak. Bahkan alat makan tampak masih bagus; terjepit antara batu di tepi air, hanya ada karat kecil. Musim badai musim dingin, perusak paling efektif di pantai, baru saja berakhir, jadi kecelakaan ini pasti baru-baru ini, pikir Walker, mungkin hanya beberapa minggu. Dia memutuskan untuk meninggalkan benda-benda ini pada tempatnya. Mungkin diperlukan untuk bukti.
Walker tidak pernah menemukannya, tetapi ia mempelajari kisah di balik penemuan itu. Kayak dan pemiliknya, seorang surveyor kayu Kanada dan tukang kayu ahli bernama Grant Hadwin, telah hilang – tidak selama berminggu-minggu, tetapi selama berbulan-bulan. Pria ini, sepertinya, sedang dalam pelarian, dicari karena kejahatan yang aneh dan belum pernah terjadi sebelumnya.
Secara iklim, lokasi ini memang menjanjikan: sebuah ekosistem yang unik dan kaya keanekaragaman hayati. Suhu yang sedang dalam koridor yang panjang dan lembab antara Lereng Pasifik dan laut telah menciptakan kondisi yang pas bagi terarium yang luas. Ini adalah lingkungan yang sempurna untuk mendukung kehidupan dalam skala besar, termasuk makhluk terbesar di Bumi yang berdiri bebas. Semua spesies Pantai Barat yang dominan-Redwood, Sequoia (Sequoiadendron giganteum), Pine Sugar (Pinus lambertiana), Hemlock Barat, Douglas fir (Pseudotsuga menziesii), Noble fir (Abies procera), Black Cottonwood (Populus trichocarpa), Cedar Merah, dan Sitka Spruce – adalah jenis pohon raksasa dari jenis mereka. Itu disebabkan sebagian besar pohon raksasa hutan the Northwest ini mendukung lebih banyak jaringan hidup, daripada ekosistem lain, termasuk hutan khatulistiwa.
Perbedaan utama antara hutan hujan tropis dan hutan hujan empat musim adalah berkaitan dengan suhu dan lokasi. Hutan hujan tropis, hutan berada di sepanjang khatulistiwa di pusat-pusat panas rumah benua mereka, hutan hujan beriklim berkembang di margin yang dingin dan kabut, lebih dekat dengan kutub planet. Hutan-hutan ini lebih suka iklim yang stabil yang tidak terlalu panas atau terlalu dingin, dan pengaturan ideal mereka adalah garis pantai yang menghadap ke barat yang didukung oleh pegunungan untuk menjebak dan menyalurkan sejumlah besar salju dan hujan. Kondisi ini ditemukan di kedua belahan, tetapi hanya antara lintang 40 ° dan 60°. Runjung (pohon-pohon yang mengandung kerucut) dalam hutan hujan sedang akan tumbuh terus menerus selama suhu tetap di atas tiga derajat Celcius, salah satu alasan mereka dapat mencapai ukuran yang luar biasa. Spesies pohon dalam bandwidth iklim ini sangat bervariasi, tergantung di belahan dunia mana mereka tumbuh, tetapi hubungan mereka dengan laut, bahkan lebih dari pohon itu sendiri, yang membedakan hutan-hutan ini dari daratan dan hutan ekuatorial.
Seperti orang-orang Tolkien, pohon-pohon Baratlaut telah tumbuh tegak ke atas dan ke bawah sepanjang pantai selama ribuan tahun, menyebar ke selatan pada setiap zaman es dan kembali ke wilayah yang hilang ketika gletser surut. Rebound saat ini masih berlangsung, dengan hasil bahwa Spruce Sitka maju ke utara ke Alaska pada tingkat sekitar satu kilometer setiap abad. Cedar merah barat, pohon dari mana suku-suku pantai Baratlaut berasal dari hampir semua bahan bangunan mereka, telah ada dalam kisaran saat ini hanya untuk empat atau lima ribu tahun. Dengan demikian, sementara spesies individu mungkin termasuk purba dan pohon-pohon itu mungkin memenuhi syarat sebagai hutan “old growth,” yang mengandung mereka hanya seperti umur anak-anak dengan standar geologis, dan bahkan oleh kita sendiri. Pada saat pertama pohon-pohon ini dewasa, manusia telah tinggal di Amerika Utara selama setidaknya lima ribu tahun.
Hingga saat ini, hutan hujan pesisir Amerika Utara tidak dipahami dengan baik. Bahkan dalam industri penebangan disebut sebagai “biological desert,” gurun biologis. Keanekaragaman hayatinya dianggap tidak ada. Sedangkan proses katalog dan memahami berbagai makhluk yang ada di hutan bersama pohon-pohon ini masih dalam masa pertumbuhan, diketahui bahwa lantai hutan, serta kanopi di atas, hampir secara harfiah kaya dengan kehidupan. Diperkirakan bahwa satu meter persegi tanah hutan beriklim dapat mengandung sebanyak dua juta makhluk yang mewakili ribuan spesies. Andy Moldenke, seorang entomologi di Oregon State University, menghitung apa yang mungkin ditemukan di dalam area berukuran rata-rata sepatu; Dia berpendapat bahwa satu langkah kaki di salah satu hutan pantai Oregon mengandung enam belas ribu invertebrata.
Sebagian besar kegiatan ini terjadi tak terlihat, tetapi pada tingkat tertentu dapat dirasakan. Suasana di perbatasan hutan hujan pesisir tua di amniotik; tenang dan tertutup, suara bergerak dengan berbeda, dan udara hampir sama sekali tidak bergerak. Karena kedekatan hutan dengan pantai, laut dan banyak penghuninya hidup di dalam hutan itu sendiri. Berkembang dengan ketidakstabilan cuaca laut lintang tinggi dan jasa nutrisi, seluruh ekosistem berkembang dengan baik dan unik. Bergantung pada pasang surut dan curah hujan, salmon, dan ikan trout, kembali dari perjalanan lintas-samudra ke sungai-sungai rumah mereka, dapat ditemukan terdampar di cabang-cabang pohon sementara Murrelet kuno, burung laut yang sulit dipahami yang “terbang” di bawah akar mereka. Sepuluh lantai di atas lantai hutan, kerabat dekat mereka, burung marmer Murrelet, meluncurkan misi pemberian makanan subaquatic mereka sendiri dari platform bersarang yang tertutup lumut yang mungkin berumur berabad-abad. Mencapai kecepatan 160 kilometer per jam.
Mereka meluncur ke dan dari hutan ke laut dan kembali seperti lebah yang lincah. Bergerak pada 1/100 kecepatan itu, beruang yang diberi makan samudera – beberapa di antaranya putih seperti kepala elang botak – berenang dari pulau ke pulau di mana mereka berlayar garis-garis pasang tinggi, jejak kaki mereka tumpang tindih dengan orang-orang dari Rusa, Otter, Marten, dan serigala. Sementara itu, anjing laut akan mengejar ikan air asin ke dalam hutan, mengangkut untuk mengistirahatkan diri di samping pohon yang mungkin merupakan beruang musim dingin sebelumnya. Di sini, pengamat yang sabar akan menemukan bahwa pohon-pohon diumpankan oleh salmon, elang yang berenang, dan paus pembunuh akan mengangkat diri mereka ke dalam air dangkal dan menatap mata Anda.
Penduduk asli Pantai Baratlaut menghabiskan sebagian besar hidup mereka dalam seratus meter dari ambang yang sangat kaya dari antara dua dunia ini: lautan dan hutan. Tinggal di lingkungan liminal, hampir tidak mengherankan bahwa karya seni, tarian, dan cerita mereka sangat fokus pada konvergensi dan transformasi. Tidak ada tempat lain di pantai yang mampu saling ketergantungan mendalam antara hutan, laut, dan penduduk bersama mereka secara lebih dramatis daripada di the Queen Charlotte Islands.
Pulau ini dinamai dari sebuah kapal pedagang Inggris abad kedelapan belas, pulau-pulau itu adalah wilayah bersejarah orang Haida, yang tinggal di sana hingga hari ini dan menyebut rumah mereka Haida Gwaii. Di peta, kepulauan berbentuk sayap, yang terdiri dari lebih seratus lima puluh pulau dan tanjung-tanjung. Tanah terdekat adalah Alaska’s Prince of Wales Island, perjalanan laut enam puluh lima kilometer ke utara. British Columbia, di mana the Queen Charlottes adalah bagian yang paling terjauh, terletak delapan puluh kilometer ke timur. Ke selatan dan barat adalah lautan terbuka, tetapi itu bukan bagian laut landai ke dalam kedalaman Pasifik; Ini adalah bagian laut terjal, nyaris vertikal. Kepulauan dengan panjang 280 kilometer bertengger di tepi luar lempeng benua, membentuk tebing berbentuk kapal selam dengan kedalaman 2.800 meter.
Di lautan kepulauan inilah salah satu gempa bumi paling kejam yang pernah dicatat di Pantai Barat (8,1 pada skala Richter).
Bagi banyak warga Kolombia, Inggris dan orang lain yang akrab dengan bagian dunia ini, Charlottes-atau Haida Gwaii – mewakili semacam “rumah jiwa,” yang liar, eden asli; Bahkan jika mereka belum ada di sana, itu adalah tempat yang keberadaannya mereka temukan sekaligus menstimulasi dan meyakinkan. Pulau-pulau ini memberikan tautan pada bagaimana keadaan sebelum kedatangan orang Eropa serta sekilas tentang kemungkinan masa depan.
Pada awal abad kedua puluh, satu penebangan, dilengkapi dengan lisensi logging pemerintah, kapak, gergaji, dan alat-alat manual lainnya, bisa berkeliaran semaunya dan melakukan perdagangan dengan menjatuhkan pohon yang diposisikan dengan baik secara langsung ke laut. Gordon Gibson, yang legendaris di antara logger Pantai Barat, mulai sebagai logger tangan sebelum menjadi operator besar dan politisi di pantai British Columbia. Pada tahun 1933, saat mencari area yang sekarang terkenal sebagai Vancouver untuk pohon menjanjikan, ia menemukan pohon tiga ratus meter ke lereng gunung yang sangat mengesankan. Itu adalah Douglas Fir-hingga hari ini, spesies komersial yang unggul di pantai barat laut – spesimen buku teks: dengan diameter empat meter dan tujuh puluh meter, batang silindernya yang sempurna naik untuk hampir setengah dari cabangnya. Gibson dan anak buahnya mulai dengan gergaji crosscut, teori adalah bahwa jika mereka menebang pohon menuruni bukit, itu akan membuat “perjalanan tiga ratus meter ke air di bawah momentumnya yang luar biasa.”
Gergaji-gergaji Gibson – pita lebar dari baja bergigi dengan pegangan gaya sapu di setiap ujung – panjangnya dua dan tiga meter, dan kapak ganda lebih dari tiga puluh sentimeter dari tepi pisau ke tepi bilah. Dengan dua pria yang bekerja dengan mantap, bertengger di springboard yang berlawanan, pohon doug fir Gibson, pohon berusia delapan ratus tahun ini akan memerlukan waktu sepanjang hari untuk menebangnya.
Saat senja, ketika Heatwood akhirnya memberi jalan dengan erangan gigitan sternum, para lelaki menjatuhkan alat mereka, melompat dari tempat bertengger mereka, dan melarikan diri ke atas ke dalam dataran yang tebal yang menutupi lantai hutan yang miring tajam. Dari sana, mereka menyaksikan buah dari kerja keras mereka — beratnya sebanyak jet jumbo — datang menerjang ke Bumi. At dusk, when the heartwood finally gave way with a sternum-shuddering groan, the men dropped their tools, jumped from their perches, and fled uphill into the thick salal that covered the steeply angled forest floor. From there, they watched as the fruit of their labours—weighing about as much as a jumbo jet—came crashing down to earth.
Menulis Gibson: “It seemed to pause in the air for a moment like an eagle in slow motion before starting down the mountainside, cart-wheeling, end over end and disappearing into the water at a 45-degree angle. After what seemed to be a five-minute lapse, it suddenly emerged on the surface like a giant whale breaching from the depths. It was completely devoid of branches and most of its bark had been stripped away by the 1000-foot [300-metre] passage over rocks and windfalls.”
“Nampak berhenti di udara sejenak bak elang dalam gerakan lambat sebelum mulai menuruni lereng gunung, roda gerobak, ujung demi ujung dan menghilang ke dalam air pada 45 derajat. Setelah apa yang tampaknya cuma selang lima menit, tiba-tiba muncul di permukaan seperti paus raksasa yang timbul dari kedalaman. (Kayu) itu sama sekali tanpa cabang dan sebagian besar kulitnya telah dilucuti karena luncuran dari 1000 kaki [300 meter] di atas batu dan angin.”
Bisa dibayangkan, dengan penebangan pada ketinggian seperti itu, lalu kayu yang begitu besar digelontorkan hingga jatuh ke samudra. Gemuruh yang timbul akan luar biasa.
Di memoirnya, Bull of the Woods, Gibson, seperti yang dikutip Vaillant, mengabaikan untuk menggambarkan suara pohon karena ukurannya luar baisa itu kemudian jatuh menghujam ke bawah gunung; Pasti akan benar-benar gemuruh – seperti gema avalanche (runtuhnya dinding bukit salju), menggetarkan bumi. Pohon Old-growth West Coast adalah benda terberat yang secara rutin jatuh di muka dunia.
Di sini, tanahnya lebih dalam dan lebih kaya daripada di tepi gunung dan ini, dikombinasikan dengan iklim ringan the Queen Charlottes dan banjir hujan tahunan sebanyak lima meter, menciptakan kondisi yang ideal bukan hanya untuk Sitka Spruce (Picea sitchensis) tetapi untuk jenis-jenis pohon lainnya, western hemlock (Tsuga heterophylla dan western red cedar (Thuja plicata). Hemlock dan Spruce pada khususnya tumbuh sekitar kayu-kayu mati; Pohon-pohon kaya humus yang mati ini, membusuk memberikan nutrisi yang siap untuk pembenihan. Sebagai kayu untuk nutrisi dan dikonsumsi oleh hutan muda di sekitarnya (sebuah proses yang dapat memakan waktu ratusan tahun), pohon-pohon muda dapat berdiri dengan baik di tanah pada akar yang kokoh. Seiring waktu, berkembang pula aneka jenis tumbuhan lain, tetapi tidak jarang terdapat pohon cemara sitka berusia empat ratus tahun dengan terowongan di bawahnya cukup besar untuk merangkak.
Dari semua konifer the West Coast, Sitka Spruce tampaknya paling cocok untuk lingkungan maritim. Distribusi geografis yang panjang dan sempit merupakan bagian dari Hutan Hujan Pasifik, dan jenis ini menunjukkan kecocokan untuk tumbuh. Sitka Spruce memiliki toleransi tinggi untuk cipratan garam dari air laut dan mereka sering berfungsi sebagai garis pertahanan pertama antara laut dan hutan; Ukuran dan kekuatan mereka yang hebat memecah angin yang digerakkan badai yang dapat membuat limbah menjadi spesies yang lebih rendah. Sitka Spruce adalah spesies spruce terbesar dan paling lama di dunia; Ia dapat hidup lebih dari delapan ratus tahun dan tumbuh dengan ketinggian melebihi sembilan puluh meter, ketinggian yang lebih tinggi bahkan untuk kayu merah (redwood). Meskipun hasil kolosal akhir menakjubkan, awal mereka hampir tak terbayangkan remeh dan lemah: benih biji Sitka Spruce hanya berbobot 1/500 gram, namun mengandung semua informasi yang diperlukan untuk menghasilkan pohon yang dapat berbobot lebih dari tiga ratus ton-sekitar sebanyak tiga paus biru. Sementara spesies ini biasa ada di dataran hingga atas pantai, “Mega Spruce” ini tumbuh hanya dalam beberapa tempat, dan salah satunya adalah Yakoun Valley.
Berbentuk seperti tetesan air mata dan seukuran sebutir pasir, benih ini akan timbul identik dengan semua yang lain yang telah membumbui lantai hutan selama ribuan tahun. Sementara benih lainnya yang mendarat di atas karpet lumut yang tebal yang ada sebagian besar hutan, hanya satu dari seratus yang akan berkecambah. Mereka yang cukup beruntung mendarat di atas kayu lapuk yang tepat akan lebih baik, tetapi bahkan peluangnya adalah satu dari tiga karena mereka akan dibunuh oleh jamur dalam sebulan. Entah bagaimana benih anonim ini dengan pesan anehnya mengalahkan peluang buruk ini dan berhasil menumbuhkan akar. Benih mungil itu akan mudah tak diperhatikan lantai hutan yang ramai, dikelilingi oleh ribuan pohon lainnya – bukan hanya Sitka Spruce tetapi juga Hemlock, Cedar Merah, Kuning Cedar (red cedar, yellow cedar/Cupressus nootkatensis), dan sesekali yew (Taxus baccata). Pada tahap ini, benih-benih itu bisa dihambat oleh berbagai tumbuhan lain, bahkan penghuni lantai hutan seperti lumut (moss), liverwort, black lily, sword fern, and devil’s club, belum lagi setebal pekat salal yang bisa tumbuh hingga empat meter dan membutuhkan parang untuk menembus.
Untuk melihat bibit ini–itupun jika kita bisa melihatnya–dan percaya bahwa ia punya kemampuan tumbuh menjadi kolom pohon yang menjulang menembus langit baratlaut yang paling menarik. Di tahun pertama, pohon bayi akan tinggi sekitar lima sentimeter dan setengah lusin atau serupa jarum hijau pucat. Periode ini adalah babak liar yang paling menentukan: tak berdaya dan dalam ukuran yang rentan. Cabang yang jatuh, jejak manusia atau hewan – sejumlah kejadian acak – dapat mengakhiri hidupnya. Di lantai hutan itu dalam kegelapan basah, kelemahan benih yang indah ini adalah rahasia alam yang terawat baik. Setiap tahun berlalu, ia menggali akarnya lebih dalam ke tepi sungai, memperkuat cengkeramannya pada kehidupan dan di tanah.
Terlepas dari peluang hidupnya, kemampuan mengembangkan akar itu menjadi salah satu dari segelintir pohon muda yang akan bertahan untuk membuka jalan mereka ke sinar matahari, bersaing dengan raksasa berlebar tiga meter dan tinggi puluhan meter. Pada akhirnya, matahari yang akan mengekspos rahasia pohon ini untuk bisa menonjol terlihat, dan pada pertengahan 1700-an akan sangat jelas bahwa sesuatu yang luar biasa tumbuh di tepi Yakoun. “It was a creature that seemed more at home in a myth or a fairy tale: a spruce tree with golden needles.” Pohon-pohon itu menjadi makhluk yang tampak lebih merupakan mitos atau dongeng: pohon cemara dengan jarum emas. The Golden Spruce.
Kecuali jika ada pohon sangat besar, atau berbentuk luar biasa, itu tidak akan menonjol sebagai individu, dan kecuali diisolasi dari kumpulannya, jarang akan menampakkan dirinya dari kejauhan. Tetapi meskipun tertanam di hutan pohon-pohon besar yang sama, pohon yang kemudian dikenal sebagai the Golden Spruce adalah pengecualian pada kedua hal tersebut. Dari tanah tempat tumbuhnya, warnanya sudah mengejutkan orang; Dari udara, ia menonjol seperti suar dan terlihat dari jarak yang begitu jauh. Seperti banyak lanskap di sekitarnya, pohon itu dimasukkan ke dalam repertoar cerita Haida yang luas, tetapi sejauh yang diketahui siapa pun, itu adalah satu-satunya pohon, dalam jarak pepohonan tak terhingga, pernah diberi nama oleh orang-orang Haida. Mereka menyebutnya K’iid K’iyaas: Elder Spruce Tree. Tetua pohon spruce. Menurut legenda, pohon itu adalah manusia yang telah ditransformasikan.
Meskipun sudah diketahui oleh mereka yang tinggal di sekitar Lembah Yakoun, pohon cemara emas tidak ditemukan oleh para ilmuwan sampai ke abad kedua puluh. Pada saat itu sudah lebih dari dua ratus tahun dan semuanya tidak mungkin untuk dilewatkan. Ketika surveyor kayu Skotlandia dan baronet Sir Windham Anstruther menemukan pohon itu pada tahun 1924, ia tercengang. “Aku bahkan tidak membuat tanda kapak di atasnya,” katanya pada satu reporter sebelum dia meninggal, “Karena, kurasa, dengan keanehannya di hutan hijau.” Selama bertahun-tahun sesudahnya, tidak ada yang tahu apa yang membuat Sir Windham menjadikan wilayah itu menjadi semacam arboretum, tidak ditebang sama sekali, Unicorn Arboreal. Beberapa menyarankan itu mungkin merupakan spesies baru, asli dari kepulauan; Yang lain mengira pohon itu telah dipukul oleh petir, atau hanya dalam proses kematian. Ternyata, pohon itu hidup dan sehat; Secara fantastis sangat jarang. Saking begitu jarang, kemudian diberi nama ilmiahnya sendiri: Picea Sitchensis ‘Aurea.’ Picea Sitchensis adalah nama Latin untuk Sitka Spruce, dan Aurea adalah bahasa Latin untuk “emas” atau “berkilau seperti emas,” tetapi juga bisa berarti “cantik” atau “indah.” TIngginya mencapai sekitar enam belas lantai (gedung) dan lebih dari enam meter keliling. Pohon cemara itu unik di dunia botani.
Ini adalah Potlatch Memorial untuk Skilay yang telah membawa begitu banyak orang ke Old Masset, Masset tua. Skilay, juga disebut Ernie “Big Eagle” Collison, adalah salah satu anggota paling kuat, bukan hanya klannya tetapi dari seluruh Bangsa Haida. Dia bukan kepala suku, tetapi dia menduduki posisi yang sama-sama dikagumi dan, dalam kehidupan sehari-hari, bahkan lebih penting. Seorang nelayan berbakat, pengukir, dan penyanyi, dan seorang politisi dan aktivis yang berdedikasi, ia adalah orang yang dapat melampaui batas-batas; Ketika semua orang terlalu marah atau terlalu berkecil hati untuk berbicara, dia bisa membuat mereka tertawa lagi. Skilay juga dikenal sebagai Steersman; dia adalah orang yang memastikan kano – kapal khas Bangsa Haida – sedang menuju ke arah yang benar. Banyak kano rakitan Skilay menggambarkan perwujudan hidup dari apa artinya menjadi Haida – dengan kata lain, seorang manusia.
Kata “Haida” sederhananya berarti “orang,” yang berarti juga kata lain untuk “kita.” Bahkan, di seluruh dunia, nama-nama yang digunakan oleh sebagian besar masyarakat adat untuk menggambarkan diri mereka, implikasinya adalah bahwa “kita adalah kita: orang-orang – dan sisanya tidak.” Haida memanggil pulau rumah mereka, Haida Gwaii, yang berarti, “Place (Islands) of the People,” Tempat (pulau) orang-orang,” tetapi ada nama yang lebih tua, dan diterjemahkan, kira-kira, “Islands Coming Out of (Supernatural) Concealment,” Kepulauan yang lahir dari penyembunyian (supernatural). Dalam hal ini, pulau-pulau itu mewakili semacam zona intertidal eksistensial – bukan hanya antara hutan dan laut tetapi antara permukaan dan dunia roh. Haida Gwaii adalah kepulauan paling terpencil di Pantai Barat, dan tidak ada suku Amerika Utara lainnya yang rumah leluhurnya berada lebih jauh di lepas pantai, atau yang batas-batas teritorialnya sangat jelas dan tidak ambigu digambarkan. Secara umum diyakini bahwa bagian pulau-pulau itu adalah refugia, tempat-tempat yang tidak tersentuh oleh lapisan es besar yang mencakup begitu banyak Amerika Utara selama Zaman Es terakhir.
Karena situasi seperti itulah pulau-pulau ini kadang-kadang disebut sebagai “Galápagos Kanada,” dan dalam banyak hal merupakan dunia yang terpisah, menjadi tuan rumah berbagai spesies dan subspesies yang tidak ada di tempat lain. Bahasa Haida juga, adalah apa yang dirujuk ahli bahasa sebagai “terisolasi,” tidak terkait dengan suku Pantai Barat lainnya.
Itulah panggung besar dimana kemudian muncul sosok yang bernama: Grant Hadwin, seorang pemuda yang berdedikasi pada pekerjaannya sebagai forester, sedikit idealis, sering melontarkan kritik tajam pada industri logging yang berdampak katastropik pada lanskap. Kemudian terkalahkan dalam pertarungan di indutri logging British Columbia dan konsesi logging di kawasan Haida Gwaii. Lama luntang lantung sebagai pengangguran, sekali waktu menjadi voluntir pada kantor pensiunan. Namun cukup waktu untuk menuangkan pemikiran-pemikirannya pada situasi kehutanan di Kanada dan dunia. Menulis surat kepada berbagai pihak tentang industri kehutanan yang menghancurkan ekosistem. Ia menulis surat kepada pengadilan tinggi propinsi: “The Forest industry in british columbia, appears to be one example, of economic remote controlled TERRORISM, on this planet, with professionals leading the way, in “severe symptoms of denial, that there is any problem.”
Beragam kegiatan yang tidak menentu dilakukan termasuk melakukan perjalanan ke luar negeri. Hingga kembali ke kampung halamannya di Kamloops, sebuah kawasan dataran tinggi daerah peternakan di selatan British Columbia, Kanada. Dengan penduduk yang cuma delapan ribu orang pada waktu itu, Kamloops bukanlah kota yang dibayangkan. Hanya kota kecil.
Hadwin dianggap mengalami tekanan mental.
Menurut Vaillant kampanye penulisan surat Hadwin terus meningkat, dan dalam jalinan korespondensi ini merupakan upaya terakhir untuk menemukan pekerjaan yang bermakna.
Pada tanggal 12 Januari 1996, sebagai tanggapan atas iklan untuk Forest Renewal Project coordinator, Hadwin mengirim resume yang meyakinkan, bersama dengan surat pengantar berikut: Saya tidak suka clear cutting dalam penebangan hutan. Ada perbedaan filosofis yang tajam antara saya dengan industri kehutanan. Jika Anda siap untuk mencoba “pendekatan yang lebih lembut,” ke kehutanan, dengan lebih sedikit “laba jangka pendek,” saya mungkin dapat membantu. Saya tidak terbiasa dengan “buzzwords,” baru seperti Forest Renewal. Semua kehutanan dan sebagian besar hutan, tampaknya perlu “memperbarui,” dalam beberapa bentuk atau yang lain.
Hadwin tidak mendapatkan pekerjaan itu.
Pada September 1996, tak lama setelah apa yang kemudian dikenal sebagai blokade Haida Brave (masyarakat Haida memblokade jalan dan operasional logging), Hadwin mengunjungi Haida Gwaii untuk pertama kalinya. Dia menemukan harapan, impian, dan ambisi yang bertentangan. The Golden Spruce dan sekitarnya menampakkan pertentangan kepentingan yang tajam antara idealisme “Haida Gwaii”: surga hutan hujan sejati lengkap dengan pohon raksasa dan penduduk asli, dan ego industrinya, “Charlottes,” gudang kayu lepas pantai yang mempunyai penyimpanan digunung. British Columbia telah digambarkan sebagai Republik Pisang, hanya dengan pisang yang lebih besar, dan di tempat lain di provinsi ini lebih terang-terangan daripada di sini. Dengan demikian, pulau-pulau adalah anak para logger yang diakui secara internasional untuk menebang, pencinta lingkungan, dan aktivis hak-hak masyarakat adar. Golden Spruce terperangkap dalam kemelut kepentingan itu.
Sebulan sebelumnya, pada 1 Agustus 1996, sambil mengadakan protes terhadap penebangan perusahaan konsesi hutan Macmillan Bloedel dari hutan hujan pesisir, para aktivis Greenpeace telah menyalakan semangat Haida Brave di dermaga di Juskatla Inlet. Kemudian sore itu, tongkang penuh log dicegat dan dipaksa oleh sekitar lima puluh Haida dalam kano perang dan perahu motor untuk berbalik. Ini bukan pertama kalinya: dengan bantuan kelompok lingkungan, Haida telah menggelar beberapa kampanye anti-logging yang sangat sukses selama tahun 1970-an dan 1980-an; Mereka tidak hanya membuat kepulauan itu sebagai medan pertempuran utama dalam perang hutan pantai, tetapi mereka menandainya sebagai situs dari salah satu kemenangan paling awal – dan terbesar bagi para pelestarian hutan. Penciptaan Gwaii Haanas.
Kepulauan ini merupakan tempat terpencil dan tindakan Haida dan Greenpeace adalah berita besar. Selama enam minggu sesudahnya, asrama Greenpeace dan tindakan legal setelahnya mendapatkan liputan luas di surat kabar British Columbia. Hadwin mencermati berita-berita perlawanan ini.
Hadwin dan rombongannya menghabiskan seminggu di kepulauan ini, dan selama ini dia mengunjungi Golden Spruce. Lokasi pohon gampang didapatkan: Selama bertahun-tahun dikelilingi oleh labirin jalan logging, dan semuanya berakhir di Juskatla, tempat operasi penebangan modern di Haida Gwaii. Terletak hanya beberapa kilometer di sebelah barat Golden Spruce, Juskatla adalah semesta paralel yang dingin dan terpencil dari hiruk pikuk bumi, mesin-mesin berat, dan puluhan pickup Ford 250–Kendaraan resmi industri penebangan. Peralatan disimpan dan diperbaiki di sana di gedung kavernosa, dan truk logging off-road bergemuruh masuk dan keluar seperti jarum jam. Di dekatnya ada dermaga dan jenis log yang dimuat ke tongkang. Kesibukan basecamp yang luar biasa itu membuat tidak sulit untuk memahami mengapa orang seperti Hadwin akan menghindarinya dengan cara apa pun.
Golden Spruce tumbuh seimbang antara Juskatla dan Clements Port, pemukiman perintis yang telah berevolusi menjadi komunitas kamar tidur untuk penebang; Sekitar 530 orang tinggal di sana. Terletak di tengah-tengah Pulau Graham, di Pantai Timur Masuk Masset, tanda sambutan desa terbuat dari tunggul cedar yang tumbang, dan setelah melewatinya, hal pertama yang kita saksikan adalah potonga-potongan kayu tebal dengan tumpukan peralatan logging yang berkarat.
Hingga hari ini, pada bulan Oktober, anggota klan Tsij Git’anee berkumpul di Sungai Yakoun, daerah hilir dari the golden spruce, untuk menangkap salmon ketika mereka melakukan perjalanan tahunan naik Sungai Yakoun untuk bertelur dan mati. Sebuah ritual dilakukan setiap musim. Dilakukan di tempat yang kira-kira sama, menggunakan teknik yang sama, selama ribuan tahun. Bis adibayangkan puluhan – mungkin ratusan generasi yang telah berpartisipasi dalam siklus pengumpulan makanan yang tak terputus ini.
Pada hari itu seluruh klan Tsij Git’anee beramai-ramai kumpul. Mereka suatu waktu pernah pengendali sebagian besar DAS Sungai Yakoun, termasuk tempat di mana the golden spruce.
Sebelum pemukim dan penambang Eropa tiba pada tahun 1860-an, Kepulauan Ratu Charlotte secara eksklusif merupakan wilayah Haida, dan memancing, berburu, memetik berry, atau hak air ke daerah tertentu diadakan oleh satu klan atau yang lain. Ini sebagai hasil dari antara lain, peperangan antar suku dan perselisihan teritorial–sesuatu yang menjadi fakta kehidupan di kepulauan itu. Dengan demikian, tanah The Tsij Git’a Nee mengklaim sekarang mungkin tidak selalu menjadi milik mereka dan kepemilikannya masih dipertanyakan. Klaim mereka telah diperebutkan oleh keturunan Tsij Git’anee yang disebut Masset Inlet Eagle Clan. Tetapi klaim inipun masih ada di belakang setelah beberapa klaim lain: bahwa dari Bangsa Haida, pemerintah Kanada, dan Macmillan Bloedel, Ltd.
Burung Raven Putih adalah satu-satunya dari jenisnya yang hidup di provinsi ini. Raven Putih dan the golden spruce memiliki kualitas supernatural yang mengejutkan orang luar. Dua makhluk mistik yang menawan. D’Arcy Davis-Case, seorang ahli kehutanan yang tinggal di Haida Gwaii selama bertahun-tahun sebelum menjadi konsultan PBB tentang masalah-masalah kehutanan, mengingat bahwa, “ahli botani dan dendrologi selalu berusaha menjelaskan warna emas pohon.” Ketika ditanya apa kesimpulannya, Davis-Case tersenyum dan mengerlingkan matanya. “Sihir!” katanya.
Bagi mereka yang cukup beruntung melihat Golden Spruce di bawah sinar matahari yang cerah, penjelasan Davis-Case terdengar cukup masuk akal. Banyak yang berbicara tentang kecemerlangannya yang khas, seolah-olah menghasilkan cahaya dari jauh di dalam cabang-cabangnya. Ruth Jones, seorang seniman yang berbasis di Vancouver, mengunjungi Golden Spuce pada suatu sore yang cerah pada tahun 1994. “Sepertinya itu terbuat dari emas bercahaya,” katanya. “Itu seperti dongeng: Bagaimana ini bisa terjadi?” Setelah melihatnya pada hari yang cerah pada tahun 1995, seorang jurnalis bernama Ben Parfitt merasa bahwa pohon ini, entah bagaimana lebih dekat dan lebih hidup, daripada semua pohon lain di sekitarnya.” Marilyn Baldwin, pemilik toko barang olahraga melintasi Hecate Strait, di Prince Rupert mengunjungi pohon itu pada hari berkabut abu-abu pada awal 1990-an. “Beberapa menit setelah kami sampai di sana,” dia ingat, “matahari membakar kabut itu, dan tiba-tiba ada kecemerlangan emasnya. Kami menyebutnya pohon Ooh-aah, karena itulah yang membuat kami semua berkata.” Seorang insinyur senior untuk Macmillan Bloedel yang melihat pohon dalam keadaan serupa membandingkan penerangannya yang tiba-tiba seperti pengalaman relijius.
Tapi Hadwin melihat sesuatu yang berbeda. Dan itu adalah hal yang sama dengan banyak rekannya yang melihat lebih pragmatis: “sebuah pohon yang sakit.”
Sehari kemudian (21 Jan 1997), the golden spruce ditebang dan tumbang. Secara lokal, reaksi itu luar biasa, terutama dalam komunitas Haida. “Itu seperti penembakan di siang bolong di sebuah kota kecil,” John Broadhead, penduduk lama di pulau itu menjelaskan. “Orang-orang menangis; mereka kaget; mereka merasakan rasa bersalah yang sangat besar karena tidak melindungi pohon dengan lebih baik.
Menurut legenda Haida, pohon cemara emas, the golden spruce, perwujudan bocah muda yang baik tetapi kemudian ditransformasikan. Karena ini, beberapa di antara Haida melihat kejahatan penebangan pohon the golden spruce itu bukan sebagai tindakan vandalisme, atau protes, tetapi sebagai semacam pembunuhan. Benar-benar menyakitkan. “A piece of our community was rubbed out.”
Segera setelah mereka menerima berita itu, Dewan Haida Nation mengeluarkan siaran pers berikut: Orang-orang Haida sedih dan marah dengan kehancuran K’iid K’iyaas, juga dikenal sebagai “Golden Spruce,” di Yakoun River Valley di Haida Gwaii. Hilangnya K’iid K’iyaas adalah pelanggaran yang disengaja dari sejarah budaya kita. Tradisi lisan kita tentang K’iid K’iyaas mendahului sejarah tertulis.
Kami menyatakan kepada dunia bahwa bangsa Haida mengambil kepemilikan penuh atas sisa-sisa K’iid K’iyaas, dan bahwa itu dinyatakan terlarang untuk semua orang. Haida akan melakukan upacara pribadi di situs untuk merekonsiliasi kerugian. Haida berharap keadilan akan menang, dan bahwa orang yang bertanggung jawab atas tindakan kehancuran akan dihukum. Orang Haida akan menyaksikan setiap detail dan jika tidak ada keadilan yang jelas, Haida akan mengambil tindakan yang sesuai. Haida telah lama menganggap K’iid K’iyaas sebagai seorang penjaga Yakoun Valley, dan sekarang telah dihancurkan, Haida akan meningkatkan langkah-langkah proteksionis untuk tanah kami.
Grant Hadwin menebang K’iid K’iyaas, the Golden Spruce.
Dan setelah proses hukum terhadapnya selesai, Hadwin menghilang. Sosoknya tidak pernah ditemukan baik dalam hidup maupun mati. Hanya tersisa yang ditemukan Scott Walker di pantai Edge Point, the Northwest Coast yang dikenal sebagai Danger Passage: benda-benda berserakan berupa serpihan kano fiberglas, jas hujan, ransel, kapak, alat memasak, alat cukur, pelampung, yang kemudian diketahui sebagai milik Hadwin.
Secara filosofis, Hadwin sebetulnya, tidak berbeda jauh dengan Guujaaw, Kepala Suku Haida; Guujaaw telah memerangi perusahaan penebangan selama dua puluh tahun. Hadwin juga seorang forester tidak kalah gigih menentang penebangan hutan yang serampangan. Guujaaw bersimpati terhadap frustrasi Hadwin. “Dia bisa mengeluarkan beberapa mesin [logging]; maka dia akan dihormati,” katanya. Sayangnya kegilaan Hadwin tidak kalah serampangannya dengan bagian yang dia kritisi. Kegilaan yang merobohkan fondasi masyarakat adat Haida.
The golden spruce telah hilang. Pohon mitos yang menopang semangat masyarakat adat Haida setiap kali melihatnya tak lagi bersama mereka. Kehadiran pohon ini membawa kebersamaan yang mendalam dan mengangkat mereka dengan nilai ilahiah tinggi. Kini tinggal pangkalnya. Kemudian membusuk dan habis selamanya. Matinya K’iid K’iyaas tentu seperti matinya cahaya bagi Haida. Meski spiritnya masih menyala tetapi luka akan sulit diobati. Hanya waktu yang bisa membuktikan bahwa Haida akan tetap melangkah ke depan membawa sejumlah peradaban dan berdamai dengan berbagai perubahan.
Kisah K’iid K’iyaas ada dimana-mana. Seperti halnya dengan Suku Baduy yang hutan keramatnya rusak, masyarakat Kampung Cisusuh yang tak lagi melihat situs kebanggaan Batu Kuyanya di tepi Sungai Cimanganteung dan suku-suku lain yang diimajinasikan pada Na’vi yang melawan perampokan sumberdaya alamnya, kegilaan atas keuntungan dan ketamakan menguasai sumberdaya alam akan menghancurkan manusia dan kemanusiaan. Menilai semua hal dengan sekedar manfaat finansial, kapital dan serbaduniawi akan menjerumuskan kepada kekacauan hubungan alam, isinya dan manusia. Ketamakan adalah penghambat keberlanjutan. Dan sialnya, seperti banyak dipaparkan dengan kritis, perilaku yang tamak adalah buah dari kapitalisme. Orang-orang yang mempunyai kapital akan terus bernafsu untuk menumpuk kapital tanpa henti. Segala cara dilakukan untuk mewujudkan nafsu mengakumulasi kapital. Tanpa peduli atas segala dampak sesungguhnya.
Barangkali seperti kata John Bellamy Foster dan Brett Clark: Capitalism and the Ecological Rift: The Robbery of Nature (2020). Kapitalisme hari ini terjebak dalam krisis yang tampaknya tak berujung. Sumber soalnya adalah proses akumulasi modal yang tak pernah berhenti dan tak pernah terpuaskan.
Seperti tulis John Milton pada epigraf di atas: All Trees of noblest kind for sight, smell, taste–setiap pohon selalu mengandung kebaikan yang anggun yang bisa dilihat, dicium dan dirasakan, juga benda-benda yang mempunyai makna bagi masyarakat tertentu. Sebab benda hidup atau mati adalah bagian dari ekosistem kehidupan/And all amid them stood the Tree of Life--bagian dari pohon kehidupan/High eminent, blooming Ambrosial Fruit–tinggi menjulang menebarkan buah dengan harum bunga dan rasa menyegarkan/Of vegetable Gold–bak sayur mayur yang disajikan Tuhan bagi penghuni bumi untuk bekal kehidupan/and next to Life/Our Death the Tree of Knowledge grew fast by, Knowledge of good bought dear by knowing ill–pudarnya dan matinya pohon pengetahuan begitu cepat oleh pengetahuan kebaikan yang digadaikan karena kecerobohan atau keangkuhan kita.
1 Jody Duncan and Lisa Fitzpatrick, The Making of Avatar (2010).
2 https://www.qureta.com/post/hutan-keramat
4 https://republika.co.id/berita/breaking-news/nusantara/09/03/15/37409-budayawan-dan-pemprov-jabar-protes-penjualan-batu-kuya
5 https://bogorgate.wordpress.com/2020/11/27/situs-purbakala-batu-kuya-riwayatmu-kini/
6 https://www.google.com/amp/s/m.republika.co.id/amp/37296 Batu Kuya ini merupakan batu andesit dengan panjang 6,7 meter, lebar 3,5 meter, tinggi 2,9 meter, panjang leher 2,4 meter, dan berat 58,7 ton. Sebagian kalangan menyebut Batu Kuya merupakan situs bekas peninggalan Kerajaan Tarumanegara kerajaan tertua di nusantara yang berdiri pada 358 Masehi. Kerajaan ini meninggalkan sejumlah benda purbakala, termasuk tujuh prasasti, yakni Prasasti Tugu, Ciaruteun, Kebon Kopi, Jambu, Munjul, Muara Cianten, dan Prasasti Pasir Awi.
Dijerat Pidana UU No 5/1992 tentang Benda Cagar Budaya Pasal 26: ”Siapa pun yang dengan sengaja membawa, memindahkan, mengambil tanpa izin benda cagar budaya akan diancam kurungan sebanyak-banyaknya 10 tahun penjara.” Pasal 12: ”Setiap orang dilarang mencari benda cagar budaya atau benda berharga yang tidak diketahui pemiliknya dengan cara penggalian, penyelaman, pengangkatan, atau dengan cara pencarian lainnya, tanpa izin dari pemerintah.”